Ketika terjadi pergantian Mendiknas, muncul harapan dan optimisme baru terhadap perubahan sistem dan mekanisme Ujian Nasional (UN). Setidak-tidaknya, UN tidak lagi diposisikan sebagai penentu kelulusan, tetapi sebagai alat pemetaan mutu pendidikan secara nasional. Namun, agaknya pergantian menteri tidak lantas berarti harus ada pergantian kebijakan. Buktinya? Empat paket kebijakan UN melalui (1) Peraturan Mendiknas Nomor 74 Tahun 2009 tentang Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar Luar Biasa (SD/MI/SDLB) Tahun Pelajaran 2009/2010; (2) Peraturan Mendiknas Nomor 75 Tahun 2009 tentang Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tahun Pelajaran 2009/2010; (3) Peraturan Mendiknas Nomor 76 Tahun 2009 tentang Ujian Nasional Program Paket C Kejuruan Tahun 2010; dan Peraturan Mendiknas Nomor 77 Tahun 2009 tentang Ujian Nasional Program Paket A, Program Paket B, Program Paket C, dan Program Paket C Kejuruan Tahun 2010, yang merupakan “warisan” Mendiknas sebelumnya, telah dijadikan sebagai produk hukum dalam mengendalikan dinamika UN yang tak henti-hentinya melahirkan sejumlah masalah.
Meski Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) secara resmi belum mengeluarkan Prosedur Operasi Standar (POS), tetapi empat paket kebijakan Mendiknas tentang UN sudah bisa memberikan gambaran terhadap situasi statusquo yang bakal terjadi dalam sistem dan mekanisme UN itu. Secara substansial, ketentuan UN 2009/2010 tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan ketentuan UN 2008/2009, baik Standar Kompetensi Lulusan maupun ketentuan kelulusan. (Silakan unduh Permendiknas No. 74, 75, 76, dan 77 Tahun 2009!)
Pergeseran Jadwal UN
Jika dicermati, ketentuan tersebut jelas mematahkan opini yang selama ini berkembang di kalangan pendidik bahwa akan terjadi perubahan mendasar tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang diduga murni mengacu pada standar isi sebagai implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang wajib dilaksanakan mulai tahun pelajaran 2009/2010 oleh semua satuan pendidikan di berbagai jenjang pendidikan sesuai dengan ketentuan Permendiknas No. 24 Tahun 2006. Demikian juga halnya dengan kriteria kelulusan. Dugaan tentang kenaikan kriteria kelulusan ternyata juga tidak terbukti. Yang sedikit agak berbeda mungkin waktu pelaksanaan UN yang biasanya berlangsung pada bulan April. Untuk tahun 2009/2010,UN utama dilaksanakan pada bulan Maret 2010.
Dimajukannya jadwal UN, jelas menimbulkan tanda tanya di benak publik. Apa sesungguhnya yang terjadi, sehingga UN mesti buru-buru digelar?
Mengacu pada pernyataan anggota BSNP, Prof. Mungin Eddy Wibowo, dimajukannya jadwal UN merupakan imbas kebijakan ujian ulang bagi siswa yang dinyatakan tidak lulus pada UN utama. Menurutnya, kebijakan ini ditempuh untuk mengurangi terjadinya kecurangan yang terus berulang pada setiap tahun. “Dengan adanya ujian ulang, pemerintah berharap tidak ada upaya dari sekolah untuk membentuk tim sukses,” tegasnya.
Cabut Giginya!
Tak hanya perubahan jadwal UN, tahun ini BSNP juga mengubah sistem penyelenggaraan ujian di sekolah. UN SMA/MA bakal dibagi per kluster. Mungin mencontohkan, satu wilayah bisa dihuni empat sekolah. Misalnya, sekolah A, B, C, dan D. Nah, siswa sekolah A bisa disebar ke sekolah B, C, dan D. Demikian pula siswa sekolah B, bisa disebar ke sekolah C, D, dan A. “Dengan sistem itu, para siswa akan termotivasi untuk belajar lebih giat, karena masing-masing peserta tidak mengenal satu sama lain, sehingga potensi tindak kecurangan dengan bekerja sama dalam mengerjakan soal akan berkurang,” kata Mungin.
