Nilai-nilai Kearifan Lokal di Balik Misteri Indonesia

misteriJudul buku: Misteri-misteri Terbesar Indonesia 2
Pengarang: Haris Firdaus
Penerbit: Katta, 2009 (Solo)
Edisi: Cetakan pertama, November 2009
Tebal: 192 halaman

Satu lagi, buku baru telah lahir dari tangan seorang Haris Firdaus. Lelaki muda berusia 23 tahun yang juga penggiat Komunitas di Kabut Institut Surakarta ini agaknya tak pernah kekeringan ide untuk menumpahkan kreativitasnya. Usai menerbitkan buku Misteri-misteri Terbesar Indonesia, setahun kemudian muncul buku Misteri-misteri Terbesar Indonesia 2 (MTI 2) yang bisa jadi dimaksudkan sebagai “bukti historis” tentang potret kultur bangsa kita yang amat dekat dengan alam. Meski sudah banyak buku yang membidik tentang berbagai “keajaiban” dan pesona alam Indonesia, tetapi selalu saja tak pernah bisa tuntas dikupas dan dibicarakan orang. Alam Indonesia dengan segenap variannya agaknya terus melahirkan inspirasi baru yang eksotis, tetapi sekaligus juga misterius.

misteriMTI 2, dalam pandangan awam saya, juga tak bisa dilepaskan kaitannya dengan konteks kultur bangsa kita yang sejak dulu memang sudah demikian akrab dengan alam. Saking akrabnya dengan alam, sampai-sampai bangsa kita tidak sadar bahwa kita masih berada dan hidup di tengah kepungan sejumlah misteri yang selama ini belum juga bisa terkuak. Dengan menggunakan motto “Kaya data, memikat, dan tidak membosankan”, alumnus FISIP UNS Solo itu berupaya mendedahkan sejumlah misteri Indonesia yang masih menyisakan sejumlah tanda tanya itu ke dalam sebuah ensiklopedi sekaligus narasi yang renyah. Lewat motto-nya itu, Haris berupaya menawarkan kajian beragam misteri itu dari berbagai macam sumber: serpihan fakta sejarah, teori ilmiah –arkeologi, biologi, sampai geologi– atau juga mitos dan legenda rakyat.

Maka, lahirlah: (1) Coelacanth: Ikan Purba yang Kebal Evolusi; (2) Orang-orang Bermata Biru: “Bule Asli Aceh” di Lamno; (3) Sepotong Majapahit Bernama Trowulan; (4) Gunung Kawi: Pusat Klenik Jawa-Cina; (5) Garuda yang Berselimut Tanya; (6) Kiamat Tsunami Aceh; (7) Kerajaan Kandis, Alexander Agung, dan Atlantis yang Hilang, (8) Dewi Lanjar: Penggoda Gaib dari Pantura, dan (9) Batujaya, Toleransi Agama, dan Globalisasi Prasejarah. Memang, sebagian narasi, seperti Sepotong Majapahit Bernama Trowulan, Gunung kawi: Pusat Klenik Jawa-Cina, atau Dewi Lanjar: Penggoda Gaib dari Pantura, merupakan kisah yang sudah sangat akrab dengan kultur masyarakat kita, khususnya Jawa. Meski demikian, dengan menggunakan sentuhan pendekatan yang lebih humanis dan indah, Haris berhasil menyuguhkan sesuatu yang baru.

Perhatikan saja narasi berikut ini!

Yang unik, rekonstruksi itu ternyata tidak hanya melibatkan upaya fisik. Sebuah koran menyebut, sejumlah paranormal ternyata mengajukan diri untuk terlibat dalam upaya itu. Untuk apa? Jawabannya mudah saja: untuk membantu secara “metafisik” proses rekonstruksi itu. Pada Januari 2008 lalu, sekira 15 paranomal melakukan semedi di kolam Segaran. Dan, hasilnya “tidak tanggung-tanggung”: 15 paranormal itu mengaku berhasil melakukan “wawancara” dengan Gajah Mada. Dalam “wawancara” itu, paranormal-paranormal itu berhasil melihat sosok Gajah Mada …. (“Sepotong Majapahit Bernama Trowulan” hal. 60-61).

Di Ciamsi alias tempat meramal nasib, tak ada orang dari latar belakang budaya apa pun yang diperlakukan secara berbeda. Meski budaya meramal sebenarnya merupakan tradisi Cina, orang dari Jawa atau suku lainnya boleh saja ikut meramal nasib mereka di sana. Para penjaga klenteng juga bukan orang etnis Tionghoa, melainkan Jawa. Orang-orang Tionghoa dan Jawa juga berbaur mengikuti ritual-ritual di sana. Mereka bersama-sama berdoa, sembahyang, dan memohon berkah di tempat yang sama (“Gunung Kawi: Pusat Klenik Jawa-Cina” hal. 80).

Dengan demikian, jelas sudah: meski Dewi Lanjar barangkali bukan sosok yang benar-benar ada dalam kehidupan nyata, cerita tentangnya tetap bisa memiliki arti positif bagi manusia. Jangan-jangan, yang terpenting memang bukan bertanya apakah dewi itu benar-benar ada tapi justru apakah guna cerita Dewi Lanjar bagi kehidupan manusia (“ Dewi Lanjar: Penggoda Gaib dari Pantura” hal. 166).

Begitulah beberapa contoh penggalan narasi yang disuguhkan Haris dalam buku ini. Ia tidak hanya sekadar menempel potongan-potongan puzzle, tetapi juga memermak dan memolesnya melalui opini-opini reflektif, hingga terbangun sebuah mozaik cerita yang runtut dan enak dibaca. Tentu saja, masih ada beberapa narasi lain yang tak kalah menarik untuk dibaca dan dinikmati. Sebagian besar kisah misteri yang didedahkan mengandung muatan nilai kearifan lokal sebagai pancaran aura kultural bangsa kita yang telah lama dikenal memiliki kekayaan budaya dan peradaban yang bermartabat.

Meski demikian, buku ini juga bukannya tanpa cacat. Selain masih ditemukan beberapa kesalahan ejaan –seperti klitika “pun” yang seharusnya ditulis terpisah– secara keilmuan buku ini belum bisa dibilang berhasil dalam merangsang “adrenalin” pembacanya untuk melakukan kajian-kajian lanjutan. Tidak dicantumkannya daftar pustaka bisa menjadi ganjalan tersendiri ketika sejak awal buku ini diniatkan sebagai sebuah ensiklopedi. Apalagi, Haris banyak sekali menyajikan serpihan-serpihan historis yang saya yakin berada di luar jangkauan memori sang penulis untuk mengingat sekian fakta yang detil dan rinci. Mungkinkah lantaran Haris hanya menggunakan kemampuan ber-search engine di internet ketika mendapatkan sumber-sumber historis itu dalam memperkaya kajian-kajian misterinya?

Terlepas dari kekurangan yang masih tersisa, yang pasti buku ini tetap layak dibaca dan dinikmati. Setidaknya, buku ini bisa menjadi pengingat bahwa di negeri ini masih banyak nilai kearifan lokal di balik kisah-kisah misteri yang masih perlu terus digali, dilestarikan, dan dikembangkan lebih lanjut. Sungguh, sebuah ide brilian dan kreatif, ketika buku ini hadir di tengah sinyalemen lunturnya semangat kultur-lokal akibat gerusan budaya global yang kian dahsyat. ***

No Comments

  1. Reviewnya mantab pak Wali…..=d>=d>=d>

    Setidaknya kehadiran buku-buku ini akan memperkaya khazanah literatur dari bumi pertiwi.

    Selain itu kearifan lokal yang nyatanya hidup dan menggeliat di kultur penduduk negeri ini mampu disajikan untuk ditelaah oleh generasi muda, tentunya dengan segala perbedaan prespektifnya.

    1. terima kasih apresiasinya, mas xit. memang benar, perlu ada upaya serius utk merevitalisasi nilai2 kearifan lokal agar generasi mendatang tdk kehilangan jejak2 sejarah bangsa dan leluhurnya.

  2. Ulasan tentang bukunya menarik …. memang masih banyak misteri (atau setidaknya dianggap misteri oleh sebagian orang) yang menarik rasa ingin tahu kita.

    Tetapi, tentang kearifan lokal? Ini yang tidak begitu jelas tergambar dalam ulasan ini, karena yang dianggap misteri tidak sama dengan kearifan lokal. Atau, dalam buku tersebut antara misteri dengan kearifan lokal dianggap sama.
    .-= Baca juga tulisan terbaru HE. Benyamine berjudul ANGGREK MERATUS (4) =-.

    1. hehe … memang tidak semua kisah misteri yang tersaji dalam buku ini mengandung nilai-nilai kearifan lokal, bang ben. nilai kearifan lokal sangat erat kaitannya dengan perilaku hidup yang bersandar pada nilai-nilai budaya lokaltas yang sarat dengan kebajikan dan keluhuran budi. karena itu saya hanya mencomot 3 kisah misteri yang saya quote itu.

  3. kearifan lokal dengan bahasan model klenik kayaknya, ya pak? ini menurut saya malah membuat generasi sekarang makin antipati. dulu orang melihat Soeharto sebagai contoh orang yg sangat jawa… maka sekarang orang yg jawa dikhawatirkan seperti dia mungkin. padahal contoh ideal orang jawa itu ya macam Sri Sultan HB IX itu kan 😕
    .-= Baca juga tulisan terbaru S™J berjudul Siapa Tidak Menyembah? =-.

    1. bukan klenik, mas jenang. haris malah membedahnya dari berbagai sisi. ada nilai historis, pendekatan keilmuan, dan menganalisisnya berdasarkan sudut pandang pribadinya. yang menarik dari buku ini justru upaya haris utk menjauhkan sikap2 perklenikan. dari sini, haris mengajak pembaca agar lebih arif dalam memahami berbagai misteri yang dituturkan.

  4. Wah perlu juga membaca buku itu, kelihatannya menarik.
    Mas mau jadi Superman enggak ? Ikuti SupermanShow dihttp://abdulcholik.com/kuliner/supermanshow-la-tetates-de-timbele.
    Dijamin nyali jadi mantap deh.
    Salam hangat dari Surabaya

  5. dari dulu pemilik blog yang satu ini paling baru ngasih kabar tentang buku buku baru.., gimana nasib anak anak sekarang ini yah mas yang semakin malas membaca buku seperti saya 🙂 maaf mas saya baru bisa mampir ke blog mas sawali…:)>-
    .-= Baca juga tulisan terbaru tresna berjudul Respon sentuhan = seks =-.

  6. Misteri bisa juga, tp aku lebih berpendapat kepada sebuah manipulasi seorang penguasa negara dalam mempertahankan kekuasaannya menghalalkan berbagai macam konsep, karena masyarakat kurang berani dlm menghadapi tantangan kedepan,…

  7. jika sandaran yang digunakan untuk memotret masa lalu adalah historis materialisme, maka referensi ilimiah memang menjadi sesuatu yang tak kalah penting untuk dicantumkan.

    namun jika sandaran yg digunakan adalah historis spiritualisme, maka referensi ilmiah bukan sebuah kemutlakan.

    seberapa besar apresiasi atas buku tersebut sangat tergantung pada maqam spiritual pembacanya.

    wakakakakakak…

  8. Saya sudah baca review singkat dari blognya mas Haris sendiri, tapi masih belum ada gambaran. Nah, dari review pak Sawali ini rasanya semakin membuat penasaran, terlepas masih ada beberapa kekurangan.

  9. Setiap penulis buku itu memiliki gaya penulisan yang berbeda-beda ya, Pak Sawali. Dan itulah yang mungkin dijadikan ciri khas untuk membedakan dirinya dengan penulis lain.
    Namun, kalau menurut saya, kesalahan-kesalahan penulisan seperti itu sangat wajar dijumpai di setiap penulisan buku. Kritik dan masukan pastilah ada. Yang penting bagaimana kita menyikapi kritik dan masukan itu menjadi hal yang positif.
    .-= Baca juga tulisan terbaru Edi Psw berjudul Five Minutes Bakal Tampil di Surabaya =-.

  10. ya begitulah kangmas…sering sekali mitologi atau legenda itu hanya berisi problem setting ketimbang problem solving…o ya dewi lanjar itu punya tetangga lho didaerah pemalang namanya nyai widuri penunggu pantai widuri…haalaah malah nambahin masalah hihihihi.. :mrgreen:
    .-= Baca juga tulisan terbaru m4stono berjudul Terjemahan Serat Wedhatama Sinom 6 =-.

  11. begitu banyak cerita di masyarakat yang legenda selalu jadi panutan, sebenarnya bagus juga sih pak. tapi kalo kita lihat ini yang dimanfaatkan bangsa lain untuk menjajah negara kita karena terlalu percaya dengan misteri.

  12. Waduh review yang bagus .. selamat n turut senang tuh sama bung Haris Firdaus.. usia 23 tahun tapi dah mampu membuat karya sebagus itu ya… sukses buat Bung Haris Firdaus dan bung Sawali T nya

  13. dulu saya sempat penasaran sama buku ini. tapi setelah membaca resensi pak sawali kok saya langsung gak ‘penasaran’ lagi ya pak… hehehehe. btw gimana kabarnya pak? lama saya gak mampir dimari 😀

  14. Ping-balik: sell your auto notes
  15. Ping-balik: garden benches

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *