Epitaph: Kisah Berbingkai dalam Balutan Misteri

Judul Buku: Epitaph

Pengarang: Daniel Mahendra

Penerbit: Kakilangit Kencana, Jakarta

Cetakan I: November 2009

Tebal: 358 halaman

Satu lagi, sebuah buku lahir dari tangan seorang Daniel Mahendra (DM). Rencananya, Epitaph bergenre novel ini akan menjadi buku pertama dari trilogi Epitaph (Epitaph , Epigraf, dan Epilog). Secara umum, Epitaph terdiri atas 10 bagian, yakni (1) Dia Datang; (2) Sebuah Manuskrip; (3) Sinematografi; (4) Meninggalkan yang Ditinggalkan; (5) Agustus 1994; (6) Sibayak; (7) April 1996; (8) Negosiasi; (9) Epitaph; dan (10) Sebelum Epilog.

EpitaphNovel diawali dengan pertemuan antara Langi (si aku lirik) dan sahabatnya Haikal dalam sebuah perjamuan kopi yang hangat. Seperti layaknya sebuah pertemuan, mereka berdua segera terlibat dalam sebuah obrolan yang intens, hingga akhirnya Haikal meminta Langi untuk membaca catatan-catatannya sekaligus mengembangkannya menjadi sebuah novel. Semula, ada keengganan Langi untuk membaca catatan-catatan yang disodorkan sahabatnya itu. Selain Haikal memiliki keterampilan merawi teks fiksi, sehingga bisa mengembangkannya sendiri menjadi novel, Langi juga kurang merasa begitu tertarik, apalagi jika hanya berupa catatan-catatan tentang basa-basi cinta. Namun, pada akhirnya Langi tak kuasa menolak hadirnya keterkejutan-keterkejutan dan suspensi kisah yang tersirat dan tersurat di balik catatan Haikal yang sarat dengan balutan misteri itu.

Catatan Haikal –yang menjadi sekuel utama novel ini– bertutur tentang percintaan Haikal dengan Laras Sarasvati, seorang mahasiswi IKJ, yang unik dan khas. Haikal yang melankolis dan penggelisah, agaknya menjadi daya tarik tersendiri bagi Laras untuk mencintai dengan segenap ketulusan dan kesetiaannya. Haikal yang kuliah di jurnalistik, suka berpetualang, dan pintar menulis — meski tak pernah punya keinginan untuk menjadi penulis– benar-benar telah merampas ruang asmara di rongga hati Laras. Terlebih setelah kedua orang tua Laras tak kuasa menolak kehadiran Haikal. Walhasil, percintaan kedua anak muda ini pun terus melaju memenuhi sebagian dari “takdir” hidupnya.

Namun, agaknya Tuhan berkehendak lain. Haikal mesti kehilangan kekasih yang amat dicintainya itu ketika Laras dinyatakan hilang bersama kru helikopter milik Angkatan Darat dalam sebuah penerbangan di kawasan Gunung Sibayak, Sumatra Utara. Keikutsertaan Laras dalam penerbangan itu untuk mengambil gambar dari atas pesawat dalam proses pembuatan film dokumenter yang dipesan oleh sebuah BUMN. Hilangnya pesawat milik TNI-AD ini menimbulkan sejumlah tanda tanya, lantaran pihak militer tak pernah mengakui keberadaan Laras dan timnya dalam penerbangan itu. Inilah misteri yang menjadi daya tarik dalam novel ini. Pelik, melingkar-lingkar, kompleks, sekaligus memikat.

Misteri hilangnya Laras, dkk. membuat Haikal makin gelisah. Ia terus berupaya untuk menguak misteri di balik peristiwa tragis itu. Dia pun terus mengikuti berbagai pemberitaan di media massa. Berbagai upaya pun dilakukan. Haikal juga terus berkomunikasi intensif dengan keluarga Laras, IKJ, Tim SAR, dan berbagai pihak yang bisa diajak bekerja sama untuk melacak jejak Laras dan timnya. Namun, hasilnya tetap saja nihil. Pihak militer terus berupaya menutup-nutupinya. Mereka tak pernah mengakui Laras sebagai bagian dari korban penerbangan naas itu. Padahal, pihak keluarga korban juga tak pernah mempermasalahkannya. Yang penting, jasat para korban bisa segera ditemukan.

Namun, apa daya! Gengsi dan citra agaknya masih menjadi nomor satu di tubuh TNI-AD. Khawatir tercoreng dan kena “aib” lantaran dianggap telah “mengkomersilkan” pesawat, pihak militer terus bersikukuh untuk menutupi keberadaan korban sipil. Merasa frustrasi, Haikal kembali berpetualang ke daerah pesisir yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Pertemuannya dengan keluarga nelayan tua memang bisa sedikit menghibur kegelisahan hatinya. Lebih-lebih Bapak nelayan tua terus memompa semangat hidupnya agar bisa segera bangkit dan bisa mengubur masa lalunya.

“Kau kesepian, Nak. Hidupmu kauhabiskan untuk orang lain. Bahkan, kau nyaris tak peduli dengan dirimu sendiri. Tidakkah kau memerhatikan orang-orang terdekatmu? Orang-orang yang tanpa kausadari selalu ada di sekitarmu? Begitu banyak, banyak sekali yang menyayangimu. Yang tidak lagi membutuhkan alasan atau pamrih untuk mencurahkan perhatian terhadapmu. Tapi kau selalu saja merasa sendiri.” (hal. 292).

“Kau bisa jika mau. Kalau alam pikiranmu bisa kauatur seperti bayi yang baru lahir, dengan segala kekuatanmu, kau akan mencapai melebihi dari apa yang bisa kau bayangkan selama ini. Dan kau akan terkaget-kaget pada dirimu sendiri. Itulah kekuatan alam pikiran.” (hal. 293-294).

Hemm … kata-kata Pak Nelayan Tua memang bisa menghiburnya. Meski demikian, segenap pikiran dan perasaannya tak juga sanggup melupakan Laras yang hampir dua tahun lamanya tak jelas diketahui nasibnya. Haikal makin tenggelam dalam keputusasaan sebelum akhirnya dia mendengar berita bahwa puing helikopter yang ditumpangi wartawan dan mahasiswa IKJ ditemukan. Berita yang dilansir stasiun TV dan berbagai media cetak itu membuat semangat dan vitalitas hidup Haikal kembali bangkit.

Haikal kembali ke “habitat”-nya; menjalin komunikasi dengan keluarga Laras dan korban lainnya, serta berbagai pihak, termasuk Mas Oki, kakak Tedi, rekan se-tim Laras dalam pembuatan film dokumenter yang naas itu. Mas Oki-lah yang dipercaya untuk menjadi negosiator dengan pihak militer untuk mengurus keberadaan korban yang konon hanya tinggal kerangka itu. Setelah melalui prosedur yang berbelit-belit, pihak militer memperbolehkan keluarga korban untuk membawa kerangka dengan berbagai syarat, di antaranya tak boleh melibatkan pers, tidak boleh ada penyambutan secara terang-terangan setelah tiba di bandara, dan kerangka tidak boleh dimasukkan ke dalam peti, tetapi dimasukkan ke dalam tas.

Tentu saja, persyaratan yang diajukan pihak militer terasa amat berat. Namun, demi menyelamatkan kerangka korban, dengan berat hati, Mas Oki menyetujuinya. Begitulah nasib para korban yang selama dua tahun lamanya dengan penuh rekayasa didesain untuk menyelamatkan institusi militer yang nyata-nyata telah memanfaatkan helikopter untuk kepentingan komersial itu.

***

Sebuah kisah yang menarik. Berbeda dengan novel kebanyakan yang digarap dengan alur konvensional, Epitaph dirangkai dengan menggunakan kisah berbingkai dengan pola sudut pandang “aku” yang variatif. Dalam kisah ini, tokoh “aku” setidaknya terejawantahkan melalui tokoh Langsi, Laras, dan Haikal. Ketiga-tiganya bisa menjadi tokoh sentral, tergantung pada konteks peristiwa yang diusungnya. Maka, menikmati Epitaph tak bisa dilakukan dengan “main penggal di tengah”, tetapi harus utuh dan dimulai dari awal sebagai “starting point”-nya.

Dalam pandangan awam saya, Epitaph setidaknya mewakili world-view sang penulis dalam menafsirkan berbagai fenomena hidup dan peristiwa-peristiwa keseharian yang berlangsung di sekitarnya. Dalam teks ini, kita bisa memahami bagaimana pandangan sang penulis tentang cinta dan dinamikanya, kepekaannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan sentuhan-sentuhan psikologis, bahkan juga filosofis seorang DM ketika menghadapi persoalan-persoalan hidup yang menelikung tokoh-tokohnya. Ya, ya, teks sastra memang tak pernah tercipta dalam situasi yang kosong, demikian kata Prof. A. Teeuw. Melalui perilaku para tokoh, tanpa bermaksud menggurui, sang pengarang berupaya “menggiring” pembaca untuk memasuki sebuah situasi rumit dan kompleks, sekaligus bagaimana sang tokoh menafsirkan dan mengatasi persoalan hidupnya.

Yang menarik, novel ini dilengkapi sejumlah fakta dengan memanfaatkan sumber dari berbagai media cetak, terutama berkaitan dengan hilangnya pesawat TNI-AD itu. Meski demikian, bagi saya, fiksi tetaplah sebuah fiksi. Se-akurat dan se-sahih apa pun fakta-fakta yang disuguhkan, novel tak pernah terlepas dari sentuhan intuisi, imajinasi, kreasi, dan stilistika sang pengarang. Dalam konteks demikian, DM bisa dibilang berhasil dalam meramu fakta dan fiksi hingga akhirnya menjadi suguhan kisah berbingkai yang menarik, tidak kenes, dan sanggup menghindar dari kesan vulgar dan artifisial. Peristiwa demi peristiwa mengalir secara wajar dan enak dibaca. Kehadiran tokoh Haikal dan Laras Sarasvati telah mampu membuka mata pembaca akan pentingnya menjaga nilai-nilai kesejatian hidup manusia sebagai mahluk yang bermartabat.

Sayangnya, kalau boleh dianggap ini sebagai sebuah kekurangan, novel menarik ini belum diimbangi dengan akurasi penulisan ejaan dan desain grafisnya. Masih banyak kalimat yang diawali dengan huruf kecil, cover-nya juga menggunakan corak font yang kurang padu dengan latarnya. Latar gelap dengan font warna hijau atau kuning, menurut hemat saya, terkesan kabur, sampai-sampai endors Gerson Poyk pun (nyaris) tak terbaca. Yang agak mengganggu, ilustrasi kisah antara Haikal dan Laras Sarasvati ketika mereka masih di bangku SMA terkesan agak berlebihan. Narasi dan dialog pada halaman 77-81, misalnya, kembali diulang pada halaman 247-251.

Meski demikian, secara keseluruhan Epitaph tetap menunjukkan totalitas seorang DM yang ingin tampil menjadi “dirinya” sendiri. Meski bayang-bayang almarhum Pramudya Ananta Toer –sastrawan yang diidolakannya– belum sanggup ditepisnya, Epitaph tetap menyisakan daya tarik kreativitas, sentuhan intuisi, imajinasi, dan stilistika yang tampil beda. Yang ingin melacak lebih jauh jelajah kreativitas DM, membaca dan memiliki novel ini menjadi sebuah keniscayaan, apalagi Epitaph didesain untuk menjadi bagian dari novel trilogi bersama Epigraf dan Epilog! Nah, sudahkah Sampeyan memilikinya? ***

No Comments

  1. *menyimak dulu pelan-pelan*

    untuk membaca tulisan panjang begitu ndak boleh sepotong2, biasanya penulis menyelipkan informasi penting. kalau sembarang komentar bisa ndak nyambung he he he…

    *baru komen*

    wah sebuah resensi yang sangat detail, pak sawali, mulai bab per bab, alur cerita hingga detail penulisan yang terdapat beberapa kesalahan tulis. semoga bisa menjadi masukan yang bagus buat penulisnya..

    salam sukses penulis buku indonesia

    [sengaja font kecil semua xixix]
    .-= Baca juga tulisan terbaru deteksi berjudul "Harga Lamborghini Madura" =-.

  2. Mantap skali kalo tulisan kita di riview oleh pak sawali, bukan hanya sekedar riview, si penulis bisa tau kesalahannya dan bertambah pula ilmunya. ^:)^
    .-= Baca juga tulisan terbaru Wempi berjudul "Bengkel Kita" =-.

  3. memang kalau berkomentar di blognya pak sawali harus jeli mengurai benang merahnya hehehe… bukan jas merah hehhe… kayak pak karno aja… semoga tulisan ini bermanfaat memeng me rwview buku harus jeli… sukses buat pak sawali
    .-= Baca juga tulisan terbaru dameydra berjudul "Postingan Ke 100 Koe" =-.

  4. pak satu, ternyata dalam beberapa hal kita memiliki persamaan persepsi mengenai novel ini. memang novel yang berisi, pak. layak diapresiasi.

    dan soal desain sampul itu, saya sepakat banget. sayang blurb yang bagus harus menjadi kurang jelas terbaca, ya?

    ayo, pak satu kapan merilis buku lagi? ntar saya ulas juga deh. 🙂
    .-= Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul "Sunset at Nabawi" =-.

  5. ending ceritanya bagaimana pak ? kisah petualangan dan misteri selalu saja layak untuk dinikmati, bikin kita awet muda meski terkadang sedikit mumet membacanya. satu point yg saya tangkap dan setuju, gaya tulisan seseorang ternyata bisa terwarisi mereka yang mengidolakannya …

    1. novel ini menurutku termasuk kisah berbingkai, mas hatta, sebuah cerita yang di dalamnya terdapat cerita lagi. endingnya pun kembali ke titik awal, dengan mempertemukan antara langsi (aku lirik) dan haikal sahabatnya itu. apalagi epitaph ini baru merupakan novel pertama yang akan didesain menjadi trilogi.

  6. Makasih resensinya pak, jujur saja akhir-akhir ini karena kesibukan, sangat sulit bagi saya untuk menyempatkan membaca buku-buku novel atau fiksi, padahal dulu sangat hobby.
    .-= Baca juga tulisan terbaru xitalho berjudul "A Mother’s Love" =-.

  7. Pak Sawali yang baik, merupakan suatu kehormatan yang tak terhingga. Sungguh tak mengira. Ada yang mau membaca novel itu saja sudah betapa senangnya. Apalagi sampai diulas begini rupa.

    Segala masukan akan menjadi catatan berharga bagiku dan bagi editor tentunya. Sekali lagi terima kasih. Juga atas persahabatan yang manis selama ini. Jabat erat salalu… 🙂
    .-= Baca juga tulisan terbaru DM berjudul "Epitaph: Kisah Berbingkai dalam Balutan Misteri" =-.

  8. Pak Sawali, apa kabar? lama juga tak berkunjung ke sini…

    Benar pak, membaca epitaph tidak bisa sepotong-sepotong, ia harus dibaca dari awal secara utuh, karena keterkaitan kisah satu dengan yang lainnya. Di sinilah nilai lebih novel ini.

    Lengkap sekali ulasannya Pak, semoga saya juga bisa melakukan hal yang sama… 🙂

    Salam saya Pak

    1. alhamdulillah, baik dan sehat, bang vizon. semoga demikian juga halnya dg bang vizon dan keluarga. saya kira memang demikian, bang. sbg kisah berbingkai, novel ini memang harus dibaca secara utuh dan lengkap dari awal. wah, saya yakin, bang vizon akan mampu mereview epitaph dengan lebih baik melalui sudut pandang yang berbeda.

  9. Selamat Siang Pak Sawali… saya mau minta tolong pak.. siapa tau Bapak ada solusinya… begini pak.. saya sudah 2 Hari ini tidak membuka blog saya ehh waktu saya buka.. tampilan nya banyak yg hilang pak yg widgetnya seperti banner2 dan yg terutama sekali komentar terakhirnya pak hilang juga jadinya saya tidak tau siap2 yg ngasih komentar terakhir.. sudah saya hapus dan saya pasang lagi widgetnya tetap tidak bisa juga pak.. kira2 kenapa pak yah.. mohon bantuannya pak.. dan kalau mau bikin blog yg berbayar seperti punya Bapak itu gimana caranya pak.. makasih pak.. Balas ke blog saya Pak yah..Mohon Bantuannya.
    .-= Baca juga tulisan terbaru bayuputra berjudul "One Man One Tree" =-.

  10. membaca resensi ini serasa mendapatkan gambaran tentang isi buku yang ditulis oleh begawan penganyam kata, DM. Saya jadi pengen membaca bukunya :d
    .-= Baca juga tulisan terbaru mandor tempe berjudul "DMAIC" =-.

  11. Mas DM mengidolakan Pramoedya Ananta Toer ya? Apakah benar bayang-bayang Pram masih terasa di Epitaph, Pak? Saya tidak mengidolakan Pram tetapi saya suka membaca novel-novelnya. Sayang, niat saya untuk mengoleksi karya Pram belum kesampaian. Harus ngalah beli bahan-bahan belajar untuk Dhenok.

    Membaca resensi Pak Sawali, nampaknya Epitaph ini layak juga saya koleksi.

    [OOT] tadi saya nyasar ke http://sawalinews.blogspot.com. Kirain Pak Sawali punya blog baru lagi. Ternyata, setelah saya baca di sidebarnya, sawali itu Bahasa Tagalog yang kalau dibahasajawakan berarti gedhek. Bahasa Indonesianya bilik.
    .-= Baca juga tulisan terbaru Moh Arif Widarto berjudul "Bebasnya Prita, Kemenangan Siapa?" =-.

    1. ketika saya sempat ketemu, mas dan memang sangat mengidolakan alm. pram. dalam epitaph, ada karya pak pram “pasar malam” yang dijadikan sebagai pembanding ilustrasi. wew… ternyata ada blog yang menggunakan nama sawali juga. saya malah baru tahu, mas. tapi “sawali” dalam bahasa tagalog kok berarti gedhek, toh, kok elek banget artinya, wakaka …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *