
Oleh: Sawali Tuhusetya
Perubahan jenis kelamin yang sukses dilakukan oleh Agus Wardoyo (warga Kalilangsir, Kelurahan Gajah Mungkur, Kota Semarang) menjadi Nadia, baik secara medis maupun hukum, membuat banyak orang terperangah. Memang, fenomena semacam ini bukan untuk yang pertama kali. Artis Dorce Gamalama pun pernah melakukan hal yang sama. Tak heran jika MUI pun lebih bersikap pasif. Selama tidak ada aduan dari masyarakat, institusi pemrodusir fatwa itu konon tidak akan melakukan tindakan apa pun. Meski demikian, fenomena ini tetap saja menarik untuk dicermati.
Terlepas dari kontroversi yang mencuat ke permukaan, dalam pandangan awam saya, perubahan jenis kelamin sangat erat kaitannya dengan situasi sosio-kultural masyarakat kita yang cenderung masih amat patriarkhis. Ketidakadilan gender dalam berbagai bentuk dan variannya masih menjadi pemandangan rutin yang terjadi di mana-mana. Lihat saja pola stereotype (citra baku) yang masih kuat mengakar dalam ranah domestik dan publik kita. Seringkali diilustrasikan bahwa seorang lelaki mesti tampil maskulin; pemberani, agresif, aktif, wibawa, dan citra “serba lelaki” lainnya. Sedangkan, kaum perempuan mesti tampil feminin; pemalu, defensif, pasif, santun, dan citra “serba perempuan” lainnya. Akibatnya, kaum lelaki yang ingin mengekspresikan citra ke-”serba perempuan”-an terhambat oleh atmosfer citra baku yang sudah demikian kuat menggurita dalam kultur masyarakat kita.
Dalam perspektif gender, suasana-suasana emotif dan karakter, bukanlah sesuatu yang bersifat kodrati. Sikap cengeng, nakal, pemberani, pemalu, atau wibawa, merupakan karakter universal yang bisa melekat kepada siapa saja, terlepas apa pun jenis kelaminnya. Ini artinya, seorang lelaki bisa juga berpotensi untuk memiliki karakter gampang menangis, cengeng, pemalu, dan semacamnya. Demikian juga sebaliknya. Seorang perempuan pun bisa berpotensi untuk memiliki karakter agresif, pemberani, tegar, dan semacamnya. Namun, akibat citra baku yang sudah lama mengakar dalam masyarakat kita, karakter-karakter yang dinilai “berlawanan” secara seksual semacam itu gagal terekspresikan dalam ranah interaksi dan pergaulan hidup sehari-hari.
Situasi sosio-kultural yang telah membelenggu seseorang untuk mengekspresikan karakter-karakter personalnya di depan publik secara wajar, disadari atau tidak, telah membuat suasana gelisah dan trauma sosial berkepanjangan. Tak jarang, kaum lelaki yang memiliki karakter feminin merasa terampas hak-hak sosialnya untuk bisa bergaul secara wajar di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Ada batasan-batasan kultural yang membuat mereka tidak bisa bersikap adaptif dan “manjing-ajur-ajer” di tengah-tengah pergaulan sosialnya. Suasana gelisah dan tidak nyaman dalam ranah pergaulan sosial jelas bisa menjadi hambatan serius bagi seseorang dalam mengaktualisasikan dirinya. Mereka merasa tidak mendapatkan pengakuan dan legitimasi sosial sehingga perlu menempuh cara lain agar masyarakat mengakui keberadaan dirinya, misalnya dengan melakukan operasi jenis kelamin seperti yang dilakukan oleh Dorce atau Nadia.
Fenomena Dorce atau Nadia hanyalah dua dari sekian banyak fakta dari imbas ketidakadilan gender yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita. Sebagai konsep yang mengacu pada peran dan tanggungjawab laki-laki atau perempuan, gender akan mengalami perubahan dan dinamika seiring dengan situasi sosio-kultural masyarakatnya. Agaknya masih dibutuhkan kearifan zaman dan peradaban agar tidak lagi muncul fenomena “Nadia-Nadia” baru di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita. ***
Mohon koreksi, Agus Wardoyo bukan warga semarang, tapi warga Batang-Jateng
sumber:
http://buser.liputan6.com/berita/200912/254122/Agus.Ubah.Identitas.Lewat.Jalur.Hukum
Makasih 🙂
terima kasih tambahan infonya, mas.