Pengajaran Mini dan Inovasi Model Pembelajaran

Bertempat di Islamic Center, Manyaran, Semarang, 25-27 Maret 2011 yang lalu, saya didaulat Dinas Pendidikan Prov. Jateng untuk mendampingi rekan-rekan sejawat guru SMP RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang tengah mengikuti Workshop Penyusunan dan Review Silabus, RPP, dan Bahan Ajar Berperspektif Gender. Sekitar 122 guru dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), dan IPS se-Jawa Tengah mengikuti kegiatan itu dengan antusias. Selain membahas materi yang terkait dengan Konsep dan Isu Kesenjangan Gender, Analisis Gender pada Bahan Ajar, Strategi Integrasi Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Bahan Ajar, serta Praktik Penyusunan Silabus, RPP, dan Bahan Ajar, workshop juga mempraktikkan Pengajaran Mikro (Micro Teaching) berdasarkan silabus, RPP, dan bahan ajar responsif gender yang telah disusun.

Dari sekian materi yang tersaji, saya cukup terkesan dengan praktik Pengajaran Mini yang disimulasikan oleh rekan-rekan sejawat. Konon, salah satu cara terbaik untuk menjadi guru profesional adalah dengan mempraktikkan dan mendapatkan umpan balik dari guru lain. Masukan seorang rekan sejawat dalam sebuah praktik pengajaran mini akan sangat besar manfaatnya untuk membantu mengenali kekuatan dan sekaligus  mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu diperbaiki.

Pengajaran mikro pada hakikatnya merupakan bentuk laboratorium untuk melakukan pembelajaran yang terbagi ke dalam kelompok-kelompok kecil. Sesama guru saling mengobservasi satu sama lain. Dalam kelompok kecil ini, rekan-rekan sejawat mempraktikan satu sesi pengajaran dan mendiskusikan isu-isu yang berkaitan dengan proses pembelajaran yang disimulasikan. Melalui aktivitas ini, kita bisa belajar berdasarkan umpan balik terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Setelah melakukan pembelajaran mikro, seorang guru diharapkan akan memiliki pendekatan yang lebih jelas dan positif tentang bagaimana cara mengajar di kelas. Selain itu, guru juga akan lebih memahami kekuatan mereka, asumsi mereka, dan akan memiliki pemahaman empati terhadap siswa, penghargaan mendalam, dan menghormati beragam metode pembelajaran maupun strategi yang dipakai guru lain.

Microteaching secara sederhana bisa dimaknai sebagai pengajaran mikro atau satu sesi pengajaran dalam durasi waktu yang pendek, dengan cakupan materi yang sempit, dengan jumlah peserta didik yang sedikit (pengajaran mini). Pengajaran mikro, konon telah dikembangkan pada awal dan pertengahan 1960-an oleh Dwight Allen dan teman-temannya pada Program Pendidikan Dosen Stanford (Stanford Teacher Education Program), Inggris. Model Stanford ini menekankan proses pengajaran, peninjauan ulang (review), dan perenungan, dengan menggunakan para siswa sekolah sebagai pendengar asli. Model ini telah diadopsi untuk pengajaran di perguruan tinggi dan sering digunakan untuk para calon guru, dosen muda yang baru lulus, atau asisten dosen. Model ini menawarkan satu bentuk umpan balik dan diskusi yang terfokus dan terkonsentrasi dari dan dengan rekan sejawat.

Pengajaran mini memberikan kesempatan kepada peserta untuk melakukan praktik pembelajaran dan menerima masukan umpan balik dalam sebuah lingkungan yang mendukung dan tidak membahayakan atau beresiko. Setiap peserta menerima umpan balik dalam bentuk lisan dan tulisan dari peserta lain atau dari fasilitator. Ini artinya, pengajaran mini bisa dimanfaatkan sebagai wahana latihan mengajar yang diselenggarakan di dalam kelas kecil. Latihan ini sebagai upaya untuk melatih peserta ketika menyampaikan materi pembelajaran yang responsif gender. Artinya, bahan ajar dan metode mengajarnya harus mempunyai karakteristik peka gender. Bahan ajar yang digunakan sudah disusun agar peka gender dan penyampaiannya dilakukan dengan cara melibatkan peran-serta murid dalam proses belajar mengajar.

Ketika seorang peserta menyampaikan satu sesi pembelajaran, peserta lain berperan sebagai  siswa. Alat pengukur waktu digunakan untuk memaksa peserta untuk berbicara hanya dalam batas waktu yang ditentukan. Karena batas waktu diatur dengan ketat, maka hal ini akan sangat membantu peserta untuk dapat mengatur waktu sendiri. Oleh karena itu, peserta harus memutuskan beberapa hal berkaitan dengan persiapan materi yang akan disampaikan dalam pengajaran mikro.

Ketika para guru berperan sebagai siswa, mereka harus mengkombinasikan peran sebagai guru dan sebagai pengamat. Pengajaran mikro merupakan wahana bagi para guru untuk melakukan evaluasi diri sekaligus menerima evaluasi dari teman sejawat. Guru yang profesional merupakan kombinasi dari berbagai kompetensi dan karakteristik tertentu. Semua disatukan dalam sesi pengajaran mikro sehingga kombinasi berbagai keterampilan mengajar dapat diidentifikasi dan diterapkan dalam satu kegiatan pembelajaran.

Sebagai salah satu cara untuk mengevaluasi diri dan menerima masukan dari rekan-rekan sejawat, pengajaran mini bisa dijadikan sebagai bentuk simulasi yang merangsang pendidik untuk menciptakan model-model pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (Paikem). Dengan cara demikian, rekan-rekan sejawat akan terus berupaya untuk berimprovisasi di depan kelas, sehingga suasana yang terbangun menjadi lebih terbuka, interaktif, bebas dari tekanan dan rasa takut, serta memancing naluri kreativitas siswa didik untuk berpikir, bersikap, dan bertindak secara kritis dan penuh inisiatif.

Saya benar-benar menikmati gaya mengajar rekan-rekan sejawat yang tengah mengimplementasikan pengajaran mini dalam durasi terbatas (25 menit). Tentu saja, suasana ”berpura-pura” tak bisa dihindari. Rekan-rekan sejawat yang selama ini tampil sebagai guru harus berperan sebagai murid dan mesti siap memasuki dunia anak SMP. Maka, yang terjadi kemudian adalah sosok-sosok siswa SMP yang ”super-cerdas” atau sebaliknya berpura-pura ”bodoh” dengan melontarkan celetukan-celetukan segar yang sarat dengan ”kepura-puraan”, hehe ….

gendergendergendergender

(Suasana ketika workshop dan Praktik Pengajaran Mini berlangsung)

Sekadar untuk mengamati kinerja pengajaran mini yang telah dilakukan oleh rekan-rekan sejawat, berikut adalah rubrik penilaian yang digunakan dalam sesi itu.

LEMBAR PENGAMATAN KINERJA MICRO TEACHING
GURU SMP RSBI SE-JATENG
DI ISLAMIC CENTER, MANYARAN, SEMARANG

MATA PELAJARAN    : ………………………………………………….

Sudah Tercapai  

 

Belum Tercapai


 

 

Tanggal            : _________________________________

Nama guru     : _________________________________

Unit Kerja      : _________________________________

Perintah:

Silakan beri tanda (v) atau silang (x) pada pada skor yang sesuai dengan kinerja guru.

Skor 4 = Kerja yang bagus sekali dan tujuan tercapai.
Skor 3 = Baik, sedikit perbaikan harus dilakukan untuk mencapai tujuan ini.
Skor 2 = Lumayan, beberapa hal harus ditingkatkan sebelum bisa mencapai tujuan ini.
Skor 1 = Masih ada banyak hal yang harus ditingkatkan sebelum bisa mencapai tujuan ini.

Aspek yang Diamati Skor
A. Penyampaian
  • Artikulasi (kejelasan suara)
1 2 3 4
  • Tempo
1 2 3 4
  • Irama Suara
1 2 3 4
B. Gestures (Isyarat)
  • Antusiasme
1 2 3 4
  • Isyarat non-verbal (gerakan tangan, mimik, dll.)
1 2 3 4
  • Stimulus yang bervariasi
1 2 3 4
C. Interaksi dalam Kelas
  • Kesesuaian dengan tingkat kejiwaan siswa
1 2 3 4
  • Mendorong partisipasi siswa
1 2 3 4
  • Bertanya dan  menjawab pertanyaan
1 2 3 4
D. Organisasi
  • Pendahuluan/Tujuan
1 2 3 4
  • Penggunaan contoh dan ilustrasi
1 2 3 4
  • Pengulangan poin-poin penting
1 2 3 4
  • Presentasi informasi logis
1 2 3 4
  • Penggunaan alat dan media pengajaran
1 2 3 4
  • Pengintegrasian responsif gender
1 2 3 4

 

Skor Total Dari total

30

 

Interprestasi Skor Total:

Jika nilai keseluruhan adalah 30 atau lebih, guru telah mencapai tujuan sebagai seorang guru yang efektif. Jika nilai keseluruhan adalah kurang dari 30, guru belum mencapai tujuan sebagai seorang guru yang efektif. (Bubuhkan tanda centang pada kotak yang tersedia di pojok kanan atas!)

Komentar:

……………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………………

 

Hmm … ternyata mengasyikkan juga kalau seorang guru mesti memasuki dunia anak, hehehe ….. Secara umum dari evaluasi yang dilakukan terhadap kegiatan pengajaran mini menunjukkan bahwa setelah melakukan pengajaran mikro, rekan-rekan sejawat meninggalkan pelatihan dengan perasaan dan pandangan yang jauh lebih positif dan lebih jelas mengenai perannya sebagai guru profesional yang responsif gender. Rekan-rekan sejawat dapat mengetahui kekurangannya masing-masing sekaligus termotivasi untuk mengubah dan meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukan.

Setelah melakukan kegiatan seperti itu biasanya rekan-rekan sejawat merasa lebih siap, lebih percaya diri, dan lebih antusias dalam praktik pembelajaran di sekolah. Pada sisi yang lain, muncul penghargaan yang lebih besar terhadap gaya guru lain yang sangat beragam. Berdasarkan aktivitas memberi dan menerima umpan balik semacam itu diharapkan akan melahirkan sikap yang lebih terbuka terhadap kritik dan masukan, serta menumbuhkan kesadaran akan perlunya peningkatan keterampilan secara terus-menerus dan berkelanjutan. Semoga! ***