Usai sudah ritual Lebaran itu. Yang sempat mudik, pasti sudah bertemu dan bersilaturahmi dengan saudara dan sanak-kerabatnya di kampung halaman. Rasa rindu yang selama ini menggumpal di dada tertumpahkan sudah. Ada selingan pesta kecil, canda, dan tawa; berkumpul bersama dengan orang tua dan sanak-kerabat dalam suasana yang sarat sentuhan nilai keakraban dan persaudaraan. Selalu saja ada romantisme masa silam yang hadir di balik ritual Lebaran itu. Masa lalu yang khas anak-anak kembali terbentang dalam layar memori kita. Seringkali sebuah pertanyaan sentimentil pun menggoda nurani kita. “Benarkah masa kecil saya dulu ada di sini?” Aha …, sebuah pertanyaan yang terkesan cengeng, tapi seringkali kita tak punya kesanggupan untuk menolaknya.
Namun, ritual Lebaran juga tak sebatas meninabobokan kita ke dalam bentangan romantisme masa silam semata. Ada nilai-nilai kekerabatan hakiki yang perlu terus digali dan ditumbuhsuburkan. Ini artinya, Lebaran juga bisa dimanfaatkan sebagai momentum untuk menanamkan nilai-nilai silaturahmi kepada anak-anak kita. Bagaimana kita mesti bersikap kepada kedua orang tua, sanak-kerabat, tetangga, atau handai taulan, merupakan wujud pendidikan nyata yang bisa langsung diteladani dan diterapkan oleh anak-anak kita.
Apa yang akan terjadi kalau anak-anak tak pernah kita pertemukan dengan orang tua yang sekaligus juga kakek-nenek anak-anak kita? Apa juga yang akan terjadi kalau anak-anak tak pernah kita pertemukan dengan sanak-kerabat dan handai taulan?
Tak salah kalau ada yang mengatakan bahwa hidup itu ibarat “mampir ngombe” (mampir minum) dalam sebuah pengembaraan yang jauh. Hidup kita konon begitu singkat untuk selanjutnya mesti melanjutkan perjalanan panjang hingga menggapai batas-batas “misteri” yang telah ditentukan oleh Sang Maha Berkehendak. Dalam pemahaman awam saya, sungguh tidak menguntungkan kalau dalam hidup yang begitu singkat itu kita gagal menghidupkan tali silaturahmi sebagai salah satu akar kekerabatan yang perlu terus dijaga dan diabadikan.
Seiring dengan bertambahnya (atau berkurang?) usia, anak-anak juga memiliki dunianya sendiri. Kelak, mereka juga akan jadi orang tua seperti kita. Alangkah tidak nyamannya kalau dalam situasi seperti itu, tali persaudaraan dalam hubungan kekerabatan tiba-tiba tak lagi dapat tersambung akibat kelalaian kita dalam mempertautkan tali kekerabatan. Lebaran idealnya memang perlu dijadikan sebagai momentum untuk menghidupkan tali kekerabatan itu. Lebih-lebih berdasarkan kacamata religi, silaturahmi tak hanya sebatas mengadakan pertemuan keluarga untuk selanjutnya saling mengenal hubungan kekerabatan, seperti kakek, paman, bibi, atau keponakan. Akan tetapi, juga bertujuan untuk memperkuat nilai-nilai akhlak dan budi pekerti. Dalam konteks demikian, sangat beralasan kalau banyak orang yang rela berpayah-payah diri melakukan mudik Lebaran dengan membawa “pasukan anak-anak” ke kampung halaman demi mempertautkan tali silaturahmi dan kekerabatan itu. Bagaimana dengan Sampeyan?***
Keterangan: Gambar diambil dari sini.
Iyach..
Benar juga tuch kata pak eshape.
Salam.
Aku paling nggak demen ama mudik. Bayangkan duit yang capek2 dicari selama setahun, bisa habis dalam hitungan hari.
Selalu saja kucari alasan untuk tidak mudik. Kadang rutinitas mudik telah membuat rangkaian ibadah puasaku jadi bolong-bolong di saat jam perjalanan mudik.
Pernah bahkan, pas menjelang mudik, duitpun belum terkumpul buat mudik. Ini adalah alasan yang paling kuat untuk tidak mudik.
Manusia berusaha dan Tuhan jualah yang menentukan. Aku selalu akhirnya bertemu dengan Emak di kampung. Selalu saja ada magnet yang menarikku untuk pulang kampung dan selalu saja ada rejeki untuk pulang kampung [meskipun kadang-kadang muncul di saat “injury time”]
Semoga tahun depan aku masih diberi kesempata pulang kampung lagi.
Hanya satu tujuanku, bertemu dngan emak dan bersimpuh di kakinya.
Sesungguhnya seberapapun besarnya kasih kita pada Emak, tidak akan pernah bisa menyamai kasih emak pada kita.
Salam
eshape
eshapes last blog post..BEI TuTuP ? [kok bisa ya?]
Berhubung rumah orangtua sekarang bukanlah tempat saya dibesarkan pd masa kecil, saya kurang bisa bernostalgia, Pak. Hiks….
Tempat saya dibesarkan ada di perkebunan yang jaraknya cukup jauh (2,5 jam) dari rumah orangtua saya saat ini.
jadinya, kalau mudik pun, nostalgianya kurang terangkat.
Begitupun, silaturahmi dengan keluarga ayah/ibu saya tetap berkesan…
Hery Azwans last blog post..Catatan Seputar Lebaran
wah, masa kecil setiap orang agaknya memiliki dinamika sendiri-sendiri, mas azwan. tapi pasti masa kecil selalu memberikan kenangan tersendiri.
Karena kesibukan masing-masing, justru diperlukan adanya pertemuan antara kerabat, dan hari Lebaran adalah momentum yang tepat.
Maaf baru bisa komentar, sejak beberapa hari lalu, terpaksa berlibur komentar, gara-gara lewat intenet di Bandung hanya bisa blogwalking.
edratnas last blog post..Monitor perkembangan keluarga melalui blog
betul bu enny. makasih banget, bu. blogwalking juga sudah lebih dari cukup, kok, kan tidak harus selalu berkomentar. matur nuwun, bu.