Memetakan Kompetensi Siswa SMP dalam UN 2011

(Analisis dan Refleksi Pasca-UN 2011-Bagian II)

Catatan Sawali Tuhusetya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Hasil UN Bahasa Indonesia SMP tahun 2011 masih menyisakan tanda tanya besar. Sebagaimana diketahui, secara nasional rerata nilai Bahasa Indonesia yang selama ini jauh lebih baik daripada rerata nilai mata pelajaran lain yang di-ujinasional-kan, pada tahun 2011 justru menunjukkan hasil sebaliknya. Rerata nilai UN Bahasa Indonesia justru “hancur”. Pada Analisis dan Refleksi Pasca-UN 2011-Bagian I saya sudah mencoba untuk membedah, salah satu penyebab “hancur”-nya nilai UN Bahasa Indonesia SMP tahun 2011 adalah kualitas soal Pilihan Ganda (PG) yang dinilai mengandung kerumitan ganda. Selain harus menganalisis wacana, siswa harus menentukan satu-satunya pilihan jawaban yang benar berdasarkan versi pembuat soal. Kreativitas dan sikap kritis siswa dalam berargumen ”ditabukan”. Siswa mesti tunduk pada otoritas sang pembuat soal yang telah memvonis ”hanya ada satu jawaban yang benar”.

Namun, rasanya tidak adil kalau menjadikan tingkat kualitas soal menjadi satu-satunya penyebab rendahnya nilai UN Bahasa Indonesia. Setidaknya ada dua faktor lain yang ikut memengaruhinya, yakni kompetensi siswa dan suasana psikologis yang berlangsung ketika para siswa menghadapi soal-soal UN.

Kompetensi Siswa SMP
Jika kita mengacu pada lampiran Permendiknas RI Nomor 22, standar kompetensi (SK) mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Dengan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia ini diharapkan: (1) peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri; (2) guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar; (3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya; (4) orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan daan kesastraan di sekolah; (5) sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; dan (6) daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.

Adapun tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar peserta didik memiliki kemampuan: (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis; (2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara; (3) memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial; (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; dan (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek: (1) mendengarkan; (2) berbicara; (3) membaca; dan (4) menulis. Pada akhir pendidikan, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra.

Dengan gambaran kompetensi seperti itu, idealnya peserta didik makin cinta dan bangga terhadap Bahasa Indonesia. Lebih-lebih secara legal-formal, Bahasa Indonesia sudah jelas memiliki fungsi dan kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara (resmi). Ini artinya, tidak ada alasan apa pun yang bisa dijadikan sebagai argumen pembenar untuk memosisikan Bahasa Indonesia pada aras yang rendah. Namun, harus diakui, kenyataan yang terjadi justru menampakkan fenomena sebaliknya. Jika mau jujur, bahasa Indonesia tidak lagi melekat secara emosional dan afektif ke dalam hidup keseharian siswa didik. Bahasa Indonesia baru sebatas ditafsirkan secara kognitif. Itu pun tidak utuh dan lengkap. Tidak heran apabila sebagian besar siswa menganggap bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran yang mudah dan tak perlu dipelajari secara total dan intens sebagaimana ketika mereka belajar bahasa Inggris, Matematika, atau IPA.

Kebijakan “Keblinger”
Yang menyedihkan, muncul kebijakan yang menjadikan RSBI (Rintisan Sekolah “Bertarif” Internasional) sebagai “mesin pembunuh” masa depan bahasa indonesia. Betapa tidak, di tengah gencarnya upaya untuk membumikan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar, secara latah sekolah-sekolah berlabel RSBI itu justru “mengharamkan” penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah. Akibatnya jelas bisa ditebak, para siswa makin asing dengan bahasa nasional dan bahasa negaranya sendiri. Para guru pun berbondong-bondong “dikursuskan” dan “di-Diklat” untuk menghamba pada penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar yang dianggap lebih bergengsi dan menjadi jaminan status internasional yang melekat di dalamnya.

Dalam konteks demikian, saya tidak hendak mengatakan bahwa guru harus alergi dan antipati terhadap bahasa Inggris. Di tengah dinamika keilmuan yang terus berkembang, guru justru dituntut untuk selalu “meng-upgrade” diri menyerap banyak ilmu baru yang sebagian besar masih menggunakan media bahasa Inggris. Namun, sungguh naif kalau pada akhirnya kewajiban menguasai bahasa Inggris justru menjadi “lorong” untuk menghancurkan bahasa nasional dan bahasa negaranya sendiri. Sungguh, ini sebuah kebijakan “keblinger” yang didesain secara sistemik untuk menjauhkan siswa dari akar budaya bangsanya sendiri. Maka, tak usah mencari “kambing hitam” siapa yang berperan besar dalam menghancurkan nilai bahasa Indonesia dalam UN tahun 2011 ini.

Dampak yang muncul akibat upaya sistemik untuk menjauhkan para siswa dari bahasa nasional dan bahasa negaranya melalui kebijakan sekolah berlabel RSBI adalah merebaknya sikap “gegar budaya” yang dialami oleh anak-anak ketika mengerjakan soal UN Bahasa Indonesia. Hilangnya ikatan emosional dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, disadari atau tidak, telah membuat siswa cemas dan kehilangan rasa percaya diri. Mata pelajaran bahasa Indonesia yang selama ini disepelekan dan dianggap amat mudah ternyata benar-benar “mengejutkan”. Mereka “tak berdaya” ketika dihadapkan pada soal-soal yang berkaitan dengan: (1) membaca dan memahami berbagai ragam wacana tulis (artikel, berita, opini/tajuk, tabel, bagan, grafik, peta, denah), berbagai karya sastra berbentuk puisi, cerpen, novel, dan drama; serta (2) menulis karangan nonsastra dengan menggunakan kosakata yang bervariasi dan efektif dalam bentuk buku harian, surat resmi, surat pribadi, pesan singkat, laporan, petunjuk, rangkuman, slogan dan poster, iklan baris, teks pidato, karya ilmiah, dan menyunting serta menulis karya sastra puisi dan drama.

Hasil UN Bahasa Indonesia SMP tahun 2011 yang “amburadul” semacam itu perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pemangku kepentingan pendidikan. Perlu ada upaya simultan dan berkelanjutan untuk memosisikan mata pelajaran bahasa Indonesia pada aras yang lebih terhormat dan bermartabat. Kembalikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah, termasuk di sekolah berlabel RSBI, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945. Yang tidak kalah penting, revitalisasi pembelajaran bahasa Indonesia menjadi hal yang niscaya dilakukan oleh para guru bahasa Indonesia yang berdiri di garda depan dalam upaya menciptakan atmosfer pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dengan cara demikian, secara bertahap mata pelajaran akan makin dicintai dan diakrabi oleh anak-anak bangsa negeri ini; melekat secara emosional dan afektif dalam kepribadian siswa didik. Imbas lebih jauh, para siswa didik tidak lagi gagap ketika harus berkomunikasi dan berinteraksi dengan menggunakan bahasa Indonesia, apalagi kalau hanya sekadar dihadapkan pada soal-soal UN yang berbentuk pilihan ganda. *** (Habis)

70 Comments

  1. kenapa bisa seperti ini akhirnya? hmmm… memang bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran yang termasuk mudah bagi kalangan pelajar. Itu kata mereka, tapi kalau menurut saya ya sudah agak lupa….

  2. Pemetakan dalam pencapaian kompetensi (dalam proses belajat mengajar) memang sangat tepat untuk meraih semua kompetensi bahkan sampai sub-sub kompetensi. Selain itu dengan pemetakan dapat menjadi suatu rute yang harus dilakukan baik guru maupun pelajarnya.

  3. Aku tertarik membahas masalah RSBI itu, Pak Sawali. Kayaknya, kita ini memiliki syndrom “ke-Barat-an”, sehingga mau membuat sebuah sistem berstandar internasional harus selalu dan selalu merujuk Barat. Seharusnya, menurutku, kita hanya perlu membangun kecerdasan lokal yang “membahana”, sehingga bisa dilirik oleh Barat, dan nantinya menjadi panutan bagi sistem pembelajaran Barat.

    Beberapa waktu lalu, saya mendapat hadiah buku dari seorang teman yang berisi upaya membongkar kembali “Laduni Quotient” yang selama ini tumbuh di lingkungan pesantren dan sudah mulai ditinggalkan. http://akhidul.info/laduni-quotient-menguak-sumber-kecerdasan/

    1. setuju banget, mas fahmi. itulah yang selama ini disadari atau tidak telah terabaikan. kita terlalu mengagungkan hal2 yang berbau barat, padahal kita sendiri memiliki banyak kearifan genius lokal yang bisa dibanggakan.

  4. Bahasa Indonesia tuh sangt sulit..sulit nya yaitu dalam suatu bacaan atau wacana ,
    dan jawaban2 PG nya banyak yg hampir sama
    dan bahasa indonesia terlalu banyak teks …sehingga para siswa dan siswi enggan membaca teks tersebut…tuh lah penyebab nya bagi saya sih 😛

    ga tau juga bagi yg lain beranggapan gmn

    1. begitukah? hmm … bisa jadi memang ada benarnya. tapi kalau mereka memiliki budaya literasi yang bagus, kemungkinan besar nilai BI pun tak akan kalah dng nilai mapel yang lain.

    1. bahasa gaul pun ndak masalah digunakan sepanjang sesuai dengan konteksnya. kalau di lingkungan resmi, saat pelajaran di sekolah, misalnya, idealnya mereka juga harus menggunakan bahasa Indonesia baku.

    1. kita menang tak perlu mencari siapa “kambing hitam”-nya, mas, hehe … yang penting sekarang, bagaimana strategi yang tepat digunakan agar mapel BI dicintai dan dibanggakan oleh para peserta didik.

  5. prihatin dengan fakta seperti itu pak, sepertinya sekarang banyak ortu murid dan murid sendiri tidak terlalu mempermasalahkan (meremehkan) bahasa indonesia ini.. mereka malah lebih concern terhadap pelajaran bahasa asing maupun matematika

    padahal bahasa indonesia ini kan wujud identitas bangsa 🙂

    1. itulah yang menyedihkan, mas fajar. pelajaran bahasa asing dan pelajaran yang lain memang harus dipelajari dan dikuasai. namun, kalau harus melupakan bahasa Indonesia, jelas akan makin merepotkan.

  6. Kejadian serupa seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia. pada Ujian akhir dingin musim kemarin pemerintah Inggris juga terkejut dengan para siswa sekolah dasar yang mendapatkan rata-ratanilai rendah untuk mata pelajaran bahasa inggris.

    🙂

    permisi berbagi kabar baik, kak…

    Urgently Required
    Easy Speak, A fast-growing National English Language Consultant, is hunting for
    English Tutors
    Qualifications:
    1) Competent, Experienced, or Fresh Graduates
    2) Proficient in English both spoken & written
    3) Friendly, Communicative, & Creative
    4) Available for being placed in one of the following cities:
    a. Batam 0778-460785
    b. Pekanbaru 0761-7641321
    c. Balikpapan 0542-737537
    d. Palembang 0711-350788
    e. Samarinda 0541-273163
    f. Denpasar 0361-422335
    g. Makassar 0411-451510
    h. Semarang 024-3562949
    i. Bandung 022-76660044
    j. Banjarmasin 0511-7069699

    If you meet the qualifications above, please send your resume to: easyspeak.recruiting@gmail.com.
    Or contact our branch offices mentioned above to confirm prior to sending your resume.
    Deadline: July 30, 2011.
    Visit http://www.easyspeak.co.id for further information.
    Make sure that you won’t miss this golden opportunity as the day after tomorrow might be too late for you to compete for this position

  7. Ooops … salah klik, maap Mas Sawali,

    Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional karena itu sebaiknya sekolah dan para guru bahasa Indonesia disana mengajari mereka secara lebih baik.

    Terima kasih,
    Harry Sachrip

  8. Wah udah lama saya tidak memahami dunia pendidikan…lebih asik cari uang di jalan jalan dan di toko toko sebagai salesman.
    Sungguh sayang kalau Nilai UN Bahasa Indonesia kurang baik ini perlu perhatian Serius

  9. Bahasa Indonesia memang bagai pelajaran misteri, soalnya kadang membingungkan, tapi kalau siswa benar-benar mendalami dasar-dasar Bahasa Indonesia isnya Allah semuanya lancar..

  10. mmm, menarik pak jika dicermati lebih lanjut …
    bhs indonesia menjdi terpinggirkan …
    andai saja 200jt orang lebih, penduduk indonesia itu aktif berbahasa indonesia, bisa jadi mungkin bahasa ini menjadi bahasa yang mendunia … 🙂

  11. ini perlu diperhatikan oleh pembuat soal UN BI, kompetensi kebahasaan tidak bisa sepenuhnya dapat diukur dengan soal pilihan ganda… solusinya… “gak usah pikir ujian nasional…toh nanti kalian dibantu guru.. yang penting kalian sekarang bisa berkarya dan bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar”,,itu yang saya sampaikan kepada siswa saya kelas XI, selanjutnya “nanti kelas XII kalian khusus drill soal ujian, sekarang tunjukkan kalian bisa berbahasa”

    1. itulah kenyataan yang menyedihkan, kang bud. anak2 justru sering menjadi korban dari sebuah sistem pendidikan yang tdk berpihak terhadap pengembangan kompetensi keberbahasaan siswa.

  12. setuju pak, jadi inget dulu masuk kelas RSBI bahasa inggris nomer 1, tapi bahasa Indonesia jadi bahasa yang “haram” digunakan. Hanya untuk melancarkan percakapan bahasa inggris dalam kelas. Jadi aneh sendiri. hehe.

    1. situasi seperti benar2 menjadi sebuah ironi di negeri yang telah memiliki bahasa nasional dan bahasa resmi yang seharusnya wajib dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah.

  13. Nah begini kan jadinya. Kalau nilai bahasa sudah terperosok maka akan banyak alasan menyertai. Bahasa Inggris itu memang wajib karena dari sana kita berkiblat, tapi bukan menelan bahasa bakunya yang terkadang siswa sendiri sudah terbiasa dengan kata2 tsb.
    Terus, kalau pengajar tak memahami bahasa Inggris, apa mutu pendidikan kita itu2 saja? Pastinya harus ada perubahan 😀

    1. bahasa inggris memang tidak “diharamkan”, bahkan wajib dipelajari dan dikuasai. yang disayangkan kalau bahasa asing (termasuk bahasa inggris) menjadi bahasa pengantar di sekolah.

  14. nah dari sekarang mari kita persiapkan baik tenaga pendidik maupun yang di didik agar serius dalam menjalankan semua tugasnya, yaitu belajar dan mengajar.
    agar sistem pendidikan di indonesia semakin bagus dan berkembang.

  15. wah iya tah mas, nilai UN B.Indonesia acak acakan tahun ini???

    mungkin efek dari pembelajaran bahasan asing sejak dini sudah merasuk nih (bahasa asing selain bahasa ibu/daerah)… soale dimana mana, anak2x malah banyak taw arti “efektif dan efisien” daripada “sangkil dan mangkus” (liat kamus besar B.I deh)..

    suramm suramm…… B.Inggris jago, Bahasa sendiri ancur.. lama lama kek orang malaysia or singapura… melayu bukan, english bukan.. macam alay aja campur2x…

  16. Pak saya mau tanya penggunaan sapaan “Selamat Pagi”, saya cari batasan yang eksak tidak menemukan, kalau menurut bahasa inggris ( pada buku kursus bahasa inggirs radio australia), maka batasan gut moning itu pukul 12.00 am. sedangakan ketika saya cari di kbbi batsan pagi itu hanya disebutkan menjelang siang.. adakah dasar yang nyata menyebutkan angka penunjuk waktu sebagai acuan

  17. Tepat Pak Sawali, kuncinya pada lokal genius. Sebab Kecerdasan Paripurna bisa dicapai dengan mensinergikan kecerdasan pikiran (IQ, EQ dan SQ) dan kecerdasan hati (Aql, Qalb, Shadr, Fuad, Bashirah dan Lubb). Jika generasi bangsa mau melirik LQ, tentu akan melahirkan generasi yang cerdasa intelektual, kreatif, inovatif, serta bermoral, beretika dan berakhlak mulia. Uraian ini aku peroleh dari buku “Laduni Quotient; Model Kecerdasan Masa Depan.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *