Mencermati Pembusukan Penggunaan Bahasa Indonesia

cintai1Oktober telah ditetapkan sebagai Bulan Bahasa. Tentu saja, bukan semata-mata alasan historis untuk mengenang saat-saat heroik ketika para pendahulu negeri ini berhasil menetapkan bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa nasional melalui ikrar Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Namun, lebih daripada itu, untuk membumikan budaya bertutur, baik lisan maupun tulisan, secara baik dan benar, sesuai dengan konteksnya.

Sebagai bahasa nasional, BI telah melewati rajutan sejarah yang panjang sejak difungsikan sebagai lingua franca dan bahasa resmi hingga menjadi bahasa komunikasi di tingkat global. Sudah delapan dasawarsa BI hidup, tumbuh, dan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban bangsa. Namun, tidak seperti perjalanan dan dinamika manusia yang makin lama makin menemukan kematangan dan “kesempurnaan” hidup, BI justru mengalami pembusukan. Pertama, pembusukan yang dilakukan oleh media, baik cetak maupun elektronik. Tak dapat disangkal lagi, media memiliki daya sugesti dan persuasi yang begitu kuat terhadap publik. Bahkan, saat ini tidak sedikit orang yang memiliki ketergantungan informasi terhadap media. Tak berlebihan kalau dikatakan bahwa bahasa media memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penggunaan bahasa publik.

Penggunaan satuan bahasa tertentu yang terus berulang dalam sebuah media tak jarang diyakini sebagai bentuk yang tepat sehingga publik bersikap latah untuk tak segan-segan menirunya. Contoh yang paling gampang, misalnya kata “dimassa” (=dipukuli), seperti dalam kalimat: “Pencopet yang tertangkap itu dimassa beramai-ramai oleh penduduk kampung”. Dalam struktur BI, awalan (bukan kata depan) “di-“ yang melekat pada nomina (kata benda) yang berfungsi untuk membentuk verba (kata kerja) hampir tidak pernah ditemukan. Kita tak pernah mengenal bentuk verba dirumah, dibatu, dibola, dan semacamnya. Demikian juga penggunaan kata penunjuk jamak “para” yang seharusnya tak perlu lagi digunakan di depan nomina jamak, seperti “para politisi” atau “para kritisi” yang seharusnya “para politikus” atau “para kritikus”.

Tak hanya dalam bentukan kata, kesalahan logika pun masih sering terjadi dalam penggunaan bahasa di media. Seorang pemandu acara TV, misalnya, tak jarang menggunakan tuturan: “Kepada Bapak …. waktu dan tempat kami persilakan …” yang seharusnya akan lebih efektif dan masuk akal jika diganti menjadi “Bapak …. kami persilakan untuk menyampaikan sambutan”. Bukankah yang dipersilakan untuk berbicara itu orangnya, bukan waktu dan tempatnya?

Kedua, pembusukan yang dilakukan oleh kaum elite di berbagai lapis dan lini yang seharusnya menjadi anutan sosial dalam berbahasa. Di tengah kultur masyarakat kita yang cenderung paternalistis, kaum elite, diakui atau tidak, telah menjadi “kiblat” publik dalam berbahasa. Kita masih ingat ketika Soeharto dengan gaya pelafalannya yang khas; mengubah lafal /a/ menjadi /ə/; bawahannya beramai-ramai menirunya sebagai penghormatan dan sekaligus “keterkekangan” dalam bentuk tuturan. Yang lebih memprihatinkan gejala pelafalan yang salah kaprah semacam itu terus berlanjut hingga ke tingkat RW/RT sehingga warga masyarakat menganggapnya sebagai lafal yang benar.

Ketiga, pembusukan akibat merebaknya gejala tuturan Indon-English yang dilakukan, entah dengan sengaja atau tidak, oleh para pejabat “kontemporer” kita yang saat ini tengah berada dalam lingkaran kekuasaan dan kaum menengah ke atas. Di tengah era kesejagatan, ketika dunia sudah menjadi sebuah perkampungan global, proses campur-kode antara bahasa Indonesia dan bahasa asing memang musthail bisa kita tolak kehadirannya. Bahkan, proses campur-kode semacam itu akan mampu memperkaya bentuk-bentuk kebahasaan dan kosakata bahasa kita. Namun, alangkah naifnya jika proses campur-kode semacam itu tidak lagi mengindahkan konteks tuturan. Kita makin tak peduli kepada siapa dan dalam situasi bagaimana kita bertutur sehingga tak jarang menimbulkan kesalahpahaman.

Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, dalam pemahaman awam saya, perlu mempertimbangkan konteks tuturan. Artinya, ketika berbicara dalam suasana santai dan akrab, misalnya, tidak salah kalau kita menggunakan bahasa “gado-gado”, asalkan komunikatif dan efektif. Namun, ketika berbicara dalam suasana resmi, akan lebih baik dan benar jika kita menggunakan bahasa baku sesuai dengan fungsi bahasa kita sebagai bahasa resmi.

Saya tak tahu pasti, kapan pembusukan itu berawal dan kapan akan berakhir. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan budaya sebuah generasi. Kalau generasi negeri ini kian tenggelam dalam kubangan pembusukan yang lebih dalam, agaknya BI akan makin sempoyongan dalam memanggul bebannya sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi. Dalam kondisi demikian, diperlukan pembinaan sejak dini kepada generasi masa depan negeri ini agar mereka tak ikut-ikutan mewarisi pembusukan itu.

