Ujian Nasional, Quo Vadis?

Ketika terjadi pergantian Mendiknas, muncul harapan dan optimisme baru terhadap perubahan sistem dan mekanisme Ujian Nasional (UN). Setidak-tidaknya, UN tidak lagi diposisikan sebagai penentu kelulusan, tetapi sebagai alat pemetaan mutu pendidikan secara nasional. Namun, agaknya pergantian menteri tidak lantas berarti harus ada pergantian kebijakan. Buktinya? Empat paket kebijakan UN melalui (1) Peraturan Mendiknas Nomor 74 Tahun 2009 tentang Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar Luar Biasa (SD/MI/SDLB) Tahun Pelajaran 2009/2010; (2) Peraturan Mendiknas Nomor 75 Tahun 2009 tentang Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tahun Pelajaran 2009/2010; (3) Peraturan Mendiknas Nomor 76 Tahun 2009 tentang Ujian Nasional Program Paket C Kejuruan Tahun 2010; dan Peraturan Mendiknas Nomor 77 Tahun 2009 tentang Ujian Nasional Program Paket A, Program Paket B, Program Paket C, dan Program Paket C Kejuruan Tahun 2010, yang merupakan “warisan” Mendiknas sebelumnya, telah dijadikan sebagai produk hukum dalam mengendalikan dinamika UN yang tak henti-hentinya melahirkan sejumlah masalah.

UNMeski Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) secara resmi belum mengeluarkan Prosedur Operasi Standar (POS), tetapi empat paket kebijakan Mendiknas tentang UN sudah bisa memberikan gambaran terhadap situasi statusquo yang bakal terjadi dalam sistem dan mekanisme UN itu. Secara substansial, ketentuan UN 2009/2010 tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan ketentuan UN 2008/2009, baik Standar Kompetensi Lulusan maupun ketentuan kelulusan. (Silakan unduh Permendiknas No. 74, 75, 76, dan 77 Tahun 2009!)

Pergeseran Jadwal UN
Jika dicermati, ketentuan tersebut jelas mematahkan opini yang selama ini berkembang di kalangan pendidik bahwa akan terjadi perubahan mendasar tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang diduga murni mengacu pada standar isi sebagai implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang wajib dilaksanakan mulai tahun pelajaran 2009/2010 oleh semua satuan pendidikan di berbagai jenjang pendidikan sesuai dengan ketentuan Permendiknas No. 24 Tahun 2006. Demikian juga halnya dengan kriteria kelulusan. Dugaan tentang kenaikan kriteria kelulusan ternyata juga tidak terbukti. Yang sedikit agak berbeda mungkin waktu pelaksanaan UN yang biasanya berlangsung pada bulan April. Untuk tahun 2009/2010,UN utama dilaksanakan pada bulan Maret 2010.

Dimajukannya jadwal UN, jelas menimbulkan tanda tanya di benak publik. Apa sesungguhnya yang terjadi, sehingga UN mesti buru-buru digelar?

Mengacu pada pernyataan anggota BSNP, Prof. Mungin Eddy Wibowo, dimajukannya jadwal UN merupakan imbas kebijakan ujian ulang bagi siswa yang dinyatakan tidak lulus pada UN utama. Menurutnya, kebijakan ini ditempuh untuk mengurangi terjadinya kecurangan yang terus berulang pada setiap tahun. “Dengan adanya ujian ulang, pemerintah berharap tidak ada upaya dari sekolah untuk membentuk tim sukses,” tegasnya.

Cabut Giginya!
Tak hanya perubahan jadwal UN, tahun ini BSNP juga mengubah sistem penyelenggaraan ujian di sekolah. UN SMA/MA bakal dibagi per kluster. Mungin mencontohkan, satu wilayah bisa dihuni empat sekolah. Misalnya, sekolah A, B, C, dan D. Nah, siswa sekolah A bisa disebar ke sekolah B, C, dan D. Demikian pula siswa sekolah B, bisa disebar ke sekolah C, D, dan A. “Dengan sistem itu, para siswa akan termotivasi untuk belajar lebih giat, karena masing-masing peserta tidak mengenal satu sama lain, sehingga potensi tindak kecurangan dengan bekerja sama dalam mengerjakan soal akan berkurang,” kata Mungin.

UNKalau memang benar alasan digesernya jadwal UN dan sistem silang peserta UN (untuk siswa SMA/MA) adalah untuk menghindari kecurangan, sungguh, ini ibarat orang minum puyer untuk menyembuhkan sakit gigi. Sudah jadi rahasia umum, kecurangan UN di negeri ini sudah telanjur menjadi penyakit kronis yang terus mewabah dari tahun ke tahun. Kalau memang punya “kemauan politik” untuk menyembuhkan penyakit kronis itu, hilangkan sumber penyakitnya; bukan hanya sekadar membuat “therapi kejut” yang akan membuat wabah kronis itu makin menjalar merajalela. Seharusnya, cabut giginya. Meski terasa sakit, tetapi bisa memberikan efek positif terhadap kesehatan gigi untuk masa-masa yang akan datang.

Sudah terlalu sering para pemerhati dan pengamat pendidikan melontarkan kritik tentang amburadulnya sistem dan mekanisme UN, sehingga kecurangan demi kecurangan itu terus terjadi. Setidak-tidaknya, ada dua hal penting yang melatarbelakanginya. Pertama, kebijakan menjadikan UN sebagai penentu kelulusan. Kebijakan semacam ini, disadari atau tidak, telah menghilangkan rasa malu untuk melakukan aksi kecurangan. UN tidak lagi sebagai alat untuk mencapai tujuan, tetapi menjadi tujuan itu sendiri. Tidak sedikit pejabat daerah yang “kebakaran jenggot” ketika hasil UN di daerahnya hancur. Sikap geram bukan lantaran menyesali kualitas pendidikan di daerahnya yang rendah, tetapi semata-mata berkaitan dengan gengsi dan marwah daerah. Situasi seperti ini dinilai telah memberikan andil yang cukup besar terhadap terjadinya tekanan berlapis dari atas hingga ke bawah. Demi menjaga gengsi dan harga diri daerah, gubernur menekan bupati/walikota, bupati/walikota menekan kepala dinas pendidikan, kepala dinas pendidikan menekan kepala sekolah, kepala sekolah menekan guru, guru pun menekan siswa melalui drill soal-soal sampai-sampai membuat siswa tak ubahnya seperti binatang sirkus yang harus selalu tunduk pada kemauan sang pawang. Karena tak cukup persiapan, tak jarang terjadi persekongkolan busuk dengan membentuk tim sukses untuk menjalankan aksi-aksi kecurangan UN dengan berbagai macam cara. Dari sisi ini, UN sesungguhnya bukan sebagai alat untuk mendongkrak mutu pendidikan, melainkan menjadi ladang perburuan gengsi para pejabat daerah dengan saling berlomba untuk mencapai hasil UN melalui persentase kelulusan dan tingginya rata-rata nilai yang ditargetkan, meski harus menempuh cara-cara ala Machiavelli.

Kedua, kebijakan standar kelulusan dengan menggunakan nilai minimal. Coba kita simak kriteria kelulusan yang tercantum dalam pasal 20 Permendiknas No. 75 Tahun 2009 berikut ini!

(1) Peserta UN SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN sebagai berikut:

  • memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya;
  • khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran praktik kejuruan minimal 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN.

(2) Pemerintah daerah dan/atau satuan pendidikan dapat menetapkan batas kelulusan di atas nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebelum pelaksanaan UN.
(3) Peserta UN diberi surat keterangan hasil ujian nasional (SKHUN) yang diterbitkan oleh sekolah/madrasah penyelenggara.

Ketentuan semacam ini, dalam pandangan awam saya, telah mengebiri keberagaman kemampuan siswa didik. Kita ambil contoh, setelah menempuh UN, si A mendapatkan nilai Matematika = 3,90, IPA = 6,50, Bahasa Inggris =8,60, dan Bahasa Indonesia =9,20. Meski rata-ratanya mampu mencapai nilai 7,05, si A dinyatakan tidak lulus karena ada mata pelajaran yang nilainya di bawah 4,00. Persoalannya sekarang, layakkah si A divonis sebagai siswa yang bodoh sehingga layak menerima predikat sebagai siswa yang gagal menempuh UN? Kalau toh ia lemah pada mata pelajaran Matematika, bukankah dia memiliki kemampuan yang menonjol di bidang kebahasaan? Apakah keinginannya untuk mendalami masalah kebahasaan pada jenjang pendidikan berikutnya, misalnya, harus terkubur lantaran ia lemah pada bidang eksakta?

Suasana batin dan psikologis siswa seperti inilah yang selama ini (nyaris) tak tersentuh oleh kebijakan UN. Dari tahun ke tahun, UN hanya melembagakan gengsi para pejabat daerah yang memberikan efek tekanan pada bawahan, sehingga menghalalkan kecurangan massal yang begitu telanjang dan vulgar di depan publik. Kalau situasi semacam ini terus berlangsung dari tahun ke tahun, quo vadis UN kita? ***

Comments

  1. Ujian Nasional … menutupi ketidakmampuan pemerintah menjalankan kewajiban dalam bidang pendidikan. Para guru sudah saatnya melawan kebijakan yang curang dan mengerikan ini, tidak lagi membiarkan pemerintah terus melaksanakan kebijakan yang menistakan anak didik, guru, dan orang tua.
    .-= Baca juga tulisan terbaru HE. Benyamine berjudul Anggota Dewan kok Nganggur =-.

    • itu dia yang jadi persoalan, bang ben. sejak kebijakan un digulirkan, justru tingkat kecerdasan siswa secara rata2 mengalami penurunan. saya juga heran, kenapa sistem dan mekanismenya tidak ada perubahan?

  2. Pak, kita berdoa moga tak ada lagi kecurangan yang hanya akan memperburuk sifat generasi angsa. Kecurangan yang dipandu guru-gurunya. Moga tidak ada lagi.

    • harapannya begitu, mas achoey. mudah2an saja hal itu dapat terwujud. tapi kalau menjadi penentu kelulusan, agaknya kecurangan demi kecurangan itu sulit dihindarkan.

  3. Unas seharusnya sudah tidak bisa dijadikan alat penentu kelulusan. sejak saya mengikuti UNAS saat SMA di tahun 2007 sudah banyak terjadi kecurangan akibat sistem UNAS yang dijadikan patokan kelulusan…
    .-= Baca juga tulisan terbaru Udin Arif berjudul Naval Architecture Today =-.

    • saya sepakat seperti itu, mas. sayangnya, kebijakan UN dari tahun ke tahun ndak pernah berubah. un selalu menjadi penentu kelulusan. situasi seperti ini yang menyebabkan kecurangan terus terjadi setiap tahun. doh.

  4. Bimbel bimbel. Mau ujian, ya ikut bimbel aja. Ngga heran kalau di Indonesia dan Malaysia banyak bertebaran bimbel dan ada juga yang jadi konglomerat dari bikin bimbel.
    Jadi, ngga usah susah-susah sekolah Pak. Cukup ikutan bimbingan belajar, kerjakan soal banyak-banyak, dan lulus ujian hehehe.
    Sedihnya.
    .-= Baca juga tulisan terbaru Iwan Awaludin berjudul Perencanaan Finansial = Perencanaan Perjalanan =-.

