Semangat Pembebasan di Balik Ritual Agustus-an

Gaung Agustus-an kembali menggema di seantero negeri. Kibaran sang saka Merah Putih dan umbul-umbul warna-warni bagaikan menyentuh dinding langit. Sesekali pekik “Merdeka” membahana dari atas podiom atau mimbar pidato; menggetarkan setiap jengkal tanah. Setiap anak bangsa kembali tersentil sikap nasionalisme dan patriotismenya. Di layar memori tampak adegan filmis yang menggambarkan para pejuang yang begitu heroik dan berdarah-darah mengusir penjajah. Tiba-tiba saja kita seperti menjadi sosok nasionalis tulen yang tak merelakan sejengkal tanah pun direbut orang.

Segenap pejabat dari berbagai instansi merasa perlu memberikan instruksi kepada jajaran bawahannya untuk menggelar berbagai acara seremonial. Demikian juga tokoh-tokoh masyarakat, pemimpin institusi, atau organisasi sosial-politik. Dari berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat muncul berbagai ritual dengan segenap gegap-gempitanya untuk menyatakan kehendak bersama: mengenang detik-detik proklamasi yang agung itu. Seluruh ingatan kolektif bangsa difokuskan pada satu titik episentrum kebersamaan untuk mengenang kembali semangat pembebasan menuju jembatan emas kemerdekaan yang menjanjikan keadilan dan kemakmuran.

Begitulah gambaran sekilas tentang romantisme proklamasi kemerdekaan yang rutin hadir setiap tahun pada bulan Agustus. Agaknya, gambaran heroik tentang perjuangan para pendahulu negeri dalam membebaskan bangsanya dari cengkeraman kaum kolonial (nyaris) tak pernah lapuk oleh rajaman sang waktu. Semangat proklamasi akan terus hidup dan terukir dalam prasasti nurani bangsa dari generasi ke generasi. Semangat itu juga akan terus tercatat dalam musium dan buku-buku sejarah sebagai warisan tak ternilai yang akan terus menjadi sumber inspirasi bagi anak-anak bangsa dalam membangun dan membawa gerbang bangsa pada terminal tujuan yang diharapkan.

Sempoyongan Memanggul Beban
Kini, usia kemerdekaan bangsa kita telah mencapai angka delapan windu alias 64 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, usia 64 tahun bisa dibilang sebagai usia pencapaian kematangan hidup yang sempurna. Pada tahapan usia ini, manusia cenderung lebih mengutamakan untuk memburu nilai-nilai spiritual sebagai bekal untuk menghadap Sang Khalik jika sewaktu-waktu dipanggil menghadap-Nya. Hal-hal yang bersifat keduniawian mulai disisihkan.

Namun, ketika memasuki usia delapan windu, bangsa kita justru dihadapkan pada persoalan yang makin rumit dan kompleks. Bangsa kita makin tampak sempoyongan memanggul beban; tak hanya tertatih-tatih dalam menuntaskan persoalan-persoalan internal kebangsaan, seperti kemiskinan, kebodohan, atau keterbelakangan, tetapi juga persoalan-persoalan eksternal akibat makin masifnya ancaman kedaulatan negara di wilayah-wilayah perbatasan, persoalan HAM, terorisme, gerusan budaya global, dan semacamnya.

korupsiDengan nada sedih harus kita katakan bahwa dalam usia delapan windu, bangsa kita belum sepenuhnya mampu merajut kembali semangat pembebasan yang dulu menjadi “roh” para pendahulu negeri dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Semangat pembebasan itu dinilai telah berubah menjadi etos egoisme berbasiskan nilai-nilai primordialisme sempit. Semangat ke-“kita”-an telah menjelma menjadi semangat ke-“aku”an atau ke-“kami”-an yang lebih mementingkan kelompok dan golongan ketimbang kepentingan bangsa dan negara. Lihat saja maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menggurita di (hampir) segenap jajaran birokrasi, mulai lapis bawah hingga lapis atas. Virus korupsi agaknya benar-benar telah menyatu dalam aliran darah sehingga perilaku anomali yang menghancurkan harkat dan martabat bangsa ini dianggap sebagai hal yang wajar terjadi. Para koruptor telah menjadi orang kaya baru yang suka pamer kemewahan di atas derita sesamanya. Nafsu serakah dan kemaruk terhadap gebyar duniawi telah menutup sikap peka dan sensitif terhadap nasib sesama yang masih terus bersikutat di tengah lumpur kemiskinan dan penderitaan.

Sementara itu, dunia pendidikan yang seharusnya mampu menjalankan peran dan fungsi sebagai “kawah candradimuka” peradaban dinilai juga telah tereduksi oleh kepentingan kekuasaan. Pendidikan tidak didesain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi lebih diarahkan untuk melahirkan generasi masa depan yang bebal, alergi kritik, dan kehilangan kepekaan. Bertahun-tahun lamanya dunia persekolahan kita terpasung dalam ruang hafalan-hafalan teori dan rumus, tidak ”membumi”, tidak ada upaya serius untuk membawa para siswa didik mampu menerjemahkan berbagai ranah keilmuan yang diperoleh ke dalam realitas sosial. Pendidikan menjadi tercerabut dari problem riil yang seharusnya mereka jawab dan selesaikan.

tawuranYang lebih memprihatinkan, para murid kian kehilangan sentuhan problem riil yang dihadapi bangsa dan masyarakatnya saat-saat mendekati ujian nasional. Anak-anak digiring ke dalam ruang karantina untuk ”dicekoki” berbagai soal yang diperkirakan akan muncul dalam ujian. Mereka diperlakukan bagaikan ”keranjang sampah” yang harus menampung semua tumpahan hafalan teori dan rumus dari sang guru. Guru terpaksa berbuat demikian karena tak sanggup melepaskan diri dari ”tekanan” kepala sekolah demi menjaga gengsi dan citra sekolah. Keberhasilan guru hanya diukur berdasarkan kemampuannya dalam mentransfer pengetahuan yang dimiliki kepada siswa didik dalam menghadapi ujian. Guru yang serius mengoptimalkan diri mengajak siswa melakukan curah pikir dan berinteraksi secara terbuka sehingga mampu mengidentifikasi dan menganalisis berbagai problem sosial dan kebangsaan secara bebas dan kritis justru tidak mendapatkan tempat di ruang sekolah. Proses pembelajaran semacam itu dianggap akan menjadi penghambat keberhasilan siswa dalam menghadapi soal-soal ujian. Dalam kondisi yang demikian itu, bagaimana mungkin dunia persekolahan kita mampu melahirkan manusia-manusia yang cerdas, kritis, dan responsif? Bagaimana mungkin siswa didik kita tergugah kesadarannya untuk belajar mengenali berbagai problem riil yang mencuat dalam kehidupan sosial?

Potret bangsa kita makin buram jika melihat realitas sosial-ekonomi masyarakat yang dinilai masih jauh dari layak dan memadai. Sektor ekonomi konon hanya dikuasai oleh segelintir orang atau golongan tertentu. Akibatnya, rakyat yang berada di lapisan akar rumput (nyaris) tak bisa ikut menikmati remahan kue pembangunan yang dengan sengaja dirancang melalui jargon-jargon pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Kesenjangan sosial-ekonomi pun kian menganga. Yang kaya makin kaya, sedangkan yang miskin makin kepayahan menanggung derita hidup berkepanjangan.

Dari sisi hukum dan politik, bangsa kita dinilai juga tengah mengalami proses pembusukan akut. Hukum bukan menjadi media untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan, melainkan telah terkooptasi oleh berbagai kepentingan. Mereka yang berkantong tebal bisa demikian mudah memelintir pasal-pasal dan ayat-ayat hukum formal untuk menyelamatkan nasib mereka dari jerat hukum, sedangkan rakyat kecil sering tak berdaya dalam mendapatkan keadilan dan kebenaran sejati. Sementara itu, di bidang politik, aroma kekerasan tak jarang mewarnai dinamika dan perjalanan demokrasi dari waktu ke waktu. Untuk menggapai tujuan, kaum elite politik negeri ini tak jarang menerapkan segala macam cara ala Machiavelli. Masih sulit ditemukan demokrat-demokrat ulung dan elegan yang memiliki wisdom dan kearifan sehingga mampu bermain politik secara sehat, matang, dan dewasa.

Kondisi semacam itu sungguh bertentangan secara diametral dengan situasi pada awal-awal masa kemerdekaan ketika suasana heroik berbasiskan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme masih begitu kokoh menancap dalam gendang nurani setiap warga bangsa. Kaum elite negeri bersama rakyat hingga di lapisan akar rumput berada dalam satu barisan, lantas bergandengan bersama di tengah “jalan kebersamaan” untuk mewujudkan makna pembebasan dan menggapai hidup merdeka yang telah lama dicita-citakan.

Kesalehan Personal dan Sosial

puasaKini, agaknya perlu ada penafsiran ulang terhadap makna kemerdekaan ketika usia negeri ini terus bertambah. Jangan sampai terjadi, “jalan kebersamaan” yang telah dirintis oleh para pendahulu negeri, berubah menjadi “ladang” yang tandus dan tak terurus. Bahkan, harus ada kesadaran kolektif untuk menjadikan “jalan kebersamaan” itu seperti “jalan tol peradaban” yang mampu mengantarkan segenap rakyat negeri ini menuju harapan dan cita-cita yang diinginkan sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yakni “membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”

Hari Ulang Tahun ke-64 RI tahun ini kebetulan bertepatan dengan momentum puasa Ramadhan 1430 H. Kita seperti diingatkan kembali pada sebuah peristiwa heroik ketika Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan itu di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Jakarta Pusat, pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 (tahun Masehi), atau 17 Agustus 2605 (tahun Jepang), atau 17 Ramadan 1365 (tahun Hijriah). Proklamasi kemerdekaan dan puasa Ramadhan tak hanya tercatat dengan tinta emas dalam prasasti historis bangsa, tetapi juga sekaligus menjadi ikon pembebasan mitos keterkungkungan dan keterbelengguan dari cengkeraman kekuatan nafsu. Ramadhan merefleksikan makna pembebasan manusia dari keterjajahan nafsu, mulai yang bersifat lahiriah hingga yang bersifat batiniah. Sedangkan, proklamasi kemerdekaan RI memanifestasikan sikap pembebasan dari keterjajahan nafsu sang kolonialis.

Ramadhan sejatinya dapat dijadikan sebagai medium untuk membakar dan membrangus kerak-kerak dosa sekaligus menggapai kehidupan hakiki yang lebih terhormat dan bermartabat. Puasa, menurut para pengamat spiritual, mengandung dua dimensi kesalehan, yakin kesalehan personal dan sosial. Kesalehan personal sangat erat kaitannya dengan laku ibadah yang langsung berkaitan dengan Sang Pencipta, sedangkan kesalehan sosial berkaitan dengan eksitensi kita di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kesalehan personal merupakan manifestasi sikap religius yang berkaitan dengan nilai benar atau salah. Hal ini menjadi wilayah absolut Allah untuk menentukannya yang mustahil bisa diganggu gugat. Kesalehan sosial merupakan perwujudan sikap spiritual yang tampak jelas melalui kiprah seseorang dalam aksi-aksi sosial dan solidaritas terhadap sesama. Menyantuni anak yatim, mengurus anak-anak miskin dan telantar, memberikan perhatian khusus kepada para jompo, atau sikap mengharamkan korupsi merupakan beberapa contoh manifestasi nilai kesalehan sosial yang akan sangat besar manfaatnya bagi kemaslahatan publik.

Kita berharap, HUT ke-64 RI yang bertepatan dengan bulan Ramadhan 1430 H bisa dijadikan sebagai media refleksi dan merajut kembali makna pembebasan agar bangsa kita benar-benar kembali kepada “khittah” perjuangan para pendahulu negeri untuk mewujudkan bangsa yang benar-benar merdeka dan berdaulat.

Nah, dirgahayu Indonesiaku dan selamat menunaikan ibadah puasa!

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog dijaminmurah.com 2009 yang mengambil tema penulisan tentang Kemerdekaan Republik Indonesia atau Bulan Ramadhan.

No Comments

  1. saya baru mengetahui soal tanggal masehi dan tanggal hijriyah yang bertepatan di angka 17 itu, pak. *kamana wae atuh, marshmallow?* ternyata benar, membaca blog itu selalu membuka wawasan dan pengetahuan baru. suwun, pak.

    kemerdekaan seyogyanya diisi dengan kebaikan, membangun fisik dan terutama mental bangsa. dan momen menjelang ibadah ramadhan ini seperti ikut merestui delapan windu kemerdekaan kita. semoga semakin baik ke depannya. (dan selamat mengikuti kontesnya, pak. saya doakan sukses!)

  2. sekali merdeka tetap merdeka pak.

    namun terkadang saya berpikir,apakah bangsa ini sudah benar-benar merdeka dalam arti sebenarnya.

    namun sebagai warga negara yang baik saya pribadi mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas jasa para pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan kita 64 tahun yang lalu.

    dirgahayu bangsaku
    semoga kepakan sayap garuda masih bisa kita lihat di episode kedepan
    .-= Baca juga tulisan terbaru galuharya berjudul Mawar merah di pelataran =-.

  3. Kalo masalah potret bangsa se, rada-rada bingung juga lho PAK… Karena ini bukan urusan satu- dua orang… Rada-rada sulit untuk mengubah citra yang telah melekat sebelum nya -_-‘
    .-= Baca juga tulisan terbaru NoRLaNd berjudul What an Event =-.

  4. sialnya, kesadaran kolektif itu entah mengapa begitu sulit untuk direalisasikan. Mungkinkah ‘penjajahan’ budaya negatif asing, gaya hidup, atau doktrinasi buruk nan tersamar itu begitu hebat hingga banyak orang tak lagi merindukan kemerdekaan hakiki? semoga tidak..
    .-= Baca juga tulisan terbaru zenteguh berjudul susahnya apdet =-.

  5. Dijamin menang di kontes didjaminmurah…
    Tulisan tirik2 koyo diktat ngene nek rak menang yo kebangeten…

    Ini komentar saya ketik dua kali Pak.
    Sing pertama amblas, goro2 ngeklick tombol “POSTING KOMENTAR” tapi pas ning logo 64. Dadine ora nyimpen tapi malah ngelink ning postingan liya.
    Wis ono sing ngalami koyo aku opo durung Pak?.
    .-= Baca juga tulisan terbaru marsudiyanto berjudul Bangga =-.

  6. Logo 64 kuwi memper lampu Honda Blade Makibao duweke Pak Andy MSE…
    Stang wis dienggokke lampune jek ajeg lurus…
    Logo kuwi yo ngono. Wis tak scroll tetep mentheleng ning tengah2, ngepasi tombol SEND COMMENT…
    .-= Baca juga tulisan terbaru marsudiyanto berjudul Bangga =-.

  7. semua yang ditulis pak sawali ini sebenarnya juga unek-unek di kepala saya Pak. tapi saking mbedhedhegnya sampai ngga bisa ngomong.

    jadi saya bicara versi sederhana saja…

    *e… pak. gambar logo 64 tahun kemerdekaan itu agak mengganggu, nutupi monitor je :D*
    .-= Baca juga tulisan terbaru Latree@dandelion berjudul 17-es games =-.

  8. selain peninjauan ulang makna dari kemerdekaan kita juga harus meninjau ulang kembali apakah negara ini memang benar-benar telah merdeka dari segala bentuk penjajahan atau hanya merdeka dari segi kepemerintahan saja?
    ada fenomena yang unik pak pada zaman ini, sepertinya pemerintah berlomba membuat rumah sakit dan sekolahan bertaraf internasional. namun siapakah yang mengisi rumah sakit dan sekolahan bertaraf internasionla tersebut?

    apahak negara ini akan kembali ke zaman penjajahan belanda, yang berduit saja yang bisa menikmati jasa kesehatan dan pendidikan bermutu tinggi?
    sedangkan yang tak berduit hanya bisa gigit jari mendapatkan fasilitas seadanya.
    mohon maaf ocehane puanjang
    .-= Baca juga tulisan terbaru dafhy berjudul Paid Review from buylinkpost.com =-.

    1. saya sepakat banget dengan mas dafhy. sepertinya negeri ini belum sepenuhnya merdeka. dalam dunia pendidikan saja, anak2 dari kalangan tak mampu terpaksa harus tersingkir karena tak sanggup membayar biaya pendidikan yang mahal.

  9. Indonesia memang sudah merdeka, namun masyarakatnya masih banyak yang belum merdeka, termasuk guru-gurunya.

    Bagaimana guru dapat memerdekakan potensi siswanya kalau jiwanya seringkali masih merasa belum merdeka. Mungkin salah satu masalahnya karena pendidikan di Indosenia belum menghargai sebuah proses. Saya rasakan dunia maya telah banyak membantu guru, sehingga guru mampu menemani siswa memerdekakan potensinya.

    Perjuangan masih panjang.

    Selamat berjuang.
    .-= Baca juga tulisan terbaru Puspita W berjudul Doa Untuk Putraku =-.

  10. MEREK A !!!
    *sengaja di hilangkan satu huruf, karena hanya MEREKA yang merayakannya, kami warga stren kali dan warga tertindas lainnya masih belum menikmatinya secara penuh kebebasan Ibu Pertiwi*

  11. Bagaimanapun, sekarang situasi yang tepat untuk lebih mempersatukan bangsa ini. Apalagi bagi kita yang tak ikut berlumuran darah untuk merebut kemerdekaan.
    Kita harus bersatu padu, membangun negara, terlepas dari segala kesulitan dan gangguan teror yang tak menginginkan Indonesia utuh.

  12. Analisis yang tajam dan comprehensif, salut saya.
    Memang semua kondisi diatas banyak dipengaruhi oleh kondisi global yang tidak kita imbangi dengan upaya untuk menjadikan proklamasi,Pembukaan dan UUD 1945 serta Pancasila sebagai pondasi yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
    Kita selalu mengatakan bahwa globalisasi kita ikuti dengan cerdas agar kita tak terseret dalam arus itu, namun prakteknya kita pontang-ponting disegala aspek dan lini kehidupan.
    Perlu mawas dari lagi agar kita tetap tegar tapi tak ketinggalan dalam persaingan global dengan tidak melupakan jati diri kita.

    Salam merdeka dari Surabaya.

    1. salam merdeka juga, pakde. terima kasih banget apresiasinya. semoga momen HUT kemerdekaan tahun ini bisa membuat kita bisa saling mawas diri utk selanjutnya melakukan langkah terbaik utk membesarkan bangsa dan negara.

    1. hehe … itu dia yang kita khawatirkan, mas deno. seremoni 17-an itu sesungguhnya hanya asesoris, yang substansial justru terletak bagaimana kita bisa memaknai kemerdekaan itu secara rill dalam kehidupan sehari2. doh, kok jadi sok tahu saya, haks.

  13. bangsa ini harus segera bangun dan menyaksikan sendiri hasil dari mimpinya disiang bolong, semua serba terbalik… malahan anak-anak kecil dan warga dusun yang diwajibkan untuk lomba bersih-bersih, dan merenung… mau merenungi nasibnya sendiri… haks :d
    .-= Baca juga tulisan terbaru suryaden berjudul Stop Dreaming Start Action part 1 =-.

  14. Salam
    Setuju Pakde, kembali ke khittah, merekat idealisme memperjuangkan negeri ini menjadi negeri yang bermartabat, bukan pengekor dan mampu berdiri dia atas kaki sendiri menyelelesaikan maalah-masalah yang komplek. Amin

  15. Kepada siapa negara ini akan bertuan….?????

    Merdeka ??????ah yang benar negeri kita merdeka..hatiku bertanya..ternyata dijawab oleh pak sawali…tulisan yang sungguh inspiratif…memang negara kita belum merdeka dalam arti sesungguhnya. aset negara kita masih banyak dikuasai pihak asing selama berpuluh puluh tahun kedepan. meminjam perkataannya pak Amin Rais kalo negara kita ini belum bisa mandiri.

    beribu ribu realitas sosial di negara ini cukup menggambarkan negara kita jauh dari merdeka..mari mulai dari diri kita untuk memulai membangun bangsa ini. …moga menang ya pak..trus syukuran.he2..

    merdeka….
    .-= Baca juga tulisan terbaru noersam berjudul Adakah Gerakan Moral pasca putusan MK ? =-.

    1. hehe … malah ada yang baru bisa berteriak “1/2 merdeka”, mas noersam. sungguh ironis memang. dikenal sebagai negara subur dan kaya raya, tetapi masih ada jutaan rakyat yang hidup menderita dan terlunta-lunta akibat beban kemiskinan yang menelikungnya. doh!

  16. Saya setuju untuk dilakukannya penafsiran ulang terhadap makna kemerdekaan. Apakah kemerdekaan itu hanya berarti lepas dari penjajahan atau memiliki makna yang lebih luas dari itu. Merdeka untuk menentukan kebijakan sendiri misalnya, yang rasa-rasanya kok semakin hilang di tengah percaturan pergaulan internasional akhir-akhir ini.
    .-= Baca juga tulisan terbaru kombor berjudul Rangkaian Acara 17-an Usai Sudah =-.

    1. @kombor,
      agaknya memang diperlukan penafsiran ulang, mas arif, sebab merdeka sejatinya juga akan terus berkembang secara dinamis sesuai dengan konteks zaman dan peradaban. sungguh ironis kalau kita benar2 sudah bisa dibilang merdeka kalau menyatakan pendapat di muka umum saja mesti dicurigai dan dianggap sbg pembangkang.

  17. Pak Sawali pa kabar maaf baru sempat bertegur sapa
    ini saya titip komen dari Mas Prayit soal pendidikan

    SOAL PENDIDIKAN
    Tampaknya kita sepakat bahwa sektor “pendidikan”
    merupakan masalah teramat penting bagi kemajuan bangsa dan negara.
    Namun, hingga kini, masalah pendidikan tak pernah sepi dari berbagai
    kritik. Hal ini disebabkan masih terus terjadinya try and error dalam
    system pendidikan kita, dan lagi-lagi korbannya adalah siswa dan
    orangtua murid.
    Mestinya, kalau kita berbicara pendidikan harus dimulai dari “hulunya”. Hulu pendidikan tak bisa dilepaskan dari peran
    “guru”.
    Secara teoretis, jika staf pengajarnya (gurunya) baik, kemudian murid,
    kurikulum dan fasilitas (sarana dan prasarana) semua baik maka niscaya
    outputnya akan baik juga.
    Tetapi, jika persyaratan ideal itu tidak
    mungkin kita penuhi semuanya, maka satu hal yang tidak boleh tidak
    (conditio sine qua non) harus dipenuhi adalah soal “kualitas guru” mutlak harus baik.
    Guru yang baik tentu berasal dari training ground (lembaga pendidikan guru) yang berkualitas. Dan lembaga pendidikan penghasil guru dengan
    kualitas exellent (sangat baik) tentu hanya mau menerima “calon
    mahasiswa” yang sangat baik pula. Yang menjadi pertanyaan, apakah
    sejauh ini negara kita telah memiliki lembaga pendidikan guru yang
    benar-benar berkualitas? Berapa banyak dari calon mahasiswa dengan
    standar IQ superior yang interest menjadi guru? Apakah guru merupakan
    pilihan profesi yang cukup memberikan jaminan kesejahteraan?
    Hal-hal seperti itulah yang menurut pendapat saya justru harus
    dibongkar terlebih dulu, sebelum kita berbicara masalah kenaikan
    anggaran. Sebab, kenaikan anggaran yang tidak diimbangi dengan mutu
    staf pengajar hasilnya akan kurang efektif.
    Tolok ukur pendidikan yang berhasil yakni apabila output dari
    pendidikan mampu menjadi agent of chance (agen perubahan) sehingga
    secara bertahap negara Indonesia akan menjadi negara modern dengan PDB
    yang jauh lebih tinggi mengejar negara-negara maju lainnya. PDB yang
    tinggi jelas menunjukkan adanya produktifitas, kreativitas, inovasi,
    eksplorasi, kerja keras, jujur dan disiplin. Bagaimana mungkin hal
    tersebut dapat terwujud jika tanpa guru yang baik? Saya kira itu
    persoalannya.
    Sektor pendidikan seharusnya bersih dari “vested intersest politik aliran” artinya dia harus diupayakan secara lintas sektoral tanpa campur tangan kepentingan partai politik tertentu.
    Sialnya, saya melihat sektor pendidikan masih terlalu kuat campur tangan politis dari partai politik tertentu. Sehingga, pendidikan yang seharusnya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan seluruh rakyat akhirnya justru terlalu sarat/penuh dengan beban biaya yang semakin tak terjangkau.
    Dengan kata lain pendidikan semakin elitis dan kapitalistik. Maka, saya berani menjamin “rusaklah” negeri ini jika pendidikan dibuat hanya untuk orang-orang yang berduit saja. Akibatnya sungguh sangat mengerikan!!!!!!!!!!!!!

  18. Wah, tulisannya panjang bener ya.. salut dengan tulisan bapak. Saya baca secara cepat saja, Indonesia dengan segala kekurangannya, masih memiliki harapan untuk menjadi lebih baik. Momentum Ramadhan dan peringatan kemerdekaan ini menjadi sangat tepat sekali untuk perbaikan tersebut.

    Maaf, ingin mempromosikan tulisan juga dalam lomba menulis: http://bangkitlahnegeriku.blogdetik.com/2009/08/29/anak-seribu-pulau/

    Maaf kalau kurang berkenan..
    .-= Baca juga tulisan terbaru dinoyudha berjudul Keberkahan Ramadhan =-.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *