Kang Badrun Juga Puasa

Kategori Jampi Sayah Oleh

becakSebagaimana muslim yang lain, Kang Badrun juga puasa. Lelaki separo baya ini harus menghadapi tiga tantangan sekaligus. Menahan diri dari makan dan minum, memanjakan nafsu, serta tidak iri dengan orang-orang kaya. Baginya, sudah amat bersyukur masih diberi kesempatan untuk menjual tenaganya sebagai penarik becak. Cuaca panas yang seringkali dikutuk oleh pemuja gaya hidup hedonis, justru membawa berkah baginya. Orang-orang berduit biasanya sangat memanjakan fisik. Jalan ratusan meter saja mesti meminta tolong penarik becak seperti dirinya untuk mengantar hingga sampai ke tujuan. Itu artinya, ramadhan telah mendatangkan banyak berkah buat orang-orang yang senasib dengan dirinya.

Sebagai muslim yang taat, Kang Badrun tak lupa menjalankan syariat peribadatan sesuai dengan apa yang selama ini dia peroleh. Bukan dari pondok pesantren, melainkan hanya sebatas dari penuturan ustadz-ustadz kampung atau ketika mendengarkan khotbah Jumat. Kang Badrun sangat mempercayai fatwa mereka.

“Ah, mana mungkin mereka bohong, Kang! Aku sangat percaya omongan mereka!” sahut Kang Badrun ketika Kang Karli, koleganya, mendebatnya.

“Eh, Sampeyan ini nggak pernah lihat tipi, apa? Coba lihat, banyak juga toh kyai yang suka menjual ayat-ayat suci di atas mimbar kampanye? Mereka sangat fasih mengutip ayat suci untuk membenarkan aliran politiknya!” sergah Kang Karli sengit.

“Eit, jangan salah, Kang! Mereka berbuat seperti itu karena tuntutan perut, seperti halnya kita. Tidak mudah untuk bisa seperti mereka. Kalau Sampeyan fasih dan ada yang menawari, pasti sudah ndak mau narik becak lagi, hehehehe …!”

“Sontoloyo!”

“Wah, kok Sampeyan ngomong jorok. Ndak puasa, ya?”

“Itu urusan pribadiku sama Tuhan. Apa saya mesti teriak-teriak kalau sedang puasa? Yang bener saja!”

“Bukan begitu! Kalau Sampeyan ngomong sontoloyo, jelas sudah batal tuh puasanya! Itu yang saya dengar dari para ustadz!”

“Wakakakakaka …. Sampeyan ndak puasa juga?”

“Loh, memangnya kenapa?”

“Berarti dah batal tuh! Kan ngomong jorok juga!”

“Astaghfirullah! Gara-gara Sampeyan, saya ikut kena!”

***

Terik matahari kembali memanggang bumi. Pantulan aspal jalan-jalan protokol seperti membakar wajah Kang Badrun. Entah sudah berapa kali lututnya naik-turun menggenjot becak. Kerongkongannya teramat kering. Berkali-kali, menelan ludah. Dia baru merasakan kesejukan setelah memasuki serambi masjid. Tergesa-gesa dia membasuh mukanya yang dekil dengan air wudlu begitu muazin melafalkan iqomah. Lantas, merapatkan shaf bersama para jamaah.

Rasa kantuk tak dapat ditahan usai Kang Badrun menunaikan shalat zuhur. Syaraf-syaraf kesadarannya mulai melemah hingga akhirnya Kang Badrun terbang ke alam mimpi. Begitu banyak yang dia jumpai. Di layar benaknya muncul berganti-ganti adegan yang aneh! Beberapa wakil rakyat yang lincah berargumen menghilangkan jejak korupnya di pengadilan, pejabat-pejabat berjidat klimis yang suka memanipulasi anggaran, calon-calon bupati dan walikota yang suka menaburkan janji-janji di atas mimbar kampanye, kerumunan rakyat jelata yang antre mengambil dana bantuan langsung tunai (BLT), atau wajah-wajah memelas orang-orang seperti dirinya yang tak terdaftar sebagai penerima dana BLT. Di sudut lain, telinganya samar-samar mendengar rintihan kaum gepeng (gelandangan dan pengemis) yang diciduk petugas Tibum.

Kang Badrun tergeragap ketika tiba-tiba saja ada tangan kokoh yang menggoyang-goyang tubuhnya.

“Antarkan aku sekarang juga!” teriak seorang lelaki muda berjubah rapi. Tubuh Kang Badrun menggeliat. Kedua bola matanya terasa berat untuk dibuka. Namun, lelaki muda berjubah rapi itu seperti memaksanya untuk segera bangkit dari alam mimpinya.

“Antarkan aku sekarang juga!” teriak lelaki itu lebih kencang.

Kang Badrun tidak tahu, dia sedang bermimpi atau menghadapi kenyataan yang sesungguhnya. Seperti dibimbing oleh sesuatu yang gaib, dia terus berjalan menuju becaknya diikuti langkah tegap lelaki muda berjubah rapi itu.

“Antarkan aku ke suatu tempat!”

“Baik!”

***

Sirine tanda buka puasa menyerbu telinga Kang Badrun. Ingin secepatnya dia membasahi kerongkongannya dengan segelas air putih. Namun, dia masih harus setia menunggui lelaki muda berjubah rapi itu hingga selesai urusannya. Dia terpaksa mengurungkan niatnya untuk secepatnya berbuka puasa. Tak jelas, apa yang dilakukan oleh penumpangnya itu. Dia hanya bisa melihat dari kejauhan sebuah hotel mewah yang selama ini belum pernah dilihatnya.

“Eh, antarkan aku ke suatu tempat!” teriak seseorang. Kang Badrun tersentak. Lebih tersentak lagi ketika lelaki itu ternyata sudah berdandan rapi tanpa jubah. Wajah lelaki muda itu tampak sumringah sambil menggandeng seorang perempuan sintal berparfum wangi.

“Sebenarnya aku sedang mimpi atau tidak?” desah Kang Badrun dalam hati. Dia masih belum paham ketika lelaki muda itu terus memaksanya untuk mengantarkan ke suatu tempat. Entah di mana. Kang Badrun sampai lupa kalau seharian dia telah menunaikan ibadah puasa. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

64 Comments

  1. ……saat di Surabaya kemarin, setelah selesai mengajar di sore hari menjelang Magrib, saya berjalan sekitar 100 m dari tempat pelatihan ke Alfamart. Matahari sore sudah mulai hampir terbenam, tapi jalanan semakin rame dan macet, diseling kendaraan beroda dua yang meliuk-liuk agar saat buka puasa sampai di rumah. Walau relatif dekat, pas pulangnya saya gamang, dan di sudut jalan terlihat abang becak…jadi akhirnya saya berdua teman naik becak….
    Mereka adalah orang-orang yang setiap hari puasa, kalau sudah melihat begitu kita sudah selayaknya bersyukur…..

    wah, salut dg Bu Enny yang tdk luntur semangat puasanya meski kesibukan dan kerja terus berdatangan 💡

  2. Mungkin jikalau bermimpi kang Badrun ini lebih besar kemungkinannya untuk “hidup enak” dibandingkan dengan jikalau ia hidup di dunia nyata. Kalau begitu bagaimana kalau kang Badrun diajak ke dunia maya?? ah…. dunia maya kan juga memerlukan “kenikmatan dunia”! Huehehehe….. 😀

    walah, di dunia nyata aja kayaknya kang badrun masih sempoyongan, bung yari, hehehehe 😀

  3. hiek…cermin kehidupan nyata, tapi di kehidupan nyata masih ada juga kan sosok seperti Mbah Badrun? eh, Kang Badrun maksudnya..he..

    kayaknya masih ada, mbak fifi, hehehe 😆

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Jampi Sayah

Malam Ramadhan yang Syahdu

Malam yang syahdu. Rokib benar-benar total menikmatinya. Lelaki jebolan pondok pesantren salaf
Go to Top