Gejala pembusukan semacam itu jelas perlu dicermati sebagai agenda penting dalam Kongres Bahasa Indonesia IX yang akan digelar di Jakarta pada 28 Oktober 2008. Kita tetap berharap, BI menjadi salah satu “ikon” bangsa yang membanggakan anak-anak negeri ini sehingga kelak mereka sanggup mencintai bahasa nasional dan negaranya; tidak lagi terjebak ke dalam sikap latah, apalagi hanya sekadar mengumbar retorika dan slogan belaka. ***

No Comments

  1. Hmmm berat pak.
    Saya sebetulnya senang dengan adanya Internet, karena memungkinkan saya memantau perkembangan bahasa Indonesia di Indonesia. Saya senang karena tenryata banyak sekali blog bermutu yang saya temukan selama blogwalking. Tapi di dalam blog-blog “anak muda” saya bisa melihat pemakaian bahasa yang menyimpang. Misalnya saja pemakaian secara. Saya yang tinggal di luar Indonesia harus memutar otak dulu untuk mengartikan kalimat yang ditulis. Kemudian trend bahasa masa kini seperti termehek-mehek, atau mati gaya, garing dsb. Sayangnya tidak ada institusi yang menengahi kecenderungan perubahan bahasa Indonesia itu. Maaf kalau saya salah, tapi Pusat Bahasa seharusnya lebih aktif dan cepat tanggap menangani perkembangan bahasa yang tentunya tidak bisa dihentikan.

    Ikkyu_sans last blog post..Menjadi model = harus bugil?

    1. nah itu dia masalahnya, bu. sekolah sebenarnya juga sdh berusaha maksimal utk memberikan pengajaran bahasa yang baik buat anak2 sayangnya, pengaruh dari luar begitu kuat sehingga kaidah2 bahasa yang diajarkan di sekolah jadi terlupakan dan tdk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. persoalannya jadi rumit dan kompleks, bu, dari sinilai proses pembusukan itu dimulai. kalau tdk segera disembuhkan bisa repot. semoga KBI IX mendatang berhasil memberikan solusi terbaik.

  2. Berat yang paling berat adalah berkomentar di sini.
    Saya seperti terkepung oleh para ahli (bener nggak ya, atau para ahlius ?).
    Tetapi (tapi) karena saya takut dibatu, maka sebisa-bisanya saya berusaha menulis di sini.
    Catatan:
    Kalimat atau kata yang ada di antara tanda kurung (sebaiknya) jangan dicerna.

    marsudiyantos last blog post..Petasan bin Mercon

  3. Pertamanya dianggap salah kaprah, lama-lama jadi membusuk…
    Mudah-mudahan akan muncul banyak orang seperti Pak Sawali yang akan terus mengkampanyekan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga tidak musnah oleh perkembangan jaman….

    1. amiiin, makasih dukungannya, mas. tapi jujur saja, masalah bahasa ini merupakan persoalan kolektif bangsa. siapa pun memiliki kepedulian yang sama untuk menggunakan bahasa indonesia secara baik dan benar sesuai dg konteksnya itu.

  4. Ayo kita bela bahasa yang paling “indah” didunia dengan menuliskannya dengan baik dan benar diblog kita masing-masing.
    Waduh, kok saya seperti kampanye begini.

  5. Semoga bisa menghasilkan solusi -meski tidak langsung menyelesaikan masalah- yang bisa dikerjakan sehingga pembusukan bahasa kita ini tidak terus berlanjut.

  6. Menurut saya kalimat “kepada Bapak, waktu dan tempat kami persilakan” bukanlah pembusukan bahasa seperti pendapat Pak Sawali. Menurut Pak Sawali “Bukankah yang dipersilakan untuk berbicara itu orangnya, bukan waktu dan tempatnya?”. Tapi menurut hemat saya, maksud kalimat diatas adalah pembawa acara mempersilakan Bapak Pembicara untuk menggunakan waktu dan tempat setelah kalimat itu diucapkan. Maksudknya kan jelas.

    Mungkin alasan Pak Sawali bahwa kalimat di atas kurang efisien benar, tapi tidak efisien bukan berarti selalu pembusukan bahasa. Malah kalau dibalik, penyingkatan “dimassa” dari kata “dihakimi massa” malah lebih efisien dan lebih singkat. Padahal “dimassa” ini menurut Pak Sawali salah satu contoh pembusukan bahasa.
    Jadi perlu dibahas lebih dalam lagi, definisi, batasan dan contoh-contoh pembusukan bahasa Indonesia agar saya yang tidak memiliki “latar belakang ilmu” bahasa bisa lebih faham membedakan mana pembusukan bahasa dan yang mana yang tidak.

    Syamsuddin Ideriss last blog post..Kebohongan Subsidi BBM Pemerintah

    1. terima kasih, masukannya, pak syam. yang pasti pembusukan itu ibarat luka. luka yang dibairkan akan terinfeksi hingga akhirnya mengalamai pembusukan. jika terus berlanjut bisa jadi harus diamputasi, kan repot, pak syam. nah, penggunaan bahasa yang salah kaprah sehingga doanggap benar, dalam pandangan awam saya termasuk luka itu. bahasa seorang pembawa acara semacam itu memang jelas maksudnya, pak, karena memang sudah dianggap sbg hal yang wajar meskipun jelas2 mengalami kesalahan bernalar. makanya, persoalan ini perlu dibenahi. ada baiknya *kok jadi sok sok tahu saya, haks* kita mulai dari diri sendiri, pak. yang pasti, kalimat, klausa, frasa, atau kata-kata yang efektif tidak lantas berarti sama dengan singkat. singkat kalau bertentangan dengan logika dan tak sesuai dengan kaidah pembentukannya, justru akan makin membingungkan. semoga pembusukan penggunaan bahasa semacam itu tidak terus berlanjut, sehingga bahasa indonesia di negeri ini tetap menjadi ikon bangsa yang membanggakan. sekali lagi, terima kasih sumbang sarannya, pak syam.

  7. Guru bahasa Indonesia saya saat sekolah dulu mengatakan bahwa Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Melayu yang diperkaya dengan Bahasa-bahasa daerah dan bahasa asing yang telah diindonesiakan. Kriteria apakah yang dijadikan patokan dalam “mengindonesiakan” bahasa-bahasa asing tersebut agar tidak menjadi “faktor pembusuk” dalam kosa kata kita….?

    Terima kasih ya Pak, mohon maaf lahir dan batin.

    Adellias last blog post..Koneksi Internet dalam Tanya Jawab

    1. guru mbak adellia itu tidak salah kok. memang bahasa indonesia yang asal mulanya berasal dari bahasa melayu diperkaya dengan bahasa daerah dan bahasa asing. namun, dalam penyerapan istilah, kosakata dari bahasa daerah lebih diutamakan jika ada kata-kata yang sama maknanya. jika dari bahasa daerah tidak ada baru menyerap istilah asing berdasarkan kaidah pembentukan istilah.

  8. Jadi teringat, “manna huzzan. Jalanan Betchek, gak ada Otjeck…” 🙂

    Semestinya saya tidak berani komentar 😀 karena blog saya acak-acakan dalam menerapkan tata bahasa Indonesia, tapi itu sudah melewati batas maksimal kemampuan saya berbahasa lo, pak! Maklum saja pendidikan saya gak tinggi-tinggi amat :).
    Waks! Haks! Ups! ini termasuk didalamnya tidak, pak?

    masarifs last blog post..Antrean Panjang di Puskesmas Sumberberas

    1. wew… komentar masa mesti menimbang-nimbang sejauh itu, haks. blog itu saya pikir media yang amat demokratis, tanpa membeda-bedakan emebl-ember yang melekat pada bloger. saya yang tak tahu soal IT pun kadang-kadang juga suka nimbrung diskusi soal IT. bener, ndak, mas arif?

  9. pak, mungkin saya juga harus memulai untuk blogging menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar? ah tapi bahasa indonesia yang baku itu susah, pak 😀

    1. walah, kan tidak harus baku, mbak fen. sesuaikan saja dengan kontrk tulisannya: topiknya apa, sasaran pembacanya siapa, lalu ingin bicara dalam situasi yang bagaimana? resmi atau santai. nah, berbahasa dengan baik dan benar tidak rumit, kok.

    1. hah? istilah itu sengaja saya gunakan karena saya sulit menemukan kata lain yang lebih cocok untuk menggambarkan proses pembusukan bahasa Indonesia yang selama ini berlangsung, pak ersis, yaitu tadi dari media, kaum elite, atau gejala indon-engliosh itu.

  10. saya jadi merasa tertohok nih pak, soalnya di blog sy sangat jauh bisa dikatakan mengikuti EYD.. harapannya sih kalo ada salah kata bisa dibenarin.
    Wah pengaruh pemimpin bangsa ini juga ternyata ikut serta melakukan pembodohan. Tapi dimana yah ahli2 bahasa mereka, apa ndak negur gitu 😀

    aRuLs last blog post..Agama dan Tradisi

    1. walah, tak usah merasa tertohok, mas arul bahasa blog itu juga beragam tergantung kepentingan ekspresinya. lebih-lebih blog pribadi. berbahasa Indonesia dengan baik dan benar itu tidak berarti harus menggunakan bahasa baku, tetapi disesuaikan dengan konteks tuturan atau tulisannya.

  11. Saya adalah orang yang paling bersalah dalam kasus ini, sebab saya sering tidak bisa menyusun bahasa dengan benar. Saya sering memakai bahasa keperluan SEO yang kadang harus saya putar putar dan saya susun tidak sesuai dengan kaidah penulisan yang benar.

    Selain itu saya sudah lupa menulis yang benar, meskipun boleh jujur dulu waktu SMP Nilai bahasa Indonesia saya 9.
    Selain itu saya berfikir sederhana: Saya menulis apa adanya, lewat coment ini saya minta maaf yang sebesar besarnya kalau saya secara sengaja atau tidak sengaja melakukan pembusukan seperti yang pak sawali maksudkan.

    Sumintars last blog post..Sudah Saatnya Terbuka, Berani Bayar Mahal

    1. walah, pak sumintar jangan merasa bersalah dong, pak, hiks. bahasa web atau blog tentu saja sangat beragam, tergantung kepentingan ekspresinya, pak sumintar. apa yang pak sumintar tulis di dalam blog, dalam pemahaman saya, tidak termasuk dalam proses pembusukan itu, kok.

  12. Saya paling jengah kalau mendengar kerancuan dan kekaprahan, tapi saya juga masih sulit ber-EYD…
    *dalam hal berbahasa yang berkaitan dengan teknologi, saya selalu merasa kurang pas dengan Bahasa Indonesia… Misalnya, bahasa di handphone, merek ini dan merek itu berbeda-beda pembahasaannya. Seringkali tidak pas dengan maksud sebenarnya. Mohon bimbingan soal bahasa pak guru!

    Andy MSEs last blog post..perubahan

    1. nah, ini pr bagi para pakar bahasa yang ada di pusat bahasa sana, mas andy. istilah2 teknologi memang perlu penyesuaian2. agar istilah2 tersebut mengindonesia, tapi tetep lentur terhadap perkembangan dunia keilmuan.

  13. wah,, parah betul ternyata penyakit2 yang mulai menjangkiti bahasa indonesia.. nah, mnrt sy juga faktor ini pak,, media yang lebih suka menyiarkan tontonan2 dengan bahasa indonesia yang di selewengkan,, mrk lebih ke bahasa gaul yang dilakukan artis2 jaman skrg..misalnya si mbak CINCA lawura ituh..hehe, *no offense* bahasa yang digunakan bukan bhasa indonesia, namun lebih ke bahasa jakarta.. mending kalo bahasa betawi sekelian, menjunjung slah satu budaya.. nah klo kasus2 kayak gt semakin hari semakin di genjot oleh media.. masyarakat akan cenderng beralih kesana

    fauzan sigmas last blog post..PUTHU

  14. Kalau sudah masalah bahasa Indonesia, saya sebenarnya malu pak…ayah saya alm dosen bahasa Indonesia, tapi saya bahasanya kacau, dan menjadi salah satu anaknya ayah yang tak berbakat di bidang bahasa.
    Awal menulis blog, saya kawatir sekali, tapi karena melihat blog teman-teman lain, akhirnya saya memberanikan diri….jadi mohon maaf, jika saya masih banyak melakukan kesalahan, tapi saya mencoba akan tetap berusaha menggunakan bahasa Indonesia yang baik.

    edratnas last blog post..Monitor perkembangan keluarga melalui blog

    1. walah, mengapa mesti malu, bu enny. tak ada seorang pun yang bisa berbahasa secara sempurna. blog saya anggap sebagai media yang tepat untuk berlatih dan belajar berbahasa, terutama bahasa tulis.

    1. walah, themenya dah lama, kok, mbak. btw, bahasa yang baik dan benar itu sangat ditentukan oleh konteknya, kok. kalau prokem digunakan dg sesama teman akrab, saya kira tak masuk dalam kategori pembusukan.

  15. emang sih sekarang anak muda paling sering pake bahasa gaul…. kalo nurut saya sih wajar ajah… toh entar dia pas nulis akripsi ato karya ilmiah pasti pakai bahasa yang baku.
    yang gak saya sukai ituh kalo media massa make bahasa indonesia yang salah kaprah….
    eh komen guwa gaul yah….
    pak sawali loe lagi ngapain? ****haiyah****
    ini sih contoh bahasa indonesia yang semrawut hehehehehhe

  16. tenang saja Pak, toh bahasa Indonesia bukanlah sesuatu yang dari dulu sudah ada dan tidak bertambah atau berubah. Bahasanya akan terus berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Yang penting, masih terus dipakai sebagai bahasa nasional sehingga identitas bangsa tetap terjaga. Jangan sampai kayak di Malaysia, ada sekolah dasar berbahasa Malaysia, berbahasa Cina, dan berbahasa Tamil padahal berhadapan lokasinya. Pelajaran sains dan matematika disampaikan dalam bahasa Inggris. Lalu bagaimana mengharapkan persatuan kalo sekolahnya saja berbeda-beda?
    Lagi pula, kita kan ngga mengenal budaya Indonesia. Budaya kita ya ada Jawa, Sunda, Bali, dll. Masing-masing punya bahasa sendiri tapi disatukan oleh bahasa Indonesia. Pakailah bahasa Jawa kalau sedang di Jawa, Sunda kalau sedang di Sunda, karena dengan demikian budayanya tetap terjaga. Produk budaya yang paling sering dipakai kan bahasa, kalo bahasa saja sudah tidak dipakai artinya budaya sudah luntur. Tapi kalau urusan yang mempersatukan, misalnya kegiatan nasional, ya pakailah Bahasa Indonesia.

    1. setuju banget, pak iwan. bahasa dan budaya daerah adalah penyangga bahasa dan budaya nasional yang saling melengkapi. itu juga yang tersurat dalam penjelasan UUB 1945 *eh kok jadi sok tahu saya, haks *

  17. Semalam aku bermimpi ingin menulis esai dengan tema KBI di Jakarta 29 Oktber – 1 Nov 2008. ternyata feeling saya mampir dulu ke Kang sawali. aduh kedahuluan jenengan. Tapi itys okey (maaf aku mencampuradukkan bahasa. seperti yang Kang Wali maksud?) He he
    Jujur saja memang sangat sulit mempertahankan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional apalagi bahasa sehari-hari. sejak zaman orde baru saja pemerintah “menyataken”??? kalau Kang sawali menyoroti “Waktu dan tempat kami persilahkan..” memang sangat tepat. maksud saya kita berjuang melalui dunia pendidikan. tapi sektor lain menghancurkan semua “ikhtiar” kita. Siswa belum mampu memfilter dan dewasa dalam bertindak, sehingga mereka tidak memahami bahwa bahasa lisan di film, sinetron, iklan, dll. itu semua tidak tepat jika diterapkan dalam keseharian. apalagi jika mengingat cita-cita bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa percakapan. uuuhhh lebih-lebih bahasa umpatan (interjeksi) yang begitu saja mereka adopsi tanpa persetujuan. Tidak heran dengan bahasa yang tidak tepat tawuran terjadi. (mungkinkah salah paham?) ataukah akting angker dan sombong mereka lebih baik dari bahasa yang digunakan ?? apapun yang terjadi kita tunggu hasil kongres kali ini. Adakah yang berubah untuk perkembangan bahasa Indonesia? maju terus guru Bahasa Indonesia. mudah-mudahan pemerintah memahami kondisi lapangan.

    1. terima kasih, pak didik. wew… tak salah juga kalau pak didik kembali memosting dengan topik yang sama. pak didik atau siapa pun punya hak yang sama untuk memublikasikannya, hehehe … terima kasih dukungan dan apresiasinya, pak.

  18. Bahasa Indonesia terkadang susah loh bagi yang mempelajarinya, coba saja dulu saya pernah ditanya teman saya yang belajar bahasa Indonesia, orang Perancis: Dia bertanya: kenapa sih harus “Ia menelepon keluarganya” bukan “Ia bertelepon keluarganya”. Kenapa juga: “Ia bersalam-salaman dengan tetangga-tetangganya” bukan “Ia menyalam-salaman dengan tetangga-tetangganya”. Dan kenapa juga “Ia bermain sepakbola” bukannya “Ia memain sepakbola”. Lantas dia tanya juga, kapan sebuah kata kerja harus berawalan ‘ber-‘ atau ‘me-‘ untuk melakukan perbuatan aktif?? Berhubung saya bukan guru Bahasa Indonesia, saya jawab aja: “Udah takdirnya dari sana…!!” Wakakakakak……… Untung teman saya yang orang Perancis itu tahu kalau saya bukan ahli linguistik. Ya, iyalah, biarpun orang Indonesia, saya kalau ditanyakan seperti itu ya jelas cuma bisa bengong aja…. hehehe……. :mrgreen:

    Yari NKs last blog post..Kata Kerja Berpartikel

    1. hehehe … saya setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa setiap bahasa memiliki struktur dan proses pembentukan yang berbeda-beda, bung yari. struktur bahasa indonesia dengan sendirinya sangat berbeda dengan struktur bahasa yang lain, termasuk bahasa perancis.

  19. duh… jadi harus banyak instropeksi diri. Saya sendiri juga menggunakan bahasa “hasil pembusukan” dalam menulis di blog saya. Dan saya yakin, saya bukan satu-satunya.

    Dari hasil blogwalking juga saya mulia mengerti bahwa banyak yang menggunakan metode “penulisan bahasa lisan ke dalam bentuk tulisan” (ini istilah ngawur saya sendiri, pak Sawali :D) seperti yang saya lakukan dalam menulis blog, karena seperti yang pak Sawali bilang di atas : terkesan lebih akrab.

    Semoga pembusukannya cepat berakhir 🙂

    darnias last blog post..No Place Like Home

    1. kalau blog peribadi, saya kira akan sangat ditentukan kepentingan ekspresinya, mbak darnia. kalau memang dimaksukan untuk curhat dan memublish hal-hal yang bersifat pribadi, tak salah juga kok menggunakan bahasa gaul. sangat beda kalau untuk kepentingan eskpresi keilmuan. sudah pasti akan lebih bagus jika menggunakan bahasa sesuai dengan kaidah bahasa baku.

  20. Hahaha, bener tuh Pak, saya sudah dari dulu ingin protes kalo MC bilang, ” … waktu dan tempat kami persilakan … “. Jadi yang dipersilakan siapa ya? hihihi. Hanya ya begitu Pak, sudah mendarah daging, terbiasa dari melihat yang terbiasa salah, jadi salah akibat terbiasa oleh melihat yang salah. Nah lho … itu kalimat bikin bingung.

    Riyogartas last blog post..Did You Mean: Riyogarta

  21. wah, masalah penggunaan bahasa memang sampai saat ini masih banyak salah kaprah yang malah dijadikan sesuatu yang benar. Kalau memang seperti ini, sudah mendarah-daging, akan sulit untuk bisa menyelesaikan kesalahkaprahan masyarakat kita. Apalagi sekarang timbul tren bahasa gaul yang juga mengadaptasi dari bahasa luar yang tentunya sangat berbeda dengan kita, masyarakat ita juga lebih bangga menggunakan bahasa luar daripada bahasa kita, katanya biar lebih keren… Seharusnya wajar kalau kita bisa berbahasa asing, tapi alangkah lebih baiknya kita lebih bangga menggunakan bahasa kita dalam pergaulan…..

    azizs last blog post..OLEH-OLEH LEBARAN

    1. bahasagaul memang diperlukan sebagai sarana berkomunikasi, terutama dalam pergaukan dengan teman akrab. yang termasuk pembusukan kalau bahasa gaul dibawa-bawa dalam suasana resmi. nah itu beda lagi masalahnya, mas azis. yaps, saya setuju banget dengan pendapat mas azis.

  22. berbahasa Indonesia yang baik dan benar
    memang bukanlah pekerjaan mudah
    mestinya kita semua para blogger melalui blog
    masing-masing mau dan mampu berperan mensosialisasikan
    penggunaan bahasa Indonesia yg baik dan benar

    mikekonos last blog post..Dari Desa ke Kampung

    1. terima kasih dukungan dan apresiasinya, mas agus. namun, kita juga perlu memaklumi teman-teman bloger yang masih suka curhat dengan menggunakan bahasa gaul utk kepentingan ekspresi yang bersifat pribadi.

  23. Renungan menarik tentang BI nih. Perkembangan teknologi juga memengaruhi berbahasa masyarakat, misalnya dalam pesan singkat melalui telepon genggam. Saya pernah dapat pesan singkat dengan bunyi, “gw lg otw. tnggu aja.”

    gmana nih Pak Guru… eh salah… Bagaimana ini Pak Guru?

    qizinks last blog post..Pengumuman CPNS 2008 Kota Serang Ditunda

    1. benar sekali, mas qizink. perkembangan teknologi juga berdampak terhadap penggunaan bahasa. inilah pr besar bagi para pakar bahasa agar bahasa indonesia juiga bersikap lentur dan luwes terhadap perkembangan iptek.

  24. zaman sekarang, anak muda indonesia justru lebih cenderung memakai bahasa gaul “elo” “gue”, padahal di pendidikan formal sama sekali tidak ada kurikulum yang mengajarkan tentang bahasa itu.. :D, lalu cara menanggulangi hal tersebut bagaimana pak sawali??? 😛

    1. sebagai ragam bahasa, bahasa gaul saya kira tak masalah, mas yhadee, asalkan digunakan sesuai dengan konteksnya. yang diperlukan sekarang *halah kok jadi sok tahu saya* adalah bagaimana kita mampu menggunakan bahasa indonesia dengan baik dan benar sesuai dengan konteksnya.

  25. Kalau untuk bahasa teknik memakai bahasa indonesia yang baku suka jadi rancu dan tidak dimengerti orang, seperti kata download, upload, charger, testing comissioning, dll, bagai mana ya pak sawali mengakali bahasa teknik yang benar dalam bahasa Indonesia ?
    Eh…selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir bathin, tidak telat kan pak ?

    ubadbmarkos last blog post..A way to Paradise

    1. kalau menurut pendapat saya, istilah-istilah asing yang sudah memasyarakat tak perlu susah-susah dicari padanannya dalam bahasa indonesia kalau ternyata terkesan “lebih asing”. yang perlu dilakukan adalah penyerapan istilah sesuai dengan pedoman pembentukan istilah asing agar lebih sesuai dengan struktur dan lafal bahasa indonesia.

  26. Betul, surat kabar, majalah atau mass media, turut berperan melakukan pembusukan itu, terutama meniru atau memberitakan bhs pejabat.
    Disamping pembusukan, bapak Prof. Dr. Jus Badudu, juga pernah menulis mengenai tentang kecenderungan memfeodalkan bahasa, alias mencari kata yang lebih halus tetapi tidak merubah sfatnya, contoh: wanita tuna susila alias pelacur, tuna wisma alias gelandangan, lembaga pemasyarakatan alias penjara…hehehe…

    Singals last blog post..What Next!

    1. yaps, itulah yang terjadi, pak singal. nah, ttg penggunaan eufemisme itu ada yang mengatakan sebagai bentuk sikap hipokrit, pak, suka menampilkan hal2 yang baik saja. Namun, eufemisme tetap menjaid kekayaan ungkapan sepanjang digunakan dalam konteks yang tepat.

  27. hahah…sindiran Kang Sawali tepat sekali. Campur aduk bahasa daerah, bahasa luar Indonesia ke dalam bahasa Indonesia sangat lekat tak terpisahkan. Kira-kira pemecahannya gimana yah?
    Keberadaan lembaga bahasa juga sepertinya kekurangan modal, dalam terjangan budaya global yang sangat dahsyat ini sehingga berdampak negatif terhadap alur bahasa In donesia yang benar.
    salam
    aminhers

    aminherss last blog post..a silent killer

    1. masalah terbesar dalam penggunaan bahasa indonesia adalah lepasnya tuturan atau kalimat dari konteksnya, pak amin. pemecahannya, menurut saya, idealnya kita kembalikan penggunaan bahasa sesuai dengan konteksnya. inti berbahasa indonesia dengan baik dan benar saya kira terletak di situ. waduh, kok jadi sok tahu saya, haks.

  28. Bahasa Indonesia semakin hari semakin berkembang, banyak mengadopsi kata-kata dalam Bahasa Jawa menjadi Bahasa Indonesia, seperti kata upload menjadi unggah dan kata download menjadi unduh. Untuk kata-kata baru seperti diatas siapa yang berwenang mengesahkan bahwa kata-kata tersebut adalah kata-kata baku dan bisa digunakan dalam dokumen-dukumen resmi?

    Varians last blog post..Script Kupu-kupu Terbang

    1. kalau tidak salah pusat bahasa dengan merujuk pada pedoman pembentukan istilah, mas varian. saya pribadi cenderung lebih cocok kalau istilah2 asing yang sudah memasyarakat tak perlu lagi diganti dengan padanan dari bahasa Indonesia utk memperkaya kosakata bahasa Indonesia.

  29. Bahasa dapat memberikan ciri suatu budaya dan bangsa. Maka jika kita berbahasa dengan tidak baik sama artinya dengan memberikan ciri yang tidak baik pada budaya dan bangsa kita pak Sawali

  30. judulnya koq ngeri pak hehehe..

    Sudah membusuk dan kuno sepertinya. Anak kecil jaman sekarang banyak yang diperkenalkan bahasa inggris daripada bahasa indonesia. Tingkat Playgroup pake pengantar bahasa inggris dan parahnya bahsa indonesia cuma selingan T_T padahal itu bukan playgroup internasional loh.

    L 34 Hs last blog post..Hari kedua lebaran

    1. waduh, bener2 ironis, ya, mbak leah. memang tak ada salahnya belajar bahasa asing, lebih2 bahasa inggris. tapi kalau playgroup aja dah diajari bahasa inggris, jangan2 mereka tidak lagi mau membanggakan BI sebagai bahasa nasional dan negaranya.

  31. Saya termasuk pengguna bahasa Indonesia yang amburadul pak. ALhamdulillah dari blog Bapak dan blog lainnya yang bermutu saya ingin belajar banyak.
    Terima kasih atas ilmunya.

  32. Saya selalu kagum dengan mantan Dubes Inggris untuk Indonesia (siapa namanya?), beliau orang asing tetapi ketika menggunakan Bahasa Indonesia, beliau berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sementara, para pejabat kita — seperti dituturkan Pak Sawali di atas — untuk meninggikan citra intelektualitasnya malah menggunakan bahasa Indon-English.

    Mari kita budayakan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dan berantas pembusukan Bahasa Indonesia.

    Moh Arif Widartos last blog post..Support Total

    1. wah, alut juga tuh sama mantan dubes inggris. saya malah tidak tahu, mas arif. yaps, semoga saja para pejabat kita yang akan datang mau menjadi teladan bagi anak buahnya dalam berbahasa.

  33. Blogger juga harus punya andil dalam rangka membangun BI yg baik & benar …..

    memang banyak lini yang menggerus Bahasa Indonesia, khsusnya generasi muda yang lebih pas ketika menggunakan bahasa gaul…. ketimbang bahasa indonesia yg baik & benar ….

    terlebih lagi dgn beragamnya bahasa daerah, kadang bisa juga mjd kendala BI bisa dilafalkan secara baik dan benar

    afwan auliyars last blog post..Menulis Dengan Hati

    1. sebenarnya bahasa gaul atau bahasa daerah bisa dimanfaatkan untuk memperkaya kosakata BI, mas afwan. asalkan, digunakan sesuai dengan konteks tuturannya, saya kira tak adsa masalah, kok.

  34. Kalo masalah bahasa anak muda itu mah terkait dengan tampil beda Pak Sawali. Intinya pake apa saja yang bisa membedakan antara kita dan orang lain gicu lhooo. Ini tentu terkait dengan psikologis anak muda yang emang sukanya tampil beda dan sok gaul. Hi Hi hi. Dan harap diperhatikan ini bukan cum terjadi di Indonesia saja. Di Barat kayak AMrik juga ada bahasa slengekan, di Singapura juga ada bahasa Inggris model gombal gambul. Bukan sok Inggris atau sok lokal tapi intinya memang ada semacam akulturasi budaya baik yeng terkait dengan bahasa yang sengaja diciptakan anak2 muda maupun juga efek dari bahasa asing maupun bahasa daerah. Misalnya ada istilah : dimari = di sini. Wah bro ternyata udah dimari ya. Met datang ya ….- kalo bapak ngintip sinteron komedi suami2 takut istri kan ada banyak logat betawinya tuh, terutama dari BU RT.

    Kalo kita bicara formal ya saya setuju semestinya pake bahasa formal
    tapi kalo cuma untuk komunikasi yang sifatnya antar temen atau nggak formal yah saya rasa bisa campur aduk deh kayak pisang molen.

    Masalahnya memang kadang ada situasi formal yang sengaja dibikin nonformal. Tentu ada alasannya misalnya biar kagak kaku gicu. Dan mungkin aja situasi ini berlanjut.

    SALAM

    Ngomong2 ada berapa ya pembusukan bahasa dalam komentar saya ini ?
    :d;):x

    lovepasswords last blog post..Alternatif Program Pengganti DeepFreeze

    1. kekekeke …. ada berapa ya pembusukannya? hiks, nggak ada tuh. kalau komen di blog konteksnya kan santai banget gicu loh, sehingga komen dalam sebuah blog saya pikir kok nggak ada “bau” yang menjurus ke situ, hehehe … saya kira bener baner, gus, sampeyan, bahasa memang berkembang secara dinamis, lebih-lebih di kalangan anak muda. nah, bahasa dalam teks fiksi, termasuk yang disinetronkan, justru harus akomodatif terhadap bahasa keseharian, lebih2 dalam dialog antarpelaku. nanti kalau pakai bahasa baku, malah jadi tidak lentur dan luwes. dialog dalam cerpen atau novel pun saya kira sah2 saja menggunakan bahasa campuran.

    1. hehehe … menurut saya sih, mereka yang berbahasa indonesia sesuai dengan konteksnya, itulah berbahasa yang baik dan benar, mas daniel. kalau situasinya santai dan akrab, kan sangat bagus justru kalau menggunakan ragam bahasa tak resmi. nah, kalau dalam situasi resmi, tuntutan untuk menggunakan bahasa resmi dengan sendirinya menjadi sebuah keniscayaan.

  35. saya salut sekali dengan blog ini, gak habis kagum dengan kreativitas sang empunya dalam memotivasi untuk terus belajar.

    saya jadi malu karena suka banget pake bahasa yang mix and match sana-sini.
    kadang-kadang pake kosakata BI, kadang-kadang vocab inggris.
    mungkin saya terikut-ikut para politisi kita yang contemporair atau latah dengan bahasa media yang sudah dimassa di semua stasiun televisi, ya?
    gak mudeng juga. mohon dimaafken

    untung masih ada para kritisi bahasa indonesia yang memang kritis seperti pak sawali.

    (tuh, pak sawali liat kan bahasa saya ancur banget? padahal baru dibilangin)

    marshmallows last blog post..Tautan Kosong

    1. waduh, makasih banget, mbak, apresiasinya, padahal bahasa saya juga masih kacau. yang pasti kalau bahasa dalam blog itu akan sangat ditentukan oleh kepentingan ekspresinya, mbak yulfi, lebih2 komentar dalam sebuah blog. pakai bahasa gado2 pun saya kira ndak masalah karena memang situasi dan konteknya santai dan rileks.

    1. walah, bahasa indonesia dapat 5, haks, tapi ternyata lulus juga toh, mas, bahkan sekarang malah dah jadi pak guru, hiks. btw, guru TIK bukan berarti tak boleh membicarakan ttg bahasa indonesia loh, mas, kan bahasa kita semua, kekeke …. :d

  36. semoga dengan blog, budaya menulis yang baik dan benar bisa tumbuh dan berkembang, pak.

    dan semoga blogger2 inspiratif seperti njenengan akan banyak bermunculan 😀

    1. amiiin, mudah2an harapan seperti itu bisa terwujud, mas. waduh, saya hanya guru biasa aja kok, mas, kebetulan saja suka menulis. saya juga banyak belajar dari teman-teman bloger yang lain dalam soal tulis-menulis.

  37. Makasih ya sudah dikritik. Memang ketika aku bikin artikel ini maunya cepat selesai, keburu anak pulang dari sekolah dan yg kecil keburu bangun. Jika tidak, pasti tak bakal selesai. Kadang-kadang otak ini bling kosong tidak nemu kata-kata dalam bahasa Indonesia. Ya, udah aku pakai aja yang lagi nyangkut di kepalaku ini.
    Mis: meng-cover, cotisasi (dr cotisation), conjugasi (dr conjugation).

    Yeah, aku pikir kalau aku bikin blog dalam bahasa Indonesia ini suapaya aku tidak lupa. Mungkin suatu saat, anak-anakku masih bisa membacanya.

    Juliachs last blog post..Urssaf

    1. yasp, itu lebih bagus, mbak julia, ketimbang tidak berbuat sama sekali. mengabadikan berbagai ide dan ekspresi perasaan ke dalam sebuah blog merupakan cara yang efektif juga untuk tak berbahasa secara naik dan benar berdasarkan kepentingan ekspresinya.

  38. Menarik sekali pak Li. Saya jadi teringat bahwa (1) jika tampilan berbahasa seseorang mencerminkan kepribadiannya, dan (2) jika bahasa merupakan salah satu identitas bangsa, maka kita berhadapan dengan 2 masalah besar, baik secara personal juga kolektif terkait dengan penggunaan BI. Kalau saja pandangan itu tepat, ada baiknya memang jika kita renungkan tentang penggunaan BI itu dan melakukan upaya terbaik. Ya, barangkali saja negeri ini nanti akan penuh dengan warga yang tak kehilangan kepribadian, juga negeri ini menjadi bangsa yang maju dan bermartabat.

    Baca juga tulisan terbaru atep t hadiwa js berjudul MENYOAL ‘SIKAP’ PASCA IDUL FITRI

  39. Salam khatulistiwa, Pak! Saya sedang berusaha mencintai Bahasa Indonesia. Saya harus memulai “ngeh” dengan Bahasa Indonesia karena saya harus bergelut dengan bahasa kita tercinta itu seumur hidup saya di Balai Bahasa. Mengapa saya harus mengalami peristiwa penting dalam hidup saya ini? Sebabnya adalah, saya dilahirkan oleh sebuah kampus tercinta, kampus guru, di Rawamangun dengan kemampuan berbahasa Asing, terutama Inggris. Persoalan saya dihadapkan pada dua misi yang bertolak belakang. Pertama, saya harus membuat orang Indonesia mampu berbahasa Inggris dengan tujuan agar mampu bersaing dalam globalisasi dunia kerja. Misi ini saya jalani sejak saya kuliah sampai mengajar di salah satu instansi pendidikan di jakarta. Kedua, keadaan yang bertolak belakang adalah saya harus menjalankan misi instansi saya yakni membina orang Indonesia maupun orang asing sebaik mungkin untuk mencintai dan menjiwai Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Misi ini harus saya jalani sejak saya lulus tes dan menjadi pegawai Pusat Bahasa. Solusi yang saya cari selama ini masih belum muncul. Akibatnya, saya harus mengurangi intensitas penggunaan bahasa Inggris sehingga kekakuan berkomunikasi dalam bahasa Inggrispun terjadi. Saya terpaksa harus membuka-buka kembali buku Bahasa Indonesia saya. Saya harus belajar dari awal lagi, Pak. Sungguh berat, Pak. Orang lain sudah maju, saya masih harus berkutat dengan belajar. Rasanya “ngos-ngosan”.[-(. Nah, apakah Bapak ada masukan buat saya tentang masalah saya ini, Pak? Terima kasih atas saran dan kritik Bapak.

    1. salam khatulistiwa juga, bu yusnita. wah, saya malah salah dan hromat pada bu yusnita yang menguasai dua bahasa sekaligus. menurut hemat saya, kedua jenis bahasa ini bisa saling mendukung untuk kemajuan dan dinamika kebahasaan. dalam soal linguistik, misalnya, kebanyakan teori yang digunakan dalam kajian bahasa Indonesia juga masih bersumber dari referensi bahasa inggris. jadi, tak masalah kok, bu. yang perlu dilakukan, *walah kok jadi sok tahu saya* berbahasa sesuai dengan konteksnya. yang pasti saya pribadi tidak pernah alergi untuk belajar bahasa asing, tentu saja disesuaikan dengan kepentingan ekspresinya. Bu Yusnita justru malah punya kelebihan dalam soal kajian bahasa, karena matang teorinya. ok deh, bu, selamat mengembangkan bahasa Indonesia semoga makin eksis dan membanggakan!

    1. dua kosakata itu identik dengan kata “penatar” dan “petatar”, mas danoe. dari sisi morfologis, penatar berarti orang yang menatar, sedangkan petatar berarti orang yang ditatar. analog dng bentuk tersebut, penanda secara morfologis bisa bermakna sesuatu yang menandai, sedangkan petanda sesuatu yang ditandai. kalau ndak salah, kedua istilah ini merupakan istilah linguistik ya, mas. mohon maaf kalau salah, haks.

  40. zaman sekarang mmang zaman anak muda ya?.
    dengan susah payah pejuang kita mempertahankan bahasa Indonesia di saat Sumpah Pemuda,sekarang mereka dengan sesuka hati mereka mengubah bahasa baku Indonesia.
    eh..apa sih penanggulangan yang dilakukan Pemerintah tentang masalah ini ?

    1. sebenarnya bahasa yang berkembang di kalangan anak muda malah bisa membuat perkembangan bi menjadi makin dinamis, mas eky, asalkan bisa menggunakannya sesuai dg kontesnya. pemerintah lewat pusat bahasa agaknya juga cukup akomodatif dg bahasa yang berkmebang di kalangan anak muda.

  41. Kenapa ya orang pada takut akan perubahan, terutama perubahan bahasa? Mungkin, saya adalah orang yang tidak takut dengan perubahan bahasa Indonesia. Yang pasti, semua yang ada di dunia ini berubah, termasuk bahasa. Tidak ada kaidah dan aspek leksikal yang abadi. Coba Anda bandingkan bahasa Indonesia tahun 1940-an dengan bahasa Indonesia yang sekarang. Kelihatan perubahannya, bukan?
    Selanjutnya, orang sering mengolok-olok penggunaan bahasa Indonesia oleh anak-anak muda sebagai tindakan yang menyimpang, misalnya penggunaan kata secara dan lagi, yang berbeda maknanya dengan bahasa standard. Menurut saya, itu biasa saja. Tidak ada yang aneh. Karena bahasa dipakai oleh masyarakat yang tidak seragam, makanya bahasa juga menjadi tidak seragam alias bervariasi. Bahasa anak muda beda dengan bahasa manula dan beda lagi dengan bahasa balita. Dalam bahasa kerennya, bahasa itu bukan maujud yang monolitik.
    Jadi, jangan takut bereksperimen dengan bahasa. Tapi harus diingat: ketika waktunya menggunakan bahasa Indoensia standard, tunjukkan kemampuan bahwa kita juga bisa menggunakan bahasa standard.
    Salam
    Obing Katubi

    1. saya sepakat dengan mas obing. bahasa akan terus berkembang secara dinamis seiring dg perkembangan peradaban manusia. eksperimentasi bahasa pun sebenarnya juga bukan hal yang ditabukan, bahkan dari situ muncul hal-hal baru yang bisa memperkaya bahasa kita. yag perlu dicermati adalah agar penggunaan bahasa benar2 disesuaikan dg konteks tuturannya. bagi saya, berbahasa indonesia yang baik dan benar adalah berbahasa yang sesuai dengan konteksnya itu. btw, terima kasih tambahan infonya, mas obing. salam juga!

  42. MARILAH KITA SBAGAI BANGSA YANG BAIK, JANGAN SOK-SOK2AN MENGGUNAKAN ISTILAH ASING YANG KADANG2 SI PEMBICARA SAJA TAK MENGERTI, HANYA NUMPANG GENSGI AJA. SELAMAT BUAT PA SAWALI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *