Menyoal Mutu Soal UN dan Rendahnya Peringkat PISA

Hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA) 2012  menunjukkan sistem pendidikan Indonesia masih sangat jeblok. Dari 65 negara anggota PISA, pendidikan Indonesia berada di bawah peringkat 64.  Tingkat membaca pelajar Indonesia menempati urutan ke-61 dari 65 negara anggota PISA. Indonesia hanya mengumpulkan skor membaca 396 poin. Tingkat membaca penduduk Indonesia tertinggal dari negara tetangga, Thailand (50) dan Malaysia (52).

Untuk literasi matematika, pelajar Indonesia berada di peringkat 64 dengan skor 375. Adapun skor literasi sains berada di peringkat 64 dengan skor 382. Pada tahun ini, skor dan posisi tertinggi diraih Shanghai-China, Singapura, dan Hong Kong. Sementara tiga tempat paling bawah diraih Qatar, Indonesia, Peru. PISA merupakan studi internasional kemampuan literasi membaca, matematika, dan sains yang diselenggarakan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk siswa usia 15 tahun. Indonesia sendiri sudah mengikuti studi ini sejak tahun 2000. PISA digunakan untuk mengukur kemampuan murid yang nantinya akan dijadikan dasar untuk pengambilan kebijakan pendidikan nasional. (Dikutip dari www.metrotvnews.com).

Sungguh memprihatinkan. Sudah 68 tahun merdeka, tetapi negeri besar ini masih belum juga sanggup keluar dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan. Di aras global, kemampuan literasi generasi masa depan negeri ini masih harus membuat sesak napas. Dari 65 negara anggota PISA, Indonesia berada peringkat 61 (membaca), 64 (Matematika), dan 64 (Sains).

Berikut adalah daftar peringkat negara anggota PISA berdasarkan hasil studi Tahun 2012.

Matematika

No.

Negara

Rerata Skor

OECD average

494

1

Shanghai-China

613

2

Singapore

573

3

Hong Kong-China

561

4

Chinese Taipei

560

5

Korea

554

6

Macao-China

538

7

Japan

536

8

Liechtenstein

535

9

Switzerland

531

10

Netherlands

523

11

Estonia

521

12

Finland

519

13

Canada

518

14

Poland

518

15

Belgium

515

16

Germany

514

17

Viet Nam

511

18

Austria

506

19

Australia

504

20

Ireland

501

21

Slovenia

501

22

Denmark

500

23

New Zealand

500

24

Czech Republic

499

25

France

495

26

United Kingdom

494

27

Iceland

493

28

Latvia

491

29

Luxembourg

490

30

Norway

489

31

Portugal

487

32

Italy

485

33

Spain

484

34

Russian Federation

482

35

Slovak Republic

482

36

United States

481

37

Lithuania

479

38

Sweden

478

39

Hungary

477

40

Croatia

471

41

Israel

466

42

Greece

453

43

Serbia

449

44

Turkey

448

45

Romania

445

46

Cyprus1, 2

440

47

Bulgaria

439

48

United Arab Emirates

434

49

Kazakhstan

432

50

Thailand

427

51

Chile

423

52

Malaysia

421

53

Mexico

413

54

Montenegro

410

55

Uruguay

409

56

Costa Rica

407

57

Albania

394

58

Brazil

391

59

Argentina

388

60

Tunisia

388

61

Jordan

386

62

Colombia

376

63

Qatar

376

64

Indonesia

375

65

Peru

368

 

Membaca

No.

Negara

Rerata Skor

OECD average

496

1

Shanghai-China

570

2

Hong Kong-China

545

3

Singapore

542

4

Japan

538

5

Korea

536

6

Finland

524

7

Chinese Taipei

523

8

Canada

523

9

Ireland

523

10

Poland

518

11

Liechtenstein

516

12

Estonia

516

13

Australia

512

14

New Zealand

512

15

Netherlands

511

16

Macao-China

509

17

Switzerland

509

18

Belgium

509

19

Germany

508

20

Viet Nam

508

21

France

505

22

Norway

504

23

United Kingdom

499

24

United States

498

25

Denmark

496

26

Czech Republic

493

27

Austria

490

28

Italy

490

29

Latvia

489

30

Luxembourg

488

31

Portugal

488

32

Spain

488

33

Hungary

488

34

Israel

486

35

Croatia

485

36

Iceland

483

37

Sweden

483

38

Slovenia

481

39

Lithuania

477

40

Greece

477

41

Russian Federation

475

42

Turkey

475

43

Slovak Republic

463

44

Cyprus1, 2

449

45

Serbia

446

46

United Arab Emirates

442

47

Thailand

441

48

Chile

441

49

Costa Rica

441

50

Romania

438

51

Bulgaria

436

52

Mexico

424

53

Montenegro

422

54

Uruguay

411

55

Brazil

410

56

Tunisia

404

57

Colombia

403

58

Jordan

399

59

Malaysia

398

60

Argentina

396

61

Indonesia

396

62

Albania

394

63

Kazakhstan

393

64

Qatar

388

65

Peru

384

 

Sains:

No.

Negara

Rerata Skor

OECD average

501

1

Shanghai-China

580

2

Hong Kong-China

555

3

Singapore

551

4

Japan

547

5

Finland

545

6

Estonia

541

7

Korea

538

8

Viet Nam

528

9

Poland

526

10

Liechtenstein

525

11

Canada

525

12

Germany

524

13

Chinese Taipei

523

14

Netherlands

522

15

Ireland

522

16

Macao-China

521

17

Australia

521

18

New Zealand

516

19

Switzerland

515

20

Slovenia

514

21

United Kingdom

514

22

Czech Republic

508

23

Austria

506

24

Belgium

505

25

Latvia

502

26

France

499

27

Denmark

498

28

United States

497

29

Spain

496

30

Lithuania

496

31

Norway

495

32

Italy

494

33

Hungary

494

34

Luxembourg

491

35

Croatia

491

36

Portugal

489

37

Russian Federation

486

38

Sweden

485

39

Iceland

478

40

Slovak Republic

471

41

Israel

470

42

Greece

467

43

Turkey

463

44

United Arab Emirates

448

45

Bulgaria

446

46

Serbia

445

47

Chile

445

48

Thailand

444

49

Romania

439

50

Cyprus1, 2

438

51

Costa Rica

429

52

Kazakhstan

425

53

Malaysia

420

54

Uruguay

416

55

Mexico

415

56

Montenegro

410

57

Jordan

409

58

Argentina

406

59

Brazil

405

60

Colombia

399

61

Tunisia

398

62

Albania

397

63

Qatar

384

64

Indonesia

382

65

Peru

373

 

(Diolah dari www.oecd.org)

Pertanyaan yang muncul, ada apa dengan dunia pendidikan kita sehingga gagal melahirkan generasi yang memadai tingkat literasinya, terutama pada ranah membaca, Matematika, dan Sains?

Rendahnya peringkat Indonesia di antara negara-negara anggota PISA seharusnya makin menguatkan tekad dan komitmen para pengambil kebijakan untuk mendesain sistem pendidikan yang benar-benar visioner dan sebisa mungkin steril dari godaan politik. Namun, diakui atau tidak, pendidikan di negeri belum menjadi sebuah dunia otonom yang bebas untuk menentukan nasibnya sendiri. Gurita politik telah demikian kuat membelit dan menelikung otak para pengambil kebijakan. Ujian Nasional (UN) dan kurikulum pendidikan kita, misalnya, masih sangat kuat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan politik yang beraroma fasis.

Sistem UN yang selama ini mendapat sorotan dan kritik tajam dari banyak kalangan (nyaris) tak pernah berubah. Dari tahun ke tahun, UN menjadi sebuah perhelatan rutin tahunan yang identik dengan proyek berbiaya tinggi akibat kuatnya pengaruh dan intervensi penguasa. Hasil UN dijadikan sebagai satu-satunya penentu dan tolok ukur mutu pendidikan dengan kualitas soal yang diragukan kesahihannya. Sekolah yang hasil rerata UN-nya tinggi dinilai sebagai sekolah yang berhasil. Sebaliknya, sekolah yang hasil rerata UN-nya rendah dinilai sebagai sekolah gagal.

Ironisnya, sekolah-sekolah yang nilai UN-nya tinggi dianggap telah mampu mengangkat citra dan marwah daerah sehingga layak diberikan apresiasi dan subsidi peningkatan mutu. Sedangkan, sekolah yang nilai UN-nya rendah dianggap gagal mengangkat citra dan marwah daerah sehingga cenderung diabaikan dan sama sekali tidak dilirik. Ini artinya, angka-angka UN telah ditafsirkan sebagai media pencitraan yang amat kuat aroma politiknya. Imbasnya, nilai kejujuran yang menjadi elemen penting dalam kegiatan evaluasi makin terpinggirkan. Dalam situasi seperti itu, sangat beralasan apabila plagiarisme dan menyontek berjamaah menjadi fenomena rutin yang terjadi setiap tahun.

Akibat kebijakan politik lokal yang tidak berpihak terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan terhadap sekolah-sekolah yang dinilai gagal tadi, dinamika pendidikan mengalami stagnasi dan terus mengalami pembusukan dari tahun ke tahun. Tidak berlebihan apabila mutu pendidikan kita “jalan di tempat”, bahkan kian terpuruk.

Yang lebih memprihatinkan, soal-soal UN yang seharusnya dijadikan sebagai alat yang penting dan strategis untuk menguji kompetensi siswa didik dalam bernalar berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan secara komprehensif, hanya  menampilkan soal-soal bermutu rendah dengan menggunakan soal pilihan ganda yang “gagal” menguji kemampuan bernalar dan berpikir kritis peserta didik.

Coba kita bandingkan contoh soal UN Bahasa Indonesia SMP dengan soal membaca model PISA berikut ini!

Soal UN Tahun 2012:

Bacalah kutipan berikut kemudian kerjakan soal nomor 2 dan 3!

Teks berita I
Selasa, (26/10) hujan deras mengakibatkan sejumlah perumahan di kota Tangerang terendam banjir. Banjir itu ketinggiannya bervariasi, mulai 20 cm hingga 1,5 meter. Jalan Raya Hasyim Ashari, Ciledug yang merupakan jalan penghubung Tangerang dengan Jakarta, akibat banjir terputus sejak dini hari kemarin.

Teks berita II
Banjir selain memutuskan arus transportasi juga merendam ratusan rumah di Kompleks Ciledug Indah I dan Ciledug Indah II. Sejak semalam, turun hujan mengakibatkan Kali Angke meluap. Air luapan itu kemudian menyebabkan banjir di Ciledug, Tangerang.

2. Kesamaan informasi teks berita tersebut adalah ….
A. waktu banjir
B. korban banjir
C. wilayah banjir
D. penyebab banjir

3. Perbedaan penyajian kutipan kedua berita tersebut adalah ….
A. Teks berita I diawali dengan kapan teks berita II diawali apa
B. Teks berita I diawali dengan apa teks berita II diawali bagaimana
C. Teks berita I diawali dengan bagaimana teks berita II diawali di mana
D. Teks berita I diawali dengan di mana teks berita II diawali mengapa

Soal PISA (Membaca):

MACONDO
Karena terpesona oleh begitu banyak penemuan yang baru dan hebat, penduduk Macondo tidak tahu awal kehebatan itu. Mereka terjaga sepanjang malam memandangi bola-bola lampu redup yang diberi daya dari mesin yang dibawa Aureliano Triste dengan kereta api pada kedatangannya yang kedua kalinya. Mereka harus berupaya dan itu memakan waktu yang agak lama untuk dapat membiasakan diri dengan bunyi tum-tum yang menawan. Mereka menjadi kesal pada bayang-bayang hidup yang diproyeksikan dalam gedung bioskop dengan jendela karcis berbentuk kepala singa oleh Don Bruno Crespi, seorang saudagar yang kaya raya, Penyebab kekesalan ini adalah karena dalam sebuah film seorang tokoh yang sudah meninggal dan dikuburkan serta kemalangannya juga ditangisi oleh mereka dapat hidup kembali dan berubah menjadi seorang Arab dalam film yang lain. Para penonton yang telah membayar dua centavos untuk membantu meringankan kesulitan para pelaku tidak mau menerima tipuan yang keterlaluan seperti itu dan mereka merusak tempat duduk. Atas desakan Don Bruno Crespi, walikota mengeluarkan pernyataan yang menjelaskan bahwa bioskop adalah mesin ilusi yang tidak perlu ditanggapi dengan semangat yang meluap-luap oleh penontonnya. Penjelasan demikian menyebabkan banyak penonton merasa bahwa mereka menjadi korban penipuan gaya baru yang murahan dan memutuskan untuk tidak akan menonton lagi. Mereka beranggapan bahwa mereka sendiri mempunyai cukup banyak masalah dan tidak perlu ikut meratapi kemalangan buatan yang dialami para makhluk khayalan.

Jawablah pertanyaan berikut berdasarkan bacaan tersebut!

MACONDO
Bagian mana dari film yang menyebabkan penduduk Macondo menjadi marah?
…………………………………………………………………….
…………………………………………………………………….
…………………………………………………………………….

MACONDO

Pada akhir bacaan, mengapa orang Macondo memutuskan untuk tidak mau menonton?
A. Mereka menginginkan hiburan untuk mengurangi penderitaan tapi ternyata filmnya realistis dan menyedihkan.
B. Mereka tidak mampu membayar harga karcis.
C. Mereka ingin menyimpan perasaan untuk menghadapi kenyataan hidup.
D. Mereka mencari keterlibatan emosional tapi ternyata film itu menjemukan, tidak meyakinkan dan bermutu rendah.

Jika kita bandingkan kualitas kedua model soal tersebut, soal UN (nyaris) tidak memberikan peluang kepada peserta didik untuk berpikir kritis secara mutidimensional, sedangkan soal Model PISA memberikan peluang kepada peserta didik untuk bernalar, berpikir kritis, dan menghidupkan dunia imajinasinya. Dari sisi ini, agaknya kemampuan bernalar dan berpikir kritis generasi masa depan negeri ini tidak akan pernah berkembang dengan baik apabila UN hanya menampilkan soal-soal bermutu rendah dengan trik menjawab soal secara spekulatif dan instan. Jika mutu soal UN semacam itu terus dipertahankan, bukan mustahil kompetensi generasi masa depan negeri ini akan makin jauh tertinggal dan tersalip dalam lalu-lintas peradaban global.

Rendahnya mutu soal UN diperparah dengan kurikulum pendidikan kita yang lebih mengutamakan aras konsep dan tekstual tanpa diimbangi dengan upaya pemberdayaan guru secara intensif. Guru yang berdiri di garda terdepan dalam proses pembelajaran yang seharusnya diposisikan sebagai prioritas utama dalam mengimplementasikan kurikulum pendidikan, justru hanya diposisikan sebagai pelengkap penderita. Pelatihan yang diikuti berlangsung instan; hanya didesain untuk menjadi “robot” dan tukang ajar yang gagal memahami substansi dan “roh” kurikulum yang sesungguhnya. ***

Yang ingin mengunduh contoh soal Membaca, Matematika, dan Sains model PISA, silakan unduh melalui tautan berikut:
1. Soal Membaca
2. Soal Matematika
3. Soal Sains

12 Comments

  1. Salam Kenal Pak Sawali
    Masyaa Allah Blog Pak Sawali The Best of Teacher’s Blogger !!!
    Pak Sawali, saya juga guru bahasa Indonesia. Tertarik membuat membuat blog Bahasa Indonesia. ….Mohon Ilmu dan pengalaman ditransfer ke kami ya Pak !!!
    Kami sangat tertarik dengan themes web bapak. Kalau boleh, kami minta themes blog bapak. Jika berkenan bisa dikirinkan lewat email
    Martur Suwun Pak!!!

    1. Salam kenal juga Pak Tri Haryanto. Terima kasih atas kunjungan dan apresiasinya, tetapi jangan juga berlebihan menilai blog saya, Pak, biasa saja kok, hehe …. Saya senang dan mengapresiasi keinginan Pak Tri untuk membuat blog Bahasa Indonesia. Semoga bisa segera terwujud. Melalui blog kita bisa terus membangun semangat berbagi dan bersilaturahmi. Tentang theme, saya tidak keberatan, bahkan sangat senang jika mau menggunakannya. Persoalannya, apakah theme ini nanti cocok buat blog Bapak atau tidak, sebab sudah terlalu banyak kode html dan css-nya yang sudah saya ganti.

  2. Semoga tahun 2013 gak separah itu ya pak. Mengingat jumlah blogger di indonesia ini sebenarnya banyak loh. Tapi untuk kalangan pelajar mungkin masih dikit atau bagemana ya. Aduuuuh…

    Semoga tahun 2013 naik peringkat atas deh yaa..

  3. Saya merasakan sekali kemapuan membaca yang sangat rendah dari anak didik saya. Terutama di kelas atas yang sudah ‘terlanjur’. Pemahaman mereka terhadap bacaan termasuk kalimat pertanyaan rendah sekali.

    Hal ini tentu berimbas pada hampir semua pelajaran karena kemampuan nalar dan pemahaman konteks bacaan rendah.
    Menurut bapak, bagaimana solusinya mereka yang sudah seperti ini pak?

    1. Itu dia, Bang Said. Rendahnya tingkat literasi para pelajar agaknya hapir merata di semua daerah. Saya juga merasakan hal yang sama di tempat sayang mengajar. Mungkin promosi perpustakaan perlu terus gencar dilakukan agar anak2 mampu merasakan manfaat perpusatakaan yang seseungguhnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *