Mampukah Cerita Rekaan Memperkaya Batin Pembaca?

Cerita rekaan yang saya maksud adalah cerita rekaan yang ditulis berdasarkan khayalan, tetapi mengandung nilai-nilai sastra. Sedangkan, cerita rekaan yang digarap secara vulgar (kasar) tanpa mempertimbangkan bobot sastranya tidak termasuk dalam lingkup pembicaraan ini. Sebuah cerita rekaan dikatakan mengandung nilai-nilai sastra jika memenuhi tiga ciri utama, di antaranya adanya unsur rekaan, imajinasi (daya angan) sebagai basis penciptaan, dan adanya penemuan-penemuan kreatif. Dengan demikian, jika ada salah satu unsur ciri yang tidak digarap, cerita tersebut kurang memiliki bobot ditilik dari kandungan nilai-nilai sastranya.

Persoalannya sekarang, benarkah dengan banyak membaca cerita rekaan, khazanah batin seorang pembaca akan semakin kaya? Nah, untuk menjawabnya, mari kita mencoba melacaknya dari sudut pandang eksistensi penulis, cerita rekaan, dan publik (pembaca). Mengapa mesti menggunakan ketiga sudut pandang itu? Yup, menurut pemahaman awam saya, ketiga elemen tersebut membentuk keterkaitan yang padu sehingga sulit dipisahkan kehadirannya. Dari sudut pandang penulis, seorang penulis mustahil berproses kreatif tanpa ada tendensi tertentu yang ingin dicapai lewat karyanya. Penulis memiliki semacam komitmen dan tanggung jawab moral untuk bisa ikut berkiprah dalam melakukan sebuah perubahan. Nah, komitmen mereka kemudian disalurkan lewat media tulisan. Dari tulisan itulah akhirnya pembaca dapat menangkap visi pengarang dalam memandang dunia, latar belakang sosiokultural, landasan filosofis, dan sejumlah pengalaman lain yang digunakan untuk membangun cerita.

Dari sudut pandang pembaca, seorang pembaca melalui daya serapnya akan memberikan nilai lebih kepada pengarang yang benar-benar memiliki komitmen dan tanggung jawab moral dalam upaya melakukan sebuah perubahan dan berupaya memperbaiki kondisi masyarakat yang “sakit” melalui persoalan-persoalan yang digarap melalui ceritanya. Dengan cara demikian, khazanah batin pembaca akan terasupi gagasan, pendapat, sikap, dan keyakinan sang penulis yang secara sugestif mampu memberikan bahan renungan dan katharsis batin mengenai berbagai persoalan dan fenomena kehidupan.

Dari sudut pandang cerita rekaan, melalui cerita rekaan yang telah berhasil disuguhkan sang pengarang, pembaca dapat mengidentifikasikan dirinya secara bebas terhadap tokoh-tokoh cerita sehingga pembaca memperoleh sentuhan manusiawi dalam upaya menyiasati berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak heran apabila sebuah cerita rekaan seringkali mampu memukau pembaca melalui lukisan-lukisan tokoh cerita yang begitu hidup dan memikat sehingga secara sugestif pembaca berupaya meneladani sikap dan karakter sang tokoh cerita.

Selain itu, pembaca juga dapat menikmati berbagai pengalaman hidup yang dapat membawa alam imajinasinya terbang jauh ke berbagai persoalan hidup yang tak mungkin dijangkau oleh pancainderanya. Dengan membaca buku Catatan Harian karangan Anne Frank, misalnya, batin pembaca diajak untuk menyiasati suka-duka sebuah keluarga Yahudi yang terpaksa menyembunyikan diri di atas loteng sebuah rumah waktu pendudukan Jerman. Atau, pada saat membaca cerpen “Kisah Sebuah Celana Pendek”-nya Idrus, batin pembaca diajak untuk menyusupi lorong kehidupan wong cilik yang harus bergulat dengan kesengsaraan yang mencekiknya pada saat Jepang berkuasa setelah pecahnya Perang Pasifik tahun 1941. Orang-orang gedhean mencurahkan perhatiannya pada persoalan politik, tetapi wong cilik harus meratapi nasibnya karena kelaparan. Saya kira masih banyak cerita rekaan lain yang sanggup menyuburkan sikap humani pembaca di tengah atmosfer global yang dinilai mulai abai terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan.

Melalui style (bahasa) dan muatan isi dalam cerita rekaan, pembaca akan terbuka mata batinnya dalam menerima pengalaman-pengalaman baru yang begitu kompleks. Bahasa dalam cerita rekaan adalah bahasa bebas, bahkan dengan bebasnya pengarang berupaya untuk tidak terbelenggu oleh benturan dimensi ruang dan waktu sehingga sanggup mengekspresikan perasaannya dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca. Bahan yang diolah pengarang pada umumnya adalah persoalan yang aktual, menarik, dan mampu merangsang pembaca untuk merenungkan hakikat kehidupan manusia yang sesungguhnya sehingga bisa menumbuhkan wawasan dan pandangan baru bagi pembaca dalam menghadapi fenomena-fenomena hidup yang muncul ke permukaan. Dengan demikian, batin pembaca akan diwarnai oleh berbagai ragam pengalaman yang majemuk yang melingkupi sosok kehidupan manusia.

Ada semacam kepuasan batin ketika publik berhadapan dengan sebuah cerita rekaan yang sarat dengan nilai-nilai sastra. Tanpa disadari, batin pembaca akan terasupi oleh hal-hal filosofis dan kesejatian hidup yang mengungkap tentang berbagai persoalan kehidupan, beragam karakter manusia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta beragam persoalan sosial-budaya yang melingkupi paguyuban masyarakat secara komunal. Unsur style dan muatan isi cerita rekaan semacam itulah yang bisa membuka mata batin pembaca terhadap berbagai persoalan hidup dan kehidupan sehingga khazanah batinnya semakin kaya.

Melalui kekuatan intuitifnya, pembaca dapat mengenal beragam karakter manusia yang terus berkutat dengan segala macam persoalan yang dihadapi manusia pada masa lampau, masa kini, atau masa yang akan datang. Yang jelas, dengan banyak membaca cerita rekaan yang tinggi kandungan nilai sastranya, khazanah batin pembaca akan semakin kaya lantaran terisi oleh pengalaman-pengalaman baru yang unik yang belum tentu dapat diperoleh secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. ***

No Comments

  1. Setuju pak. Saya kira cerita rekaan memang selalu memuat nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Nilai-nilai itulah yang bisa diserap untuk memperkaya batin.

    ooo
    begitulah mas dana. memang sebagian besar sang pengarang selalu berusaha menyampaikan berbagai macam nilai melalui teks ciptaannya sehingga diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca.

  2. Kalau menurut saya, setiap cerita itu selalu mampu memperkaya batin pembacanya. Terlepas dari apakah cerita itu rekaan atau kisah nyata… Tapi, Pak Sawali kan lebih tahu dari saya.. 💡

    ooo
    sepakat, pak adit. wew… saya hanya biasa2 aja pak adit, hehehehe 😆 mesti harus banyak belajar juga 💡

  3. cerita adalah pentas yang tepat untuk menyampaikan sebuah idealisme 😀

    ooo
    yups, sepakat juga mas dadan. idealisme memang seringkali lebih tepat jika disajikan dalam bentuk cerita, apalagi cerita rekaan yang memberikan kebebasan kepada para pengarang dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya.

  4. saya baru baca dari 4 buku di atas…
    yah emang bagus koq, memberikan inspirasi, tapi pak terkadang inspirasi itu hanya datang sesaat pas membaca buku atau sesaat sesudahnya, kalo sudah lama kadang sudah melupakan esensi positif yang diberikan oleh cerita rekaan itu.
    😀

    ooo
    wew… salut juga tuh mas arul sdh menuntaskan beberapa novel yag pernah menjadi mainstraim dalam penulisan cerita rekaan di negeri kita. btw, ttg mudahnya nilai2 dalam cerita rekaan dalam memori kita saya kira banyak faktornya, mas arul. bisa jadi karena banyaknya buku yang mesti dibaca sehingga buku2 yang sudah lama tak disentuh jadi gampang lupa, hehehehe 🙄

  5. 1. Karya sastra akan selalu dapat memperkaya batin pembacanya, terlepas dari rekaan atau fakta.

    2. Sastrawan pasti bisa menggoreng segala unsur (sejarah, kisah nyata atau hayalan) menjadi sebuah karya sastra yang baik sehingga bisa dinikmati oleh pecinta sastra.

    ooo
    sepakat mas arif. begitulah memang esensi sebuah cerita rekaan, mas. ia diciptakan oleh pengarang agar bermanfaat bagi pembaca, meskin sebagian besar merupakan hasil imajinasi sang pengarang. :oke

  6. “Mampukah Cerita Rekaan Memperkaya Batin Pembaca ?”.
    Bisa iya, bisa tidak…
    Yang jadi pertanyaan selanjutnya, “Mampukah Batin Pembaca Diperkaya oleh Cerita Rekaan ?”.
    Jawabnya masih sama, bisa iya, bisa pula tidak…
    Yang pasti, Pembaca Kaya = Pembaca Mampu, Pembaca Cerita = Pembaca Rekaan.
    Kalau Pembaca kok bingung tur wagu (BTW), berarti itu cuma rekaan cerita yang mampu dibaca dalam batin.
    Saya yakin Pak Sawali tidak bingung seperti saya !.

    ooo
    nah, yang selalu kutunggu komen dari pak mar adalah kentalnya bahasa plesetan yang bisa bikin aku terus tertawa ngakak :mrgreen: btw, ternyata jawabannya relatif, ya, pak, bisa ya, bisa tidak!

  7. Se-panjang memiliki nilai yang bisa kita per-guna-kan, apalagi kalau penulis-nya bisa mem-bawa pembaca ke-situasi yang emang di-ingin-kan penulis, plus dukungan hasil survei sang penulis sendiri dengan ber-bagai faktor yang men-dukung cerita-nya, aku pikir reka-an atau bukan, sudah pasti seperti yang Pak Guru kata-kan dapat mem-perkaya batin para pembaca 🙂

    ooo
    yups, sepakat bung militis. yang jelas, cerita rekaan merupakan salah satu genre sastra yang banyak menarik minat dan perhatian para pembaca karena cirinya yang imajinatif dan kreatif! :oke

  8. Dalam banyak hal, justru kisah2 rekaan yang banyak mempengaruhi saya untuk kemudian terjun jadi penulis blog 😉

    ooo
    nah itu dia, mas donny. ternyata cerita rekaan bisa juga memberikan sugesti kepada para penulis, termasuk mas donny, hehehehe 💡

  9. terkadang pembaca ada yang tidak tau mangsut yang ingin disampaikan melalui cerita rekaan tersebut, pak….*mungkin karena tingkat pengetahuan pembaca* hal inih menjadi PR penting bagaimana nantinyah para penulis kek bapak bisa menulis dengan gaya yang mudah disampaikan pada pembaca
    *maaf, pak, kalo tidak sesuai dengan judul :411 *

    Yusufs last blog post..belah durian jupe berbonus kondom

    ooo
    hehehehe 😆 memang terkesan bahwa bahasa sdalam teks sastra itu agak sulit, khususnya puisi. tapi bagi cerita2 rekaan yang dikemas dalam bentuk novel sepertinya bahasanya tidak terlalu sulit utk dipahami kok, hehehehe 😆

  10. Jawaban pertanyaan judul yg ditulis Pak Sawali sdh ada pada penjelasan/isi karangan. Namun satu hal yg perlu saya garis bawahi, tidak ada cerita rekaan yg benar-benar rekaan/fiksi belaka. Dalam cerita rekaan ada realitas kehidupan sehari-hari.

    Saya coba selami kisah mijraj Iqbal dalam cerita Javid Namah, Sanu Infinita Kembar-nya Boesje, Olenka, Sepotong Senja untuk Pacarku, Saman, hingga Mereka Bilang Saya Monyet, dsb unsur fakta/realitas tetap ada. Makanya, penamaan cerita rekaan tsb pernah jadi perdebatan dg dosen saya saat kuliah dulu

    ooo
    yups, memang benar pak zul. ada juga cerita rekaan yang ceritanya diambol dari kehidupan sehari-hari. tapi hampir sebagian besar sudah diolah berdasarkan imajinasi pengarang sehingga tidak terjebak menjadi sebuah kisah seperti reporatase yang biasa dilakukan oleh kaum jurnalis. 😐

  11. Saya sendiri sering terkagum-kagum dgn para “pengarang” nyang bisa menghadirkan sebuah cerita rekaan bak kisah nyata nyang seolah-olah bener terjadi. Dan kenyataannya emang demikian Pak… semua karya sastra (baca:novel) nyang saya baca… selalu menghadirkan “sesuatu”. Saat ini saya baru baca “Deception Point”-nya Dan Brawn… setelah sebelumnya menyelesaikan “digital forties” dan “broker”-nya John Grisham. Dari situ… selain unsur “ketegangan” dari alur ceritanya.. saya jga dapatkan “ilmu”… gimana caranya menyelesaikan masalah nyang rumit. Sayangnya… sampe sekarang saya belum pernah baca semua cerita rekaan yg Bpk screenshut-kan diatas (saman..ayat2 cinta..laskar pelangi) :mrgreen:

    ooo
    wew… bung serdadu hobi membaca novel2 asing rupanya. bagus juga tuh! yups, memang seringkali mampu menghanyutkan emosi pembaca ketika cerita rekaan tersebut digarap secara serius dan intens. bahkan, membuat pembacanya makin penasaran. 💡

  12. :112 saya udah baca RDP dan AAC dan saya suka ceritanya meskipun saya tdk bisa mengapresiasinya dari kajian sastra, namun setidaknya saya bisa mengenal budaya Paruk juga Mesir

    Samsul Hadis last blog post..Back Again!

    ooo
    wah, salut juga buat mas samsul nih. karya2 ahmad tohari memang memiliki warna lokal yang kuat. tokoh srintil dan rasus masih membekas kuat dalam eingat saya. ttg ayat2 cinta, bagus juga kok.

  13. Menurut saya, cerita rekaan bisa dan mungkin memperkaya batin pembaca. Kenapa ada buku, yang isinya bisa mengilhami pembacanya, dan walaupun telah membaca berpuluh buku, tapi ada beberapa buku yang selalu mengusik hati nurani.

    Terus terang kehidupan saya banyak diilhami dari buku-buku…memang ada jenis buku tertentu yang menarik minat saya, yang berbeda dengan orang lain.

    edratnas last blog post..Mempersikan acara pernikahan dalam waktu singkat

    ooo
    yups, sepakat banget bu enny. meski hanya berupa cerita rekaan, ternyata mampu memberikan sugesti yang luar biasa kepada pembaca ttg pentingnya berbagai macam nilai. 🙄

  14. Cerita rekaan –menurut saya– umumnya datang dari:

    1. Secuil pengalaman penulis atau orang-orang disekitarnya yang kemudian di tambahkan sedikit atau banyak bumbu di sana sini.

    2. Obsesi penulis atau keinginan penulis akan munculnya seseorang yang dia terjemahkan dengan menciptakan seorang tokoh.

    3. Cerita-cerita tokoh masa lalu yang kemudian diceritakan ulang dari sudut pandang yang berbeda dari yang telah didapatkan dalam buku sejarah.

    4. Cerita-cerita di masa lalu seringkali juga mendatangkan ilham untuk menciptakan tokoh serupa namun berbeda waktu dan tempat.

    Wah, saya punya beberapa novel yang belum sempat dibaca, jadi ingat untuk membacanya gara-gara mampir di blog p’Sawali 😉

    Riyogartas last blog post..Pilihan Saya: Ubuntu

    ooo
    sepakat banget, mas riyo. sebagian besar cerita rekaan juga diciptakan berdasarkan apa yang disampaikan mas riyo itu. btw, mas riyo hobi baca novel juga rupanya, yak? salut! 🙄

  15. Tentu saja, bagaimana seorang Mohtar Lubis misalnya bisa menggambarkan keserakahan manusia dan pesan moral dalam ceritanya, Senja Di Jakarta, Peluru dan Mesiu..
    Juga bathin kita yang menolak ketidakadilan yang menimpa Srintil sang ronggeng dalam Triloginya Ahmad Tohari.Atau pergolakan batin tentang nilai nilai Ketuhanan yang tergambar dalam Novel Achdiat K Hadimaja, ” Atheis “. Masih banyak lagi, yang membuat saya begitu mendapat pencerahan dengan membaca karya karya sastra. Bukan memang seharusnya begitu ? sebuah karya sastra harus bisa memberikan sketsa dan ( mungkin ) sekaligus jawaban nilai kehidudan dan ruang batin kita.
    Karena itu yang membedakan karya sastra dengan novel novel kontemporer romans picisannya Eddy D Iskandar.

    iman brotosenos last blog post..Momen yang hilang

    ooo
    yaps, beitulah, mas iman. saya malah terkesan dg novelnya Pak mochtar lubis yang “harimau2” itu mas; memasukan persoalan mistis dengan berbagai rahasio kehidupan dan persoalan hidup manusia yang begitu kompleks. wew… edy d iskandar memang dikenal sbg penulis novel2 pop. tapi kayaknya kok malah lebih laku di pasaran ya mas iman? :mrgreen:

  16. Pengalaman adalah guru. Istilah “pengalaman” tak selamanya merujuk pada apa yang dialami oleh diri sendiri tetapi merujuk pula pada “apa yang dialami oleh orang lain”.

    Bagi saya, sastra adalah pengalaman pengarangnya. Dalam hal ini, “pengalaman” tak sekadar merujuk pada apa yang dialami secara fisik, melainkan merujuk pula pada apa yang dialami secara batin, secara imajinatif. Dengan demikian, sastra dapat dipandang sebagai dedahan pengalaman pengarangnya.

    Walhasil, membaca karya sastra itu sama artinya dengan mendengarkan tuturan pengalaman batin pengarangnya. Pengalaman yang disampaikannya itu ada yang lewat begitu saja tanpa meninggalkan kesan tetapi ada pula yang bertahan dan meninggalkan kesan. Karya yang meninggalkan kesan inilah yang selanjutnya diolah, disimpan, dan dimaknai, serta dijadikan cermin kehidupan untuk selanjutnya menjadi pemerkaya cara memandang, cara merasakan, cara merespon, cara menilai, hingga cara melakukan.

    Keluasan wawasan serta kedalaman penghayatan akan hidup dan kehidupan senantiasa akan diperoleh sosok-sosok yang mampu memaknai setiap pengalaman, termasuk pengalamannya berdialog dengan pengalaman-pengalaman yang didedahkan dalam karya sastra.

    Salam buat Mas Sawali

    ooo
    wah, pak asep? sebuah kehormatan nih dapat kunjungan dari bapak. berapa lama kita tdk bertemu, pak. bapak masih di UPI Bandung, kan? :oke saya juga sepakat banget dg apa yang disampaikan pak asep ttg pengalaman pengarang dalam cerita rekaan. saya sepakat banget, pak. salam juga buat pak asep dan keluarga. makasih pak telah berkenan mampir, hehehehe 🙄

  17. Menurut saya sangat bisa sekali….!! Jangankan yang bernilai sastra, yang kurang atau tidak bernilai sastrapun dapat saja memperkaya batin. Soalnya menurut saya juga memperkaya batin itu tergantung dari berbagai macam faktor di antaranya adalah: apa yang disampaikan si penulis, bagaimana penyampaiannya oleh si penulis dan bagaimana harapan atau apresiasi pembacanya sendiri terhadap karya penulis tersebut.

    Walaupun isinya bukan rekaan dan penuh dengan pengayaan batin tapi jikalau disampaikan dengan gaya yang bertele2 dan ‘sok’ menasehati maka mungkin pesan batin yang akan disampaikan kepada para pembacanya akan “gagal” karena pembaca mungkin banyak yang tidak mengapresiasikannya dan juga bisa jadi kebosanan pembaca dapat menyamarkan pesan batin yang ada di dalam karya tersebut.

    Mirip seperti sinetron2 Indonesia yang maksud hati ingin memperkaya batin penontonnya (termasuk sinetron2 religi), tapi yang didapat hanya cemoohan oleh penontonnya (terutama yang berpendidikan) karena cara penyajiannya sangat mengecewakan!

    Yari NKs last blog post..Saya Kita Ini Mirip Kera!

    ooo
    bener juga tuh, bung, asalkan kita selektif membaca buku, pasti akan banyak manfaatnya dan mampu memperkaya batin kita. ttg sinteron, saya pun sering kecewa ketika menyaksikan tayangan yang hanya sekadar memburu rating iklan saja tanpa membawa pesan2 edukatif.

  18. Hampir sepenuhnya saya sepakat, cerita rekaan memang bisa menggugah dan menginspirasi banyak orang jika dikemas secara tepat dan (hmmm… apa bahasa yang pasnya ya?) elegan. Namun lebih inspiratif lagi jika tulisan itu merupakan kisah nyata yang memang dialami oleh si penulisnya.

  19. Ping-balik: Ragheb Alama
  20. mas, pernah gak nyeritain cerita lucu ke orang dan orang itu baru paham dan ketawa besoknya (ato ketawanya setelah dijelasin).. aku sering 😮 tadinya aku pikir aku kurang “jago” bercerita .. meski ada benernya 😀 .. tapi ternyata lebih ke level fantasy pendengar cerita tadi.

    sebuah cerita rekaan hanya berhasil jika pembaca (ato pendengar) nya punya cukup fantasy untuk mengembangkan maksud cerita itu.

    kalo pas lagi oon (ato emang tertutup) jangankan cerita rekaan.. cerita tauladan juga lewat-lewat saja dan gak ada yang bisa didapat untuk memperkaya batin.

    nindityos last blog post..Cewek Untouchable vs Cowok Bego

    ooo
    sering juga, mas, hehehehe 😆 bisa jadi karena leluconnya sulit dipahami atau memang pendengarnya yang rada2 “telmi”, hiks. yups, bener juga, mas, jadi tergantung juga pada kemampuan pembaca dalam mengembangkan fantasinya. 🙄

  21. Ping-balik: Canada valium.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *