Reformasi Kultural: Sebuah Indonesia yang Tertinggal

(Refleksi Hari Kebangkitan Nasional 2008)

Kebangkitan nasional adalah masa bangkitnya semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan 350 tahun. Masa ini diawali dengan dua peristiwa penting Boedi Oetomo (1908) dan Sumpah Pemuda (1928). Masa ini merupakan salah satu dampak politik etis yang mulai diperjuangkan sejak masa Multatuli.

Tokoh-tokoh kebangkitan nasional, antara lain: Sutomo, Gunawan, dan Tjipto Mangunkusumo, dr. Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara), dr. Douwes Dekker, dll

Selanjutnya pada 1912 berdirilah partai politik pertama Indische Partij. Pada tahun ini juga Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (Solo), KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah (Yogyakarta) dan Dwijo Sewoyo dan kawan-kawan mendirikan Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera di Magelang.

Suwardi Suryoningrat yang tergabung dalam Komite Boemi Poetera, menulis Als ik eens Nederlander was (Seandainya aku orang Belanda), 20 Juli 1913 yang memprotes keras rencana pemerintah jajahan Belanda merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda di Hindia Belanda. Karena tulisan inilah dr. Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryoningrat dihukum dan diasingkan ke Banda dan Bangka, tetapi “karena boleh memilih”, keduanya dibuang ke Negeri Belanda. Di sana Suwardi justru belajar ilmu pendidikan dan dr. Tjipto karena sakit dipulangkan ke Indonesia.

(Dikutip dari Wikipedia)

Ya, seabad sudah nasionalisme di negeri ini bangkit. Persoalan etnisitas dan kesukuan melebur menjadi sebuah kekuatan dahsyat hingga mampu memercikkan semangat pembebasan dari nilai-nilai kolonialisme yang dengan amat sadar dilakukan oleh kaum penjajah. Tonggak kebangkitan nasionalisme itu juga telah merangsang tumbuhnya keinsyafan kolektif sebagai bangsa yang bermartabat, terhormat, dan berdaulat. “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung”; begitulah adagium yang mampu memompakan semangat juang untuk menyatu dalam sebuah wadah kebersamaan menuju “Indonesia Baru”; Indonesia yang merdeka; bebas menentukan nasib sendiri; tanpa intervensi.

Seiring dengan perubahan yang terus terjadi, sejak masa prakemerdekaan hingga pascakemerdekaan, nilai-nilai nasionalisme juga mengalami pasang-surut. Dengan nada sedih, kita harus jujur mengakui bahwa nilai-nilai nasionalisme di negeri ini terus mengalami erosi. Tanpa bermaksud menjadikan nilai-nilai modernisme dan globalisme sebagai kambing hitam, disadari atau tidak, kita juga telah terperangkap, bahkan terjebak ke dalam nilai-nilai pragmatisme. Pergeseran nilai terus terjadi di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Semangat dan roh para pendiri negeri ini (nyaris) hanya memfosil dalam buku-buku sejarah dan museum. Selebihnya, kita telah “menuhankan” hal-hal yang pragmatis; politis dan ekonomis. Keinsyafan kolektif sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat, disadari atau tidak, telah menjelma menjadi kelatahan sikap yang memuja kebendaan dan kenikmatan semu. Bendera materialisme dan hedonisme terus berkibar di ranah-ranah publik. Secara kolektif, kita telah masuk perangkap pemujaan dan perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes materiil dan praktis.

Yang menyedihkan, upaya pewarisan semangat dan roh nasionalisme selama ini dinilai telah tereduksi oleh kekuasaan. Pemberangusan buku-buku sejarah, misalnya, adalah sebuah contoh konkret betapa fakta-fakta sejarah menjadi demikian rentan terhadap penafsiran penguasa. Buku-buku sejarah yang dinilai tidak berpihak kepada penguasa dibrangus tanpa ampun. Bisa ditebak, yang terjadi kemudian adalah pembonsaian generasi dan anak-anak bangsa. Mereka sengaja dikerdilkan dan dihambat pertumbuhannya agar tak bisa bebas mengerti persoalan masa lalu yang pernah dialami oleh masyarakat dan bangsanya. Dalam kondisi demikian, tidak berlebihan apabila banyak anak-anak negeri ini yang tidak tahu sejarah yang benar mengenai bangsa dan negerinya sendiri. Ironis! Akronim “Jasmerah” (Jangan sekali-kali melupakan sejarah) yang dulu gencar dipopulerkan Bung Karno pun menguap entah ke mana.

***

Kini, kita sudah merasakan atmosfer reformasi dalam satu dekade. Pertanyaan yang muncul adalah sudah adakah perubahan yang cukup bermakna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara? Sudah adakah perubahan yang cukup signifikan di bidang hukum, ekonomi, politik, dan budaya? Untuk menjawab pertanyaan semacam ini, saya kira masyarakat kita dengan mudah dapat membaca dan memahaminya. Apa yang dulu gencar digembar-gemborkan oleh kaum muda kita agaknya masih terapung-apung dalam slogan dan retorika. Hukum masih mandul; belum sepenuhnya mampu menjerat para pengemplang harta negara. Ekonomi? Masyarakat kita dengan jelas bisa merasakan betapa susahnya hidup di negeri ini pada masa pascareformasi. Di tengah menipisnya daya beli masyarakat, justru pemerintah membuat kebijakan yang kurang populer dengan menaikkan harga BBM. Politik? Wah, untuk bidang yang satu ini agaknya telah menjadi “syurga” bagi para petualang politik. Bagi mereka, reformasi benar-benar membawa berkah. Banyak OKB alias Orang Kaya Baru yang bisa hidup enak-kepenak melalui jalur politik. Mereka yang punya nyali, meski tanpa didukung kadar kecerdasan yang memadai, bisa menjadi “adipati” baru di daerahnya dengan menghalalkan segala cara.

Lantas, bagaimana dengan bidang kebudayaan? Dengan nada sedih harus dikatakan bahwa budaya merupakan ranah yang tak tersentuh oleh reformasi, bahkan semenjak negeri ini berada di atas tungku kekuasaan Orde Baru. Kebudayaan benar-benar menjadi sebuah Indonesia yang tertinggal. Ironisnya, kebudayaan kita justru diceraikan dari ranah pendidikan. Kebudayaan harus “menikah” dengan kepariwisataan yang jelas-jelas lebih diorientasikan pada politik pencitraan dan dunia industri.

Sebagaimana dikemukakan oleh Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur sosial, religius, serta pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Dalam pandangan J.J. Hoenigman, kebudayaan bisa berwujud gagasan, aktivitas (tindakan), dan artefak (karya). Ketiga wujud ranah kebudayaan inilah yang akan sangat menentukan peradaban sebuah bangsa. Namun, ketika kebudayaan dipahami sebagai bagian dari politik pencitraan dan industri, disadari atau tidak, hancurlah basis-basis kebudayaan yang akan menjadi penyangga peradaban bangsa.

Lihatlah, betapa –meminjam istilah Slamet Sutrisno (1997) — semakin tidak intensnya seseorang dalam memburu jatidiri yang lebih bermartabat. Perburuan gengsi yang berkembang dalam kelatahan membuat orang mengejar keberhasilan secara instan, entah melakukan korupsi atau usaha magis melalui cara mistis dalam memperoleh kekayaan. Pada hakikatnya mereka gemar menempuh terobosan dan “jalan kelinci” dengan sukses gaya “Abu Nawas”. Kursi empuk kepejabatan, titel, dan kedudukan keilmuan pun tak jarang disergap melalui kelancungan dalam ilmu permalingan”.

Agaknya, bangsa kita memang telah “ditakdirkan” untuk menjadi bangsa pelupa. Kita (nyaris) tak pernah belajar pada pengalaman-pengalaman masa silam. Yang sering kita ingat, bukan esensinya, melainkan asesorisnya. Kita lupa bahwa pada awal-awal pergerakan nasional, para pendiri negeri ini dengan amat sadar menyentuh persoalan kebudayaan sebagai basis perubahan. Kebudayaanlah yang telah menyatukan berbagai kelompok etnis dan suku ke dalam sebuah wadah, sehingga mampu menorehkan tinta sejarah melalui Gerakan Budi Utomo (1908) yang dikokohkan kembali melalui Sumpah Pemuda (1928). Berkat sentuhan kebudayaan, mimpi “Indonesia Baru” yang merdeka dan berdaulat akhirnya menjadi sebuah kenyataan.

Kebudayaan agaknya akan terus menjadi sebuah Indonesia yang tertinggal jika tidak ada “kemauan politik” untuk menyentuhnya ke dalam ranah perubahan. Satu dekade reformasi seharusnya sudah mampu memberikan kemaslahatan publik dalam menggapai kehidupan yang lebih baik. Telinga kita sudah demikian jenuh mendengar bahasa politik dan ekonomi yang tak henti-hentinya mengedepankan “siapa yang menang” dan “apa untungnya”. Sudah saatnya kita memperluas makna perubahan dengan menyentuh akar-akar kebudayaan dengan mengedepankan pertanyaan “apa yang benar”.

Itulah yang selama ini kita lupakan sehingga satu dekade reformasi belum juga menumbuhkan optimisme hidup di tengah publik. Kita merindukan “keinsyafan kolektif” untuk menyentuh kebudayaan sebagai salah satu dimensi kehidupan dalam melakukan perubahan. Perubahan sistem dan regulasi, sebagus apa pun, tanpa diimbangi perubahan kultural ibarat mendorong mobil mogok yang kehabisan bensin. ***

oOo

Keterangan: gambar sepenuhnya merupakan karya Mas Hendro Dwijo Laksono.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *