Sang Togog yang Terkebiri dan Terpinggirkan

togogDalam jagad pakeliran wayang purwa, nama Togog sudah cukup dikenal. Dia digambarkan sebagai sosok bermata juling, hidung pesek, mulut lebar dan ndower, tak bergigi, kepala botak, rambut hanya sedikit di tengkuk, bergelang, berkeris, bersuara bass. Pada setiap lakon, dia “ditakdirkan” untuk mendampingi majikan berhati congkak, keras kepala, mau menang sendiri, hipokrit, otoriter, dan antidemokrasi. Suara-suara bijak dan pesan-pesan moralnya (nyaris) tak pernah didengar, sehingga dia ikut tercitrakan sebagai tokoh berwatak jahat. Nasib Togog memang tak seberuntung Semar meski sama-sama merupakan cucu Sanghyang Wenang.

Konon, pada zaman kadewatan diceritakan Sanghyang Wenang mengadakan sayembara untuk memilih penguasa kahyangan dari ketiga cucunya, yaitu Bathara Antaga (Togog), Bathara Ismaya (Semar), dan Bathara Manikmaya (Bathara Guru). Barang siapa yang dapat menelan bulat-bulat dan sanggup memuntahkan kembali gunung Jamurdipa, dialah yang akan terpilih menjadi penguasa Kahyangan.

Sayembara pun digelar. Pada giliran pertama, Bathara Antaga (Togog) mencoba untuk melakukannya, tetapi apa yang terjadi? Togog gagal menelan gunung Jamurdipa. Mulutnya pun robek sehingga jadi dower. Giliran berikutnya adalah Bathara Ismaya (Semar). Gunung Jamurdipa memang dapat ditelan bulat-bulat, tetapi gagal dimuntahkan, sehingga perut Semar membuncit karena ada gunung di dalamnya. Karena sarana sayembara sudah musnah ditelan semar, maka yang berhak memenangkan sayembara dan diangkat menjadi penguasa kadewatan adalah Sang Hyang Manikmaya atau Bathara Guru, cucu bungsu dari Sang Hyang Wenang. Adapun Bathara Antaga (Togog) dan Bathara Ismaya (Semar) akhirnya diutus turun ke marcapada (dunia manusia) untuk menjadi penasihat dan pamong pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada manusia. Syahdan, Semar dipilih sebagai pamong untuk para ksatria berwatak baik (pandawa), sedangkan Togog diutus sebagai pamong untuk para ksatria dengan watak buruk.

Begitulah “takdir” yang mesti dijalani Togog. Dari masa ke masa, dia terus mendampingi kaum aristokrat berwatak culas dan berhati busuk. Namun, kehadirannya hanya sekadar jadi pelengkap penderita. Dia selalu gagal membisikkan suara-suara kebajikan ke dalam gendang nurani junjungannya. Angkara murka jalan terus, watak ber budi bawa laksana pun hanya terapung-apung dalam bentangan jargon dan slogan. Togog merasa telah gagal mewujudkan sosok ksatria pinunjul, arif, santun, bersih, dan berwibawa.
***

Haruskah Sang Togog kita jadikan sebagai analogi dalam kehidupan Indonesia kontemporer ketika banyak suara kebajikan dan kearifan yang terpinggirkan? Kalau memang benar, apakah suara-suara kearifan dan kebijakan yang terpinggirkan itu harus dimaknai sebagai “takdir” yang mesti dijalani bangsa dan negeri ini?

Hmmm …. Kalau kita mau jujur, togogisasi –istilah untuk menggambarkan pembungkaman suara-suara kritis– itu sesungguhnya sudah lama muncul sebagai gejala sosial akut di negeri ini. Lihat saja pemasungan hak-hak bersuara dan berpendapat yang berlangsung sejak rezim Orde Baru bertahta. Pemasungan hak-hak publik semacam itu tak jarang ditingkah ulah represif dengan berusaha menyingkirkan orang-orang yang dianggap kritis itu. Mungkin sudah tak terhitung sosok-sosok kritis yang harus mendekam di penjara, diculik, dan disakiti, hingga akhirnya suara kritis mereka benar-benar hilang dan tak bergema lagi.

Togogisasi itu pun ditengarai juga masih berlangsung hingga kini meski kran kebebasan bersuara dan berpendapat dibuka lebar-lebar setelah era reformasi bergulir. Konon yang jadi sasaran adalah kaum kelas menengah yang dinilai memiliki peran besar dalam menggerakkan “bandul” demokrasi. Kaum kelas menengah ini bisa berasal dari kalangan mahasiswa, organisasi kepemudaan, kaum intelektual, pakar, pengamat, atau organisasi-organisasi sosial yang lain. Peran mereka sengaja dikebiri dan diabaikan agar suara-suara kritis yang muncul gagal menembus jantung nurani rakyat. Maka, yang terjadi kemudian adalah otoritarianisme berselubung reformasi. Demokrasi tampak dipuja dan diagung-agungkan, tetapi sesungguhnya konon yang terjadi adalah pembunuhan secara sistemik dan terencana agar nilai-nilai demokrasi tak lagi membumi. Isu mutakhir yang muncul adalah penghilangan hak suara rakyat dalam Pileg beberapa waktu yang lalu. Berdasarkan catatan Kompas (29 Mei 2009), ada 49.677.076 orang (29,01% dari DPT) yang kehilangan hak suaranya.

Berdasarkan fenomena ini agaknya sulit untuk tidak menjadikan Sang Togog sebagai analogi untuk menggambarkan buramnya potret demokrasi di negeri ini. Meski demikian, kita tetap berharap bahwa Sang Togog yang terpinggirkan dan terabaikan itu bukan sebagai “takdir” yang mesti dijalani bangsa dan negeri ini. Nah, bagaimana? ***

No Comments

  1. Paling tidak Togog selalu mendapat peran untuk menasehati, walau ujung-ujungnya tidak didengar.

    Saya selalu merasa kasihan dengan nasib tokoh pinggiran semacam Sarawita/Mbilung. Nggak dapat apa-apa sama sekali. Jatah berbicara/menasehati pun tidak. Yang adanya selalu dikalahkan punakawan Pandawa terus. Benar-benar cerminan rakyat jelata yang tak berdaya.

    1. hehe … bisa jadi nasib togog memang harus seperti itu, mas gun. mbilung pun hampir2 tak dapat banyak berperan. peran maksimal yang bisa dilakukan adalah utk menguatkan karakter culas yang dilakukan sang majikan, hehe …

  2. golongan tengah itu adalah masyarakat sipil, yang memang sedang dikebiri dan kadang malah tergencet oleh kelicikan diatasnya plus bodoh bercampur oportunis dibawahnya…, semoga kekuatan masyarakat sipil ini masih memiliki enduro yang bagus sehingga dapat memberikan pengaruh bagi atas dan bawah, dalam hal ini memang keahlian dalam merekonstruksi dan merekayasa sosial masih lebih pintar semar yang masih bisa menelan ilmu yang pintar, meskipun diperlakukan laksana togog namun seharusnya bekal yang ada tetap digunakan agar menjadi semar…

    1. seharusnya kelas menengah memang bisa mengambil peran yang lebih berarti dalam mengawal demokrasi, mas surya. sayangnya, mereka secara sistematis memang sengaja di-togog-kan. baru bisa menjadi semar kalau para aristokrat culas dan busuk bisa didaur-ulang menjadi sosok yang berjiwa besar.

  3. jalan2 ke rumah pak sawali jadi nemu artikel yg nyambung dgn artikel saia (promosi mode : on 😀 )
    keknya kira2 siapa yah togognya indonesia?? menurutku sih…gusdur kadang bisa berperan sbg togog sekaligus semar…kadang bisa dipihak yg baik dan bisa dipihak yg jahat…. tapi togog dan semar keduanya adalah penjelmaan dewa dlm arti org yg soleh….

    Baca juga tulisan terbaru m4stono berjudul Garing Gareng Garong

    1. hehehe … kok bisa toh, mas tono, hiks. kalau dilihat gejala yang tampak sih, mereka yang ditgogokkan adalah kaum2 kelas menengah yang memang dikenal sangat kritis dalam mengawal setiap dinamika kehidupan berbangs adan bernegara.

  4. jangan-jangan negeri ini hanyalah negeri kopong yang seakan-akan berisi namun kepemilikkannya adalah serangkaian angka-angka investasi para pemodal. yang satu-persatu memang sengaja dijual hanya dikarenakan perut-perut rakus yang tidak ingin meratakan kesejahteraan bersama dengan aset yang sebenarnya sudah dimiliki negeri ini. dan apakah itu menjadi penyebab pembungkaman baik dengan jalan bogem mentah sampai oprekkan kebijakan menjadi agenda rangkap dua yang harus dan wajibkan dilaksanakan sesuai perintah? hmmm ironi dung?

    Baca juga tulisan terbaru senoaji berjudul Mungkin pohon Matoa di Kebun Binatang itu telah berganti ubin dan batu. Namun akarnya takkan lupa bersaksi bahwa kecupan mesraku setulus ucapanku.

  5. Pejabat saiki yo akeh sing nguntal Gunung Jamurdipa, nanging ora nganggo cangkem…
    Nguntale lewat rekening…
    Cangkeme ora ndower, wetenge ora mblendhuk…
    Rekeninge sing methentheng…
    (Rekeningku rak tambah2, kabare sertifikasi metu maneh tapi isu dowang)

    Baca juga tulisan terbaru marsudiyanto berjudul Gelang

  6. Yah…abisnya mau bagaimana lagi hehehehe

    ——————————————
    Butuh tempat buat menaruh link artikel/blog anda?

    gunakan Klipping untuk menyebarluaskan artikel blog anda.

  7. Hm, gitu toh cerita Togog dan Semar 😀
    Jadi inget omongannya Larry King, orang cenderung ingin didengarkan ketimbang mendengarkan. Apa ada hubungannya ya Pak?
    Klo dulu emang dibungkam, klo sekarang malah berlomba-lomba ngomong kenceng biar dia yang didengerin suaranya…

    Baca juga tulisan terbaru Adi berjudul Launching STANFocus.com

  8. ketika togog menuai kegagalan, semar juga menuai bencana, manikmaya menikmati kejayaan…
    analogi pak sawali bener, togogisasi negeri ini telah mulai akut, atau memang ini jamannya togog berkuasa, sedangkan semar terpinggirkan dan manikmaya tidak berkutik karena dia hanya meraih kejayaan karena kabegjan semata???

    Baca juga tulisan terbaru ciwir berjudul Museum Haji Widayat

    1. walah, sebenarnya petuah2 togog itu kan utk mencegah kezaliman yang dilakukan oleh majikannya, mas santri, tapi togog selalu gagal karena majikannya memang berhati culas dan jahat.

  9. saya suka istilah “togoisasi”. sangat kontekstual, pak. ada sejumlah penulis yg mencoba menulis ulang kisah2 wayang dg sudut pandang yg berbeda. kalo tak salah, “Kita Omong Kosong”-nya SGA adalah novel yg diklaim sbg catatan harian Togog. he2. sayang sy blm habis baca buku itu. apakah Togog jadi tokoh penting ato tak, sy blm tahu.

    Baca juga tulisan terbaru haris berjudul Manunggaling Musik dan Gosip

  10. sebenarnya Togog tak pernah gagal menjalankan fungsi dan perannya…
    ketika para ksatria kegelapan tak lagi bisa diingatkan, maka tugas Togog adalah mendorong untuk mempercepat keangkaramurkaan menuju kebinasaan…

    maka Togog akan memprovokasi momongannya untuk mengambil langkah2 yang akan menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam jurang kebinasaan…

    dalam bahasa sederhana…, tidak bisa dibina ya dibinasakan…

    Baca juga tulisan terbaru penggemar berat sawali tuhusetya berjudul Neolib -Neoliberalisme-

  11. Saya malah tertarik membandingkan analogi togog, semar dan btara guru dengan tiga capres kita, Pak 🙂
    Siapa yang akan ndower tapi dibuang, siapa yang akan jadi si buncit dan dibuang juga dan siapa yang sok ‘kemresik’ tapi malah jadi penguasa? Heheheh…

    Baca juga tulisan terbaru DV berjudul Gereja St Brigid Marrickville

  12. Ilustrasi yang sangat menarik tentang “togog” ..baru ngerti cerita togog sebenarnya..
    tapi kadang sy juga bingung lho pak..kadang kalau atasnnya nggak bisa di beri pengarahan..maka dia jg akan menjerumuskan..
    benar sekali kata mas “penggemar berat sawali tuhusetya”

    wah kok jadi ngelantur 🙂

    Baca juga tulisan terbaru Diah berjudul Senengnya Putraku-Makan Tebu

    1. @Diah,
      hehe … situasi yang makin rumit dan kompleks, biasanya akan memunculkan tokoh2 yang serba tak terduga, mbak. setelah togog gagal mengingatkan majikannya, biasanya akan muncul sosok semacam mbilung yang terus menjerumuskan sang majikan utk makin pongah dan arogan.

  13. pak sawali, saya mendapat pelajaran dan informasi yang banyak mengenai dunia pewayangan dan filosofinya dari tulisan ini. ternyata wayang serta kehidupan para tokohnya sungguh banyak dijadikan analogi dalam kehidupan kontemporer saat ini.

    akankah togog menjadi takdir kehidupan demokrasi bangsa kita? nauzubillahi min dzalik. mudah-mudahan dengan adanya jargon togogisasi mengingatkan kita untuk berupaya menghindarinya.

    Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul Concept of Heaven

    1. iya, mbak yulfi, dalam dunia pewayangan, togog memang digambarkan sbg tokoh yang selalu gagal mengarahkan dan menasihati junjungannya agar berjalan di jalur yang lurus. itulah simbol gagalnya suara2 kritis dalam menyikapi kebijakan penguasa yang dinilai tidak benar.

  14. hehehe.. kalau semakin di fikir.. entah mau jadi apa kita semua.. nyang atas sibuk dengan nafsunya.. nyang di bawah habis dimakan angan angan melambung sampai jiwa kurus kering.. entahlah
    .-= Baca juga tulisan terbaru KangBoed berjudul BENTUK dan MAKNA =-.

  15. Pa Suhuteya,

    Saya orang timur yang sedang menulis wayang, boleh minta pendapatnya ? Fokusnya soal kepemimpinan Jawa dan Manusia Jawa.

    Pengaruh wayang terhadap kepemimpinan Jawa, dan manusia Jawa ?
    Watak kepemmpinan yang seperti apa yang menonjol ?
    Wayang suatu ajaran moral yang luhur, tapi mengapa tidak/belum tercermin dari praktek kepemimpinan dan kehidupan manusia Jawa ?
    Apakah wayang sudah diambang senja oleh globalisasi ?

    Pak, terimakasih banyak bila bersedia menjawab…

    1. Buat Sdr. Anton Ratumakin: terima kasih atas apresiasinya, mas anton. wayang memiliki kandungan ajaran oral secara simbolik. implementasinya secara nyata memang bukan hal yang mudah. dibutuhkan sosok pemimpin yang benar2 berkarakter, berintegritas, dan berkepribadian yang kuat. ada banyak faktor mengapa konsepk kepemimpinan dalam wayang sulit diaplikasikan, misalnya ttg ajaran asthabrata. bisa jadi lantaran tokoh2 elite kita memiliki banyak kepentingan sehingga sulit mengaplikasikan ajaran luhur itu dalam praktik kepempimpinan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *