Emha Ainun Nadjib: Kyai Kanjeng Sang Pelayan

Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik KiaiKanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.

Bersama Grup Musik KiaiKanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Nama: EMHA AINUN NADJIB
Lahir: Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953
Agama: Islam
Isteri: Novia S. Kolopaking
Anak:

* Sabrang Mowo Damar Panuluh
* Ainayya Al-Fatihah (alm)
* Aqiela Fadia Haya
* Jembar Tahta Aunillah
* Anayallah Rampak Mayesha

Pendidikan:

* SD, Jombang (1965)
* SMP Muhammadiyah, Yogyakarta (1968)
* SMA Muhammadiyah, Yogyakarta (1971)
* Pondok Pesantren Modern Gontor (tidak tamat)
* FE di Fakultas Filsafat UGM (tidak tamat)

Karir:

* Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970)
* Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976)
* Pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta)
* Pemimpin Grup musik KiaiKanjeng
* Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media

Karya Seni Teater:

* Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan “Raja” Soeharto)
* Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan)
* Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern)
* Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern)
* Santri-Santri Khidhir (1990, bersama Teater Salahudin di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun Madiun)
* Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar)
* Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993)
* Perahu Retak (1992).

Buku Puisi:

* “M” Frustasi (1976)
* Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978)
* Sajak-Sajak Cinta (1978)
* Nyanyian Gelandangan (1982)
* 99 Untuk Tuhanku (1983)
* Suluk Pesisiran (1989)
* Lautan Jilbab (1989)
* Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990)
* Cahaya Maha Cahaya (1991)
* Sesobek Buku Harian Indonesia (1993)
* Abacadabra (1994)
* Syair Amaul Husna (1994)

Buku Essai:

* Dari Pojok Sejarah (1985)
* Sastra Yang Membebaskan (1985)
* Secangkir Kopi Jon Pakir (1990)
* Markesot Bertutur (1993)
* Markesot Bertutur Lagi (1994)
* Opini Plesetan (1996)
* Gerakan Punakawan (1994)
* Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996)
* Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994)
* Slilit Sang Kiai (1991)
* Sudrun Gugat (1994)
* Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995)
* Bola- Bola Kultural (1996)
* Budaya Tanding (1995)
* Titik Nadir Demokrasi (1995)
* Tuhanpun Berpuasa (1996)
* Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997)
* Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997)
* Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997)
* 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998)
* Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998)
* Kiai Kocar Kacir (1998)
* Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998)
* Keranjang Sampah (1998)
* Ikrar Husnul Khatimah (1999)
* Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000)
* Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000)
* Menelusuri Titik Keimanan (2001)
* Hikmah Puasa 1 dan 2 (2001)
* Segitiga Cinta (2001)
* Kitab Ketentraman (2001)
* Trilogi Kumpulan Puisi (2001)
* Tahajjud Cinta (2003)
* Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun (2003)
* Folklore Madura (2005)
* Puasa ya Puasa (2005)
* Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara)
* Kafir Liberal (2006)
* Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006)

Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulan, itu pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak dipanggil Kyai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagaman itu.

Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya.

Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik KiaiKanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. “Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya.

Emha merintis bentuk keseniannya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti — yang berpangkalan di rumah kontrakannya, di kawasan Bugisan, Patangpuluhan, Yogyakarta. Beberapa kota di Jawa pernah mereka datangi, untuk satu dua kali pertunjukan. Selain berkarya melalui panggung, ia juga menjadi kolumnis.

Dia anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA. Lathif, adalah seorang petani. Dia mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Lalu sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat.

Lima tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya.

Karirnya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik KiaiKanjeng hingga kini. Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media.

Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Karya Seni Teater

Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggar Bambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama. Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan ”Raja” Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).

Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng serta Baginda Faruq (1993).

Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan.

Dia juga termasuk kreatif dalam menulis puisi. Terbukti, dia telah menerbitkan 16 buku puisi: “M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994).

Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997); Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Reformasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); “Kitab Ketentraman” (2001); “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001); “Tahajjud Cinta” (2003); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).

Pluralisme
Cak Nun bersama KiaiKanjeng dengan balutan busana serba putih, ber-shalawat dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan kontemporer di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia. Setelah shalat tarawih, sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar syair, “Sholatullah Salamullah”. Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu selesai dilantunkan. “Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya ber-shalawat,” ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jemaah masjid.

Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Sabtu (14/10/2006) malam itu ia melakukan hal-hal yang menurut mayoritas masyarakat dan media sebagai hal yang kontroversial. Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pemikiran muncul, menyegarkan hati dan pikiran.

Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu. ***

Sumber: http://www.padhangmbulan.com/about/emha-ainun-nadjib/

No Comments

  1. If you live inside the west and would like to put on modest western muslim style garments, there is certainly nonetheless a lot to select from. You could go for extended complete length dresses or long complete length skirts with lose and full sleeved tops or lengthy sleeved blouses. You might also wear shorter length dresses with loose trouser or jeans – This can be a trend which has been very well-known lately amongst the western style world. You could possibly also put on long sleeved, knee length, tunic style tops with loose trouser or jeans. Once again you happen to be spoilt with choice. The important would be to be creative and mix and match clothes products to give you a modest look.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *