Lanjutan Ending Cerpen dan Hadiah Kumcer

Kategori Cerpen/Sastra Oleh

……

Senandung pemujaan rembulan yang perih itu benar-benar menghanyutkan mimpi para penduduk kampung ketika malam mencapai puncak kematangan yang sempurna. Oleh angin yang bertiup dari lembah kematian, suara senandung yang perih itu seperti diterbangkan menuju ke pintu langit hingga membahana ke seluruh penjuru kampung dengan nada yang lembut, tetapi menyayat-nyayat rongga telinga. Senandung koor pemujaan rembulan yang perih itu pun seperti hendak menjebol dinding batin dan jiwa para penduduk.

Setiap malam, jumlah perempuan bergaun putih yang menengadahkan wajahnya ke langit itu makin bertambah. Para penduduk makin tersentak ketika pada malam berikutnya ribuan burung gagak bertengger di atas bubungan atap dengan meninggalkan kotoran busuk yang menusuk hidung. Setiap malam, jumlah burung gagak itu kian bertambah hingga membuat beberapa rumah penduduk tak sanggup lagi menampung beban. Sudah belasan rumah penduduk yang roboh; rata dengan tanah.

Atas kesepakatan dengan tetua kampung, para penduduk mengungsi ke tempat lain. Mereka tak sanggup melawan ribuan burung gagak yang datang dan pergi secara tak terduga pada setiap malam. Tidak jelas, ke mana mereka harus tinggal. Hampir setiap hari, terlihat rombongan penduduk membawa barang-barang dan ternak piaraan melintasi jalan-jalan kampung yang sunyi, dingin, dan berkabut. Entah sampai kapan. ***

kumcerPernah membaca ending cerpen semacam itu? Ya, ya, ya! Ini merupakan bagian dari akhir cerpen “Perempuan Bergaun Putih”; cerpen yang sekaligus menjadi tajuk Kumcer yang diterbitkan oleh bukupop dan Maharini Press, Jakarta, 2008. Cerpen selengkapnya silakan baca di sini! Sebenarnya ending tersebut masih bisa dilanjutkan hingga menjadi sebuah rangkaian cerita yang panjang. Bahkan, kalau mau, bisa dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah novel.

Bagaimanakah nasib para penduduk yang berbondong-bondong melakukan eksodus lantaran tak kuasa lagi menghadapi serbuan ribuan burung gagak yang datang dan pergi secara tak terduga? Di manakah mereka mesti tinggal? Adakah trauma yang tersisa setelah mereka hijrah ke daerah hunian yang baru? Bagaimanakah kondisi kampung terpencil setelah para penduduk melakukan hijrah massal? Bagaimana pula dengan keberadaan perempuan bergaun putih yang misterius itu?

Saya yakin Sampeyan memiliki daya imajinasi yang lebih liar untuk melanjutkan ending cerpen ini. Jujur saja, imajinasi saya sudah mentok sehingga tak sanggup lagi mengembangkannya menjadi sebuah cerpen yang menghanyutkan, apalagi menjadi sebuah novel.

Berkaitan dengan itu, tolong saya berikan tambahan ending sebuah paragraf saja, lalu tulis di kolom komentar tulisan ini! Pengembangan ending menjadi hak “prerogatif” Sampeyan sepenuhnya. Saya akan sangat mengapresiasinya. Akan saya pilih 10 paragraf terbaik menurut penilaian saya pribadi dan akan saya berikan hadiah Kumcer langsung ke alamat Sampeyan. Oleh karena itu, cantumkan juga alamat rumah secara lengkap untuk memudahkan pengiriman.

Hadiah akan saya berikan kepada teman-teman yang kebetulan belum memiliki Kumcer itu. Yang sudah memiliki, silakan berkomentar, tetapi tidak perlu lagi mencantumkan alamat rumah. Terima kasih atas apresiasi dan partisipasi teman-teman.

Salam budaya,

Sawali Tuhusetya

update:
Ketentuan ini berlaku hingga Selasa, 9 September 2008. Komentar yang masuk setelah tanggal tersebut akan diperlakukan sebagai komentar biasa yang tidak ada hubungannya dengan hadiah Kumcer. Terima kasih!

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

63 Comments

  1. Wah telat saya datang kesini bang sudah tanggal 10. Mau juga si ngelanjutin deskripsi cerpennya *wah padahal imajinassi saya lagi ngadat*
    jadi gak bisa dapetin kumcer neh bang 🙁
    Btw kalo divisualisasasi-in keknya lumayan mencekam bang suasasnannya. Sib, oke!! 🙄

    ningrums last blog post..Logika dan Logistik

    sebenarnya belum telat juga, mbak ningrum, hehehe 😆 kan masih belum tutup tuh!

  2. Bapak menulis,
    “Atas kesepakatan dengan tetua kampung, para penduduk mengungsi ke tempat lain. Mereka tak sanggup melawan ribuan burung gagak yang datang dan pergi secara tak terduga pada setiap malam. Tidak jelas, ke mana mereka harus tinggal. Hampir setiap hari, terlihat rombongan penduduk membawa barang-barang dan ternak piaraan melintasi jalan-jalan kampung yang sunyi, dingin, dan berkabut. Entah sampai kapan. ***”
    .
    Saya cenderung familiar dengan kalimat “entah sampai kapan” ini, yang notabene menandakan sebuah kisah dengan akhir cerita (ending) terbuka, namun sayangnya, terkesan membatasi pikiran/imajinasi. Ending terbuka (tentulah Bapak lebih mengenal istilah ini), biasanya memberikan kebebasan untuk para pembacanya, namun personal. Saya agak terganggu dengan kalimat terakhir ini. “Entah sampai kapan” itu layak menjadi the end of sentences, dan kurang terdengar enak jika ada lanjutannya. Maka, saya hilangkan dan dibuat seperti ini saja ya, Pak,
    ***
    …Atas kesepakatan dengan tetua kampung, para penduduk mengungsi ke tempat lain. Mereka tak sanggup melawan ribuan burung gagak yang datang dan pergi secara tak terduga pada setiap malam. BELUM jelas, ke mana mereka harus tinggal. Hampir setiap hari, terlihat rombongan penduduk membawa barang-barang dan ternak piaraan melintasi jalan-jalan kampung yang sunyi, dingin, dan berkabut.
    ***
    Kalimat “Tidak jelas” saya ganti dengan “BELUM jelas”, sebab jika kisah ini mau dilanjutkan, berarti ada unsur ke-belum-pastian (tujuan), bukan ke-tidak pastian. Dan paragrafnya diakhiri sampai kata “berkabut” saja. Nah, jika sudah begini, saya merasa leluasa mencipta imajinasi pribadi untuk melanjutkan bagaimana jalinan kisah selanjutnya. Baik, saya coba meneruskannya dengan tak lupa menggandengkan style Bapak dengan gaya saya, di bawah ini…

    ***
    [Atas kesepakatan dengan tetua kampung, para penduduk mengungsi ke tempat lain. Mereka tak sanggup melawan ribuan burung gagak yang datang dan pergi secara tak terduga pada setiap malam. BELUM jelas, ke mana mereka harus tinggal. Hampir setiap hari, terlihat rombongan penduduk membawa barang-barang dan ternak piaraan melintasi jalan-jalan kampung yang sunyi, dingin, dan berkabut.]
    Tapi para penduduk itu bukanlah titisan para dewa yang sanggup berjalan berhari-hari, apalagi berminggu-minggu. Para mbok-mbok yang biasanya kuat membawa bakul berisi singkong atau telo setiap pagi hasil dari tegalan, kali ini pun mesti merengek pada para suaminya, lelah katanya. Terlebih lagi mereka-mereka yang mesti menggendong anaknya yang masih bayi. Kerepotan. Air susu mulai kering, sedang perbekalan air dan makanan sudah habis. Para bayi pun menjerit kehausan, memekakkan telinga. Dan jika malam tiba, suaranya seolah memecahkan kesunyian dengan gema mencekam. Lebih memprihatinkan lagi, ketika para sepuh yang sudah teramat ringkih, tak mampu lagi berjalan sambil terbatuk-batuk. Juga, sebagian penduduk pun, mulai terserang demam lantaran sudah beberapa hari ini hujan menampar tubuh mereka, juga karena angin malam yang kian menggigit, dan sengatan si bola merah yang makin terik jika siang tiba. Kebanyakan dari mereka sudah roboh, tak sanggup lagi meneruskan perjalanan tanpa arah itu.
    “Kita harus kembali ke kampung kita…,” ucap Parman, seorang pria berkumis tipis yang sehari-harinya mengangon kambing, tiba-tiba. Beberapa mata membelalak, termasuk tetua kampung. Beberapa laki-laki menelan ludah, antara bimbang dan harus. Kepala mereka juga digedor suara batin seperti itu beberapa hari belakangan ini. Lalu semuanya saling pandang, dibalas dengan angkat bahu oleh sebagian yang lain. Mereka pun mengedarkan pandangan. Keadaan memang sudah semakin gawat. Mereka memang harus pulang. Persetan dengan burung gagak keparat itu. Persetan pula dengan perempuan bergaun putih sialan itu. Yang jelas, mereka bisa membangun kembali kampung mereka, jika memang semuanya ada tekad untuk itu.***

    ===
    Gimana, Pak Sawali?
    Email saja saya, ya, hehehe…

    ariss_s last blog post..Allah dan Iblis; Simbol Cinta Abadi

    edning yang bagus dan menarik, mas ariss. makasih partisipasinya. tunggu perkembangan selanjutnya, yak! 💡

  3. pengen sih ikutan bikin endingnya… tapi kalo nggak baca awalnya, takut malah jadi salah… mending nonton aja sambil tetap berharap dapat kumcer!

    Qizinks last blog post..Awal Puasa

    wew… malah lebih suka jadi penonton? mas qizink mestinya bisa bikin ending yang lebih seru nih 💡

  4. salam

    cerita yang sangat menarik dan dapat di mengerti dengan akal
    semangat dan semangat
    saya kurang begitu politisi tapi saya berusaha membaca dan membaca demi menambah wawasan hidup

    salam kenal Boyolali

    salam kenal juga, mas doel, makasih kunjungannya 💡

  5. Ketika hampir semua penduduk meninggalkan perkampungan, datanglah seorang Pak Tua berikat kepala hitam. Dia mengatakan bahwa ini adalah kutukan dari para dhemit yang marah lantaran anak gadis berkepang dua telah mati dibunuh orang tuanya sendiri. Orang tua gadis itu memang sengaja membunuh anak gadisnya setalah mengetahui kalau dia adalah titisan dari para dhemit. Jika anak itu tidak dibunuh maka dia akan menjelma menjadi Ratu kegelapan, yang akan melakukan segala perusakan diatas bumi.

    lalu Pak Tua berikat kelapa hitam itu meminta jantung anak gadis berkepang dua yang telah terkubur. Setelah dilakukan penggalian, maka diangkatlah jasad anak gadis itu, dibelah dadanya, lalu ditarik jantungnya. Pak Tua berikat kepala hitam lalu meremas jantung yang tengah digemgamnya hingga pecah dan tersebarlah bau busuk ke saentaro kampung. Kontan, senandung pemujaan rembulan yang perih itu tiba-tiba tak terdengar lagi. Raib bersama para perempuan bergaun putih. Burung-burung gagak yang menebarkan kotoran busuk pun ikut menghilang. Tak jelas kemana mereka semua pergi.

    Para penduduk lalu menyoraki Pak Tua berkepala hitam, lantaran senang atas budi baik yang telah diperbuatnya. Tiba-tiba suara nyaring dari sudut kampung menenggelamkan euforia para penduduk. Seorang Pak Tua berikat kepala putih lalu datang dan membaur bersama kerumunan orang. Pak Tua berikat kepala putih lalu berucap, “Jangan percaya apa yang dikatakan oleh si tua bangka berikat kepala hitam itu, karena sebenarnya dialah raja dari para dhemit. Dia ingin memperdayai kalian semua. Agar dia mendapatkan teman ketika di neraka nanti.”

    Kini tak jelas siapa yang harus dipercaya.

    Waduh, kok jadi ngawur yah. hehehe

    wah, ending yang bagus juga tuh, mashair. terima kasih apresiasinya 🙄

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Cerpen

Berlari Semakin Jauh

Cerpen: Ali Syamsudin Arsi Dia datang dari sebuah kampung di pinggiran wilayah

Kereta Hujan

Cerpen Sungging Raga Dimuat di Harian Global (11/20/2010) Dua manusia duduk berhadap-hadapan
Go to Top