  5. Semoga dengan hadirnya pak Nuh . . wajah pendidikan kita semakin maju dan semoga semakin menambah semangat yang ngajar yah pak

    Tetep semangat !!
    .-= Baca juga tulisan terbaru ajengkol berjudul Jembatan Cinta Suramadu =-.

    • amiiin, hanya sayangnya dalam soal UN, pak nuh masih harus menerima warisan dari pendahulunya, mbak.

  6. kalo menurut saya memang letak keberhasilan didalam mendidik murid bukan pada UN saja, mungkin agak ironi juga orientasi sistem pendidikan kita mengacu pada ijazah bukannya malah ilmu yg didapat, sebagai contoh SMA di amrik sono belum diajarkan integral diferensial tapi penguasaan ilmu matematika ketika lulus bisa benar2 optimal, coba bandingkan dgn di indo diajarin ilmu tinggi2 tapi penguasaannya rendah, mending diajari sedikit tapi masuk ketimbang diajari banyak gak ada yg masuk…nggih nopo inggih pak guru 🙂
    .-= Baca juga tulisan terbaru m4stono berjudul Kulit oh Kulit =-.

    • itu juga yang disuarakan oleh para pengamat dan pemerhati dunia pendidikan, mas tono. sayangnya suara2 kritis semacam itu tak didengar oleh para pengambil kebijakan.

  7. mudah-mudahan UN tahun ini tidak menjadi momok lagi bagi siswa siswi di Negeri tercinta

  8. iya tuch kang ada apa yach kok sampek diajukan jadwal un nya … apa gak kasihan anak didik kita ….. semoga aja dengan standart kelulusan yang ada tahun ini bisa membuat siswa kita lulus semua… amien
    .-= Baca juga tulisan terbaru dameydra berjudul Award Untuk Blog Teman Setia =-.

  9. udah sistem NEM kayak dulu aja…nem saya persis yang kayak pak sawali bilang..bidang bahasa saya bagus banget, pas matematika..wuaduuhh..makanya sekarang memang ketahuan karir saya lari kemana..toh bidang apapun semuanya bisa sama2 sukses…jangan dihakimi dulu apalagi pas sedang SMA bisa trauma untuk masa depannya.

    • hehehe … seharusnya memang kompetensi dan kemampuan anak tidak dikebiri, mas boyin, meski punya kelemahan di bidang yang lain.

  10. Salam kenal pak sawali… Yaa itulah politik, mungkin waktu mbuat Permen itu, apa pak Bambang mengharap jadi mendiknas lagi yaa. Kan beiau yang tandatangan. Kalau un dipaksakan, tahu sendirilah pelaksanaannya.. UN tidak sakral lagi, dan hanya buat ceremonial dan pemberian cap lulus saja. UN cuma alat pelanggengan kekuasaan.
    Kita para guru? jadi pelengkap penderita…

    • salam kenal juga, mas hakim. itulah yang menyedihkan nasib perjalanan UN, kita, mas. dari tahun ke tahun ndak pernah ada perubahan meski para pengamat menyuarakan sikap kritisnya terhadap un yang hanya menjadi alat kekuasaan semata.

  11. pendidikan disiplin,jujur sangat perlu sewaktu kita kecil,
    malulah kita sebagai bangsa besar ujian saja masih ada kecurangan
    salam,
    .-= Baca juga tulisan terbaru andif berjudul Supportku untuk Panca =-.

    • seperti itulah kenyataan yang terjadi, mas felani. sedih juga kalau dunia pendidikan yang seharusnya menjadi pusat kebudayaan dikacaukan oleh un yang ndak benar dan jujur.

    • hmmm… itulah yang seharusnya diubah, mas. un bukan jadi penentu kelulusan, melainkan sbg alat pemetaan mutu pendidikan.

    • hehe …. itulah yang sering dianggap kurang adil, mas saiful. kelebihan dalam bidang tertentu seperti tidak dihargai.

  12. saya selalu tak percaya g pendidikan formal pak. mereka yg mau jadi pintar harus mencari ruang2 baru yg bs dijadikan sarana belajar.

  13. Beginilah kalau negara sudah kehilangan visi dan haluan. Semua persoalan penuh carut-marut. Di dunia pendidikan ada UN. Di dunia hukum ada kasus kebun binatang. Di dunia perbankan ada penggelontoran duit rakyat sebesar Rp6,7T yang gelap.
    .-= Baca juga tulisan terbaru kombor berjudul Dapat CD Ubuntu 9.10 =-.

    • doh, makin rumit dan kompleks saja persoalan di negeri ini, mas arif. mungkin lantaran telah terjadi proses pembiaran selama ini, sehingga menjela menjadi akumulasi persoalan yang makin sulit diselesaikan.

    • itu yang sangat kita harapkan, pak mursyid. mestinya ada perubahan fondamental tentang pelaksanaan UN di negeri ini agar UN benar2 bisa berlangsung jujur dan fair.

    • wah, seperti itulah yang terjadi, mbak, hehe … saya doakan deh, mbak, semoga lancar dan sukses un-nya.

  14. sistemx smakin baguz..
    sm0ga teruz baik dan mkin meningkat..amin

  15. unas nya curang, jadi pejabat korup, jadi pengusaha nyuap muluk… harusnya pencurang unas dikriminalkan[-(

    • hmmm … selama ini memang un belum bisa bersih dari kecurangan, mas. ironisnya, kecurangan semacam itu hampir tak pernah tuntas tertangani.

    • seharusnya jauh2 sebelumnya aturan yang dinilai kurang adil seperti itu bisa segera diubah, meas dewanto. sayangnya berbagai masukan selama ini tak pernah ditindaklanjuti.

    • saya sendiri juga masih cenderung utk memilih agar un tetap digelar, asalkan bukan sbg penentu kelulusan, mas wempi, melainkan sebagai alat pemetaan mutu pendidikan secara nasional.

    • betul sekali, mbak olip. sungguh kurang adil kalau nasib anak hanya ditentukan beberapa hari saja. sementara hasil belajar selama tiga tahun (nyaris) diabaikan.

  16. kondisi penilaian yang cenderung samarata seperti itu sudah mengakar dalam pendidikan di Indonesia. Perlu ada strukturisasi kurikulum yang mengakomodasi minat dan bakat siswa, bukan mengharuskan siswa menguasai segala bidang.
    .-= Baca juga tulisan terbaru mandor tempe berjudul 8D report =-.

    • dari sisi kurikulum sebenarnya sudah mulai tertata secara sistemik, mas mandor. sayangnya, sistem UN hampir tak pernah berubah dari tahun ke tahun.

    • betul sekali, mas afwan. itu juga yang dikritik banyak pengamat. sungguh kurang adil kalau kelulusan hanya ditentukan ,selama empat hari saja. doh!

  17. Sebagai mantan siswa… rasanya nggak adil aja 3 tahun di SMP atau SMA ditentukan hanya dengan 3 hari ujian nasional (waktu itu…):-w Tapi mau bagaimana lagi pak, ya manut ae wes..
    kalo boleh milih.. saya maunya sekolah 2 tahun saja di SMP dan di SMA, cukup! tanpa ikut kelas akselerasi loh.. karena sayang umur, lama2 di sekolah. Toh kehidupan sebenarnya berbeda jauh daripada yg diajarkan di sekolah…
    .-= Baca juga tulisan terbaru brillie berjudul Ulang Tahun TuguPahlawan.com (TPC) =-.

    • hmmm … sebenarnya kalau sistem pendidikan kita bagus, seharusnya apa yang didapatkan peserta didik di bangku pendidikan sangat bermanfaat sbg bekal ketika siswa memasuki kehidupan yang sesungguhnya, mbak antie. sayangnya, selama ini hal seperti belum sepenuhnya bisa terwujud.

    • @Hariez, dan menurut saya pribadi si ‘A’ sepatutnya layak diperhitungkan pula Pak maaf ini opini saya

      • dan saya juga lupa menghapus script html nya hingga mereply komentar ditujukan untuk saya sendiri *dasar oon suroon sayanya ya Pak* :d

      • saya juga berpendapat demikian, mas hariez, karena si A hanya memiliki satu kelemahan di bidang tertentu, tapi punya banyak kelebihan di bidang yang lain.

    • itulah salah satu “penyakit” pendidikan di negeri ini, mas hariez. kecurangan demi kecurangan terus terjadi tiap tahun, tapi tak pernah tertangani secara serius.

  18. bukan dalam UUGD bukan guru yang memiliki kewenangan menilai anak didiknya?
    seharusnya UN bukan untuk menentukan kelulusan, tetapi untuk standar kualitas kelulusan suatu sekolah.
    selama UN dijadikan standar kelulusan, kecurangan akan terjadi dimana-mana
    APAKAH RELA PEMERINTAH DISEBUT SEBAGAI FASILITATOR KECURANGAN?
    .-= Baca juga tulisan terbaru budies berjudul PENCEMARAN NAMA BAIK ≠ PERBAIKAN NAMA CEMAR? =-.

    • sepakat banget, mas budi. selama un masih menjadi penentu kelulusan, kecurangan dengan berbagai modus operandinya akan jalan terus, haks.

  19. adakah kebijakan pemerintah yang betul2 mencerdaskan bangsa? masalah ini selalu jadi pembicaraan dan polemik, namun tidak pernah di apresiasi pak…
    .-= Baca juga tulisan terbaru azaxs berjudul Panggung Gembira Azzavirtium Junior =-.

    • begitulah yang terjadi, mas azaxs. berbagai kritikan yang muncul dari banyak kalangan hanya dianggap seperti angin lalu.

  20. Ujian nasional … terbayang kesibukan dari tiap lini sekolah. Yang positip dan tdk sedikit yg negatip. Mulai guru disibukkan dg les2 tambahan, sampai mengabaikan mapel yg lain selain materi yg di UN kan, sampai yg ekstrim, sekolah mereka2 strategi apa yg mesti dilakukan agar siswanya lolos dalam “peperangan’ yang sesaat itu. Kalau itu stategi yg gentle … tapi kalau strategi yg menjijikkan. Memberikan pendidikan mesti sejak kecil karena akan lebih permanen, lha kalau pendidikannya jelek, bukankah akan permanen sampai tua … ckckck
    .-= Baca juga tulisan terbaru wahyubmw berjudul Free Hotspot, dimana kau …. =-.

    • hehe …. kecurangan itu sesungguhnya bisa dikurangi asalkan UN bukan dijadikan sbg penentu kelulusan, pak.

  21. hmm …
    baru beberapa hari yang lalu mendengar kecurangan yang dilakukan pihak sekolah dari seorang guru, tentang tim sukses untuk membuat kelulusan 100% dari satu sekolah. Ckckck… sulit untuk dipercaya yah 🙁

    semoga saja ke depannya, kecurangan2 itu bisa diminimalisir.
    .-= Baca juga tulisan terbaru niQue berjudul TEH Indonesia ga laku? =-.

    • memang seperti itulah yang terjadi, mas. yang disayangkan, kasus2 kecurangan UN hampir tak pernah tuntas terselesaikan.

  22. Saya positif thinking aja. Mungkin kebijakan kontroversial ini bagi sebagian orang memberatkan, tapi mungkin ini demi kita bersama, jangan terus-terusan curang di UN. Dan juga, masalah yang belum terpecahkan dan masih diperdebatkan hingga saat ini adalah parameter apa yang digunakan oleh pemerintah untuk menentukan kelulusan siswa, selain UN?

    • sebenarnya ada juga, mas anas. sayangnya, sudah terjadi kekeliruan yang membudaya, hingga aklhirnya kecurangan UN pun jadi budaya baru. doh!

  23. Semoga kecurangan2nya tidak terjadi kembali di tahun ini, dan nilai minimalnya tidak naik juga, kasihan kan mereka ?

    • hmmm … jiika diperlukan, tak perlu pakai nilai minimal, mas rifky, tapi cukup menggunakan nilai rata2.

    • saya kira benar, pak. teknisnya pasti jadi lebih rumit. sebenarnya UN bukan pada masalah teknisnya, melainkan pada sistemnya.

  24. wah . . pastinya tambah ketat nih!:o
    aduh . . nggak yakin aku! 🙁

    • kalau masalah ketat, sejak dulu memang begitu, mbak. tapi sayangnya baru sebatas tertulis di atas kertas.

  25. turut prihatin dengan kembalinya sumber penyakit pendidikan negara kita

  26. dwi sri sujarwati

    ah… pak Mungin kurang gaul….. ujian ulang kok untk mengurangi kecurangan saat UN…???? bukannya kecurangan itu lebih HEBOH saat ujian ulangan…. bkn hanya di tgkat sklh tp di tgkt subrayon karena ujian ulangan dilaksanakan di subrayon.=d> beruntung sy bkn guru yg bs ditekan2, shg sy gak pernah stres mkr UN…:)) bg sy, nilai UN gak penting,justru yg srg sy pkrkan adlh, bisa apa murid sy dg pelajaran yg sy berikan stlh mrk lulus nanti… itu yg srg bikin sy stres8->….^:)^

    • hehehe …. ndak tahu juga tuh, yu. kok aneh juga ya, ndak lulus kok diberi kesempatan utk ujian ulang. sangat beda saat kita sekolah dulu. kalau ndak lulus ya ndak lulus. titik.

    • iya, pak iwan. tapi info terakhir, depdiknas telah memutuskan utk menggelar UN, karena konon MA tak pernah melarangnya. hanya meminta agar depdiknas meningkatkan mutu guru dan kelengkapan sarana-prasarana pendidikan.

  27. Dan MA telah memutuskan kasasi tentang larangan menyelenggarakan UN. Namun Mendiknas M Nuh tetap bertahan dengan coba melayangkan Peninjauan Kembali. Sudah jelas dimana sikap pemerintah kita pak..

    • hmmm … konon info yang terakhir, MA tak pernah melarang UN, hanya meminta agar mutu guru dan sarana-prasarana ditingkatkan sebelum un digelar.

  28. Ujian nasional … terbayang kesibukan dari tiap lini sekolah. Yang positip dan tdk sedikit yg negatip. Mulai guru disibukkan dg les2 tambahan, sampai mengabaikan mapel yg lain selain materi yg di UN kan, sampai yg ekstrim, sekolah mereka2 strategi apa yg mesti dilakukan agar siswanya lolos dalam “peperangan’ yang sesaat itu. Kalau itu stategi yg gentle … tapi kalau strategi yg menjijikkan. Memberikan pendidikan mesti sejak kecil karena akan lebih permanen, lha kalau pendidikannya jelek, bukankah akan permanen sampai tua … ckckck

    • hmm .. semoga saja tak banyak guru yang stress lagi menjelang un, pak wahyu. kebayang betapa sibuknya pak wahyu ketika mempersiapkan siswa didik agar benar2 dalam kondisi siap utk menempuh un, hehe …

  29. Ujian nasional … terbayang kesibukan dari tiap lini sekolah. Yang positip dan tdk sedikit yg negatip. Mulai guru disibukkan dg les2 tambahan, sampai mengabaikan mapel yg lain selain materi yg di UN kan, sampai yg ekstrim, sekolah mereka2 strategi apa yg mesti dilakukan agar siswanya lolos dalam “peperangan’ yang sesaat itu. Kalau itu stategi yg gentle … tapi kalau strategi yg menjijikkan. Memberikan pendidikan mesti sejak kecil karena akan lebih permanen, lha kalau pendidikannya jelek, bukankah akan permanen sampai tua … ckckck
    .-= Baca juga tulisan terbaru wahyubmw berjudul Free Hotspot, dimana kau …. =-.

    • hehe … ndak apa2, mbak uny. semoga saja pelaksanaan UN jadi lebih baik sehingga ndak lagi bikin pusing, haks.

  30. nenyok

    Salam,
    Pakde apa kabar, lama tak jumpa, semoga sehat-sehat selalu, maaf jarang berkunjung, kangen juga, btw selamat hari Guru ya *telatdotcom*
    Setiap tahun selalu ada berita yang nyaris sama, ada peserta didik yang karena tak lulus UN bunuh diri, frustrasi dan semacamnya dan yang paling menyedihkan plus sudah jadi rahasia umum, demi gengsi, pihak sekolah menggunakan segala cara untuk mendapatkan nilai demi semata-mata alasan lulus.
    sayang ya Pakde kalau caranya seperti itu, kenapa ga dibuat simple aja ya seperti dulu jaman aku, toh kalau sudah terjun di masyarakatmah, skill dan nasib yang bicara 🙂

    • salam kangen juga, mbak ney. itulah kenyataan pahit yang terjadi di negeri. semoga saja para pengambil kebijakan benar2 masih memiliki kepekaan sehingga dunia pendidikan benar2 mampu menjalankan fungsinya sebagai agen peradaban.

    • tapi info yang terakhir, ternyata UN hanya meminta agar mutu guru dan sarpras pendidikan ditingkatkan sebelum UN digelar.

  31. semoga UNAS tahunku tak ada masalah…
    amin… dan semoga UNAS tetep ada…
    .-= Baca juga tulisan Nafi’ Abdul Hakim berjudul blog ..Tidur =-.

  32. Jus

    UN kok tiap tahun makin dipercepat ya ?
    Saya masih kelas X SMA neh, hehe

  33. DV

    Penjabaran yang maksimal datang dari orang yang praktek langsung di lapangan, Pak dan Anda telah melakukannya dengan baik lewat tulisan ini…

    Seharusnya Mendiknas membaca tulisan ini untuk dijadikan tak sekedar menjadi referensi, tapi satu pertimbangan yang lebih kuat lagi dalam menilai ada tidaknya UN.

    Btw, istilah “cabut gigi’ itu selalu mengingatkan saya pada peristiwa reformasi 98 lalu, ketika itu Sarwono Kusumaatmadja mengungkapkan kira2 “Kalau memang tak sembuh-sembuh ya cabut giginya jangan ditambal lagi ditambal lagi” ….

    Maju terus dan berpikir kritis, Pak!

    • hehe … itu sekadar beranalogi saja, kok, mas don, agaknya memang seperti itulah sistem UN yang berlangsung selama ini.

  34. setiap UN pasti ada aja kecurangan yang terjadi, kalo nggak ada kecurangan kayaknya nggak mungkin deh 😉
    pas saya UN tahun 2008 kemaren soal yang dipake juga soal A dan B dan ternyata soalnya juga sama aja cuman nomernya aja yang diacak.. :-\”
    sebenernya sih nggak adil juga iah kalo unas cuman 6 mata pelajaran (kebetulan pas unas kemaren saya 6 mata pelajaran, matematika, bhs inggris, bhs Indonesia, biologi, fisika, kimia )standartnya juga lumayan gede dan nggak ada ujian ulangan lagi pas itu jadi banyak yang nggak lulus deh huft..
    sebaiknya unas yang akan datang diadakan ujian pengulangan untuk siswa yang nggak lulus kan kasian para siswa yang nggak lulus..
    bisa hancur bgt hati ini kalo sampe nggak lulus kasian juga yang nggak lulus ada yang sampe mau bunuh diri dan ada juga yang sampe gila.. :((
    sepertinya UNAS sudah menjadi momok yang paling ditakuti siswa dan akankah UNAS dihapus??? hmm entahlah 😀
    thanks
    .-= Baca juga tulisan terbaru RaRa Wulan berjudul "JOGS show – TUCSON 2009" =-.

    • mungkin UN tak perlu harus dihapus, mbak rara, sebab bisa dijadikan sbg standar mutu pendidikan nasional. yang perlu diperbaiki adalah sistem dan mekanismenya. jangan sampai UN jadi penentuk kelulusan. ini yang menyebabkan UN dari tahun ke tahun tak pernah lepas dari kexurangan massal.

  35. Akbarunsyah

    Apapun namanya kalau UN masih dengan standar kelulusan berapapun maka kecurangan akan selalu. Saya berani menantang DEPDIKNAS untuk membuat rata-rata kelulusan 9,00, tetap aja siswa bisa lulus 100%. Gak ada gunanya standar!!!!!Yang bener adalah serahkan wewenang kelulusan ke sekolah. TOh yang lebih mengerti kondisi siswanya adalah sekolah. Standar boleh tapi jangan dijadikan standar kelulusan, tapi digunakan sebagai pemetaan kualitas. Apa yang telah kita lakukan sekarang adalah DOSA BESAR TERHADAP GENERASI 10-15 TAHUN NANTI. Guru membacakan jawaban, mengubah jawaban siswa, membuka amplop soal dll…semata-mata adalah keinginan guru yg tidak ingin melihat diri dan siswanya gagal. [-(

    • benar sekali, mas akbar. saya sangat setuju itu. UN masih diperlukan sbg standar dan pemetaan mutu pendidikan secara nasional, tapi sekolah yang menentukan kelulusan siswa didiknya.

  36. Ujian Nasional harus dilaksanakan tetapi standar kelulusan atau kelulusan siswa tidak mutlak ditentukan oleh hasil Ujian nasional, akan tetapi harus melibatkan sikap prilaku maupun kerajinan dari siswa itu yg hanya dimiliki oleh guru dan kepala sekolah, sebab yang lebih tahu kondisi anak didik itu adalah gurunya sendiri buakn pejabat tinggi.ok:d:(

    • betul sekali, mas kholil. dalam POS UN pun seperti itu ketentuannya. hanya saja, dalam praktiknya, UN akhirnya jadi satu2nya penentu kelulusan.

  37. hmmm.. benar juga..yang bagus di bahasa dan jelek di matematika tidak lulus karena nilai matematikanya dibawah standar..
    tapi menurut saya standar 4.00 itu juga sudah disesuaikan dengan kemampuan lho..
    tapi anak yang tidak lulus tersebut tidak bisa dianggap sebagai siswa yang bodoh..nah faktor psikologis ini yang harus dihilangkan..tp bukan dengan menghilangkan standar..cmiiw

  38. percuma diadakan ujian nasional kalau dari SDM sendirinya tidak jujur dalam pengerjaanya..masih banyak di lapangan beredar bocoran soal ujian:o

  39. kalo ujian nya kayak gitu… lulusan sma jadi lebih berkualitas…

    • un memang perlu dikaji ulang sistemnya, mas doris. kalau masih seperti yang sudah2, agaknya sulit utk mewujudkan pendidikan yang bermutu.

  40. Arizenjaya

    ….org yg kontra dg UN justru kurang paham proses pendidikan yg harus berlangsung di setiap satuan pendidikan kita. Jika peserta didik melalui proses pendidikan yg benar maka UN tdk perlu menjadi perdebatan (tdk perlu menjadi kekuatiran) kita. Jika peserta didik setiap hari pergi ke sekolah (satuan pendidikan) & belajar benar di sana lalu kembali ke rumah mengerjakan sejumlah tugas yg menjadi tugasnya sebagai peserta didik, lalu didukung oleh orangtua menstimulus anaknya belajar di luar jam sekolah, maka peserta didik akan memiliki sejumlah potensi untuk mengetahui materi pembelajaran yg disajikan oleh pendidik sesuai silabus yg menjadi tolak ukur (pedoman) penyusunan soal UN. Terlebih sekarang didukung oleh fasilitas teknologi telekomunikasi utk mengakses berbagai informasi materi pembelajaran melalui internet, selain buku-buku yg banyak di pasaran (di toko buku, maupun buku elektronik di berbagai situs buku elektronik) bahkan dpt dipesan ke penerbit. Lebih lagi jika pendidik menyiapkan media pembelajaran yg lebih menarik, terasa indah & mengasyikkan bagi peserta didik, misalnya melalui percobaan bagi mata pembelajaran sains, maka smua akan terproses menjadi peserta didik yg siap lulus UN. Sejak awal masuk sekolah (satuan pendidikan) selalu memiliki sejumlah pengetahuan yg optimal baru dpt naik jenjang berikutnya dlm suatu sekolah, & seterusnya sampai pd jenjang terakhir ketika akan mengikuti UN. Salah satu masalahnya adalah MIND SET (cara berfikir) kita yg kadang keliru dari awal, karena kadang hanya kita memikirkan peserta didik itu lulus dari suatu satuan (lembaga) pendidikan, dan kadang TIDAK MENITIKBERATKAN pd esensi pendidikan itu sendiri yaitu agar peserta didik (anak kita) memiliki sejumlah pengetahuan & keterampilan serta karakter positif. BUKAN SEKEDAR utk lulus & mendapatkan ijazah. Sejak berangkat dari rumah anak kita (peserta didik) & org tua & mungkin juga pendidik serta mungkin juga pemerintah daerah memiliki MIND SET YANG KELIRU bahwa 3 thn sejak masuk sekolah (SLTP & SLTA), anak kita (peserta didik) harus tamat atau dpt ijazah. Pd hal yg akan menjadi alat ukurnya adalah apakah secara obeyektif anak kita (peserta didik) telah memiliki sejumlah mutu sumber daya manusia sesuai dgn jenjang & karakteristik satuan pendidikan kita. APA YG DIBUAT OLEH DEPDIKNAS ITU ADALAH BENAR ADANYA, termasuk UN, sebab UN merupakan tahapan akhir dari sejumlah proses yg dinilai sebelum UN tiba. Seperti 2 (dua) ujian semester di kls satu SLTA atau kls X yg juga harus melalui ujian praktikum utk mata pembelajaran sains, yg di dalamnya terkandung materi UN. Demikian juga di kls dua SLTA melalui proses yg identik, sampai di kls tiga SLTA. Sehingga semua optimal & akan mencapai nilai tujuh ke atas setiap mata pembelajaran, & jika Standar Kelulusan kita hanya rata-rata 5,5 (lima koma lima), maka secara global kita harus malu, atau sebaliknya kita tau diri bahwa ternyata kita/bangsa kita adalah komunitas orang-orang bodoh, & jangan heran bilaman semua kekayaan alam kita tdk mampu kita kelola. Jangan heran kalau institusi pendidikan kita hanya mampu membentuk kader pembantu rumah tangga, bukan inovator yg mampu berkreasi dll bukan yg produktif. Kalau tdk mencapai nilai standar kelulusan, berarti ada yg salah dlm proses pendidikan kita bukan UN yg harus ditiadakan. Dapat dibayangkan jika tdk ada ujian maka semua akan lulus, termasuk yg hanya namanya saja terdaftar sudah dapat ijazah dll yg negatif.
    Salah satu permasalahan dlm setiap satuan pendidikan kita adalah proses-proses itu tidak dialami secara optimal oleh peserta didik, akibat berbagai kendalah termasuk kendala dari kita orangtua. Sebab ternyata ada orang tua yg keliru yaitu berpandangan-salah ketika guru memberi tugas pd peserta didiknya (org tua marah ketika anaknya diberi banyak tugas oleh pendidiknya), ada org tua marah jika anaknya tdk naik kelas, ada org tua mempersalahkan pendidik jika anaknya ditegur guru, atau diberi sanksi oleh pendidik akibat melakukan pelanggaran, karena anaknya amat baik di rumah, namun ketika di luar rumah seperti di jalan ia ngebut atau tidak kerja tugas, atau hanya menyalin tugas temannya, atau nyontek saja pd orang lain, atau selalu nyontek pd bukunya setiap ulangan indvidu, atau tdk mau melakukan praktikum, dll yg indentik. Akibatnya pendidik mengalami gangguan dlm menyusun strategi utk ME-RECOVERY (menyembuhkan, membangun kembali) karakter negatif menjadi positif dari peserta didik yg bersangkutan. Ini semua merupakan kajian dlm menyiapkan anak kita (peserta didik) agar sukses menempuh pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai tingkat doktoral bahkan sampai usulan menjadi profesor kelak.
    Tugas kita sebagai orangtua adalah mendorong anak kita (peserta didik) untuk mengikuti dgn telaten semua proses pembelajaran yg disajikan oleh pendidik. Karena di dlm mengikuti semua proses, peserta didik (anak kita) sedang dibentuk mentalnya menjadi telaten sehingga kelak dlm realita kehidupannya akan menjadi bijak, obyektif, tidak senang melakukan jalan pintas yg curang dll yg positif.
    Tugas kita sebagai orangtua adalah mendorong institusi pendidikan kita (satuan pendidikan pada mana anak kita mengikuti pendidikan) agar melakukan proses pembelajaran yg optimal dlm menjalankan tugasnya. Pendidik kita di setiap satuan pendidikan disuport utk melakukan langkah-langkah inovatif dlm membangun media pembelajaran yg optimal mewujudkan proses pembelajaran yg terkesan menarik, indah & mengasyikkan bagi peserta didik (bagi anak-anak) kita.
    Tugas kita orangtua peserta didik atau masyarakat melalui wakil-wakil kita di Parelemen atau langsung ke KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL adalah mendorong semua komponen yg terkait utk memberikan perhatian bagi berlangsungnya proses pembelajaran pd mana peserta didik (anak-anak kita) benar-benar terlibat secara aktif dlm prsoses pembelajaran, melalui sejumlah proses pembelajaran yg optimal dpt mengembangkan potensi diri mereka (peserta didik = anak-anak kita) untuk memiliki kekuatan atau potensi optimal (pasal 1 UU No. 20/2003 ttg Sisdiknas).
    Sebagai bagian dari masyarakat, kita semua terasa penting mendorong agar indikator-indikator keberhasilan pendidikan di semua daerah otonom di tingat Kabupaten/Kota bukan KUANTITAS prosentase kelulusan sejumlah peserta didik, MELAINKAN MUTU PROSES PEMBELAJARAN, MUTU PROSES UJIAN NASIONAL dll mutu atau kualitas pd setiap jenjang & jenis satuan pendidikan kita.Indikator keberhasilan Pemda/Kepala Dinas Pendidikan atau pejabat pendidikan lainnya, bukan karena kemampuannya membuat 100% lulus. Melainkan karena proses pembelajaran berlangsung dengan baik. Pihaka Kementerian Pendidikan Nasional perlu merancang indikator2 keberhasilan pendidikan justru bukan karena 100% lulus, melainkan karean proses pembelajaran berlangsung dengan baik.
    Salah satu pentingnya UN adalah bahwa UN independen dlm menyajikan soal, memiliki mutu soal yg standar, dll. Sehingga satuan pendidikan kita dpt dievaluasi secara obeyektif. Dpt dibayangkan jika Ujian Akhir dilaksanakan sendri oleh guru di sekolah yg bersangkutan pd mana soalnya dibuat sendiri oleh guru, diperiksa sendiri oleh gurunya, tentu tdk dpt dijamin independensi bahkan reliability dari pemeriksaan belum tentu optimal, walau secara teoritis soalnya telah diuji validitasnya. Sehingga UN sangat peniting.
    Salah satu yg penting diperjuangkan bersama adalah proses UN itu harus berjalan sesuai Panduan Operasional Standar dari Badan Standar Nasional Pendidikan Depdiknas. Ketika ada pelanggaran, konsisten ditindak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yg berlaku

    • terima kasih banget atas masukan dan share infonya, pak. semoga apa yang diharapkan selama ini bisa terwujud secara bertahap.

  41. hal seperti itu sebenarnya
    tidak baik karena,,,
    akan membuat para siswanya itu menjadi tidak mementingkan
    akan dia harus belajar dengan sungguh-sungguh .
    mereka hanya akan ketergantungan akan hal itu….

  42. …UN sangat dibutuhkan untuk membangun kuallitas manusia Indonesia. Tentu saja proses UN itu yang perlu semakin diperbaiki. Termasuk disiplin menentukan proses peserta UN yang harus selalu melulusi semua materi pembelajaran pada semua mata pembelajaran pada semua jenjang kelas. Salah satu permasalahan yang menyebabkan banyak peserta didik yang tidak berhasil dalam menempuh UN adalah peserta didik itu tidak mengikuti dengan baik semua proses pembelajaran. Ada peserta didik yang lebih banyak tidak hadirnya dalam proses pembelajaran karena berbagai alasan. Termasuk alasan acara keluarga bagi anak-anak pejabat atau alasan bantu orangtua bagi anak-anak ekonomi lemah. Pada sisi yang lain guru belum memiliki ruang & waktu untuk selalu memberi proses remdial bagi yang benar bagi peserta didik yang bermasalah tidak hadir dalam semua proses pembelajaran. Hal ini akan berdampak pada proses kemampuan peserta didik mengakses materi pembelajaran dan akan berakibat gagal dalam UN. Banyak orangtua yang tidak setuju dengan UN karena tidak mamapu mendisiplinkan anaknya dalam mengikuti semua proses pembelajaran secara benar/bekelanjutan. Alangkah anehnya jika semua peserta didik, baik yang mengikuti semua proses pembelajaran dengan baik, maupun yang jarang hadir dalam proses pembelajaran sama-sama lulus dari sekolah/satuan pendidikan dengan alasan bahwa sudah cukup waktunya mengikuti pendidikan di satuan pendidikan itu. Orangtua peserta didik dan peserta didik itu sendiri harus sadar akan pentingnya proses pembelajaran yang harus diikuti dengan baik oleh semua peserta didik. Jika ada peserta didik yang lulus dari suatu satuan pendidikan tanpa mengikuti dengan baik dan benar semua proses pembelajaran di satuan pendidikannya, maka peserta didik itu akan terbiasa melakukan kecurangan atau spekulasi untuk sukses, berarti yang bersangkutan belum memiliki karakter yang baik. Sehingga begitu pentingnya UN dan proses pembelajaran dalam proses pendidikan di setiap satuan pendidikan kita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *