Catatan Pendek atas Cerpen Jimat Kalimasadha

Jumat, 1 April 2011, saya didaulat oleh sahabat-sahabat penggiat Kebun Sastra Kendal untuk mendampingi Gunawan Budi Susanto (atau lebih akrab disapa Kang Putu) untuk membedah buku kumpulan cerpen Jimat Kalimasadha bertitel Bom di Ruang Keluarga yang diterbitkan oleh Keluarga Penulis Kudus (KPK), Desember 2010. Mengingat nama-nama yang akan berdiskusi adalah sahabat-sahabat yang tergolong dekat dengan saya, saya dengan terpaksa tidak bisa mendampingi sahabat-sahabat pengurus Agupena Pusat yang akan ber-audiensi dengan Wakil Menteri Pendidikan Nasional di Jakarta. Saya mohon maaf kepada Pak Naijan, Pak Deni Kurniawan As’ari, Pak Warjito Suharso, dan sahabat-sahabat pengurus Agupena yang lain, karena saya tidak memenuhi janji yang telah saya sanggupi untuk ikut hadir.

Saya sungguh tidak nyaman kalau membiarkan Kang Putu (yang kini menjadi Redaktur Suara Merdeka) “mengutuk” saya yang tega meninggalkan Kendal yang notabene tengah punya hajat. Maklum, saya dengan Kang Putu memang bersahabat sejak dia masih “nyantrik” di Fakultas Sastra Undip. Ngobrol di Simpang Lima sambil minum teh poci sekitar tahun 1987-1990-an memberikan kenangan tersendiri. Pun juga dengan Jimat Kalimasadha. Sungguh makin tidak nyaman kalau jauh-jauh datang dari Kudus, tetapi saya harus meninggalkannya ketika kumpulan cerpen terbarunya dibedah di Kendal. Walhasil, saya pun terpaksa mengirimkan proposal yang sudah saya siapkan untuk dibawa ke Jakarta via email dalam bentuk soft-copy.

Berikut adalah beberapa catatan pendek saya terhadap cerpen-cerpen Jimat Kalimasadha yang dibedah dalam format yang santai dan akrab di tengah guyuran hujan rintik-rintik sejak sore, sehingga yang hadir pun tak lebih dari 18 orang itu.

Cerpen, sebagai salah genre sastra Indonesia mutakhir, bagi saya merupakan media yang paling komunikatif untuk menghubungkan ruang batin dan kreativitas sang pengarang kepada pembaca. Melalu teks-teks cerpen ciptaannya, sang pengarang mencoba bereksistensi diri, mengekspresikan geliat batin dan jiwanya untuk memberikan kesaksian terhadap fenomena-fenomena hidup dan kehidupan di tengah lingkungan persekitarannya kepada pembaca. Ini artinya, sang penulis tak akan pernah berada dalam ruang kosong penciptaan. Ia selalu dan terus bergulat dengan persoalan-persoalan kemanusiaan yang berlangsung di sekitarnya.

Cerpen-cerpen Jimat Kalimasadha yang terkumpul dalam antologi Bom di Ruang Keluarga (BRK), saya kira tidak luput dari persoalan-persoalan semacam itu. 8 cerpen yang termuat dalam buku ini, disadari atau tidak, merupakan rekaman dan potret zaman yang serba- gelisah dan sarat anomali. Meski demikian, Jimat tidak terjebak dalam gaya bertutur yang vulgar dan kenes, menjual kekerasan dan ketragisan hidup dalam teks fiksi semata. Ia mengulitinya dengan sentuhan kepekaan intuitif yang indah, eksotis, dan subtil.

Simak saja “Bom di Ruang Keluarga” yang menjadi titel antologi ini. Meski secara tematis menggarap teror dan kekerasan, Jimat tak harus bilang “brengsek” ketika kekerasan bukan lagi sesuatu yang fiktif. Ia berhasil menghindarkan idiom-idiom yang serba vulgar. Dengan kekuatan diksi dan deskripsinya, ia berhasil memindahkan batasan-batasan tentang teror dan kekerasan itu melalui seorang bocah bernama Linda, kemudian menafsirkannya dengan sentuhan kearifan seorang ibu bernama Ken.

Hal yang (nyaris) sama juga terjadi pada cerpen “Senja Lewat Begitu Saja”, “Kabut di Daun Jendela”, “Garis Mata Pisau”, “Pelor Kebosanan”, “Kehamilan Anggur”, “Perpisahan dengan Senja”, atau “Surat Cinta di Pucuk Pisau”. Cinta, teror, kekerasan, perselingkuhan, atau pembunuhan, menjadi sebuah adonan cerita yang manis, meski di dalamnya menyeruakkan aroma anyir darah, kegelisahan, dan berbagai penyakit sosial yang lain. Jimat, dalam konteks demikian, bisa diposisikan sebagai cerpenis Jawa Tengah yang memiliki kekhasan dan kekuatan dalam ranah diksi, deskripsi, dan penokohan dalam teks-teks cerpennya.

Simak saja deskripsinya dalam BRK berikut ini!

…. Lalu Tuhan mengirimkan malaikat berbaju putih dan menggendongnya dengan sayapnya yang berkibar-kibar indah. Mereka melintasi awan, mega, pelangi, melewati bulan, bintang-bintang, dan masuk di lapisan langit ke tujuh. Dia turun dari punggung malaikat dan seketika itu dia terpesona oleh pemandangan yang serba indah, serba sejuk, serba gemerlap.

Daun-daun bercahaya seperti lampu merkuri, angin berhembus merdu bagai nyanyian bidadari, dan embun yang menetes di pagi hari menyerupai manik-manik intan putih berkilauan. Air yang mengalir di sungai bawah sana tampak seperti benang raksasa, dibawa oleh layang-layang raksasa, oo, mengapa sungai itu mengalir ke angkasa?

Kekuatan kata dan deskripsi seperti itu, saya kira tidak bisa lahir dalam sebuah penggarapan “asal jadi”, tetapi melalui proses pengendapan dan sublimasi kebahasaan yang total dan intens dengan melibatkan segenap kekuatan imajinasinya. Tema yang digarap bukanlah naras-narasi besar yang serba “bullshit”, tetapi beranjak dari persoalan realitas keseharian yang lahir dari kultur masyarakat yang tengah mengalami masa transisi. Nah, tema-tema sederhana semacam itu dikuliti dengan sentuhan yang detil dan rinci, sehingga cerpen-cerpen Jimat menjadi kaya imajinasi.

jimatjimatjimatCoba simak saja penuturan Jimat dalam “Surat Cinta di Pucuk Pisau”. Cerpen ini bertutur tentang seorang penderita psikopat bernama Songa yang selalu meninggalkan jejak pembunuhannya dengan surat cinta di pucuk pisau. Kompleksnya persoalan-persoalan hidup yang dihadapi masyarakat transisi agaknya telah membuat banyak orang mengalami proses anomali sosial yang mampu melakukan tindakan konyol, kejam, dan biadab, di luar nalar masyarakat “mainstream” sampai-sampai tega melakukan pembunuhan sadis terhadap istri dan anak-anaknya. Hal yang sama juga terjadi dalam cerpen “Pelor Kebosanan” yang menggambarkan sindrom kebosanan secara massal di tengah masyarakat transisi yang selalu ditelikung oleh berbagai persoalan hidup yang rumit dan kompleks.

Kemiskinan, pengkhianatan, atau kemelut rumah tangga juga tak luput dari bidikan Jimat. “Senja Lewat Begitu Saja” yang menghadirkan tokoh Mbah Laila yang hampir tak pernah bisa merasakan kebahagiaan hidup dan harus pasrah menerima takdir hidupnya di sebuah gubug reyot akibat pengkhiatan suaminya yang tak pernah resmi terdaftar dalam lembaga pernikahan merupakan persoalan riil yang dihadapi masyarakat transisi yang serba gamang dan ambivalens. Demikian juga tokoh Kartini dalam dalam “Kabut di Daun Jendela” yang selalu merindukan ketukan di daun jendela terhadap lelaki selingkuhannya yang juga suami kakak sepupunya, Tikem.

Dalam penggarapan dialog, Jimat, dalam amatan awam saya, seringkali melakukan proses “dekonstruksi budaya”. Dialog yang muncul dalam sebagian besar cerpen-cerpennya bukanlah dialog tokoh yang hidup di tengah-tengah masyarakat riil, tetapi telah didesain untuk mewakili “idiologi” sang penulis dalam menyampaikan pesan-pesan moralnya yang tersaji secara halus dan subtil.

“Tadi malam dia bersama saya, tinggal di dalam mimpi saya. Dan sungguh saya merasa senang telah menjadi tempat bagi seorang manusia yang membunuh demi kebahagiaan abadi manusia lain. Sedangkan dia sendiri hidup dari lorong mimpi satu ke lorong mimpi yang lain. Alangkah bangganya jika selama tidur saya bermimpi dan bisa bersamanya.”

“Kama sudah gila. Kamu sedang kemasukan setan.”

“Tidak. Sama sekali tidak. Tapi, seandainya kamu bilang seperti itu, saya juga tidak peduli. Bagi saya bertemu dengan Songa dalam mimpi adalah kebahagiaan sekaligus kemewahan.” (“Surat Cinta di Pucuk Pisau”).

Dalam konteks ini, Jimat telah melepaskan sang tokoh dari persoalan-persoalan etnisitas Jawa sebagaimana ia memberikan nama tokoh-tokoh dalam cerpennya. Hanya dalam “Senja Lewat Begitu Saja” yang saya anggap masih kental kultur ke-Jawa-annya.
Begitulah! Catatan pendek ini tentu jauh dari representatif untuk membedah cerpen-cerpen Jimat yang memiliki kekuatan dalam soal diksi, deskripsi, dan penokohan itu. Nah! ***

No Comments

  1. kekisruhan, benci, hal2 negatif bisa menjadi pembelajaran yang menarik bila disajikan dalam bentuk sastra. saya suka. dan berencana segera menulisnya. BTW, belum ada informasi sayembara pusbuk 2011 ya pak?

  2. Bom di Ruang Keluarga, yang terbitnya dekat dengan saya, di Kudus, hingga kini saya malah belum tahu. Ketika membaca postingan ini saya jadi kaget, ya ternyata Pak Jimat telah menulis kumpulan cerpen yang dibedah oleh Bapak di Kendal.

    Selamat ya, Pak, Pak sawali dan Pak Jimat.
    Salam kekerabatan.

  3. untuk cerita sastra jawa yang berbau klenik memang jadi incaran pembaca di jawa pada khusunya, tapi untuk urusan idiom vulgar saya malah belum menemukannya. kalau yang beraroma anyir darah lebih sering karena memang keanehan klenik itu tadi. mungkin pak jimat ini memiliki impian alam mimpi 🙂

  4. hemmm ini sastra berat nih sepertinya, dilihat dari judul dan rangkaian kata per katanya mencoba menghadirkan makna-makna yang terpisah namun mengarah pada satu titik kesimpulan 🙂

  5. Waktu baca beritanya di Warta Jateng, saya pengen nekat berangkat ke Kendal. Tapi, acara dimulai jam 19.00, sedangkan saya baru beli korannya jam setengah 6 sore itu. Hehehe. Kapan-kapan kalau ada acra serupa ini mbok saya dikabari, Pak. Kalau ada waktu dan dana senggang saya usahakan hadir. 😀

    1. wah, terima kasih atas apresiasinya, mas eko. insyaallah, suatu ketika kalau ada, akan saya kabari. jika tak ada aral melintang, kumcer karya jimat ini juga akan dibedah di unnes, sekaran, gunung pati, pada hari sabu malam minggu, tanggal 9 april 2011, pukul 19.00 wib. tertarik utk hadirkah?

      1. Wah, saya pengen ikut, Pak. Tapi kalo ke Semarang dan acaranya baru mulai jam segitu, berarti saya kudu nginep karena gak berani motoran sejauh itu. Saya gak bisa kalo musti nginep. Hmmm, yang deket2 Pemalang ada gak, Pak? 😀

  6. Terima kasih kepada Mas Sawali atas catatannya yang sangat serius dan presentasinya di Kebun Sastra Kendal. Terima kasih buat semua teman di Kendal, komunistas sastra Kendal yang hadir dan yang tidak sempat hadir, dan semua pihak yang telah menjadikan Kumpulan Cerpen Bom Di Ruang Keluarga sebagai sarana untuk bertemu, bersilaturahmi, dan berdiskusi sehingga kita bisa lebih cerdas.

    Saya pribadi sangat senang atas respons dari buku ini terutama dalam forum diskusi di Kudus, Kendal, dan Unnes Semarang. Jika dari teman-teman ada yang ingin mendapatkan buku ini untuk koleksi pribadi atau perpustakaan sekolah, Anda bisa menghubungi Mas Adit (wartawan Suara Merdeka Semarang di no handphone 08122524455) atau minta tolong Mas Sawali biar nanti bisa dikirim oleh bagian pemasaran. Harganya Rp25.000,- Pembelian untuk perpustakaan sekolah, minimal 5 exp akan diberikan diskon khusus.

    Terima kasih atas dukungannya.

  7. Membaca judul-judul cerpennya saja sudah bisa menyimpulkan ini kumpulan cerpen yang bagus. Apalagi ketika membaca catatan Pak Sawali yang detail dan mampu menempatkan posisi kumpulan cerpen BRK dalam konteksnya. Semoga menjadi inspirasi bagi kaum muda untuk berkarya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *