Maman S. Mahayana dan Tanggung Jawab Moralnya sebagai  Seorang Kritikus Sastra

Sastra

Oleh: Sawali Tuhusetya

Nama Maman S. Mahayana dalam dunia sastra Indonesia bukanlah sosok yang asing. Kiprahnya dalam ranah kritik sastra Indonesia mutakhir cukup diakui eksistensinya. Dari tangannya telah lahir banyak buku kritik sastra yang dijadikan sebagai rujukan bagi para pemerhati dan pengamat sastra. Esai-esainya yang tajam dan menggelitik juga kerapkali menghiasi media cetak nasional yang cukup disegani. Belum lagi bejibun makalah dan naskah yang dipresentasikan dalam berbagai forum ilmiah, baik di dalam maupun luar negeri. Tidak heran apabila dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI kelahiran Cirebon, 18 Agustus 1957 itu, kini mendapatkan tempat terhormat sebagai dosen tamu untuk mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia (S-1 dan S-2) di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS), Seoul, Korea.

maman 2

Bahrul Ulum. A. Malik, Maman S. Mahayana, saya, dan Kelana

Sebagai seorang pengajar sastra yang sekaligus seorang kritikus, Pak Maman –demikian saya biasa menyapanya— agaknya sadar betul bahwa dunia sastra tak akan pernah sanggup berkembang secara dinamis apabila para pengamat dan kritikus bersikap soliter, sibuk dengan dunianya sendiri, dan berdiri di puncak menara gading keilmuan. Dengan kata lain, seorang kritikus juga perlu memiliki “tanggung jawab moral” untuk membumikan teks-teks sastra melalui pendekatan kritik yang digunakannya untuk menguliti karya-karya sastra kepada publik. Jika seorang kritikus sastra terus-menerus bertengger di atas puncak menara gading kelimuan, maka pelan tapi pasti, teks-teks sastra yang terus mengalir deras dari tangan para sastrawan mutakhir kita akan mengalami “mati suri” hingga akhirnya tergerus  dan tenggelam menjadi “fosil” peradaban.

maman 2

Jamal D. Rahman, Bahrul Ulum. A. Malik, Maman S. Mahayana, dan saya

Secara jujur mesti diakui, sastra kita belakangan ini memang miskin kritik. Hampir setiap Minggu, teks-teks sastra, khususnya cerpen dan puisi, bertaburan di surat kabar. Belum lagi teks-teks sastra yang disajikan secara virtual melalui facebook, blog-blog pribadi, atau situs-situs sastra di internet. Namun, teks-teks sastra yang terus mengalir itu (nyaris) tanpa sentuhan yang sangat berarti dari tangan seorang kritikus. Dampaknya? Dalam pemahaman awam saya, situasi seperti itu sangatlah tidak menguntungkan bagi perkembangan sastra mutakhir kita. Disadari atau tidak, tanpa sentuhan seorang kritikus, keindahan dan keagungan nilai yang terkandung dalam teks sastra hanya menjadi “milik” sang sastrawan. Ini artinya, tanpa ada upaya serius untuk mengapresiasi dan sekaligus mengkritisi, teks-teks sastra semacam itu “hanya” akan menjadi sebuah produk budaya yang tersimpan rapi ke dalam “laci” peradaban. Ia (baca: teks sastra) hanya akan dibaca oleh beberapa gelintir orang untuk selanjutnya dilupakan begitu saja.

Lantas, apa hubungannya dengan Maman S. Mahayana? Di tengah miskinnya kritik dalam dunia sastra mutakhir kita, saya kira, Pak Maman, terbilang kritikus yang sangat tidak rela apabila teks-teks sastra kita akan bernasib sebagai pemerkaya arsip produk budaya di dalam “laci” peradaban semata. Oleh karena itu, ia merasa memiliki semacam “tanggung jawab moral” sebagai seorang akademisi sekaligus kritikus sastra untuk membumikan keindahan dan keagungan nilai dalam teks sastra kepada publik.

maman 2

Screenshoot homepage blog mahayana-mahadewa.net

Melalui blog pribadinya, mahayana-mahadewa.net, ia membuka “Ruang Apresiasi”. Menurutnya, “Ruang Apresiasi” dihadirkan dengan itikad dan niat baik. Jadi, apa pun komentar terhadap karya itu, sama sekali tidak didasari oleh kebencian atau semangat mencemooh. Ruang Apresiasi sekadar upaya silaturahmi di antara kita melalui perbincangan karya. Oleh karena itu, jika Anda tidak siap mendapat komentar atau kritikan, sebaiknya tidak mengirimkan karya Anda. Begitu juga jika komentar itu dianggap keliru, salah, atau ngawur, tempatkanlah komentar atau kritikan itu sebagai permainan tafsir yang secara akademis, diizinkan. Tafsir itu sendiri bertumpu pada teks. Dengan begitu, yang dilakukan adalah tafsir atas teks dan bukan pada persoalan di luar itu. Begitulah Pak Maman! Dalam upaya mendinamisir perkembangan sastra Indonesia mutakhir, ia membuka diri untuk menerima teks cerpen atau puisi siapa pun yang dianggap sebagai karya terbaik untuk diapresiasi dan dikritik, untuk selanjutnya dipublikasikan di blog pribadinya.

Cerpenis atau penyair yang tertarik mengirimkan karya terbaiknya untuk diapresiasi dan dikritik Pak Maman, silakan baca aturan mainnya dulu di sini. Untuk selanjutnya karya-karya terpilih yang telah mendapatkan sentuhan apresiasi dan kritik akan dipublikasikan di sini. Kesediaan Pak Maman membuka “Ruang Apresiasi” melalui blog pribadinya, saya kira merupakan perwujudan dari sikap dan tanggung jawabnya sebagai seorang kritikus sastra. Nah, selamat berkarya dan salam budaya! ***

5 Comments

  1. Salam, Pak Sawali. Itu foto kapan dan dimana? Sudah lama dengar dan baca tulisan pak maman, tapi belum pernah bersua. hehe… dan baru kali ini, dari tulisan njenengan ini, saya tahu kalau pak Maman membuka ruang apresiasi karya. menarik sekali idenya.
    InsyaAllah kapan2 saya coba kirimkan karya untuk diapresiasi.
    sampai ketemu di Kopdar Guraru ya. tabik

    1. Salam juga, Mas Yusuf, hem … itu foto beberapa bulan yang silam ketika Pak Maman ada acara ke Kudus. Foto atas berlangsung di pondokan saya saat ada ngobrol sastra sebelum Pak Maman ke Kudus. Foto yang bawah, saat ketemu Mas Jamal D. Rahman di bandara Ahmad Yani, sekalian mengantar Pak Maman menunggu jemputan dari Kudus. Oh, ya, kirimkan cerpen-cerpen Mas Yusuf ke Pak Maman untuk diapresiasi. Coba main-main dulu ke blog mahayana-mahadewa.net untuk melacak infonya. Ya, mudah2an kita bisa ketemuan di acara Kopdar Guraru Sabtu mendatang, ya, Mas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *