Lanjutan Ending Cerpen dan Hadiah Kumcer

Logo Header Blog Sedang

……

Senandung pemujaan rembulan yang perih itu benar-benar menghanyutkan mimpi para penduduk kampung ketika malam mencapai puncak kematangan yang sempurna. Oleh angin yang bertiup dari lembah kematian, suara senandung yang perih itu seperti diterbangkan menuju ke pintu langit hingga membahana ke seluruh penjuru kampung dengan nada yang lembut, tetapi menyayat-nyayat rongga telinga. Senandung koor pemujaan rembulan yang perih itu pun seperti hendak menjebol dinding batin dan jiwa para penduduk.

Setiap malam, jumlah perempuan bergaun putih yang menengadahkan wajahnya ke langit itu makin bertambah. Para penduduk makin tersentak ketika pada malam berikutnya ribuan burung gagak bertengger di atas bubungan atap dengan meninggalkan kotoran busuk yang menusuk hidung. Setiap malam, jumlah burung gagak itu kian bertambah hingga membuat beberapa rumah penduduk tak sanggup lagi menampung beban. Sudah belasan rumah penduduk yang roboh; rata dengan tanah.

Atas kesepakatan dengan tetua kampung, para penduduk mengungsi ke tempat lain. Mereka tak sanggup melawan ribuan burung gagak yang datang dan pergi secara tak terduga pada setiap malam. Tidak jelas, ke mana mereka harus tinggal. Hampir setiap hari, terlihat rombongan penduduk membawa barang-barang dan ternak piaraan melintasi jalan-jalan kampung yang sunyi, dingin, dan berkabut. Entah sampai kapan. ***

kumcerPernah membaca ending cerpen semacam itu? Ya, ya, ya! Ini merupakan bagian dari akhir cerpen “Perempuan Bergaun Putih”; cerpen yang sekaligus menjadi tajuk Kumcer yang diterbitkan oleh bukupop dan Maharini Press, Jakarta, 2008. Cerpen selengkapnya silakan baca di sini! Sebenarnya ending tersebut masih bisa dilanjutkan hingga menjadi sebuah rangkaian cerita yang panjang. Bahkan, kalau mau, bisa dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah novel.

Bagaimanakah nasib para penduduk yang berbondong-bondong melakukan eksodus lantaran tak kuasa lagi menghadapi serbuan ribuan burung gagak yang datang dan pergi secara tak terduga? Di manakah mereka mesti tinggal? Adakah trauma yang tersisa setelah mereka hijrah ke daerah hunian yang baru? Bagaimanakah kondisi kampung terpencil setelah para penduduk melakukan hijrah massal? Bagaimana pula dengan keberadaan perempuan bergaun putih yang misterius itu?

Saya yakin Sampeyan memiliki daya imajinasi yang lebih liar untuk melanjutkan ending cerpen ini. Jujur saja, imajinasi saya sudah mentok sehingga tak sanggup lagi mengembangkannya menjadi sebuah cerpen yang menghanyutkan, apalagi menjadi sebuah novel.

Berkaitan dengan itu, tolong saya berikan tambahan ending sebuah paragraf saja, lalu tulis di kolom komentar tulisan ini! Pengembangan ending menjadi hak “prerogatif” Sampeyan sepenuhnya. Saya akan sangat mengapresiasinya. Akan saya pilih 10 paragraf terbaik menurut penilaian saya pribadi dan akan saya berikan hadiah Kumcer langsung ke alamat Sampeyan. Oleh karena itu, cantumkan juga alamat rumah secara lengkap untuk memudahkan pengiriman.

Hadiah akan saya berikan kepada teman-teman yang kebetulan belum memiliki Kumcer itu. Yang sudah memiliki, silakan berkomentar, tetapi tidak perlu lagi mencantumkan alamat rumah. Terima kasih atas apresiasi dan partisipasi teman-teman.

Salam budaya,

Sawali Tuhusetya

update:
Ketentuan ini berlaku hingga Selasa, 9 September 2008. Komentar yang masuk setelah tanggal tersebut akan diperlakukan sebagai komentar biasa yang tidak ada hubungannya dengan hadiah Kumcer. Terima kasih!

No Comments

  1. PERTAMAX (moga2 pertama negh)..

    wah..mas sawali, saya ngak ngerti2 buat cerpen…
    mungkin rekan yang lain yang bisa ikutan lombanya 😉

    wew…. iya betul vertamax, mas okta, hehehe 😆 walah, mas okta sukanya merendahm haks 💡

  2. Nah-nah-nah, ini menarik. Ini bisa dikembangkan jadi lebih luas lagi. Mesti mbaca secara keseluruhan dulu kayaknya. Atau mungkin dari paragraf itu saja. (bukan karena belum punya bukunya, hehehe).

    Nah, Pak Sawali, biar kupindah ke word saja dulu.
    Sek, enteni yo…

    hehehehe 💡 silakan mas daniel 🙄

  3. Pak Sawali, bagaimana kalau ini …
    ………………
    Tak sanggup lagi mereka menghitung hari yang penuh dengan ketidakpastian itu. Kesaksian tanah merah jalan-jalan kampung tak kuasa membendung peluh yang mencucur hingga kelopak mata yang semakin kesat. Apa lagi yang mereka punyai sekarang? Hanya beberapa barang dan sedikit ternak piaraan yang masih tersisa. Sudah berhari-hari bahkan berminggu-minggu suasana itu melengkapi kekalutan mereka. Tak kuasa seandainya teringat ribuan burung gagak yang setiap malamnya terus bertambah dengan menyebar kotoran busuk dan bau menyengat. Mungkinkah ini akhir dari kehidupan mereka untuk menghapuskan segala harapannya. Entah siapa yang harus mereka salahkan, mereka tak tahu siapa sejumlah perempuan bergaun putih itu dan mengapa tiba-tiba mahluk bersayap tak bersahabat itu hadir membangun lembah kematian. Hari demi hari semakin mencekam, kini ratusan rumah penduduk kembali rata ditelan tanah. Jalan hidup yang semakin terjal menusuk, merobek jiwa yang kian menghampa. ***

