Dunia Pendidikan, Realitas Sosial, dan Ujian Nasional

Sudah bertubi-tubi dunia pendidikan di negeri ini menuai kritikan tajam dari para pakar, pengamat, dan pemerhati pendidikan. Salah satu persoalan mendasar yang gencar dikritik adalah terlepasnya dunia pendidikan dari realitas sosial yang seharusnya menjadi persoalan inheren yang mengakar dan membudaya dalam ranah dunia pendidikan kita. Imbas yang muncul dari praktik pendidikan semacam itu adalah lahirnya output pendidikan kita yang dinilai berjiwa kerdil, tidak responsif, mau menang sendiri, keras kepala, dan kehilangan sifat-sifat kemanusiawian yang lain.

Dunia pendidikan kita, meminjam istilah Paulo Freire, masih dijangkiti sifat nekrofilis (cinta kematian), bukannya menumbuhkan sifat biofilis (cinta kehidupan). Proses pendidikan yang terjadi di dunia persekolahan tidak lagi menampilkan semangat pembebasan peserta didik dari ketidakberdayaan, tetapi justru menjadi ruang untuk membelenggu kreativitas dan kebebasan sehingga gagal melahirkan manusia-manusia yang cerdas, kritis, kreatif, terampil, jujur, berkarakter, demokratis, dan responsif.

uanBertahun-tahun dunia persekolahan kita terpasung dalam ruang hafalan-hafalan teori dan rumus, tidak ”membumi”, tidak ada upaya serius untuk membawa para siswa didik mampu menerjemahkan berbagai ranah keilmuan yang diperoleh ke dalam realitas sosial. Pendidikan menjadi tercerabut dari problem riil yang seharusnya mereka jawab dan selesaikan. Model pendidikan demikian oleh Paulo Freire dikritik sebagai banking education, yaitu suatu model pendidikan yang tidak kritis karena hanya diarahkan untuk domestifikasi, penjinakan, dan penyesuaian realitas sosial dengan keadaan penindasan.

Yang lebih memprihatinkan, para murid kian kehilangan sentuhan problem riil yang dihadapi bangsa dan masyarakatnya saat-saat mendekati ujian nasional. Anak-anak digiring ke dalam ruang karantina untuk ”dicekoki” berbagai soal yang diperkirakan akan muncul dalam ujian. Mereka diperlakukan bagaikan ”keranjang sampah” yang harus menampung semua tumpahan hafalan teori dan rumus dari sang guru. Guru terpaksa berbuat demikian karena tak sanggup melepaskan diri dari ”tekanan” kepala sekolah demi menjaga gengsi dan citra sekolah. Keberhasilan guru hanya diukur berdasarkan kemampuannya dalam mentransfer pengetahuan yang dimiliki kepada siswa didik dalam menghadapi ujian. Guru yang serius mengoptimalkan diri mengajak siswa melakukan curah pikir dan berinteraksi secara terbuka sehingga mampu mengidentifikasi dan menganalisis berbagai problem sosial dan kebangsaan secara bebas dan kritis justru tidak mendapatkan tempat di ruang sekolah. Proses pembelajaran semacam itu dianggap akan menjadi penghambat keberhasilan siswa dalam menghadapi soal-soal ujian.

Dalam kondisi yang demikian itu, bagaimana mungkin dunia persekolahan kita mampu melahirkan manusia-manusia yang cerdas, kritis, dan responsif? Bagaimana mungkin siswa didik kita tergugah kesadarannya untuk belajar mengenali berbagai problem riil yang mencuat dalam kehidupan sosial?

UN Antirealitas?
Salah satu penyebab tercerabutnya problem sosial dalam dunia persekolahan kita adalah kehadiran soal-soal UN dari tahun ke tahun yang antirealitas, (nyaris) tak pernah menyentuh persoalan-persoalan sosial yang mampu menantang dan menggugah siswa untuk berolah pikir dan berolah rasa. Mereka tidak pernah ditradisikan dan dibudayakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis berbagai persoalan sosial dan kebangsaan yang muncul secara riil di atas panggung kehidupan sosial.

Generasi muda bangsa ini tampaknya sengaja “dimandulkan” dari karakter kreatif dan demokratis agar kelak menjadi generasi “robot” yang gampang dikendalikan oleh pihak penguasa. Jika “kecurigaan” ini benar, nyata-nyata telah terjadi pelanggaran serius dan sistematis terhadap fungsi pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam pasal 3 UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas. Dalam pasal itu secara eksplisit disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Bagaimana mungkin bisa menjadi generasi kreatif dan demokratis kalau mereka tidak pernah ditradisikan untuk berpikir terbuka, dialogis, dan kritis? Bagaimana mungkin anak-anak bangsa ini bisa berpikir terbuka, demokratis, dan kritis kalau UN hanya menampilkan soal-soal pilihan ganda yang tidak pernah memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan daya nalar dan daya kritisnya?
Mengapa UN penting dipersoalkan ketika dunia persekolahan kita dinilai telah gagal melahirkan generasi bangsa yang cerdas, kritis, kreatif, terampil, jujur, berkarakter, dan responsif?

Secara jujur harus diakui, UN selama ini masih diyakini oleh para guru sebagai tujuan dan sasaran akhir kelulusan siswa. Guru akan dianggap sukses dan bergengsi jika berhasil membawa siswanya menuju “terminal” akhir kelulusan dan akan divonis telah gagal menjalankan tugas apabila banyak siswanya yang “ndhongkrok” alias tidak lulus. Itulah sebabnya, banyak guru yang merasa “alergi” ketika ditawari untuk mengajar di kelas terakhir atau kelas III. Mereka merasa lebih nyaman dan tanpa beban jika mengajar di kelas I atau II. Sebaliknya, guru yang mengajar di kelas terakhir sering kali harus “senam jantung” dan stres, terutama saat-saat mendekati ujian.

Untuk mempertahankan gengsi, guru di kelas terakhir sering kali menempuh berbagai cara agar siswanya bisa lulus dengan prestasi yang baik; entah dalam bentuk les, pemadatan materi, atau drill soal-soal. Semakin banyak “dicekoki” soal-soal UN tahun sebelumnya, siswa dianggap dalam kondisi “siap tempur” menghadapi UN. Tak ayal lagi, suasana pembelajaran semacam itu semakin jauh dari nilai-nilai edukatif dan makin kering dari sentuhan problem-problem sosial yang mestinya “dibumikan” dan diakrabkan dalam dunia peserta didik. Bahkan, praktik pendidikan semacam itu dinilai sangat bertentangan dengan tujuan diselenggarakannya pendidikan formal di negara mana pun karena akan menyebabkan terjadinya proses penyempitan kurikulum.

Yang lebih ironis, UN selama ini sepertinya hanya diperlakukan semacam upacara ritual tahunan –meminjam istilah Syamsir Alam (2005)– tanpa memberikan pengaruh berarti terhadap upaya pembinaan, pengelolaan, dan pelaksanaan pendidikan pada tingkat sekolah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan. Masukan berupa informasi pendidikan yang diperoleh lewat UN hanya diperlakukan sebagai barang pajangan dan menjadi dokumen mati. Selain itu, instrumen UN –soal-soal pilihan ganda, misalnya– yang digunakan pun sebenarnya masih menyimpan berbagai pertanyaan mendasar yang menuntut pembuktian, khususnya menyangkut metodologi, terutama pada saat melakukan interpretasi terhadap hasil skor tes dan pemanfaatannya agar sesuai dengan tujuan diselenggarakannya UN. Sudah benar-benar sahihkah instrumen UN tersebut digunakan untuk mengukur kemampuan siswa yang sesungguhnya? Bisakah soal-soal pilihan ganda yang dinilai telah “mereduksi” makna kurikulum dijadikan sebagai satu-satunya instrumen untuk memperoleh informasi pencapaian terhadap proses pendidikan yang sudah dilakukan?

Therapi Kejut
Negeri kita sudah kenyang pengalaman menyelenggarakan UN. Bertubi-tubi pula masukan dan kritik dari banyak kalangan dilontarkan. Namun, pengalaman, masukan, dan kritik itu seolah-olah dianggap angin lalu yang tak memiliki imbas apa pun terhadap dinamika dunia pendidikan. UN hanya menjadi ritual tahunan yang menjenuhkan; boros beaya, bikin guru stres, kondisi kelas sarat ketegangan, murid-murid pun hanya menjadi penghafal kelas wahid yang “buta” terhadap persoalan sosial, kemanusiaan, dan kebangsaan.

Kini, sudah saatnya dipikirkan upaya serius untuk mewujudkan UN yang benar-benar mampu memotret kompetensi siswa sekaligus mampu menjadi pengendali mutu pendidikan secara nasional. Paling tidak, ada tiga hal penting dan mendasar yang perlu dilakukan agar UN benar-benar mampu menjadi “therapi kejut” dalam upaya memicu peningkatan mutu pendidikan.

Pertama, soal-soal UN harus mampu memotret kompetensi siswa secara utuh dan komprehensif. Fakta menunjukkan, selama ini belum semua kompetensi siswa bisa terpotret melalui UN. Memang benar, beberapa ranah dan kompetensi siswa bisa diujikan secara praktik melalui ujian sekolah. Namun, adakah jaminan bisa 100% nihil dari rekayasa dan manipulasi? Apalagi, muncul asumsi, jangan sampai ujian sekolah menjadi penghambat kelulusan siswa. Jika memang ujian praktik di sekolah masih diperlukan, lembaga independen yang direkrut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) harus terlibat dan bekerja optimal sejak ujian praktik/sekolah digelar.

Kedua, tindak tegas pihak-pihak tertentu yang nyata-nyata terbukti melakukan kecurangan dan pelanggaran terhadap pelaksanaan UN. Misalnya, hampir setiap tahun terdengar berita kebocoran soal UN, tetapi hampir tidak pernah terdengar tindak lanjut dan sanksi yang ditimpakan kepada para “pencoleng” dunia pendidikan itu.

Ketiga, harus ada sinergi antara UN dan praktik pembelajaran yang berlangsung di sekolah. Diakui atau tidak, UN yang berlangsung selama ini telah menjadi penghambat serius bagi para guru yang ingin melibatkan siswa secara intens dan total dalam praktik pendidikan yang dialogis, terbuka, dinamis, menarik, dan menyenangkan melalui sajian materi yang menantang dan menggugah kesadaran mereka terhadap persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat dan bangsanya. Namun, idealisme guru semacam itu terpaksa terbonsai akibat munculnya soal-soal UN yang sarat hafalan teori dan miskin daya nalar.

Kita sangat berharap, dunia persekolahan kita –meminjam istilah Paulo Freire– dapat menjadi alat pembebasan yang sanggup menciptakan ruang bagi anak-anak bangsa untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis terhadap berbagai problem sosial, kemanusiaan, dan kebangsaan. Tujuannya? Agar kelak generasi masa depan negeri ini mampu mengartikulasikan proses transformasi sosial secara arif, matang, dan dewasa; terbebas dari perilaku instan, korup, hipokrit, keras kepala, dan mau menang sendiri. ***

No Comments

  1. wah cara guru meningkatkan hasilnya ada yg baik dan ada yg buruk juga lho 😀 hehehe.
    Nah untuk masalah UN, kadang sy bertanya-tanya sendiri, bukannya yg membuat UN, itu adalah guru2 sendiri yang memiliki kapabilitas yang cukup tinggi dengan memanfaatkan kurikulum nasional yang telah ada, kenapa bisa sampe banyak yg mencerca UN yakz?
    semoga sistem pendidikan kita menjadi maju dengan pertimbangan2 dari para pendidik di negara ini 🙂

    aRuLs last blog post..9000 gajah pesing

    1. wah, bukannya mencerca, mas arul, banyak guru yang tak tahu siapa sesungguhnya yang membuat soal UN itu. yang banyak dikeluhkan, UN sebagai penentu kelulusan itu. idealnya, sebagai alat pemetaan mutu pendidikan saja, sehingga pemerintah tetep berhak untuk menggelar UN.

  2. lebih lanjut, kalo sudah terlanjur menjadi penghapal di level SMP misalnya, perbaikan yg bisa dilakukan di SMA / di rumah apa ya? sepertinya untuk yg di rumah, orang tua harus punya solusi nih.

    1. agaknya memang bukan hal yang muda, mas daniel. dibutuhkan perhatian semua pihak secara kolektif utk bersama-sama memikirkan dunia pendidikan. memang tak bisa diwujudkan seperti orang membalikkan telapak tangan.

  3. Saya jadi merindukan susanana saat masih di pesantren. Dimana pendidikan masih dimaknai sebagai belajar tentang kehidupan yang tak pernah berkesudahan.

    Kini dunia pendidikan kita mengalami disorientasi. Tepatnya disengajakan untuk terdisorientasi. Apa para pengambil kebijakan itu lupa bahwa kesalahan kurikulum berarti membekali bekal hidup yang salah sekian generasi ya Kang?

    guss last blog post..RUU Anti Pornografi , Silent Majority Factor, Liberalisasi Moral dan Kegamangan Sikap Kita

    1. disorientasi? yaps, kalau kita lihat agaknya muncul fenomena seperti itu, gus. orinetasi praktis yang bisa membuat out-put pendidikan langsung bisa kerja. tapi ternyata bekal yang mereka terima seringkali tak cocok diterapkan dala kehidupan yang mereka butuhkan. makanya perlu dideain kurikulum yang benar2 kontekstual, yang mampu membuat siswa didik bertindak lokal dan sekaligus berpikir global.

  4. selama ini dunia pendidikan kita selalu membebani peserta didiknya. dan lebih parahnya lagi pada zaman orde baru dunia pendidikan terkesan menggunakan sistem indoktrinasi (pmp serta pspb) dan lebih proyek oriented (walaupun ada juga tenaga pendidik yg ngga doyan duit atau dengan kata lain murni panggilan jiwa).
    saya ngga tahu apakah dengan tercapai 20% dana apbn tuk pendidikan akan membuat dunia pendidikan kita menjadi bertambah maju atau ngga ???

    thimbus last blog post..Langkah Antispasi Krisis Keuangan

  5. Sekolah formal materinya formal, materi formal cenderung hanya teori-teori yang tidak dibutuhkan didunia nyata. Sampai sekarang saya juga masih bingung tentang ilmu matematika integral yang belum ketemu mau diterapkan untuk menghitung apa. 😀

    Harusnya ada kurikulum khusus tentang internet ya pak, khususnya cara membuat blog 😀

    Varians last blog post..Kulakan Ebook untuk Online Store

    1. hah? kurikulum khusus internet memang belum ada, mas varian, tapi ada kok mata pelajaran TIK (Teknologi, informasi, dan komunikasi), tapi agaknya belum mengarah pada pembuatan blog atau web.

  6. Saya membayangkan betapa repotnya menjadi orangtua yang anak-anaknya masih kecil sampai remaja. Masih terbayang bagaimana setiap kali saya dan suami menyesuaikan, mempelajari setiap kurikulum baru, agar bisa ikut membantu anak-anak belajar. Maklum, anak saya hanya ikut bimbingan test saat tingkat akhir, namun untuk mendalami pelajaran sehari-hari, saya dan suami berbagi tugas. Masih ingat tahun-tahun saat anak-anak kecil, dan mudik ke Jawa Timur, si sulung menandai kota di peta setiap kendaraan melewatinya sambil belajar geografi, membawa buku pengetahuan alam saat ke gunung, agar bisa mempelajari batu2an, dan lain-lain.

    Kalau si bungsu ditanya, periode mana dia merasa nyaman sekolah? Kalau banyak orang menjawab SMA (yang penuh dengan pelajaran tambahan, namun juga waktu mulai naksir lain jenis)….dia dengan tegas menjawab masa yang paling enak adalah masa mahasiswa. “Kenapa?”, tanya saya. Karena teman-temannya asyik, mereka betul-betul memberikan inspirasi, bahwa saya bukan siapa-siapa…dan membuat semakin bekerja keras, belajar bersama untuk menyelesaikan masalah. Jadi, kalau ada kesulitan, diatasi bersama….wooo, berarti sebetulnya tugas para pendidik adalah juga membuat lingkungan sekolah menyenangkan.

    Padahal, kalau saya ditanya, kapan masa paling menyenangkan? Jawabannya adalah masa SMA…hehehe…betapa bedanya. Situasi mungkin beda ya pak, seringnya kurikulum berubah juga membuat anak-anak ter tatih-tatih menyesuaikan (termasuk ortu nya)…..

    edratnas last blog post..Teh, kopi atau susu coklat panas?

    1. bener sekali, bu enny. orang tua makin repot ketika kurikulum terus berubah. namun, perubahan kurikulum agaknya hal yang wajar dalam dunia pendidikan, karena mesti harus selalu menyesuaikan perkembangan zaman. wah, ternyata perubahan kurikulum juga membawa kenangan setiap siswa, ya, bu. kalau saya kenangan paling mengesankan saat kuliah, bu, hehehe ….

  7. Generasi muda bangsa ini tampaknya sengaja “dimandulkan” dari karakter kreatif dan demokratis agar kelak menjadi generasi “robot” yang gampang dikendalikan oleh pihak penguasa. Jika “kecurigaan” ini benar, nyata-nyata telah terjadi pelanggaran serius dan sistematis terhadap fungsi pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam pasal 3 UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas. Dalam pasal itu secara eksplisit disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

    Saya terkesan dengan tulisan itu, karena pernah mengalaminya saat melakukan proses belajar-mengajar di salah satu SMK di Surabaya, pihak sekolah tidak memberikan keleluasan kepada mereka untuk berperan aktif tapi harus sesuai dengan kurikulum yang ada.. Hiks (betapa marahnya saia waktu itu), buat apa saya mengajar kalo sudah di kotak-kotakan pendidikan yang seperti itu, dengan berat hati lebih baik saia tidak meneruskan mengajar karena tidak sesuai dengan pandangan saia juga prihatin dengan siswa-siswa yang disana. Saya belajar dari pengalaman, karena dunia kerja sangat berbeda dengan dunia pendidikan yang saia dapatkan sekarang..

    gajah_pesings last blog post..Mak, Maafkan aku..

    1. wah, salut banget dengan konsistensi sikap mas vay. idealnya, antara bekal yang didapatkan di sekolah dengan tuntutan kehidupan bisa klop, sehingga tak terjadi disorientasi. repot kalau apa yang susah2 mereka dapat di lembaga pendidikan ternyata tak bisa diterapkan dalam kehidupan mereka.

  8. Pak Sawali,

    pernah nggak coba memasukkan artikel ini ke koran-koran sekelas Kompas atau Sindo? saya rasa artikel pas Sawali yang ini bisa bikin para pembacanya tergerak untuk ikut mencermati dunia pendidikan sekarang ini.

    Sayang, pak.. kalau hanya kalangan blogger saja yang tergerak!

    darnias last blog post..Two Sides of Every Story

  9. Kang, kenapa negara tidak memfasilitasi para guru untuk belajar ke luar negeri gratis yah … kan hasilnya untuk anak Indonesia juga kan?

    *sok tahu mode ON*

  10. Menunggu gebrakkan pemerintah yang baru setelah Pemilu ini Pak. Mudah-mudahan dunia pendidikan tidak lagi menjadi uji coba bongkar pasang kebijakkan dari pemerintahan yang baru. Dari dulu setiap pemerintahan berganti, tidak pernah akur dalam penerapan kebijakan di bidang pendidikan. 😀

  11. membicarakan masalah pendidikan adalah membicarakan sesuatu yang tak pernah mati, ada saja batu sandungannya.
    saya tercekat dengan kuotasi ini:

    …Bertahun-tahun dunia persekolahan kita terpasung dalam ruang hafalan-hafalan teori dan rumus, tidak ”membumi”, tidak ada upaya serius untuk membawa para siswa didik mampu menerjemahkan berbagai ranah keilmuan yang diperoleh ke dalam realitas sosial…

    memang sudah saatnya kita benar-benar memikirkan kurikulum yang otentik, dalam arti relevan bagi kehidupan para siswa didik pada kehidupan nyata di luar ruang kelas.
    sistem pengujian juga hendaknya tak semata menguji daya hafal dan repetisi, melainkan kemampuan menganalisa.

    setuju sama darnia, artikel sebagus ini mustinya tak sekadar dibaca oleh segelintir orang di blog saja, pak sawali!

    marshmallows last blog post..Tautan Kosong

  12. pendidikan indonesia tidak akan meningkat klo sistem, cara dan proses serta kinerja dari institusi itu nggak bagus, walau siswanya pinter2 namun klo nggak disupport dengan sistem yang bagus.,..sama aja NOL BESAR mas 😉

  13. Sebenarnya nggak usah jauh-jauh. Menurut saya, di komen-komen blog yang terlalu banyak berkomen basa-basi berlebihan tanpa ada kritik, feedback yang positif atau banyaknya komen yang OOT juga sedikit mencerminkan “kegagalan” proses pendidikan kita. Di mana kata “setuju” dan “sependapat” yang membabibuta tanpa mengerti apa yang dibacanya sudah menjadi “hiasan” yang khas dalam kolom komen blog Indonesia.

    Sebenarnya tentu saja basa-basi manis di blog sah-sah saja (termasuk komentar OOT), hanya saja jikalau “proses” pendidikan lebih baik tentu komunikasi di dunia blog ini semakin baik dan semakin hidup, dan hanya saja jikalau kita ingin melihat “kegagalan” produk pendidikan di negeri ini, nggak usah jauh2, kita lihat lingkungan di sekitar kita sendiri (termasuk di blogsfer ini).

    Btw, saya juga suka komen ngasal seh, apalagi kalau lagi capek dan topiknya kurang saya kuasai…. wakakakakak…..

    Yari NKs last blog post..Kata Kerja Berpartikel

    1. hehehe …. biar OOT sekalipun mereka juga dah berkunjung dan komentar di blog, bung yari, hehehe …. kira2 fenomena semacam itu bisa termasuk potret kegagalan dunia pendidikan apa tidak ya? saya sendiri belum melihat relevansinya. *halah*

  14. Kedua, tindak tegas pihak-pihak tertentu yang nyata-nyata terbukti melakukan kecurangan dan pelanggaran terhadap pelaksanaan UN.

    hmmm,, 😕 ini dia masalahnya pak Sawali, selama hukum tidak bisa ditegakkan, cita-cita bangsa tidak akan pernah bisa terwujud.. 😛 mari gantung KORUPTOR!! 😮 penjarakan OKNUM!! :-\” cincang PROSTITUSI!! :”>, halah ko nda nyambung!! :d

    1. untuk SD, UN-nya sepertinya masih dikendalikan di tingkat kab/kota, mbak juli. ndak tahu juga bagaimana pelaksanaan UN tiga tahun mendatang. btw, maafkan juga kesalahan dan kekhilafan saya selama ini, mbak juli.

  15. Saya jadi inget EBTANAS…
    Menurut Pak Sawali, setuju nggak untuk pendapat bahwa pendidikan di sini sedang masuk tahap uji coba meski usia kemerdekaan sudah lebih dari 60 tahun?

    1. setuju, mas donny, dunia pendidikan kita agaknya memang belum memiliki format yang ideal, sehingga masih terus berusaha mencari bentuk dan masih sering melakukan uji coba, termasuk kurikulumnya.

  16. Dalam Laskar Pelangi, dalam kesederhanaan, kesahajaan dan keterbatasan, tanpa ada ujian nasional pun bisa melahirkan orang sukses seperti Andrea Hirata. Apakah suksesnya pendidikan hanya diukur dari hasil Ujian Nasional?

    1. wah, pak jaitoe pengagum karya andrea hirata itu rupanya. memeng bener, pak, sukses dan mutu pendidikan tak hanya diukur berdasarkan hasil un. makanya, un perlu dikawal terus agar ada perubahan ke arah yang lebih baik.

    1. untuk saat ini tampaknya tak munfkin dihapuskan, mas hendra, karena ketentuan itu jelas termakstub dalam UU Sisdiknas dan PP 19/2005 ttg standar nasional pendidikan. kalau ingin menghapus un dengan sendirinya harus ada amandemen terhadap UU-nya. *halah kok jadi sok tahu saya*

  17. Tapi Gimana lagi pak guru?…Klo pilihannya Esai semua..
    Klo nalarnya bagus sih gak masalah ya pak…?
    Tapi klo yang gak bisa makin susah aja tuh..?
    Ya setengah-setengah itu lebih baik daripada dipaksakan kan kasihan juga pak. Yang Penting bukan nilainya ya pak..? Usaha juga perlu dinilai. Tapi peserta UN banyak gimana cara nilainya klo soalnya esai. Dan apa pertimbangan nilai benar / salah? Makasih banget Pak Guru Sawali Infonya. see you again. Bikin kue dulu saya.

    diahs last blog post..Trafik Naik Dalam Sehari

    1. hehehe …. memang tak ada satu pun bentuk soal yang sempurna, mbak diah. menurut hemat saya perlu ada perpaduan berbagai macam bentuk soal, sehingga kelemahan soal yang satu bisa ditutup oleh kelebihan soal yang lain. asal para pelaksananya fair dan jujur, saya kira un dengan model semacam itu akan lebih bagus. waduh, terima kasih apresiasinya, mbak diah. mangga kalau ingin membuat kue basah dulu, hehehe ….

  18. kenapa UN malah menjadi polemik baru bukankah yang bikin soal para guru berdasar kurikulum yang diajarkan bila memang belajar dengan baik dan sistem belajar mengajar berjalan dengan baik tentu anak didik tidak perlu di jebak dengan kumpulan soal toh kalau semua telah di ajarkan dengan baik tentu siswa akan tenang tanpa harus ketakutan ….
    saya dulu jadi siswa malah tak pernah belajar menjelang test atau ujian karena saya rasa malah menggiring kita dalam ruang yang sempit PD saja kalo kita tiap hari telah belajar ,jadi mestinya sistem belajar di kesehariannya lah yang di benahi pak hehehe

    genthokelirs last blog post..Jangan Memalukan Yang Melahirkan

    1. walah, sebenarnya bukan polemik baru, mas totok, karena kontroversi UN sudah berlangsung sejak lama. menurut saya, sistem apa pun yang digunakan, polemik itu tak dapat dihindarkan karena masyarakat juga menghendaki sistem penilaian yang terbaik. btw, model belajar mas totok semacam itu memang yang efektif. belajar tak harus semalam suntuk hanya menjelang ujian saja, hehehe ….

  19. jujur sy hrs mengatakan bahwa un telah menjadikan sekolah sbg ‘taman siswa’ menjadi penjara yg bikin stres siswa dan pihak sekolah. Harusnya soal un dibuat guru yg ngajar di sekolah ybs. BSNP cukup memberi rambu-rambu kriteria kelulusan dan skl saja.

    1. yaps, Un agaknya memang belum bisa dihapus, pak, karena perlu mengamandemen dulu UU Sisdiknas-nya. idealnya UN bukan penentu kelulusan melainkan sebagai alat pemetaan mutu pendidikan secara nasional.

  20. Saya tidak bisa berkomentar, pak Sawali!… saya hanya bisa ikut prihatin sedalam-dalamnya atas kondisi pendidikan kita… Jangankan untuk peka terhadap problem riil dalam kehidupan sosial, anak saya yang sudah mendapat pelajaran logaritma saja bingung ketika saya tanya apa gunanya logaritma, padahal dia bisa menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh gurunya… Maklum… UN yang sekarang jadi tolok ukur hanya menuntut penyelesaian soal saja, bukan analisa, apalagi implementasi…
    Semoga pak Sawali diberi kekuatan dan kesempatan untuk berbuat lebih baik di dunia pendidikan kita… amien…

    Andy MSEs last blog post..kembali pulang

    1. itulah kenyataan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita saat ini, mas andy. saya juga sedih kalau apa yang siswa dapatkan ternyata gagal diaplikasikan dalam kehidupan riil. mudah2an saja ada perubahan ke arah yang lebih baik.

  21. masalahnya yang memkasakan UN bukan orang-orang dari guru (maaf ini mungkin salah) sehingga mereka hanya membuat program tanpa tahu lapangan yang jelas tidak sama kualitas pendidikannya. yang kedua. apa guna KTSP yang digembar-gemborkan termasuk PTK bagi guru-guru yang mampu untuk sekolahnya. tidak ada gunanya kan? kalau UN masih dipaksanakan dengan model soal seperti itu. katanya sesuai kondisi sekolah masing-masing disaat kita menyusun silabus dan indikator. tetapi kok masih dipaksa UN aneh gak???? salah siapa ini Kang?

    1. UU sisdiknasnya mesti diamandemen dulu, pak didik, karena ada klausul yang menyatakan bahwa pemerintah berwenang utk mengevaluasi kompetensi siswa didik. sebelum ada amandemen, un tetap akan jalan terus.

  22. assalamu’alaikum… numpang iklan gratis, tolong disebarkan, semoga bermanfaat !!

    Dibutuhkan segera Mentor :
    Matematika (M-1)
    Fisika (F-1)
    Kimia (K-1)
    Biologi (B-1)
    Bahasa Indonesia (I-1)
    Bahasa Inggris (E-1)
    Ekonomi (A-1)
    IPS Terpadu ( Sejarah, Geografi dan Sosiologi ) (S-1)
    SD Terpadu (Semua Pelajaran ) (S-1)

    Dengan kualifikasi :
    Telah lulus PTN, dengan IPK minimal 3.00
    Menguasai Mata pelajaran yang dipilh
    Mempunyai Pengalaman Mengajar minimal 1 tahun
    Berpenampilan menarik, supel dan mudah bergaul.

    Berkas lamaran (Surat lamaran, Biodata diri, transkip nilai, foto copy KTP,dan lain-lain ) diserahkan langsung ke BBI SALEMBA Kampus Pasar Minggu Komp. Bea Cukai No. 1A Pasar Minggu Jakarta Selatan. Tlp : 78842004. sebelum 30 Juni 2009.

  23. 🙄 UN bukan hantu yang mesti harus ditakutkan. UN merupakan bagian dari proses pembelajaran, selanjutnya pembelajaran tidak pernah mengenal berhenti. kalau kita bisa memahami filosofi berpikir demikian maka UN sebaiknya dihadapi saja dengan rasa senang, bergairah dan serius……., mengkritik boleh dan menyalahkan juga boleh tapi kasih solusi yang laik dong

  24. :((

    aduh cari kisi2 bwt ujian nasionl ko sulit banget ea????tlng dong apa sch alamat dari soal2 latihan ujian nasional????

  25. :)anak-anak indonesia harus mempunyai ilmu yang tinggi, siapa lagi yang bisa mengusahakannya …….. (Pahlawan tanpa tanda jasa & Pemerintahan) Maju terus agar indoneia lebih baik dan berakhlak yang baik

  26. Memang UN masih menimbulkan kontroversi, tapi semoga pro dan kontra terhadap UN ini tidak kontraproduktif dalam membangun manusia Indonesia yang dapat membangkitkan daya saing nasional, namun tidak lupa dengan jati diri dan integritas nasional juga ya 🙂

  27. Mau Punya Usaha Sendiri..??
    BISNIS PENDIDIKAN AJA…
    Investasi Kecil,Resiko Kecil,Untung Dunia&Akhirat,,Kembali Modal Cepat,,
    Hanya 3,9jt Langsung punya Lembaga Kursus

  28. Ping-balik: pendidikan dunia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *