Antara Facebooker dan Wakil Rakyat

Kategori Jampi Sayah Oleh

Siapa bilang Facebooker itu seorang netter yang hanya bisa meng-update status di dinding, tanpa pernah berbuat apa-apa? Siapa pula bilang kalau Facebooker itu hanya berdiri di puncak menara gading dunia maya hingga tercerabut dari akar sosial-budaya dan tidak membumi? Siapa yang berani bilang kalau Facebooker tidak memiliki kepedulian terhadap nasib bangsanya?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan terjawab dengan jelas pada hari Minggu, 8 November 2009. Ribuan facebookers berkumpul di areal sekitar Bundaran HI. Dengan menggelar mimbar bebas, mereka menyatakan dukungannya terhadap KPK dan menolak jika dilakukan kriminalisasi terhadap KPK sebagai institusi penegak hukum. Aksi para facebookers yang juga dimeriahkan oleh sejumlah band dan musisi, semacam Slank, Melly Goeslaw, Oppie Andaresta, atau Once Dewa 19, dan sejumlah pengamat, seperti Eep Saefulloh Fatah, Effendy Ghazali, atau Yuddy Latief itu setidaknya berupaya menggelorakan suara yang sama untuk membebaskan negeri ini dari mafia hukum dan berbagai perilaku korup yang sudah demikian membudaya di berbagai lapisan dan lini birokrasi.

Aksi Facebooker, dalam pandangan awam saya, bisa dikatakan sebagai sebuah ikon hilangnya kepercayaan publik terhadap kredibilitas sebuah lembaga wakil rakyat dalam menyuarakan nurani rakyat yang sudah lama merindukan kebenaran dan keadilan. Dengan latar sosial-budaya yang beragam, secara lintas-etnis, agama, atau golongan, mereka mengusung jeritan rakyat yang (hampir) sama dari lingkungannya masing-masing ke pentas dunia maya yang bisa dengan mudah diakses dan diikuti perkembangannya dari detik ke detik. Rasanya sulit untuk tidak percaya bahwa aksi Facebooker benar-benar merepresentasikan suara rakyat yang sudah muak dengan ulah “badut-badut” hukum dalam sebuah mata rantai mafia peradilan yang bisa demikian mudah memanipulasi dan membuat repertoar bergaya parodi di tengah sebuah panggung opera yang disaksikan ratusan juta jiwa yang sudah lama mendambakan keadilan dan kebenaran. Ironisnya, wakil rakyat yang diharapkan bisa ikut berkiprah dalam menyuarakan aspirasi rakyat dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, justru mandul dan tiarap. Yang terjadi, justru penampakan sikap “perselingkuhan” dengan para petinggi lembaga penegak hukum dalam sebuah drama dengar-pendapat yang terkesan mesra, kenes, manja, dan berbalut puja-puji. Yang lebih memprihatinkan, para wakil rakyat yang terhormat amat jelas mengebiri opini publik yang seharusnya dibela dan diperjuangkan.

Dalam konteks ini, kita layak memberikan apresiasi terhadap keberanian Mahkamah Konstitusi (MK) dalam membeberkan rekaman hasil penyadapan KPK yang berisi skenario besar terhadap upaya pengebirian peran KPK dalam memberantas korupsi kepada publik. Kita dibuat terperangah dan geram ketika menyimak transkrip sebuah persekongkolan jahat yang diduga hendak merusak tatanan hukum di negeri ini. Mata publik pun makin terbuka bahwa mafia hukum yang selama ini baru sebatas dugaan, ternyata bukan isapan jempol. Dugaan terjadinya mafia hukum itu makin jelas ketika Tim 8 yang dikomandani Bang Adnan Buyung Nasution bertindak cermat dan cerdas dalam mengumpulkan fakta dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang diduga terlibat dan disebut-sebut dalam transkrip percakapan rekaman yang menghebohkan itu.

Yang kembali kita pertanyakan, mengapa wakil rakyat yang terhormat justru mengerdilkan peran Tim 8 yang kita harapkan bisa menjadi “katalisator” dalam menemukan sejumlah fakta yang amat penting dalam pengusutan kasus dugaan kriminalisasi KPK itu? Benarkah kata sejumlah pengamat kalau para wakil rakyat akan terusik kenyamanannya jika KPK menjadi lembaga “superbody” dalam pemberantasan korupsi? Mengapa para wakil rakyat justru saling “curhat” di depan jutaan pasang mata; membangun kemesraan dan sikap senasib untuk membudayakan sikap korup; menyanyikan koor puja-puji; ketika lembaga kepolisian sedang menjadi sorotan dan perbincangan publik?

Sikap wakil rakyat yang duduk dengan gaya pongah di Komisi III itu nyata-nyata mempertontonkan perilaku yang menentang arus dan kehendak publik yang sudah lama merindukan tegaknya nilai kebenaran dan keadilan. Bagaimana mungkin rakyat bisa percaya kalau mereka yang diharapkan mampu menyuarakan nurani rakyat justru menampilkan sikap kontras dan berlawanan?

Maka, tak perlu heran ketika lembaga wakil rakyat mandul dan tiarap, muncul fenomena parlemen jalanan dan parlemen online sebagai representasi aspirasi rakyat yang mengendap dan tergencet di tengah arogansi kekuasaan. Para penggiat dunia maya, semacam facebooker atau bloger, bisa menjadi sebuah kekuatan alternatif di tengah dinamika demokrasi dengan membangun sebuah “parlemen” online yang memiliki kekuatan dahsyat dalam menyalurkan suara rakyat yang terlibas dan terkebiri dalam ranah kekuasaan. Ketika wakil rakyat yang terhormat gagal mengemban amanat rakyat dan tidak menampakkan nyalinya dalam menegakkan kebenaran, kejujuran, dan keadilan, bisa jadi “parlemen online” –yang dibangun para facebooker dan bloger– lah representasi suara rakyat yang sesungguhnya, meski tak pernah mendapatkan gaji sepeser pun dari negara.

Terkuaknya mafia hukum lewat rekaman di MK, sesungguhnya bisa dijadikan sebagai momentum yang tepat bagi segenap aparat penegak hukum untuk melakukan reformasi dan perubahan mendasar terhadap upaya penegakan hukum yang dinilai masih carut-marut. Jika mau flash-back sejenak, sesungguhnya para aparat penegak hukum bisa meneladani sikap pengorbanan yang nyata-nyata telah dilakukan oleh para pahlawan. Sikap tanpa pamrih demi mewujudkan sebuah negara-bangsa yang besar telah ditunjukkan oleh para pendahulu kita. Semangat seperti inilah yang selama ini dinilai telah hilang. Degradasi moral dianggap telah menyelimuti kinerja aparat penegak hukum sehingga gagal membendung godaan yang dengan sengaja dilakukan oleh para mafioso dengan berbagai macam bentuk suap dan upeti untuk menyelamatkan sang mafioso dari sentuhan hukum.

Roh para pahlawan yang telah tenang dan damai di alamnya sana bisa jadi akan terusik dan tersedu ketika menyaksikan praktik hukum yang hancur di sebuah negeri yang dengan susah-payah telah mereka bangun. Sungguh menyedihkan! ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

216 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Jampi Sayah

Malam Ramadhan yang Syahdu

Malam yang syahdu. Rokib benar-benar total menikmatinya. Lelaki jebolan pondok pesantren salaf
Go to Top