Kalau memang benar alasan digesernya jadwal UN dan sistem silang peserta UN (untuk siswa SMA/MA) adalah untuk menghindari kecurangan, sungguh, ini ibarat orang minum puyer untuk menyembuhkan sakit gigi. Sudah jadi rahasia umum, kecurangan UN di negeri ini sudah telanjur menjadi penyakit kronis yang terus mewabah dari tahun ke tahun. Kalau memang punya “kemauan politik” untuk menyembuhkan penyakit kronis itu, hilangkan sumber penyakitnya; bukan hanya sekadar membuat “therapi kejut” yang akan membuat wabah kronis itu makin menjalar merajalela. Seharusnya, cabut giginya. Meski terasa sakit, tetapi bisa memberikan efek positif terhadap kesehatan gigi untuk masa-masa yang akan datang.
Sudah terlalu sering para pemerhati dan pengamat pendidikan melontarkan kritik tentang amburadulnya sistem dan mekanisme UN, sehingga kecurangan demi kecurangan itu terus terjadi. Setidak-tidaknya, ada dua hal penting yang melatarbelakanginya. Pertama, kebijakan menjadikan UN sebagai penentu kelulusan. Kebijakan semacam ini, disadari atau tidak, telah menghilangkan rasa malu untuk melakukan aksi kecurangan. UN tidak lagi sebagai alat untuk mencapai tujuan, tetapi menjadi tujuan itu sendiri. Tidak sedikit pejabat daerah yang “kebakaran jenggot” ketika hasil UN di daerahnya hancur. Sikap geram bukan lantaran menyesali kualitas pendidikan di daerahnya yang rendah, tetapi semata-mata berkaitan dengan gengsi dan marwah daerah. Situasi seperti ini dinilai telah memberikan andil yang cukup besar terhadap terjadinya tekanan berlapis dari atas hingga ke bawah. Demi menjaga gengsi dan harga diri daerah, gubernur menekan bupati/walikota, bupati/walikota menekan kepala dinas pendidikan, kepala dinas pendidikan menekan kepala sekolah, kepala sekolah menekan guru, guru pun menekan siswa melalui drill soal-soal sampai-sampai membuat siswa tak ubahnya seperti binatang sirkus yang harus selalu tunduk pada kemauan sang pawang. Karena tak cukup persiapan, tak jarang terjadi persekongkolan busuk dengan membentuk tim sukses untuk menjalankan aksi-aksi kecurangan UN dengan berbagai macam cara. Dari sisi ini, UN sesungguhnya bukan sebagai alat untuk mendongkrak mutu pendidikan, melainkan menjadi ladang perburuan gengsi para pejabat daerah dengan saling berlomba untuk mencapai hasil UN melalui persentase kelulusan dan tingginya rata-rata nilai yang ditargetkan, meski harus menempuh cara-cara ala Machiavelli.
Kedua, kebijakan standar kelulusan dengan menggunakan nilai minimal. Coba kita simak kriteria kelulusan yang tercantum dalam pasal 20 Permendiknas No. 75 Tahun 2009 berikut ini!
(1) Peserta UN SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN sebagai berikut:
- memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya;
- khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran praktik kejuruan minimal 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN.
(2) Pemerintah daerah dan/atau satuan pendidikan dapat menetapkan batas kelulusan di atas nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebelum pelaksanaan UN.
(3) Peserta UN diberi surat keterangan hasil ujian nasional (SKHUN) yang diterbitkan oleh sekolah/madrasah penyelenggara.
Ketentuan semacam ini, dalam pandangan awam saya, telah mengebiri keberagaman kemampuan siswa didik. Kita ambil contoh, setelah menempuh UN, si A mendapatkan nilai Matematika = 3,90, IPA = 6,50, Bahasa Inggris =8,60, dan Bahasa Indonesia =9,20. Meski rata-ratanya mampu mencapai nilai 7,05, si A dinyatakan tidak lulus karena ada mata pelajaran yang nilainya di bawah 4,00. Persoalannya sekarang, layakkah si A divonis sebagai siswa yang bodoh sehingga layak menerima predikat sebagai siswa yang gagal menempuh UN? Kalau toh ia lemah pada mata pelajaran Matematika, bukankah dia memiliki kemampuan yang menonjol di bidang kebahasaan? Apakah keinginannya untuk mendalami masalah kebahasaan pada jenjang pendidikan berikutnya, misalnya, harus terkubur lantaran ia lemah pada bidang eksakta?
Suasana batin dan psikologis siswa seperti inilah yang selama ini (nyaris) tak tersentuh oleh kebijakan UN. Dari tahun ke tahun, UN hanya melembagakan gengsi para pejabat daerah yang memberikan efek tekanan pada bawahan, sehingga menghalalkan kecurangan massal yang begitu telanjang dan vulgar di depan publik. Kalau situasi semacam ini terus berlangsung dari tahun ke tahun, quo vadis UN kita? ***
…UN sangat dibutuhkan untuk membangun kuallitas manusia Indonesia. Tentu saja proses UN itu yang perlu semakin diperbaiki. Termasuk disiplin menentukan proses peserta UN yang harus selalu melulusi semua materi pembelajaran pada semua mata pembelajaran pada semua jenjang kelas. Salah satu permasalahan yang menyebabkan banyak peserta didik yang tidak berhasil dalam menempuh UN adalah peserta didik itu tidak mengikuti dengan baik semua proses pembelajaran. Ada peserta didik yang lebih banyak tidak hadirnya dalam proses pembelajaran karena berbagai alasan. Termasuk alasan acara keluarga bagi anak-anak pejabat atau alasan bantu orangtua bagi anak-anak ekonomi lemah. Pada sisi yang lain guru belum memiliki ruang & waktu untuk selalu memberi proses remdial bagi yang benar bagi peserta didik yang bermasalah tidak hadir dalam semua proses pembelajaran. Hal ini akan berdampak pada proses kemampuan peserta didik mengakses materi pembelajaran dan akan berakibat gagal dalam UN. Banyak orangtua yang tidak setuju dengan UN karena tidak mamapu mendisiplinkan anaknya dalam mengikuti semua proses pembelajaran secara benar/bekelanjutan. Alangkah anehnya jika semua peserta didik, baik yang mengikuti semua proses pembelajaran dengan baik, maupun yang jarang hadir dalam proses pembelajaran sama-sama lulus dari sekolah/satuan pendidikan dengan alasan bahwa sudah cukup waktunya mengikuti pendidikan di satuan pendidikan itu. Orangtua peserta didik dan peserta didik itu sendiri harus sadar akan pentingnya proses pembelajaran yang harus diikuti dengan baik oleh semua peserta didik. Jika ada peserta didik yang lulus dari suatu satuan pendidikan tanpa mengikuti dengan baik dan benar semua proses pembelajaran di satuan pendidikannya, maka peserta didik itu akan terbiasa melakukan kecurangan atau spekulasi untuk sukses, berarti yang bersangkutan belum memiliki karakter yang baik. Sehingga begitu pentingnya UN dan proses pembelajaran dalam proses pendidikan di setiap satuan pendidikan kita.
hal seperti itu sebenarnya
tidak baik karena,,,
akan membuat para siswanya itu menjadi tidak mementingkan
akan dia harus belajar dengan sungguh-sungguh .
mereka hanya akan ketergantungan akan hal itu….
….org yg kontra dg UN justru kurang paham proses pendidikan yg harus berlangsung di setiap satuan pendidikan kita. Jika peserta didik melalui proses pendidikan yg benar maka UN tdk perlu menjadi perdebatan (tdk perlu menjadi kekuatiran) kita. Jika peserta didik setiap hari pergi ke sekolah (satuan pendidikan) & belajar benar di sana lalu kembali ke rumah mengerjakan sejumlah tugas yg menjadi tugasnya sebagai peserta didik, lalu didukung oleh orangtua menstimulus anaknya belajar di luar jam sekolah, maka peserta didik akan memiliki sejumlah potensi untuk mengetahui materi pembelajaran yg disajikan oleh pendidik sesuai silabus yg menjadi tolak ukur (pedoman) penyusunan soal UN. Terlebih sekarang didukung oleh fasilitas teknologi telekomunikasi utk mengakses berbagai informasi materi pembelajaran melalui internet, selain buku-buku yg banyak di pasaran (di toko buku, maupun buku elektronik di berbagai situs buku elektronik) bahkan dpt dipesan ke penerbit. Lebih lagi jika pendidik menyiapkan media pembelajaran yg lebih menarik, terasa indah & mengasyikkan bagi peserta didik, misalnya melalui percobaan bagi mata pembelajaran sains, maka smua akan terproses menjadi peserta didik yg siap lulus UN. Sejak awal masuk sekolah (satuan pendidikan) selalu memiliki sejumlah pengetahuan yg optimal baru dpt naik jenjang berikutnya dlm suatu sekolah, & seterusnya sampai pd jenjang terakhir ketika akan mengikuti UN. Salah satu masalahnya adalah MIND SET (cara berfikir) kita yg kadang keliru dari awal, karena kadang hanya kita memikirkan peserta didik itu lulus dari suatu satuan (lembaga) pendidikan, dan kadang TIDAK MENITIKBERATKAN pd esensi pendidikan itu sendiri yaitu agar peserta didik (anak kita) memiliki sejumlah pengetahuan & keterampilan serta karakter positif. BUKAN SEKEDAR utk lulus & mendapatkan ijazah. Sejak berangkat dari rumah anak kita (peserta didik) & org tua & mungkin juga pendidik serta mungkin juga pemerintah daerah memiliki MIND SET YANG KELIRU bahwa 3 thn sejak masuk sekolah (SLTP & SLTA), anak kita (peserta didik) harus tamat atau dpt ijazah. Pd hal yg akan menjadi alat ukurnya adalah apakah secara obeyektif anak kita (peserta didik) telah memiliki sejumlah mutu sumber daya manusia sesuai dgn jenjang & karakteristik satuan pendidikan kita. APA YG DIBUAT OLEH DEPDIKNAS ITU ADALAH BENAR ADANYA, termasuk UN, sebab UN merupakan tahapan akhir dari sejumlah proses yg dinilai sebelum UN tiba. Seperti 2 (dua) ujian semester di kls satu SLTA atau kls X yg juga harus melalui ujian praktikum utk mata pembelajaran sains, yg di dalamnya terkandung materi UN. Demikian juga di kls dua SLTA melalui proses yg identik, sampai di kls tiga SLTA. Sehingga semua optimal & akan mencapai nilai tujuh ke atas setiap mata pembelajaran, & jika Standar Kelulusan kita hanya rata-rata 5,5 (lima koma lima), maka secara global kita harus malu, atau sebaliknya kita tau diri bahwa ternyata kita/bangsa kita adalah komunitas orang-orang bodoh, & jangan heran bilaman semua kekayaan alam kita tdk mampu kita kelola. Jangan heran kalau institusi pendidikan kita hanya mampu membentuk kader pembantu rumah tangga, bukan inovator yg mampu berkreasi dll bukan yg produktif. Kalau tdk mencapai nilai standar kelulusan, berarti ada yg salah dlm proses pendidikan kita bukan UN yg harus ditiadakan. Dapat dibayangkan jika tdk ada ujian maka semua akan lulus, termasuk yg hanya namanya saja terdaftar sudah dapat ijazah dll yg negatif.
Salah satu permasalahan dlm setiap satuan pendidikan kita adalah proses-proses itu tidak dialami secara optimal oleh peserta didik, akibat berbagai kendalah termasuk kendala dari kita orangtua. Sebab ternyata ada orang tua yg keliru yaitu berpandangan-salah ketika guru memberi tugas pd peserta didiknya (org tua marah ketika anaknya diberi banyak tugas oleh pendidiknya), ada org tua marah jika anaknya tdk naik kelas, ada org tua mempersalahkan pendidik jika anaknya ditegur guru, atau diberi sanksi oleh pendidik akibat melakukan pelanggaran, karena anaknya amat baik di rumah, namun ketika di luar rumah seperti di jalan ia ngebut atau tidak kerja tugas, atau hanya menyalin tugas temannya, atau nyontek saja pd orang lain, atau selalu nyontek pd bukunya setiap ulangan indvidu, atau tdk mau melakukan praktikum, dll yg indentik. Akibatnya pendidik mengalami gangguan dlm menyusun strategi utk ME-RECOVERY (menyembuhkan, membangun kembali) karakter negatif menjadi positif dari peserta didik yg bersangkutan. Ini semua merupakan kajian dlm menyiapkan anak kita (peserta didik) agar sukses menempuh pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai tingkat doktoral bahkan sampai usulan menjadi profesor kelak.
Tugas kita sebagai orangtua adalah mendorong anak kita (peserta didik) untuk mengikuti dgn telaten semua proses pembelajaran yg disajikan oleh pendidik. Karena di dlm mengikuti semua proses, peserta didik (anak kita) sedang dibentuk mentalnya menjadi telaten sehingga kelak dlm realita kehidupannya akan menjadi bijak, obyektif, tidak senang melakukan jalan pintas yg curang dll yg positif.
Tugas kita sebagai orangtua adalah mendorong institusi pendidikan kita (satuan pendidikan pada mana anak kita mengikuti pendidikan) agar melakukan proses pembelajaran yg optimal dlm menjalankan tugasnya. Pendidik kita di setiap satuan pendidikan disuport utk melakukan langkah-langkah inovatif dlm membangun media pembelajaran yg optimal mewujudkan proses pembelajaran yg terkesan menarik, indah & mengasyikkan bagi peserta didik (bagi anak-anak) kita.
Tugas kita orangtua peserta didik atau masyarakat melalui wakil-wakil kita di Parelemen atau langsung ke KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL adalah mendorong semua komponen yg terkait utk memberikan perhatian bagi berlangsungnya proses pembelajaran pd mana peserta didik (anak-anak kita) benar-benar terlibat secara aktif dlm prsoses pembelajaran, melalui sejumlah proses pembelajaran yg optimal dpt mengembangkan potensi diri mereka (peserta didik = anak-anak kita) untuk memiliki kekuatan atau potensi optimal (pasal 1 UU No. 20/2003 ttg Sisdiknas).
Sebagai bagian dari masyarakat, kita semua terasa penting mendorong agar indikator-indikator keberhasilan pendidikan di semua daerah otonom di tingat Kabupaten/Kota bukan KUANTITAS prosentase kelulusan sejumlah peserta didik, MELAINKAN MUTU PROSES PEMBELAJARAN, MUTU PROSES UJIAN NASIONAL dll mutu atau kualitas pd setiap jenjang & jenis satuan pendidikan kita.Indikator keberhasilan Pemda/Kepala Dinas Pendidikan atau pejabat pendidikan lainnya, bukan karena kemampuannya membuat 100% lulus. Melainkan karena proses pembelajaran berlangsung dengan baik. Pihaka Kementerian Pendidikan Nasional perlu merancang indikator2 keberhasilan pendidikan justru bukan karena 100% lulus, melainkan karean proses pembelajaran berlangsung dengan baik.
Salah satu pentingnya UN adalah bahwa UN independen dlm menyajikan soal, memiliki mutu soal yg standar, dll. Sehingga satuan pendidikan kita dpt dievaluasi secara obeyektif. Dpt dibayangkan jika Ujian Akhir dilaksanakan sendri oleh guru di sekolah yg bersangkutan pd mana soalnya dibuat sendiri oleh guru, diperiksa sendiri oleh gurunya, tentu tdk dpt dijamin independensi bahkan reliability dari pemeriksaan belum tentu optimal, walau secara teoritis soalnya telah diuji validitasnya. Sehingga UN sangat peniting.
Salah satu yg penting diperjuangkan bersama adalah proses UN itu harus berjalan sesuai Panduan Operasional Standar dari Badan Standar Nasional Pendidikan Depdiknas. Ketika ada pelanggaran, konsisten ditindak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yg berlaku
terima kasih banget atas masukan dan share infonya, pak. semoga apa yang diharapkan selama ini bisa terwujud secara bertahap.
kalo ujian nya kayak gitu… lulusan sma jadi lebih berkualitas…
un memang perlu dikaji ulang sistemnya, mas doris. kalau masih seperti yang sudah2, agaknya sulit utk mewujudkan pendidikan yang bermutu.