    (Pak Sawali, mohon maaf saya mencoba mengapresiasi ending ceritanya saja, belum sempat baca cerita utuhnya. Satu paragraf ini hanya media saya saja untuk bersilaturahmi dengan pak Li. Jika perlu alamat sbb: atep t hadiwa, Dusun Pamijahan Rt.04 Rw. 11, Desa Medanglayang, Kec. Panumbangan, Kab. Ciamis, Jawa Barat. Pos. 46263 Telepun 08122094637. Terima kasih pak Li, menyediakan kesempatan untuk berimajinasi. Rencananya saya memenuhi hari-hari Ramadhan di halaman http://atepjs.wordpress.com/puisi-ramadhan-1429-h/, Insya Allah, mohon apresiasinya ya…)

    wah, makasih banget, kang atep. sungguh menarik!

  4. Tak tau kenapa, saya lebih suka “Endang” ketimbang “Ending”, saya juga lebih memilih “Celpen” (Celana Pendek) daripada “Cerpen”. Apalagi ketika Perempuan Bergaun Putih sudah Pak Sawali ambil, ya saya ambil Perempuan yang Berkulit Putih rah…
    Mungkin karena saya masih termasuk “jahiliyah” dalam hal sastra.
    Tiap paragraf yang Pak Sawali susun membuat saya “merinding disco”.
    Kalau Google baca, pasti sudah direlease jadi “Google Adsense”, wong nyatanya yang ngeklick jentrek2…

    [Catatan Sawali Tuhusetya – Ads by Google]
    sementara saya yang nulisi…

    wew… kok dikaitkan dengan google adsense toh, pak. apa hubungannya, hehehehe 😆

  5. Sa’at mereka terlelap, mimpi buruk selalu menghantui, jeritan bayi dan anak kecil semakin memekakkan malam yang menakutkan, ibu tak mampu lagi menghentikan tangisan anak-anaknya, lelah, badan menggigil karena terlalu sakit menahan sendi-sendi yang telah cukup lama tak teristirahatkan, hanya barisan pohon kering yang bisa mereka dapat untuk berteduh, untuk menahan panasnya terik matahari, untuk sekedar melelapkan mata dimalam hari, semua orang tak lagi memendam harapan, pasrah karena tak ada lagi yang bisa mereka perbuat, namun satu keajaiban datang seketika, menghampiri seorang pemuda yang selama ini terasingkan, dia bukan pemuja rembulan, tapi dia satu-satunya orang yang membantah pemujaan itu, dia hanya percaya akan ke-ESA-an tuhan yang memberinya kehidupan, saat semua penduduk meninggalkan kampungnya, dia memilih tetap tinggal dan berharap bisa bertemu langsung dengan si wanita bergaun putih, malam berganti malam namun wanita itu tak juga muncul dihadapannya, hanya serbuan burung gagak yang semakin meleburkan kampung dan membuat suasana seakan berada di neraka, penantian sang pemuda akhirnya terpecahkan, sa’at satu malam si wanita bergaun putih itu hadir dihadapannya, terpesona!! bukan sang pemuda yang terpesona, namun si wanita itu yang merasa kagum akan sang pemuda, entah sebab apa si wanita itu tak menghujam kebencian akan si pemuda, dia bertanya :
    si-wanita : “sedang apa kau disini?”
    sang-pemuda : “aku sedang menunggumu”
    si-wanita : “untuk apa?”
    sang-pemuda : “untuk satu perminta’an”
    si-wanita : “permintaan apa? bukannya semua orang telah pergi meninggalkan kampung ini! lalu apa yang kamu inginkan?”
    sang-pemuda : “pulangkan burung gagakmu! atau aku yang akan menyingkirkanmu!!”
    seketika gemetar tubuh si wanita itu setelah mendengar ucapan sang pemuda, dan tak bisa lagi berucap kata, dengan suara lirih wanita itu menjawab : “baiklah!!!” dan wanita itu langsung terbang melenyap, jeritan sang wanita memecahkan keheningan malam dan menggiring ribuan burung gagak pergi meninggalkan kampung, tak satupun yang tersisa dan segera kabar ini tersampaikan kepada penduduk kampung yang ada diseberang hunian.. Wassalam!!..

    heee, 😀 nyambung gak yah ceritanya!!!

    wah, namanya imajinasi itu ndak hubungannya dg sambung-menyambung, mas yhadee. imajinasi mas yhadee bagus juga nih! 🙄

  6. Saya termasuk awam dalam hal sastra pak saya berharap kumcer tersebut nantinya bisa menjadi sebuah novel, semoga

    wah, belum juga bisa memastikan, pak sholeh, perlu dikembangkan menjadi novek atau tidak? haks :oke

  7. kerenn… pak sawali, saya mulai “kecanduan” untuk membuka blog njenengan, karena banyak cerpen2 nya hehe.. asikk n seruu..

    klo ga buka sehari kok rasanya kepala ini cekot-cekot gituhh..

    salam pecinta budaya,

    walah, jadi ge-er banget nih, mbak dhetea, hehehe 😆 biasa aja kok. makasih apresiasinya 💡

  8. Walau endingnya dicari yang “liar” tetapi kan harus nyambung juga kan pak?? Kalau liar tapi nggak nyambung ya sama juga oblong dong huehehehe…..

    Tapi biasanya cerpen atau apapun yang dibuat oleh dua orang atau lebih apalagi secara terpisah, biasanya “aroma”-nya agak berbeda dan seolah2 terkadang kurang nyambung getuh… huehehe……

    kalau digabungkan dan pas, malah bisa jadi cerpen kolaborasi yang bagus, bung yari, hehehehe 💡

  9. ——————————-
    Malam masih pekat, namun tetes embun sudah mulai diturunkan dari langit. Udara berhembus bertambah dingin, didalam rumahnya yang sangat sederhana Kang Badrun dan Yu Darmi terbangun dari tidurnya.
    ” Tidakkah kau perhatikan, atap kita tidak bertengger seekor pun gagak sepanjang malam” Tanya Kang Badrun kepada istrinya yang setia
    ” Kenapa kang ?”
    ” Menurut kabar, rumah – rumah penduduk desa kita dihinggapi ribuan gagak yang berbau busuk. Ada pula rumah yang roboh karena saking banyaknya kotoran di atapnya”
    “Begitukah kang, ada apa gerangan”
    “Berita simpang siur, tidak ada kejelasan, perempuan bergaun putih, … ahh sudahlah”
    “Kita ini terasing kang, hidup di tengah hutan, kita bertemu orang pencari kayu saja sudah beruntung kang”
    Seketika itu terdengar suara kaok seekor gagak di atas bubungan atap rumah, pendengaran kang Badrun sangat tajam memastikan hanya seekor. Angin tiba-tiba berhenti bertiup, dalam temaram bara kayu bakar yang masih tersisa, terlihat sebuah bayangan dibalik kelambu kamarnya. Yu Darmi sangat mengenalnya, persis sekali dengan gadis kecilnya yang berkepang dua, yah itu adalah anak perempuannya.
    “nduk, kenapa kamu kembali ?” Yu Darmi bertanya sambil melelehkan air matannya. Kang Badrun pun memegang erat tangan Yu Darmi
    “Aku tidak terima bapak dan emak diusir dari desa, kini aku yang akan mengusir mereka dari desa. Jika dalam satu purnama nanti masih ada yang tersisa, akan kuseret yang tersisa itu ke lembah kematian” Suara bayangan gadis kecil di balik kelambu itu.
    Suara gadis kecil itu memastikan sama dengan anak perempuan mereka. Yu Darmi menangis meraung-raung, Kang Badrun semakin erat memegang tangan Yu Darmi.
    “Kenaappaa … kenapa kau lakukan itu nak ?” teriak Yu Darmi
    “Ku persembahkan seluruh tanah desa itu kepada emak dan bapak, satu purnama nanti, Emak dan Bapak harus kembali ke desa.” jawab bayangan gadis kecil itu
    Gagak di bubungan berkaok, kemudian terbang menjauh dengan tetap berkaok. Diikuti bayangan gadis kecil berkepang dua di balik kelambu beranjak menjauh. Angin tiba-tiba berhembus kencang, kemudian tenang kembali. Kang Darmo segera menyusul menuju pintu keluar, dalam temaram malam Kang Darmo masih bisa melihat bayangan gadis kecilnya dituntun seorang Perempuan Bergaun Putih menjauhi rumahnya. Di depan pintu, Kang Darmo tidak bisa berbuat apa – apa, hanya terdengar suara nyanyian, perih, berhawa kematian …

    Rembulanku,
    Aku ingin bertemu
    Bidadari yang memangku kucing
    Yang selalu mendongeng tentang dewa-dewi
    Yang berkisah dengan batin dan jiwa

    Rembulanku,
    Di sini aku kesepian
    Tersekap di tengah labirin cinta dan kerinduan
    Kapan aku bisa bertemu
    Dengan bidadari yang memangku kucing

    * demi menjaga indentitas saya, kali ini email saya adalah benar pak. barangkali aja saya beruntung. Bapak bisa kirim email ke saya, akan saya beritahu alamat via email. (Berharap banget dapet buku gratisan 😀 )

    wah, makasih banget, imajinasinya oke juga, mas adipati. ok, nanti akan saya kontak via email 🙄

  10. waks …
    ternyata ending saya menyalahi aturan. lebih dari satu paragraf
    *kaget melihat apa yang barusan saya tulis …

    walah, gpp, mas adipati, hehehe 💡

  11. Melihat kumpulan itu sungguh membuat saya merasa bangga pernah mengenal panjenengan terlebih pernah bertatap muka bersilaturrahim langsung dengan panjenengan..

    salam takzim saya pak sawali.

    waduh, jangan terlalu berlebihan, pak gempur, hehehe 😆 biasa ajalah. saya juga seneng banget sudah bisa bersilaturahmi dan bertemu langsung dg pak gempur. matur nuwun, pak! :oke

  12. Waduh, kalau saya disuruh mengembangkan ending agar menjadi cerita yang lebih menarik, rasanya berat pak. Mungkin sehari semalam nggak akan jadi, hehehe…! Maklum saya kurang menguasai tentang cerpen.
    Lebih baik saya nyerah aja nih.

    hehehehe 😆 belum dicoba kok sudah nyerah, pak edi. ok, pak edi, makasih 💡

  13. Tapi Pernah Enggak Mas Berfikir Klo Ending dari sebuah Novel Itu kesannya Merana, Sengsara, Menangis Tapi Dalam Kebahagiaan 😀 karena klo diindonesia sendiri hampir keseluruhan dari Ending-ending baik itu dari karya tulis dan Karya Perfilman (Kan diambil dari karya Tulis juga) Endingnya Hampir Sama Semua Jadi Orang Sudah Bosan Dengan Ending2 Gituan Mas 😀 *Ini Cuman Pemikiran saya loh yah mas yang sangat awam mengenai Karya Tulis.

    Masukan Lagi Mas yah
    Sampul Dan Judul Kayaknya Enggak Nyambung Tuh mas 😀

    Pantas Aja Inha Nangis2 Minta Tuh Novel Abizzz Covernya Warna Ungu 😀

    Yang Pastinya Cerpennya bagus mas Saya sudah Baca Sekilas Bahasanya Ringan Mas Yang terpenting Lagi Mas Sawali Dunk yang Nulis 😀 *Idola Gelandangan 😀

    Sukses yah mas
    Di tunggu Buku Berikutnya

    makasih tambahan infonya, mas maulana. 💡 makasih juga doanya. sukses selalu juga buat mas maulana. 🙄

  14. Dua bulan kemudian, burung-burung gagak itu berkumpul di sebuah jurang. Berpesta dengan hidangan mayat-mayat yang bergelimpangan dan bertumpukan. Mayat orang-orang yang mereka usir dari rumahnya. Sementara senandung perempuan bergaun putih terus mengalun mengiringi perjamuan gagak-gagak hitam itu.

    *halah, opo iki*

    wew…. kok halah, mas nazieb? itu ending yang oke juga. 🙄

  15. Saat purnama muncul kembali, perempuan-perempuan bergaun putih itu perlahan-lahan menyatu dalam sebuah bayangan putih terang yang bersinar terang dan merobek-robek kabut. Penduduk yang masih bertahan mendengar dentingan harmoni lirih dari balik bayangan tersebut. Blug! Blug! Blug! Dari langit, batu-batu berjatuhan melubangi atap rumah penduduk yang tersisa. Tunggu, sejak kapan batu memiliki bulu? Masya Allah, ternyata batu-batu itu adalah mayat-mayat burung gagak dengan sayap terlipat rapat di kedua sisinya. Harmoni lirih tersebut semakin lama semakin melengking tinggi seiring dengan makin derasnya mayat gagak-gagak yang jatuh dari langit. Saat fajar datang, denting itu telah lama menghilang, namun hujan gagak itu tidak juga berhenti.

    wah, makasih, mas koko. endingnya juga mantab banget tuh 🙄

  16. Terus terang pak, sangat sulit bagi saya pribadi untuk membuat paragraf akhir dari cerpen “Perempuan bergaun Putih” ini. Selain gaya menulis yang berbeda, juga cerpen ini mempunyai unsur surealis yang sangat tinggi. Ketika pertama kali membacanya, saya langsung berhalusinasi jika latar cerita ini terjadi disuatu perkampungan sunyi yang diapit oleh perbukitan. Suasana kampung selalu gelap. Seakan-akan setiap saat malaikat maut bisa saja untuk mengambil jiwa-jiwa para penduduk.

    Saya takutnya, tidak mampu mengimbangi paragraf-paragraf yang telah pak sawali rangkai hingga kesan “menyeramkan” dalam cerpen ini menjadi begitu kuat. kan aneh nantinya jika ending cerita ini (ditulis oleh saya) akan menjadi bahagia, dan kesan gelapnya akan menghilang. hehehehe………..

    wew… kan bisa jadi cerpen kolaborasi, mashair, hehehe 😆 siapa tahu bisa dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah novel :oke

  17. Wah, saya kurang paham sastra, saya coba ya pak Sawali.

    “Ribuan gagak-gagak itu kini datang pada sore hari dan pergi pada pagi hari ke kampung itu, semakin lama semakin membuat kampung menjadi sepi dan sunyi. Meskipun orang-orang kampung mengungsi, namun terus saja membayangi. Ribuan gagak gagak itu membayangi setiap langkah dan setiap ke mana penduduk pergi”.

    Karena gagak akan pergi setelah ajal datang menjemput, tanpa sisa hanya sepi menjadi kuburan dan rumput bisu.

    Hehehe.

    wew…. endingnya mantab juga, kok, pak aryo. salut nih 🙄

  18. …..
    Asa mereka sudah pupus. Harapan pun kian mendekati ajal. Denyut nadi kampung halaman tempat mereka menumpahkan segala hasrat kehidupan, kini semakin melemah, tidak teraba. Tidak ada lagi suara tarikan nafas yang terdengar, tinggal hembusan lirih yang samar-samar mulai menghilang terhempas kibasan sayap ribuan burung gagak yang pongah. Sawali hanya bisa sesekali menatap wajah kampungnya dengan nanar, disela tarikan tangan kakeknya yang terpaksa beranjak mengikuti sabda tetua kampungnya. Ketika sampai diujung bukit terakhir, sebelum wajah kampungnya benar-benar hilang dari pandangan, Sawali menghentakan tangannya. Pegangan kakeknya terlepas. Ia pun berbalik. Berdiri tegak seraya menatap. Tidak dengan nanar, tapi tatapan matanya kini bak api berkobar. Hatinya mulai bergejolak. Degup jantungnya berdebar kencang menahan amarah. Tangannya mengepal kuat ingin menuntut balas. Ia tidak rela kampungnya binasa. Dengan kemarahan yang memuncak, Sawali bertekat… ” Tunggu… akan kurebut lagi Kau..!!!” ***

    wah, terima kasih bung serdadu. endingnya oke banget. btw, kenapa tokoh sawali tiba2 saja jadi ikut terlibat dalam cerita, yak? kekekeke 😀

  19. Salam
    Duh Pakde, fras nyerah deh, lagi mentok nie, meski sudah sedikit memahami gaya nulis Pakde plus kata-kata favenya Pakde tetep aja fras ga akan bisa ngikutin, ga berani takut ndak nyambung..sementara stuck dulu deh, ntar klo ada ide kesini lagi yak *aleysan* 😀

    wew…. belum dicoba kok dah menyerah duluan, haks. mbak fras pasti malah lebih oke tuh buat endingnya 💡

  20. Terus berjalan dan terus hingga lupa pada rasa lelah untuk merasa lelah ,ketika sadar bahwa tidak sadar sebagian bertanya meski tak berharap atas jawaban ,dosa siapakah hingga Tuhan menghukum dengan mendatangka gagak sebegitu banyak,namun apakah mesti terjawab ,dalam kelelahan tetap terus berjalan walau saling bertanya kemanakah hendak tertuju ,karena bumi ini seperti menghukumnya ,bukan lagi putus asa namun tak ada asa.perempuan bergaun putih yang bertambah jumlah untuk menengadah ,semakin gundah,melihati ,meratapi ,apa yang terjadi,disempatkannya bedoa walau berisikan keluhan .ya Allah tunjukanlah kuasamu, ampunilah hambamu,siapapun itu meski aku yang menanggung semua ini,walau mestinya tak kutanya dosa siapa ini,Ya Allah jangan biarkan kami terus terpuruk oleh bencana atas keserakahan manusia ini,ya Allah bila ku mesti pasrah berilah keakhiran dari semua ini dengan petunjukmu……. sebagian lagi tak mampu meratap bahkan berdoa,larut dalam kepanikan dan tak engerti seperti hilang dalam ksadaran sebagian lagi telah lelah untuk bernafas dan satu satu perempuan bergaun putih itu melemas dan se akan terbang kealam arwah ,tak lagi penat,tak lagi ngeri tak lagi sakit,tinggal tersisa seorang lagi perempuan yang bergaun putih yang masih berharap rembulan bersinar dilangit tanpa terhalang oleh burung gagak yang terus berterbangan dan berjatuhan dari langit ,mengumpulkan sisa harapan yang benar benar telah memunah menariknya kembali sebagai ratapan ,walau dalam gundah terus menegadah sambil sesekali melihati sebagian warga yang melelah ,terus perempuan bergaun putih itu menengadah menatapi langit dengan kosong ,tipis ,setipis harapan yang terkoyak koyak .burung gagakpun seperti tak peduli masih beterbangan seperti mengejar ,menyambar …… perempuan bergaun putih itu akhirya terkapar ,menggelepar ,semakin banyak burung gagak yang berputar ,hinggap di atas tubuh perempuan bergaun putih itu …membumbung hingga perempuan bergaun putih itu tak lagi menggelepar dan tertukar sebagai bangkai yang tercecar ,terhempar terhempas diantara belukar.harapan itupun masih membahana dan terlahir pada lain orang yang terlahir membaca sejarahnya
    ……………………………………………….
    Diluar nyambung dan tidak saya hanya sekedar berpartisipasi dan menorehkan apa yang ada dalam benak ketika terlarutka oleh potongan cerita tersebut …….
    terima kasih pak wali telah membiusku dalam luar kendali logika ku
    bukan hebat cerpenya tapi hebat tukang postinya hingga saya jadi terlarut dalam cerita nya
    awas pak lagi lagi hehehehhehe mabok saya

    wew…. ending yang mantab juga. makasih mas totok. masalah nyambung apa nggak, bukan hal yang terlalu penting. lha wong namanya imajinasi itu juga suka2 yang punya kok, hehehehe 😆

  21. sejak gabung di blogger..
    saya banyak jumpaian orang2 dengan imajinasi liar..
    karya2 yang pantas dan patut
    duh mas kapan-kapan kita bisa diskusi langsung ya…..
    pengen belajar lebih banyak lagi

    waduh, saya juga masih belajar, mas bambang. bagusnya kita sharing aja, hehehe 🙄

  22. wah sebenarnya asik juga dink sering menikmati beberapa tulisan Pak wali seringnya saya jadi terbawa dalam cerita ….tapi terima kasih pak tak sedikit saya menjadi benar2 fres menjadi lenyap gundah dan mendapat jawab yang tidak sengaja seperti ketika cerita bisma dan lain lainnya
    Monggo kidalang Pun lajengaken

    wew… matur nuwun, mas totok, tapi jangan berlebihan dong. biasa ajalah. kita memang perlu banyak sharing, hehehe 💡

  23. Bang, saya sudah menulis novel [cerita] sebanyak 150 halaman …. pengen diterbitkan, gimana caranya bang?

    wah, salut buat mbak rindu. 150 halaman memang sudah layak untuk diterbitkan jadi novel. mbak. sayangnya, saya ndak punya banyak pengalaman ttg masalah penerbitan :oke

  24. para penduduk yang malang itu terus berjalan hingga putus urat dan syaraf pegal mereka, bagaimanapun gagak-gagak busuk itu terus mengikuti, memburu dan mencabik-cabik akal sehat mereka dengan lengkingan suara-suara pongah yang menghembuskan hawa kematian. Perempuan-perempuan bergaun putih itu tetap menengadahkan wajahnya ke langit, memohon sang dewi rembulan pujaan mereka segera datang dan mengusir kerumunan burung-burung iblis yang tak hanya menutupi purnama malam itu tetapi juga purnama yang berpijar di dalam dada-dada mulus mereka. Mereka tak tahu, bahwa sang dewi pujaan sudah berada diantara mereka, menyaru diantara tubuh-tubuh sintal berbalut gaun yang sudah mulai robek tersangkut ranting, akar, dan batu sepanjang perjalanan. Sang dewi pujaan-pun sepertinya telah putus asa … (masih bersambung pak sawali)
    hehehehehehe…. wah hebat neh pagi2 saya sudah dipaksa berimajinasi

    wew…. ending yang matab, mas ardy 🙄

  25. Pak Sawali,
    Aku ketinggalan satu edisi saja prosa Anda, seperti sudah merasa ketinggalan jauh. Luar biasa, sampeyan ini bikin prosa.
    Yang aku mampu bikin wawacan wayang itu lho!

    Salut kabeh, aku!

    Aku tunggu dibukui aja, Pak!

    Biar bisa dinikmati tanpa online.

    Selamat berpuasa!

    Tabik!

    walah, biasa aja kok, pak zul. tulisan pak zul juga mantab 🙄

  26. Edan …

    Tapi kenapa gagak Pa’e … apa terinspirasi oleh salah satu film fiksi tentang zombie yang menampilkan burung gagak yang terkontaminasi sejenis virus lalu menjadi gagak jadi-jadian yang sukanya makan daging manusia … kalo gak salah ‘Resident Evil’ …

    Ah, kenapa gak dibikin seperti itu ya, …

    Lalu gagak-gagak itu tiba-tiba menjadi beringas dan …

    *gak nyambung*
    *kabur*

    kekekeke 😆 mas bisaku bisa aja nih. cerpen ini murni diilhami dari kisah mitos yang sering saya dengar waktu kecil :oke

  27. Saya malah dah buat cerpen akibat pesona cerpen pak sawali tersebut. Entar minta masukannya ya pak.

    wew…. salut banget mas dana. saya langsung mluncur 🙄

  28. Coba-coba ah………..he..he… Siapa tau dapat Kuncernya Pak Sawali. Cerpen ini kan yang telah membuat saya tertarik untuk belajar membuat cerpen.
    ====================

    Sementara itu, setiap malam perempuan-perempuan bergaun putih masih terus melantunkan senandung pemujaan pada rembulan. Suara mereka seperti koor tangisan. Lirih. Mereka duduk di batu-batu padas di atas bukit pada bibir Lembah Kematian. Gaun mereka berkibar-kibar diterpa angin malam dingin. Wajah mereka tengadah. Tatapan penuh harap pada bulan sepotong semangka di langit berkabut. Mereka terus saja menggumamkan senandung itu. Suara yang menyayat-nyayat rongga telinga itu sepertinya memanggil lebih banyak lagi burung gagak. Hingga akhirnya seluruh atap rumah penduduk penuh tertutup oleh burung gagak. Menghitam, reot, lalu ambruk, bergedebuk. Saat tak ada lagi yang tersisa, perempuan-perempuan bergaun putih itu berjalan beriringan perlahan menuju lembah kematian. Hilang ditelan kabut. Burung-burung gagak terbang rendah di belakang mereka. Suaranya riuh serak. Meninggalkan sepi dan bau busuk tak terkira pada ranting-ranting kayu rencek di tepi desa.

    ===============
    Saya tau paragraf ini sedemikian jeleknya. Ha..ha… tapi saya pingin sekali dapat kumcernya Pak Sawali (*profil memelas mode on) 😆

    wah, mantab juga endingnya, pak suhadi 🙄

  29. bikin lanjutan ending cerpen ?
    waah… tawaran yg sngat menarik,
    tp tunggu dl mas, biar tak pikir2 dl ya
    mana tahu abis sahur nanti dapet ide. monggo mas

    yap, saya tunggu endingnya, mas agus 🙄

  30. saya malah kebayang illustrasi gambarnya untuk kisah di atas 😀
    kalau endingnya…………………………. (~_~) maaf, pak….buntu…

    wew… kok malah lebih tertarik sama ilustrasinya. tapi, gpp juga, mbak darnia. makasih apresiasinya 🙄

  31. Nyoba Pak, semoga berhasil 🙂

    Terbilang lima tahun telah berlalu sejak peristiwa itu, para penduduk yang telah beralih dari desa yang terdahulu pun telah kembali merasakan gairah kehidupan.
    Tiada lagi malam-malam panjang dengan lolong memilukan perempuan miserius maupun kaok-kaok suara gagak yang minor. Tiada lagi rembulan yang tampak kusam serta bau anyir dari lembah kematian seperti dahulu.
    Yang ada adalah bunyi debum-berdebum bumi yang dihentak-hentak kaki penduduk menyambut hari …
    Semua pun berjalan membaik seperti sedia kala, meski hanya untuk sementara.

    *Ah saya sendiri kurang sreg dengan akhir yang saya buat, Pak Sawali.. maaf hehehe*

    wah, ending yang bagus, mas donny. makasih 🙄

  32. kepengen sekali membaca dan menikmati kumcer pak sawali. sayangnya di pekalongan bukunya tidak saya jumpai. ah, pekalongan kota kecil kali. banyaknya batik….

    makasih apresiasinya, pak zul. mudah2an pak zul bs mendapatkannya 💡

  33. Ketika hampir semua penduduk meninggalkan perkampungan, datanglah seorang Pak Tua berikat kepala hitam. Dia mengatakan bahwa ini adalah kutukan dari para dhemit yang marah lantaran anak gadis berkepang dua telah mati dibunuh orang tuanya sendiri. Orang tua gadis itu memang sengaja membunuh anak gadisnya setalah mengetahui kalau dia adalah titisan dari para dhemit. Jika anak itu tidak dibunuh maka dia akan menjelma menjadi Ratu kegelapan, yang akan melakukan segala perusakan diatas bumi.

    lalu Pak Tua berikat kelapa hitam itu meminta jantung anak gadis berkepang dua yang telah terkubur. Setelah dilakukan penggalian, maka diangkatlah jasad anak gadis itu, dibelah dadanya, lalu ditarik jantungnya. Pak Tua berikat kepala hitam lalu meremas jantung yang tengah digemgamnya hingga pecah dan tersebarlah bau busuk ke saentaro kampung. Kontan, senandung pemujaan rembulan yang perih itu tiba-tiba tak terdengar lagi. Raib bersama para perempuan bergaun putih. Burung-burung gagak yang menebarkan kotoran busuk pun ikut menghilang. Tak jelas kemana mereka semua pergi.

    Para penduduk lalu menyoraki Pak Tua berkepala hitam, lantaran senang atas budi baik yang telah diperbuatnya. Tiba-tiba suara nyaring dari sudut kampung menenggelamkan euforia para penduduk. Seorang Pak Tua berikat kepala putih lalu datang dan membaur bersama kerumunan orang. Pak Tua berikat kepala putih lalu berucap, “Jangan percaya apa yang dikatakan oleh si tua bangka berikat kepala hitam itu, karena sebenarnya dialah raja dari para dhemit. Dia ingin memperdayai kalian semua. Agar dia mendapatkan teman ketika di neraka nanti.”

    Kini tak jelas siapa yang harus dipercaya.

    Waduh, kok jadi ngawur yah. hehehe

    wah, ending yang bagus juga tuh, mashair. terima kasih apresiasinya 🙄

  34. salam

    cerita yang sangat menarik dan dapat di mengerti dengan akal
    semangat dan semangat
    saya kurang begitu politisi tapi saya berusaha membaca dan membaca demi menambah wawasan hidup

    salam kenal Boyolali

    salam kenal juga, mas doel, makasih kunjungannya 💡

  35. pengen sih ikutan bikin endingnya… tapi kalo nggak baca awalnya, takut malah jadi salah… mending nonton aja sambil tetap berharap dapat kumcer!

    Qizinks last blog post..Awal Puasa

    wew… malah lebih suka jadi penonton? mas qizink mestinya bisa bikin ending yang lebih seru nih 💡

  36. Bapak menulis,
    “Atas kesepakatan dengan tetua kampung, para penduduk mengungsi ke tempat lain. Mereka tak sanggup melawan ribuan burung gagak yang datang dan pergi secara tak terduga pada setiap malam. Tidak jelas, ke mana mereka harus tinggal. Hampir setiap hari, terlihat rombongan penduduk membawa barang-barang dan ternak piaraan melintasi jalan-jalan kampung yang sunyi, dingin, dan berkabut. Entah sampai kapan. ***”
    .
    Saya cenderung familiar dengan kalimat “entah sampai kapan” ini, yang notabene menandakan sebuah kisah dengan akhir cerita (ending) terbuka, namun sayangnya, terkesan membatasi pikiran/imajinasi. Ending terbuka (tentulah Bapak lebih mengenal istilah ini), biasanya memberikan kebebasan untuk para pembacanya, namun personal. Saya agak terganggu dengan kalimat terakhir ini. “Entah sampai kapan” itu layak menjadi the end of sentences, dan kurang terdengar enak jika ada lanjutannya. Maka, saya hilangkan dan dibuat seperti ini saja ya, Pak,
    ***
    …Atas kesepakatan dengan tetua kampung, para penduduk mengungsi ke tempat lain. Mereka tak sanggup melawan ribuan burung gagak yang datang dan pergi secara tak terduga pada setiap malam. BELUM jelas, ke mana mereka harus tinggal. Hampir setiap hari, terlihat rombongan penduduk membawa barang-barang dan ternak piaraan melintasi jalan-jalan kampung yang sunyi, dingin, dan berkabut.
    ***
    Kalimat “Tidak jelas” saya ganti dengan “BELUM jelas”, sebab jika kisah ini mau dilanjutkan, berarti ada unsur ke-belum-pastian (tujuan), bukan ke-tidak pastian. Dan paragrafnya diakhiri sampai kata “berkabut” saja. Nah, jika sudah begini, saya merasa leluasa mencipta imajinasi pribadi untuk melanjutkan bagaimana jalinan kisah selanjutnya. Baik, saya coba meneruskannya dengan tak lupa menggandengkan style Bapak dengan gaya saya, di bawah ini…

    ***
    [Atas kesepakatan dengan tetua kampung, para penduduk mengungsi ke tempat lain. Mereka tak sanggup melawan ribuan burung gagak yang datang dan pergi secara tak terduga pada setiap malam. BELUM jelas, ke mana mereka harus tinggal. Hampir setiap hari, terlihat rombongan penduduk membawa barang-barang dan ternak piaraan melintasi jalan-jalan kampung yang sunyi, dingin, dan berkabut.]
    Tapi para penduduk itu bukanlah titisan para dewa yang sanggup berjalan berhari-hari, apalagi berminggu-minggu. Para mbok-mbok yang biasanya kuat membawa bakul berisi singkong atau telo setiap pagi hasil dari tegalan, kali ini pun mesti merengek pada para suaminya, lelah katanya. Terlebih lagi mereka-mereka yang mesti menggendong anaknya yang masih bayi. Kerepotan. Air susu mulai kering, sedang perbekalan air dan makanan sudah habis. Para bayi pun menjerit kehausan, memekakkan telinga. Dan jika malam tiba, suaranya seolah memecahkan kesunyian dengan gema mencekam. Lebih memprihatinkan lagi, ketika para sepuh yang sudah teramat ringkih, tak mampu lagi berjalan sambil terbatuk-batuk. Juga, sebagian penduduk pun, mulai terserang demam lantaran sudah beberapa hari ini hujan menampar tubuh mereka, juga karena angin malam yang kian menggigit, dan sengatan si bola merah yang makin terik jika siang tiba. Kebanyakan dari mereka sudah roboh, tak sanggup lagi meneruskan perjalanan tanpa arah itu.
    “Kita harus kembali ke kampung kita…,” ucap Parman, seorang pria berkumis tipis yang sehari-harinya mengangon kambing, tiba-tiba. Beberapa mata membelalak, termasuk tetua kampung. Beberapa laki-laki menelan ludah, antara bimbang dan harus. Kepala mereka juga digedor suara batin seperti itu beberapa hari belakangan ini. Lalu semuanya saling pandang, dibalas dengan angkat bahu oleh sebagian yang lain. Mereka pun mengedarkan pandangan. Keadaan memang sudah semakin gawat. Mereka memang harus pulang. Persetan dengan burung gagak keparat itu. Persetan pula dengan perempuan bergaun putih sialan itu. Yang jelas, mereka bisa membangun kembali kampung mereka, jika memang semuanya ada tekad untuk itu.***

    ===
    Gimana, Pak Sawali?
    Email saja saya, ya, hehehe…

    ariss_s last blog post..Allah dan Iblis; Simbol Cinta Abadi

    edning yang bagus dan menarik, mas ariss. makasih partisipasinya. tunggu perkembangan selanjutnya, yak! 💡

  37. Wah telat saya datang kesini bang sudah tanggal 10. Mau juga si ngelanjutin deskripsi cerpennya *wah padahal imajinassi saya lagi ngadat*
    jadi gak bisa dapetin kumcer neh bang 🙁
    Btw kalo divisualisasasi-in keknya lumayan mencekam bang suasasnannya. Sib, oke!! 🙄

    ningrums last blog post..Logika dan Logistik

    sebenarnya belum telat juga, mbak ningrum, hehehe 😆 kan masih belum tutup tuh!

  38. Kiriman “kumcer”-nya dah nyampe Pak. Tengkiu… kalo paragraf nyang saya tulis berkenan di hati.

    Biyar entar kumcer nyang saya beli ajahh… nyang saya hibahkan, sedangkan nyang ada tanda-tangan nJenengan akan saya koleksi. Sapa tau… entar Bapak jadi salah satu “Tokoh Kesusastraan Terkenal” di negeri ini. 😆

    makasih apresiasinya, bung serdadu 😎

    1. ditengah-tengah perjalanan keluar dari desa itu, seorang kanak-kanak berhenti dan melihat kebelakang. kanak-kanak itu masih berumur 5 tahun. ia tidak mengerti dengan burung gagak yang begitu banyak yang tetap bertahan di desa itu. ia menatap ibunya dan bertanya
      “ibu haruskah kita pergi?” tanyanya dengan polos namun ibunya tak kuasa menjawab tapi airmatanya mengalir dipipinya yang kusam.ia hanya memeluk anak yang dikasihinya itu dengan perasaan gundah setengah berharap anaknya tidak akan bertanya lagi. namun kanak-kanak itu tak paham hanya dengan sebuah pelukan. ia menatap sekeliling menatap kearah batu hitam besar. samar ia melihat seorang wanita bergaun putih diatasnya. ia menatap kanak-kanak itu dan tersenyum sebuah senyum yang menentramkan hati lebih dari ibunya yang kini sedang diliputi kecemasan. wanita bergaun putih itu meletakkan telunjuk dibibirnya yang merah marun seolah meinta agar kanak-kanak itu merahasiakannya. wanita itu menunjuk ke arah desanya. kanak-kanak itu menurut dan melihat cahaya yang samar di langit-langit desanya.
      “ibu kita akan pulang suatu saat nanti” ucap anak itu dan ibunya menatap dengan heran karena keyakinan anak-anak itu menghapuskan kegalauan hatinya.
      “seperti matahari punya waktu terbit dan tenggelam, burung gagak punya waktu untuk pergi saat itulah waktu kita kembali” ucap anak itu riang. ibunya kini memeluknya lebih erat dan percaya. suatu saat nanti pasti mereka akan pulang. ia mau percaya dengan harapan kecil yang ada.
      anak-anak itu kembali menatap wanita bergaun putih yang kini bersayap. sayapnya yang panjang menjutai ketanah dan wanita itu tersenyum dan terbang ke langit. samar ia membisaikkan suatu kata ke telinga anak itu sebelum pergi ke langit.
      “aku akan mengusirnya, mungkin lama tapi tak begitu lama” ucap wanita itu tanpa dilihat si ibu.
      dan anak itu dengan seulas senyum menarik tangan ibunya menyusul yang lain. saat pengasingan mereka tak akan lama. yakin anak itu dalam hati.

      1. sebuah ending cerita yang menarik dan bagus banget, mbak nita. ternyata perempuan bergaunm putih itu kembali muncul. wah, saya malah jadi penasaran nih, mbak, kira2 ada hubungan apa yak, antara seorang kana-kanak dan perempuan bergaun putih itu? wah, sungguh menarik, imajinasinya semakin liar dan memesona. salut deh. =d>=d>

  39. Nih tambah lagi endingnya, Lalu tiba-tiba ada sepasang kekasih yang bercinta terlihat disemak-semak. Dan terjadilah perngentottan yang dahsyat sampai mereka terkapar disana.. aaaaauuuuuu..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *