Saya baru saja mendapatkan kiriman buku bagus dari Divisi Buku Umum Grafindo Media Pratama, Jakarta, atas kebaikan seorang sahabat saya, Mas Hery Azwan. Judulnya Blind Power: Berdamai dengan Kegelapan. Sebuah buku yang mendedahkan otobiografi sang penulis; Eko Ramaditya Adikara (ERA), seorang pemuda hebat; tunanetra, tapi punya kelebihan di atas rata-rata pemuda seusianya. Sebagai pencinta buku, tentu saja saya sangat senang mendapatkannya. Terima kasih, Mas Azwan. Semoga Allah berkenan memberikan balasan budi baik ini.
Saya belum tuntas membacanya. Mudah-mudahan selama Ramadhan, saya bisa suntuk menikmatinya; ikut menyelusuri jejak-jejak kehidupan seorang ERA yang sempat membuat Indonesia mengaguminya.
Judul Buku: Blind Power: Berdamai dengan Kegelapan
Penulis: Eko Ramaditya Adikara
Penulis Pendamping: Hermawan Aksan
Penyunting: Eko Ramaditya Adikara
Penerbit: Grafidia (PT Grafindo Media Pratama)
Cetakan Pertama: September 2008
Tebal Buku: 373 halaman
Harga: ?
Sebagaimana ditulis oleh Mas Azwan, di sini, di sini, dan di sini, sosok ERA, kalau boleh saya memanggilnya demikian, atau Rama, demikian dia akrab dipanggil, memang sosok inspiratif. Kekurangan dan cacat fisik bukan halangan baginya untuk tak henti-hentinya menaburkan benih-benih kreativitas di atas ladang kehidupan. Melalui homepage pribadinya, kita dibuat berdecak kagum. Selain tampilan tertata rapi, postingan-postingannya juga menarik. Tak menyangka kalau sosok yang berada di balik blog inspiratif itu adalah seorang Rama yang cacat netra. Tak heran jika Kompas pun tertarik untuk memprofilkannya.
Keakrabannya dengan dunia teknologi agaknya membuat kiprah kehidupan ERA makin eksis. Simak saja pengakuan jujurnya berikut ini!
… Karena tahu bahwa hidupku bakal susah banget, makanya aku harus bertahan. Bagaimana caranya? Ya, memanfaatkan kesempatan yang ada. Salah satunya dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi yang 80% jadi penyokong kehidupanku sekarang … (halaman 85)
Begitulah! Kemajuan teknologi agaknya telah membuat sosok ERA makin bermakna di tengah kekurangan fisiknya. Tak perlu heran kalau ke mana pun pergi, ERA selalu tak lupa menenteng handpone dan laptop.
Sosok ERA makin mengagumkan ketika dia dengan amat sadar mengabadikan pengalaman-pengalaman hidupnya ke dalam sebuah buku. Jelas, ini sebuah kesaksian sejarah hidup yang akan terus memvosil dalam ranah sebuah peradaban. Kelak, generasi muda negeri ini akan selalu menyebut nama ERA sebagai pionir, motivator, sekaligus inspirator kehidupan; tak hanya buat mereka yang mengalami keterbatasan fisik, tetapi juga buat mereka yang dianugerahi fisik “sempurna”.
Semoga kehadiran buku yang diterbitkan oleh Grafidia ini bisa memicu “adrenalin” bagi anak-anak negeri ini untuk mengikuti jejak ERA dalam membangkitkan potensi diri menjadi sosok yang berkarakter dan berkepribadian tangguh. Sungguh, buku ini layak dibaca dan dimiliki oleh para pemburu nilai-nilai kehidupan yang lebih terhormat, bermartabat, sekaligus mencerahkan.
Sementara itu, beberapa waktu sebelumnya saya juga mendapatkan kiriman buku dari Pak EWA (Ersis Warmansyah Abbas). Judulnya Menulis dengan Gembira. Dosen Unlam, Banjarmasin ini, sudah sangat dikenal publik blogosphere. Selain dikenal melalui tulisan-tulisannya yang sangat kental dengan upaya menyebarkan “virus” menulis, Pak EWA juga rajin blogwalking. Inilah yang membedakan sosok Pak EWA dengan sesama dosen yang sebagian besar asyik dengan dunianya sendiri; berada di puncak menara gading keilmuan.
Judul Buku: Menulis dengan gembira
Penulis: Ersis Warmansyah Abbas
Editor: Fivin Novidha
Penerbit: Gama Media, Yogyakarta
Cetakan: 2008
Tebal Buku: 245 halaman
Harga: ?
Beragam tulisan yang disajikan dalam buku tersebut tak jauh berbeda dengan ulasan-ulasan Pak EWA dalam blognya. Gaya ucapnya renyah dan gampang dicerna. Muatan isinya juga tak terlalu berat. Persoalan-persoalan yang diungkap seputar kiat-kiat menulis dan bagaimana memotivasi diri untuk menjadi seorang penulis produktif dan kreatif. Di tangan Pak EWA, apa pun bisa ditulis. Sesekali, menyentil “penyakit” malas yang acapkali mendera calon-calon penulis yang sedang mencoba untuk menemukan eksistensi diri.
Jadilah guru menulis untuk masing-masing diri. Artinya, menulis dilakukan tanpa ada intervensi dari mana pun dan atau atas pertimbangan apa pun. Caranya? Dengan menulis. Dengan demikian, sampailah kita kepada intisari sharing menulis, yaitu dengan menulis. Latihan menulis dengan menulis. Menulis, menulis, dan menulis lagi. Yang menulis itu siapa? Ya, siapa lagai kalau bukan yang ingin menulis. Ya, Sampeyan. (halaman 5)
Begitulah gaya Pak EWA. Lincah dan begitu bersemangat meng-“hipnotis” orang lewat jurus-jurus “Menulis Tanpa Berguru”-nya. Yang jelas, buku ini layak dibaca dan dimiliki oleh calon-calon penulis, bahkan juga untuk para penulis yang seringkali terjangkit “penyakit malas” untuk menari-narikan jemari di atas tombol keyboard. Terima kasih, EWA atas sharing ilmunya.
ERA dan Pak EWA memang sosok yang berbeda. Dari sisi usia, mereka memang terpaut jauh. ERA masih terbilang sangat muda, 27 tahun, sedangkan Pak EWA sudah memasuki usia kepala 5. Dari sisi geografis pun tak menunjukkan tanda-tanda etnisitas yang sama. ERA lahir di Semarang, Jawa Tengah, yang sekarang tinggal Pondok Gede, Bekasi, sedangkan Pak EWA lahir di Muara Laboh, Solok Selatan, yang kini menetap di Banjarmasin.
Meski demikian, kedua sosok ini sama-sama seorang bloger yang telah mengakrabi dunia menulis sebagai jalan untuk menuangkan pemikiran-pemikiran kreatif kepada publik. Semoga karya-karya mereka makin eksis dalam menyebarkan “virus” menulis di tengah-tengah publik. ***
Hari ini penularan virus EWA mendapat mangsa lagi. Perlahan tapi pasti mangsanya terus bertambah, 🙂 setelah menyebar via email, blog atau buku.
Hampir 90% mangsanya terjebak untuk ikut2an menulis dan ngeblog dan minta bantuan untuk diajari cara membuat blog gratisan.
wah, semoga saja virus yang tersebar itu mengandung aura yang positif, pak taufik, hehehe ….