Mempersoalkan Kembali Predikat Guru sebagai Peneliti

Cropped Logo Header Blog Sedang.jpg

Ketika Depdiknas meluncurkan model penelitian berbasis tindakan kelas (PTK), predikat guru pun bertambah. Guru tak hanya sebatas menjadi “tukang ajar” yang ruang geraknya dibatasi empat dinding ruang kelas, tetapi diharapkan juga menjadi seorang peneliti. Melalui PTK yang dilakukan, guru diharapkan menjadi “pionir” sekaligus “inovator” pembelajaran yang mampu menciptakan atmosfer pembelajaran secara menarik dan memikat sehingga siswa didiknya merasa nyaman dan menyenangkan ketika mengikuti proses pembelajaran.

FIGPTK sangat memberikan peluang kepada para guru untuk melakukan hal itu. Mereka memiliki kebebasan secara kreatif untuk mengujicobakan berbagai pendekatan, strategi, metode, media, atau bahan ajar ke dalam proses pembelajaran yang dikelolanya. Ibarat dokter, gurulah yang tahu persis “penyakit” yang diderita “pasien”-nya. Berdasarkan diagnosis yang dilakukan, guru diharapkan dapat memberikan obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan sang pasien.

”Naluri” seorang guru sudah pasti akan terus berupaya untuk mencari cara-cara yang tepat agar siswa didiknya tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang cerdas, kreatif, kritis, dan mandiri; terbebas dari cengkeraman berbagai macam ”penyakit” akut. Sayangnya, cara-cara yang diterapkan guru dalam kegiatan pembelajaran seringkali berlangsung secara dadakan, tidak terencana dan terpola, berlangsung sesaat, dan (hampir) tak ada tindak lanjutnya. Itulah sebabnya, gagasan-gagasan brilian dari para ”mahaguru” dari generasi ke generasi tak bisa terwariskan kepada para guru yang lahir kemudian. Mereka tak bisa belajar dari pengalaman dan sejarah masa silam akibat parahnya proses dokumentasi dan minimnya akses informasi terhadap cara-cara jitu dalam mengelola pembelajaran secara menarik dan menyenangkan. Tidak berlebihan jika dinamika pembelajaran dalam dunia pendidikan kita tampil begitu stagnan dan membosankan. Imbasnya, generasi yang lahir dari ”rahim” dunia pendidikan kita (nyaris) gagal menjadi sosok yang cerdas dan berkarakter.

FIG2Atmosfer pembelajaran yang stagnan dan membosankan semacam itu agaknya mendapatkan banyak respon dari para pakar, pengamat, dan pemerhati dunia pendidikan. Harus ada perubahan paradigma dalam pengelolaan pembelajaran; dari pengelolaan yang serba dadakan dan tak terpola menjadi pengelolaan pembelajaran yang terencana, terprogram, dan jelas tindak lanjutnya. Oleh karena itu, guru perlu terus dirangsang untuk menciptakan inovasi-inovasi pembelajaran yang lebih kontekstual dan selaras dengan semangat zamannya.

PTK sejatinya merupakan upaya yang dilakukan oleh guru untuk mengelola pembelajaran secara menarik dan menyenangkan sehingga memiliki imbas positif terhadap lahirnya generasi masa depan yang cerdas, kritis, dan berkarakter melalui kegiatan perencanaan, pelaksanaan aksi (tindakan), observasi, dan refleksi berdasarkan prosedur ilmiah. Setiap perubahan yang terjadi, baik yang berkaitan dengan proses pembelajaran maupun hasil-hasilnya, perlu didokumentasikan dengan baik, untuk selanjutnya dianalisis dan direfleksi sehingga memiliki kejelasan alur dan penalaran dari sisi keilmuan.

FIG3Namun, harus diakui, meraih predikat guru sebagai peneliti agaknya juga bukan perkara gampang. Ada banyak faktor yang memengaruhinya. Selain dukungan kebijakan, apresiasi, dan finansial yang masih minim, juga belum kondusifnya budaya meneliti di kalangan guru. Hal itu terbukti ketika Forum Ilmiah Guru (FIG) Kabupaten Kendal melakukan seleksi terhadap hasil PTK para guru jenjang TK/SD, SMP, dan SMA/SMK untuk diikutkan dalam ajang seleksi di tingkat Provinsi Jawa Tengah, 6 September 2008 yang lalu. Jumlah guru yang mengikuti event bisa dihitung dengan jari.

Kondisi semacam itu jelas membutuhkan perhatian yang lebih serius dari para pengambil kebijakan. Keberadaan FIG sebenarnya cukup strategis dalam membantu para guru untuk melakukan PTK. Dengan dukungan guru-guru muda yang sarat dengan idealisme, FIG selalu ”jemput bola” dalam menyampaikan informasi-informasi penting kepada para guru yang berkaitan dengan kegiatan dalam forum ilmiah. Namun, kiprah mereka lama-kelamaan bisa menjadi ”mandul” jika tidak diimbangi dengan dukungan kebijakan dan finansial yang memadai. Setidaknya, perlu ada dukungan dana operasional untuk menggelar berbagai kegiatan ilmiah, baik secara rutin maupun insidental. Bahkan, Pemda perlu mengambil langkah antisipatif dengan mengalokasikan anggaran khusus untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang digelar FIG.

Dengan dukungan kebijakan dan finansial yang memadai, keberadaan FIG diharapkan akan lebih eksis dalam menciptakan atmosfer budaya meneliti di kalangan guru sehingga predikat guru sebagai peneliti tak lagi terapung-apung dalam slogan dan retorika. ***

No Comments

  1. Sebenarnya sudah banyak guru-guru kita yang sudah menjadi peneliti, yang menjadi masalah adalah yang diteliti. Menurut pak Wali, harusnya penelitian mengenai pendidikan, salah satunya dengan membuat PTK. Akan tetapi penelitian dengan cara demikian teramat ribet dengan urusan prosedur, format, standar dan lain-lain (mungkin?). Penelitian yang mudah, gampang, tidak ribet dan tidak peduli dengan standar, format dan thethek bengek lainnya adalah meneliti dari mana penghasilan kepala sekolah, untuk apa penghasilannya, apa yang dilakukan di luar sekolah, juga meneliti teman-teman gurunya dengan objek penelitian yang sama, meneliti Kepala Dinas dan jajarannya, pengawas sekolah dan lain-lain. (bisa jadi saya juga sudah melakukannya, Semoga analisa saya salah).
    Hal tersebut memang tidak akan membawa pendidikan ke arah yang lebih baik, tetap stagnan, bahkan bisa menjadi fitnah yang keji dan mendatangkan dosa terutama di bulan suci Romadhon ini. Pada bulan ini, marilah para guru untuk mengurangi penelitian yang tidak pada tempatnya, kita lakukan penelitian yang sebenar-benarnya penelitian, semoga pedidikan di Indonesia menjadi lebih maju. Ingat, anggaran pendidikan sudah direncanakan naik menjadi 20%. Gaji juga akan dinaikkan mulai anggaran tahun depan.
    HIDUP GURU.

    hehehehe 😆 memang sedikit ribet, pak jaitoe, tapi kalo klar seneng juga, haks…. memang perlu juga penelitian pendidikan dikembangkan ke persoalan manajemen sekolah 🙄 saya setuju, pak 🙄

  2. maaf pak, sayah masih agak bingung dengan paragraf ke enam, dari awal kalimat. apakah harus ditambahi kata “bukan” diantara kata agaknya juga……..perkara gampang
    maaf pak, kalau saya salah tafsir, 🙂
    mengenai predikat guru sebagai peneliti, harusnya ini dijadikan motivasi untuk menjadi sosok guru yang lebih ideal. walaupun memang, tugas guru sedemikian banyaknya, karena memang guru adalah “pencetak” generasi muda indonesia yang baik tentunya. jika secara kontiinyu guru melakukan pembenahan dan peningkatan kualitas, bukan tidak mungkin pendidikan indonesia akan semakin maju dan setaraf dengan negara lain.
    pak, saya sekarang sedang PPL di SMA 8 semarang. doakan saya pa, biar lancar
    dhimas juga
    😀

    wah, makasih banget, mas abee, cermat sekali nih. betul kurang kata “bukan”, hehehehe 🙄

  3. Di tempat saya barangkali lebih parah. Penjurian dilakukan oleh para pengawas yang tak pernah melakukan PTK. Apa ndak lucu? Tahun lalu dan tahun ini saya tidak ikut jadi barangkali saya boleh ngomong begini: Saya lihat, justru PTK yang bagus gak masuk. Kasian guru-guru muda itu. 

Barangkali dinas bisa membantu pendanaan ya Pak. Biar guru-guru lebih semangat. Tapi tentu dengan seleksi ketat dan tata cara pertanggungjawaban dana yang baik.

    waduh, repot juga kalau yang menilai PTK Tuan2 pengawas yang ndak pernah melakukan PTK. perlu diusulkan kepada pihak yang berwenang, pak suhadi, hehehehe 😆

  4. Wah sepertinya memang banyak yang harus dikerjalan oleh guru, tapi agar saya gak tambah salah komentar, saya hanya bisa mendukung semoga para guru lebih kreatif plus muridnya juga tambah pinter.

    Salam

    matur nuwun dukungan dan apresiasinya terhadap kinerja guru, pak sumintar 💡

  5. Bukan karena saya tak mampu ikut, tapi semata karena guru adalah majemuk, dan bakat2an. Dibimbing profesor, dikirim pelatihan kesana kemari kalau gak bakat yo habiskan anggaran & energi thoke. Ibarat orang tua yang ambisi jadi pianis, walau datangkan Erwin Gutawa tiap hari kalau anaknya gak bakat ya tanpa guna.
    Sekali lagi guru adalah bakat2an, karena tidak semua guru itu jadi guru karena terencanakan sejak kecil. Tiap awal tahun pelajaran, saya selalu tanya ke ratusan siswa baru, apa tujuan dia sekolah. Tapi rata2 mereka tak mampu njawab, kalau adapun jawaban asal ambil, jawaban kosong makna, jawaban klise tur klisenya burem.
    Ini kan ngeri, mereka tak tau buat apa sekolah.
    Ibarat orang naik bis, ketika kondektur tanya mau ke mana, lha kok yang ditanya bingung, terus bagaimana?
    Ada guru yang peneliti, ada guru yang seniman, ada yang sastrawan, ada yang pengajar (pekerjaannya ngajar), ada yang tak berkategori seperti saya ini.
    PTK bagus, kalau keberkelanjutan dari PTK itu sendiri nyata manfaatnya dan ada tindak lanjut. tapi yang saya tau, sebagian besar PTK, rata2 dibuat hanya untuk ngail anggarannya. Hanya beberapa gelintir yang murni. Tak perlu ada yang tersinggung, rata2 PTK hanya bermanfaat secara finansiil untuk penyusunnya dowang.
    Untuk yang diteliti?
    Sama seperti model2 dan macem2 sekolah. Ada standar, ada mandiri, ada taraf internasional….
    Kalau lapangan kerja tidak siap, ya ndak ada artinya.
    Memang ada satu dua yang bener, tapi ribuan yang lain?
    PTK saya tidak berbentuk, tidak terjilid, tidak terbimbing, tidak berkajian teori karena PTK saya tak pernah selesai.
    Saya tidak berbakat buat PTK seperti PTK yang dimaksudkan orang yang definisikan PTK. Itulah celakanya…
    [Kalau jurinya ya jelas dapat manfaat…]

    seperti biasanya, pak mar selalu merendah, haks, apa memang bener sih, pak, meneliti itu sangat ditentukan oleh bakat? :oke

  6. Tambahan Pak Sawali, mumpung durung kasep.
    Saya tidak anti PTK lho ya, wong saya ya pernah mbuat. Cuman tujuan asli saya itu ya tadi, ngranggeh bantuan.
    Dari awal saya pribadi pesimis kalau PTK saya itu bisa diimplementasikan. Saya terlalu bodoh. Kalau mbaca PTK saya sendiri saja saya kadang ketawa2, karena seperti baca kumpulan sampah, karena sudah tergambar jelas, apa yang saya tulis adalah “teori” yang kalau ditindaklanjutipun tampaknya sia2.
    Saya juga pernah dapat bantuan jutaan gara2 PTK lho Pak. Tapi yang banyak menyita perhatian saya bukan pada bagaimana sistematika dan isi PTK saya, tapi energi terbanyak tersedot buat ngrekayasa bagaimana uang jutaan itu bisa saya pertanggungjawabkan secara klop.
    Semoga yg seperti ini cuman saya dowang…
    Kalau Pak Sawali ada kabar tentang dana PTK, saya di SMS…

    kekekeke 😆 pak mar ada2 aja nih. yang pasti kalao memang ptl dibiayai, kan mesti dipertanggungjawabkan penggunaan anggarannya, pak mar. ttg info ptk yang ada anggarannya, kayaknya bisa langsung dilacak ke situs balitbang depdiknas atau yang lain, pak 💡

  7. memang seharusnya guru juga begitu …….

    agar bangsa ini bisa maju ….

    tp terkadang jasa guru mash kurang dihargai euy … 🙂

    jadi para guru mikir 2x utk melakukan inovasi2 ….

    terima kasih dukungan dan apresiasinya, mas afwan 💡

  8. wah.. kalo bicara soal guru ya jelas harus kita dukung donk.. coz ayah saya juga guru dan saya tahu sendiri bagaimana perjuangan seorang guru..

    wah, makasih dukungan dan apesiasinya terhadap kinerja guru, mbak fachia 🙄

  9. Bisa pake asisten guru gk pak? Spt dosen khan ada asdos.

    Br denger sy ttg PTK ini. Jd blm bs komen terlalu jauh. Semoga bermanfaat penelitian yg dilakukan.

    kalau guru punya asisten jadi asgur, hehehe 😆 tapi kayaknya belum saatnya dibutuhkan asgur, mas yoga 💡

  10. Banyak sebenarnya badan riset dan foundation yg bersedia untuk mendanai proyek-proyek penelitian. Guru telah ada wadah yg bisa dimanfaatkan sebagai penyelenggara proyek penelitian yaitu seperti PGRI. Institusi ini seharusnya tidak hanya pada kegiatan standar yaitu administratif, namun idealnya yaitu memberikan proyek-proyek riset dan penelitian kepada guru. Permasalahannya adalah sejauhmana PGRI tersebut jeli mencarikan proyek penelitian dan donatur untuk fondation tersebut. Selain itu para guru sendiri juga diharapkan untuk aktif menjalin loby ke badan-badan riset dan foundation. Karena secara realitas pemerintah sendiri kurang mampu memberikan dana. Jika PGRI dan para guru sendiri aktif, saya yakin akan banyak proyek penelitian yang bisa dinikmati oleh para guru.

    info yang menarik, pak aryo, makasih infonya 🙄

  11. wah sudah seharusnya kan guru juga jadi peneliti, jangan sampai hanya guru yang menjadi guru textbook 😀
    moga PTK ini berhasil dalam memberikan metode pengajaran yang ideal 🙂

    makasih dukungan dan apresiasinya, mas aRul :oke

  12. Sebuah metode yang bagus nampaknya Pak Sawali, tapi pada saat dihadapkan dengan kendala finansial, kesiapan sumber daya guru sendiri yang minim (belum semua guru itu S1 loh, belum sempat ikut mata kuliah Metodologi Ilmiah), boro-boro mikirin PTK, ngurus rumah aja kekurangan waktu (buat ibu guru)…..dan lain-lain…..
    Mungkin yang harus diperjuangkan juga, kesejahteraan guru-guru inilah Pak Sawali yang perlu terus dikedepankan……
    Hanyalah komentar dari saya yang awam Kang Sawali……mohon ma’lum….

    wah, kesejahteraan mesti tetep terus diperjuangkan, mas yoyok. mudah2an budaya meneliti juga bisa tumbuh di kalangan guru :oke

  13. kalau boleh menambahkan pak sawali, bukan hanya pionir dan inovator. Tapi juga inspirator dan motivator. Jadi, guru-guru bisa menjadi memotivasi rekan-rekan dan murid2nya.

    Selama ini didunia bisnis ada nama-nama motivator yang sukses. Di dunia pendidikan? kenapa tidak?

    Maaf bila saya terkesan lancang. Karena saya bukan guru. Maaf bila saya terkesan berpandangan sempit. maklum, masih perlu banyak belajar. Terutama dari sosok seorang sawali tuhusetya 🙂

    terima kasih tambahan infonya, mas syam, saya sepakat banget. btw, saya bukan siapa2, mas syam, hehehe 😆 jangan berlebihan 💡

  14. Sepertinya…. jikalau ingin mencapai hasil yang maksimal…. guru harus benar2 kreatif. Tidak perlu menjadi seorang peneliti khusus (walaupun tak ada salahnya juga jadi peneliti), yang penting seorang guru dapat mencermati dinamika yang terjadi di tengah2 muridnya, kreatif dalam mengajar sesuai dengan kerangka waktu dan tempat yang berbeda2, mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi yang berada di sekitarnya dan juga ilmu yang diajarkannya serta gigih dan tabah dalam mengatasi persoalan2 yang ada di dunia pendidikan. Dengan begitu **halaah** mudah2an guru2 di tanah air ini dapat berkembang dengan pesat dan dapat menghasilkan sumberdaya manusia kelas satu yang sangat dibutuhkan di negeri ini….. 😀

    yapss, sepakat banget dg bung yari. mudah2an harapan itu bisa terwujud, bung 💡

  15. kendala masalah dokumentasi memang menjadi penyakit sumber gagalnya kaderisasi pak. semoga dengan semakin tersentuhnya dunia pendidikan oleh ICT hingga lapis bawah, bisa mengurangi habit malas mendokumentasikan setiap progress.

    mudah2an bisa terwujud, mas epat, amiin 💡

  16. Guru menjadi peneliti…kenapa tidak? Namun tentu, tak semua guru berbakat seperti itu, ada juga guru yang tak harus menjadi peneliti, tapi beliau berbakat dalam menangani murid yang sulit, mendorong murid lebih kreatif dsb nya.

    terima kasih dukungan dan apresiasinya, bu enny 💡

  17. kalau membaca membuat kita mengetahui sekelumit ilmu sebatas bacaan,
    menulis membuat kita harus membaca lebih banyak,
    maka meneliti membuat kita jadi lebih kritis terhadap berbagai ilmu yang tersaji.

    meneliti dicetuskan oleh rasa penasaran akan sesuatu untuk mencari kebenaran (membuktikan hipotesis) atau menemukan sesuatu yang baru.

    saya setuju, sudah sewajarnya iklim meneliti disuburkan di kalangan pendidik, pak sawali, agar ilmu yang dimiliki tak sekadar jalan di tempat.

    terima kasih dungna dan apresiasinya, mbak yulfi, semoga harapan itu bisa terwujud 💡

  18. Tugas nambah semoga penghasilan juga ikut nambah, Pak Sawali meski saya tahu untuk guru-guru yang tulus seperti Anda, penghasilan ada di urutan kesekian dalam prioritas hidup dan pengabdian Anda.

    terima kasih dukungan dan doanya, mas donny 💡

  19. PTK hanyalah salah satu bentuk tulisan ilmiah yg memang menjadikan kegiatan pembelajaran itu sendiri sbg objek penelitian. Harapannya tentu saja guru lebih profesional dan bisa mengembangkan diri.

    Guru plus peneliti bagus, tapi jam wajib ngajar dikurangi

    yaps, begitulah pak zul, hehehe 😆 idealnya jam mengaar guru cukup 18 jam, bukan 24 jam, biar bisa meng-up grade diri, 🙄

  20. saya guru,
    sesuatu yang tidak saya cita-citakan,
    kalau akan masuk kelas, sering nervous, padahal sudah 8 tahun jadi guru,
    kalau sudah masuk kelas, rileks bahkan cenderung nyantai, bagi saya belajar tidak perlu mengernyitkan kening, asal senang ilmu akan masuk dengan sendirinya.

    mudah2an sekarang sudah menemukan kenikmatan menjalani hidup sbg guru, pak raja, hehehe 💡

  21. Pucuk di cinta ulam pun tiba, bener nggak ya.. ungkapan itu.

    Pak Sawali yang saya hormati,
    Tgl 21 September ISPI Banyumas akan mengadakan Workshop Penelitian Tindakan Kelas Se-Eks Kawedanaan Ajibarang. Tulisan Bapak sangat bagus, menyengat dan perlu direnungkan.

    Boleh ndak tulisan Bpk yang bagus ini saya lampirkan sebagai bagian dari Workshop Kit untuk para peserta selain makalah utama dari pembicara. Tentunya nama penulis (yaitu Bpk sendiri) tidak akan dihilangkan. Itung-itung promosi Bapak kepada teman-teman.

    Mungkin kapan-kapan, kami akan mengundang Bpk menjadi narasumber.

    Respon boleh ndaknya, saya tunggu aja di email.

    Makasih 😕

    wah, jadi tersanjung nih, makasih banget apresiasinya, pak deni. silakan saja, pak, matur nuwun 💡

  22. seperti taman siswa ya, pak? belajar sambil meneliti lingkungan sekitar. mungkin tak setiap guru bisa menjadi peneliti materi yg digelutinya. tapi, paling tidak kan sebetulnya tiap guru bisa meneliti dirinya sendiri. melihat potensi yg ada lalu berusaha berbagi. saya kira bisa saja dilakukan tanpa banyak keluar biaya. kalo nurutin para pembuat kebijakan sih, menurut saya, mereka sekarang ini sedang “kegedhen ampyak, nanging radi kirang cagak” haks.. 😡 :mrgreen:

    Siti Jenangs last blog post..Menundukkan Naluri, Mendirikan Nurani

    bener banget, mas siti jenang. ptk pun bisa dilakukan setiap kali para guru mengajar di kelas. hanya tinggal mendokomunetasikan dan menganalisis data yang diperoleh dg cara2 yang adgak ilmiah dikit, hehehe 🙄

  23. Saya setuju dengan pendapat Ibu Enny, tidak semua guru berbakat untuk meneliti, yang paling penting guru tidak stop disitu saja tapi mau juga menjadi “MURID” (baca : belajar) demi perkembangan diri sendiri dan anak didiknya.

    salam kenal pak, baru pertama kali mampir di sini.

    imelda

    saya juga sependapat, mbak imelda. makasih kunjungannya :oke

  24. Sayangnya, cara-cara yang diterapkan guru dalam kegiatan pembelajaran seringkali berlangsung secara dadakan, tidak terencana dan terpola, berlangsung sesaat, dan (hampir) tak ada tindak lanjutnya.

    Untuk sekolah yang memiliki “kekuatan ada pada guru”, memang seringkali masalah tersebut berlarut-larut meskipun pelatihan demi pelatihan dalam strategi pembelajaran sering didapat. Tapi untuk sekolah yang berada di dalam sistem sebagai pemegang kendali, sepertinya masalah itu sudah jarang ditemui… semoga saja pendidikan kita semakin maju dengan kualitas guru yang mumpuni apalagi dengan tambahan beban tugas guru yaitu sebagai peneliti…

    lapor : saya sering masuk ke mari tapi seringkali sawali.info tidak bisa diakses … lamporan selesai!

    kurts last blog post..Puasa Kembalikan Modal Hidup (1)

    sepakat dengan mas kyai kurt nih. btw, kok bisa jadi sulit diakses, kenapa juga ya mas kyai? saya ndak tahu cara ngatasinya :oke

  25. andaikan… separo saja guru di negara ini mau melakukan PTK yang berorientasi benar2 untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, keterpurukan pendidikan kita dapat diakselerasi untuk bangkit 😡
    Keprihatinan akibat ketidakmauan (klo tidak mau dibilang ketidakmampuan) menulis dapat kita lihat dari pangkat/golongan guru yang masa kerjanya sudah lama, kebanyakan mentok di IVa, krn untuk ke IVb guru harus berkarya (ilmiah).
    Semoga tulisan Bapak ini bisa membangkitkan semangat menulis bagi guru…

    Cah Kendal.

    makasih supportnya, mas heri. wew… cah kendal, kita bisa kopdar setiap hari dong, hehehe 😆 makasih telah berkenan mampir, mas 💡

  26. Kalo arahnya mencetak anak didik yang tidak hanya menguasai materi tapi lbh pada bagaimana meningkatkan kemampuan murid dalam mengintegrasikan dan merealisasikan ide, negeri ini pasti punya daya akselerasi yang kompetitif. Indo saat ini tidak terlalu butuh banyak program, termasuk dunia gurunya. Sedikit program tapi banyak pahlawan/ teladan yang lebih dibutuhkan. Banyaknya permasalahan, termasuk dlm dunia pendidikan pun belum mampu memicu perubahan yang berarti… PTK…semoga banyak pahlawan/ teladan yang bisa di’pamer’kan nantinya… Asal prosesnya dilaksanakan maksimal, hasil tentu optimal. Mungkin itu rumusannya. Semua mendoakan, Pahlawanku.

    terima kasih dukungan dan supportnya terhadap para guru, mas dhoni 😆

  27. Salut
    Hari ini tak seperti masa dimana Almarhum Bapak saya masih mengajar,waktu itu beras yang saya makan adalah kelas ( JATAH ) gaji bapak saya pas pasan sekali jadi megap megap ketika sudah mulai kami masuk ke bangku Akademi ,tapi lai dulu lain sekarang >>>>>MUNGKIN
    Kesejahteraan para guru mestinya sebagai faktor pertama yang mempengaruhi semua lajunya Project di dunia pendidikan
    dan mencoba memahami tulisan di atas memanglah betapa besar harapan bangsa ini untuk memiliki para Guru yang Profesional dalam mendidik (dimana profesionalisme bisa dipupuk dari PTK ,tapi bukankah tidak semua guru berbakat untuk menjadi peneliti,
    program program yang mendadak dan tidak memiliki pola yang dirancang sebelumya biasanya melahirkan …..(weleh weleh saya kok jadi sok tahu
    udah ah pak saya Salut aja )……………

    genthokelirs last blog post..Gunung Hotspot

    terima kasih dukungan dan apresiasinya terhadap para guru mas totok 😆

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *