
Oleh: Sawali Tuhusetya
Bisa jadi, peringatan Hari Ibu tahun ini bukan sebuah kebetulan kalau (nyaris) berbarengan dengan awal tahun 1431 Hijrah; sebuah penanda akan pentingnya makna sebuah perubahan. Nilai-nilai perubahan yang terbawa dalam etos “hijrah”, sejatinya merupakan spirit bagi bangsa dan anak-anak peradaban di berbagai lapis dan lini sosial untuk menancapkan tonggak perubahan yang jauh lebih visioner dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ini artinya, semangat berhijrah menjadi sebuah keniscayaan ketika peradaban makin mengarah pada situasi yang cenderung abai terhadap nilai-nilai luhur baku. Kaidah-kaidah moral dan budi pekerti hanya tinggal sebuah retorika. Yang jelas tampak telanjang di depan mata adalah terbonsainya nilai-nilai kebenaran akibat merebaknya hasrat dan libido purba untuk saling “menyakiti” dan “membunuh” sesama hanya demi memuaskan dan memanjakan naluri hedonisnya. Untuk menggapai ambisi, tak jarang orang melakukan aksi kebohongan secara vulgar di depan publik untuk memperoleh pembenaran-pembenaran. Jika perlu, bersumpah atas nama Tuhan.
Sungguh, bukan salah bunda mengandung kalau anak-anak yang terlahir dari rahim peradaban negeri ini menjadi demikian konyol dan gampang sekali terpeleset ke dalam kubangan limbah korupsi dan manipulasi. Kasus talangan dana trilyunan untuk Bank Century yang nyata-nyata telah merugikan uang rakyat, misalnya, mengapa bisa menjadi demikian berlarut-larut, hingga akhirnya para wakil rakyat mesti mem-pansus-kannya secara marathon yang ujung-ujungnya juga butuh dana dan fasilitas serba-mahal di tengah-tengah menurunnya daya beli rakyat? Mengapa tak ada seorang pun yang dengan sikap elegan dan kesatria mau melakukan aksi buka-bukaan, serba jujur, dan dengan niat tulus ingin membangun sebuah peradaban yang terhormat dan bermartabat? Ironis! Yang dipertontonkan di depan publik, justru upaya untuk saling serang dan bersilat lidah demi “mengamankan diri” dengan sekian argumen untuk mengaburkan substansi persoalan yang sesungguhnya.
Kasus Mbak Prita Mulyasari pun makin membuka mata kita bahwa bangsa ini memang lagi sakit. Agaknya benar kalau ada yang menyimpulkan bahwa supremasi hukum di negeri ini tengah berada di titik nazir peradaban. Hukum dan pengadilan menjadi neraka buat rakyat kecil, sekaligus menjadi syurga buat pemuja gaya hidup hedonis, konsumtif, dan materialistis. Mereka yang berkantong tebal bisa demikian gampang “berselingkuh” melalui harta dan kekuasaannya untuk melicinkan jalan menuju drama pengadilan yang ber-ending tragis dan memilukan buat orang semacam Mbah Minah dengan tragedi kakao-nya, Kang Kholil dengan semangkanya, atau Yu Manisih dan Suratmi dengan kapuk randunya. Sungguh kontras dengan arogansi Anggodo –melalui rekaman yang diputar di Mahkamah Konstitusi–yang diduga telah melakukan skenario busuk dengan melibatkan aparat penegak hukum untuk “berkongkalingkong” demi menyelamatkan sang kakak dari jerat hukum, justru hingga kini makin tak jelas rimbanya.
Terkuaknya perkara Mbak Prita, Mbah Minah, Kang Kholil, Yu Manisih dan Suratmi, di pengadilan makin menegaskan bahwa hukum di negeri ini baru ditafsirkan sebatas tekstual, tanpa ada upaya serius dari seluruh aparatnya untuk memberikan sentuhan rasa keadilan yang kontekstual untuk semua warga negara yang memiliki hak yang sama di depan hukum.
Hari Ibu, sesungguhnya juga memberikan wasiat kepada segenap anak zaman untuk kembali ke “khittah”-nya sebagai makhluk yang berakal budi. Sepanjang sejarah peradaban umat manusia, ibu senantiasa tawadhu’ memenuhi takdirnya sebagai pencerah peradaban. Sulit untuk dipercaya kalau ada seorang ibu yang mendoakan anaknya agar kelak jadi koruptor, bromocorah, atau maling. Bahkan, saya sangat haqqul yakin, tak ada seorang ibu pun yang bermimpi untuk melahirkan si “Malin Kundang” yang sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk berbuat korup, durhaka, dan mabuk jabatan.
Dengan segala kerendahan hati dan ketulusannya, sang ibu terus meninabobokan sang anak lewat sentuhan-sentuhan kisah ninabobo yang agung dan arif, agar kelak sang anak menjadi teladan zaman, yang mampu menjadi sosok kesatria, pembela bagi si lemah dan tertindas, luhur budi, dan sanggup menunjukkan nilai-nilai spiritualitasnya secara mengagumkan di depan Sang Khalik.
Namun, gelombang dan dinamika peradaban yang demikian dahsyat menggerus nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi, agaknya membuat kisah-kisah dongeng yang agung dan arif, hanya sebatas tekstual dan retorika belaka. Peran ibu makin rumit dan kompleks dalam membesarkan dan mendewasakan anak-anak biologisnya. Sang Ibu Pertiwi juga makin sempoyongan memanggul beban perannya sebagai pencerah peradaban buat anak-anak ideologisnya.
Sungguh, wasiat untuk melakukan hijrah peradaban, mesti dengan amat sadar dilakukan anak-anak bangsa agar sang ibu tidak terus-terusan meratapi perannya yang mulai terkebiri oleh anak-anaknya yang durhaka, doyan korupsi, dan suka mengemplang harta negara. Meski demikian, bebanmu yang makin memberat hingga membuat gurat-gurat di wajahmu makin menua, tak akan pernah sanggup meruntuhkan kemuliaan dan keluhuran martabatmu sebagai sosok pencerah peradaban sepanjang sejarah. Bahkan, seandainya anak-anak yang kaulahirkan jadi maling sekalipun, dunia tak akan pernah sanggup menghapus jejak-jejak keagunganmu dalam peta kehidupan dari generasi ke generasi. Dirgahayu, Ibu! ***
[…] ranah hukum, misalnya, kesan yang dirasakan publik selama ini, hukum belum mampu memberikan rasa keadilan […]
i love my mom…
forever…
:DD
check thiis
^click here^
ibu…ibu…ibu…ayah
Istri dah gak kerja lagi, sementara kerja buat keluarga sendiri, lebih manfaat dan tepat guna.
Seorang ibu memiliki peran strategis dalam keluarga.
Selamat hari ibu, semoga mampu mendidik anak dan keluarga menjadi generasi bangsa yang gemilang…
.-= Baca juga tulisan terbaru batiknovita.com berjudul "Kaftan Batik Dobi Pelangi Aks (KBDPA-01) – Rp.148.500" =-.
setuju banget, mas. memang peran besar seorang ibu tak seorang pun yang bisa meragukannya.