Kinerja Guru dan Sertifikat Pendidik

Kategori Pendidikan Oleh

25 November tahun ini seharusnya menjadi momentum yang tepat untuk melakukan refleksi terhadap keberadaan sosok guru yang dianggap publik berada di garda depan dalam dunia pendidikan. Namun, hiruk-pikuk dan karut-marut persoalan hukum tentang dugaan terjadinya kasus mafia hukum dan merebaknya perilaku anomali para maklar kasus (markus) agaknya telah menenggelamkan isu-isu seputar dunia keguruan. Tak berlebihan kalau Hari Guru Nasional yang bertepatan dengan HUT ke-64 PGRI pun (nyaris) kehilangan gaungnya.

sertifikasisertifikasisertifikasiPadahal, profesi guru selama ini tak pernah surut dari perbincangan dan wacana publik. Ada banyak sisi yang bisa digunakan untuk membidik profesi ini, mulai rendahnya kinerja, kepribadian yang kurang terpuji, hingga persoalan asap dapur. Ketika rezim Orde Baru masih berkuasa, guru ditempatkan dalam sebuah “rumah kaca” yang gampang diamati gerak-geriknya. Jika guru melakukan tindakan yang tak segaris dengan kebijakan penguasa, mereka tak segan-segan “disemprit”; entah dengan penundaan jenjang karier, pemecatan, hingga ancaman dan tekanan. Yang lebih menyedihkan, guru tak henti-hentinya digiring dan dimobilisasi untuk mendukung partai penguasa. Melalui kaki tangan rezim yang menggurita hingga ke lapisan birokrasi paling bawah, guru dikurung dalam tungku kekuasaan yang panas dan gerah. Guru harus menjadi sosok yang serba tunduk dan penurut pada kehendak rezim yang sedang berkuasa.

Angin reformasi yang telah berhembus lebih dari satu dasawarsa memang telah banyak memberikan “berkah” bagi guru. Setidak-tidaknya, guru tidak lagi kena sindrom mobilisasi yang diarahkan untuk berafiliasi pada aliran politik penguasa. Guru, sebagaimana warga negara yang lain, bebas menentukan hak politiknya. Dari sisi kesejahteraan, guru juga sudah banyak menikmati tunjangan profesi, terutama mereka yang sudah mendapatkan sertifikat pendidik. Tambahan satu kali gaji pokok, setidak-tidaknya bisa dimanfaatkan untuk meringankan beban ekonomi guru yang selalu dituntut untuk “meng-upgrade” diri agar tak tersalip ilmunya oleh siswa didik. Melalui tunjangan profesi itu, guru diharapkan tidak lagi direpotkan memikirkan asap dapur, biaya kesehatan, dan berbagai persoalan kebutuhan lainnya, sehingga bisa total dan intens menjalankan tugas-tugas profesinya. Dengan kata lain, di negeri ini tak akan lagi terdengar guru yang nyambi jadi tukang ojek atau penjual rokok ketengan yang dinilai bisa mengganggu dan menghambat kinerjanya.

Namun, ketika program sertifikasi guru digulirkan, pro-kontra tentang terobosan ini terus bermunculan. Banyak kalangan menduga, proses sertifikasi guru yang dilakukan dengan mengumpulkan dokumen portofolio sebanyak 850 point akan rawan dengan manipulasi. Ternyata dugaan itu tidak meleset. Berdasarkan pemantauan tim asesor, tidak sedikit ditemukan berkas dokumen portofolio yang aspal (asli tetapi palsu). Oleh karena itu, penilaian dokumen portofio pun diubah. Sejak tahun 2008, berkas dokumen portofolio harus asli (tidak boleh foto kopi).

Persoalannya sekarang, apakah sertifikasi guru akan memberikan dampak positif terhadap kemajuan dunia pendidikan? Bagaimana memantau kinerja guru yang sudah tersertifikasi agar mampu memberikan nilai tambah buat kemajuan dunia pendidikan? Kalau memang nyata-nyata ditemukan sejumlah fakta bahwa sertifikasi guru tidak memberikan imbas positif terhadap kemajuan dunia pendidikan, perlukah sertifikasi dikaji ulang? Kalau memang perlu dikaji ulang, adakah upaya lain yang bisa dilakukan agar peningkatan kesejahteraan guru memberikan imbas positif terhadap kemajuan dunia pendidikan?

Dalam menyambut Hari Guru Nasional tahun ini, sengaja saya melontarkan beberapa pertanyaan untuk mendapatkan masukan dari segenap pembaca sebagai bahan refleksi ketika program sertifikasi ini telah menjadi isu nasional yang (sejatinya) tak kalah menarik dibandingkan dengan ranah penegakan hukum. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

116 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Pendidikan

Go to Top