Kritik

Halaman Khusus bagi Peserta Kontes Review Cerpen:

Silakan baca ketentuan kontes review cerpen di sini, kemudian publikasikan hasil review Anda di kolom komentar halaman ini! Terima kasih!

update:

Mohon maaf, kontes review cerpen sudah ditutup! Terima kasih!

28 Comments

  1. Kang Sakri dan Perempuan Pemimpi
    Kang Sakri dan Istrinya tinggal di suatu desa yang sedang berubah. Perubahan akibat dari kemajuan menyebabkan hubungan manusia dikotak-kotakkan berdasarkan strata sosial. Orang berpendapatan kecil seperti Kang Sakri, tidak mampu mewujudkan mimpi istrinya. Malahan dia sibuk dengan mimpinya sendiri yang menurutnya mampu membawa kebahagiaan.
    Sang istri juga tak mau tinggal diam untuk mewujudkan impiannya. Dengan cara yang salah, dia mengumpulkan mimpi-mimpinya sendiri tanpa bantuan Kang Sakri. Tapi diakhirnya, cara yang salah memang membawa bencana baik bagi diri sendiri dan juga orang lain. Desa itu diporakporandakan oleh “Kekuatan Tak Terlihat” yang mungkin datang menghukum dosa-dosa sebagian penghuninya.
    Itu adalah ringkasan. Berikut ini adalah review:
    Ini adalah sebuah cerita tentang manusia dan impiannya. Bermacam mimpi dan bermacam cara untuk membuat mimpi tersebut menjadi kenyataan. Ada manusia yang mengejar impian dengan cara semampunya asalkan baik. Ada juga yang mengejar dengan cara yang salah.
    Nilai yang mungkin ingin disampaikan Pak Sawali adalah, mewujudkan mimpi dengan cara yang salah bisa merugikan diri sendiri dan orang lain. Pada saat tertentu memang mimpi bisa dicapai dengan cara yang salah, tetapi balasannya bisa diterima tidak lama lagi atau nanti diakhirat sana. Dan hukuman Tuhan tidak hanya dirasakan oleh orang yang melakukan perbuatan dosa, melainkan juga orang-orang yang ada di sekitarnya.
    Mengenai kelebihan dan kekurangan, bukan kapasitas saya untuk menilai. Saya lebih fokus kepada pesan yang ingin disampaikan. Dengan begitu saya sudahi rangkuman dan review saya. Menang atau tidak kalah akan saya terima dengan senang hati. Seperti pepatah orang Jawa : Menang ora Kalah sing penting ngeblog.

  2. Kang Panut
    Cerpen ini mengisahkan bagaimana di masyarakat orang memandang derajat manusia yang berpangkat, berkedudukan, berharta, dan berpenampilan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berjasa dan memberikan sumbangsihnya di masyarakat. Meskipun orang yang dianggap lebih tinggi tersebut justru merugikan dan menyebarkan ketidakadilan di masyarakat, orang-orang lebih berpihak dan hormat kepadanya, bahkan menganggap musuh kepada pemuda yang menentangnya.
    Moral yang mungkin ingin disampaikan pengarang adalah bahwa pemuda merupakan harapan untuk melawan ketidakadilan, bagaimanapun beratnya itu, dan bahwa ketidakadilan itu pasti kalah dengan kebenaran.

  3. Pilihan Cerpen : Jagal Abilawa

    Rangkuman :

    1>Sang tokoh “aku” dipusingkan oleh istrinya, Sumi yang sedang nyidam. Nyidam Sumi adalah nyidam yang tidak biasa karena dia nyidam mendapatkan wayang kulit Jagal Abilawa. Dengan segala daya sang suami pun berusaha mencari wayang Jagal Abilawa.
    2>Setelah melalui segala rintangan akhirnya sang suami berhasil mendapatkan wayang Jagal Abilawa dari seorang dalang tua, Ki Jantur Branjangan. Di akhir cerita : ternyata wayang diperoleh dengan susah payah tersebut akhirnya malah menimbulkan bencana

    Review Nilai Moral Cerita : Manusia seringkali terikat oleh keinginannya. Terikat oleh hasrat dan nafsunya. Tetapi pada kenyataannya setiap keinginan yang terpenuhi itu belum tentu berakibat baik. Karena bisa saja hasilnya malah lebih buruk ketimbang keinginan yang tidak bisa terpenuhi. Karena itulah ada yang lebih penting daripada sekedar mengekang atau mengumbar keinginan yaitu tidak melekat pada keinginan.

    Kelebihan Cerita : Temanya tidak biasa, yaitu menggabungkan antara cerita wayang yang dibalut dengan kisah surealis. Alur cerita mengalir sangat lancar dan tidak terkesan dipaksakan. Pemakaian idiom-idiom Jawa cukup baik sehingga menguatkan latar belakang cerita.

    Kekurangan Cerita : Akhir cerita yang saya harapkan mengejutkan ternyata lumayan datar. Tidak ada kejutan yang menggetarkan. Korelasi antara pemakaian nama Jagal Abilawa dengan monster di akhir cerita juga cenderung mengganggu penikmat wayang. Jagal Abilawa yang biasanya kasar tetapi cenderung menjadi tokoh protagonis dalam kisah pewayangan – pada kisah ini digambarkan sebaliknya. Ini bisa jadi baik, bahkan sangat baik jika ada alasan yang kuat untuk itu. Tetapi dalam cerita ini nama Jagal Abilawa terkesan hanya dipakai untuk tempelan saja. Tidak ada bedanya dengan Dursasana atau Petruk misalnya.

    SALAM Pak Sawali 😯 :mrgreen:

  4. Membaca cerpen Kang Sakri dan Perempuan Pemimpi bagaikan datang bertamu ke rumah seorang koki untuk makan malam. Begitu duduk, kita langsung disajikan dengan gulai kambing yang pedas yang menggugah selera (dua paragraf pertama). Begitu selesai, rasa pedas yang enak itu masih ada di lidah.

    Namun kemudian, kita disajikan oleh sup sayur yang meskipun enak, namun lidah kita masih teringat rasa gulai kambing tersebut. Kita berharap akan ada rasa seperti yang pertama, namun harapan tersebut sia-sia sampai saat-saat terakhir, saat koki tersebut berusaha menambahkan sambal botol agar kembali ke rasa pedas yang pertama.

    Koki yang mengolah cerpen ini memang masih memasak dengan handal, namun terkadang urutan penyajian turut memegang peranan penting. Mungkin kokinya ingin bereksperimen dalam karyanya, itu bisa dimaklumi, namun seharusnya bisa memikirkan perut langganannya yang mengharapkan kelezatan hidangan dari setiap masakan sang Koki.

  5. Cerpen : Penjara

    Kehidupan didalam bui memang sangatlah keras, dan bisa dikatakan siapa yang kuat dia yang berkuasa sehingga yang lemah akan diinjak dan dihina, ini adalah fakta hingga kini yang terjadi jika kita menginjak kehidupan didalam penjara, seperti yang dialami oleh sosok seorang Badrun dalam menjalani sisa hidupnya didalam bui, setelah menyesali sebuah keputusannya yang diambil tanpa berfikir panjang sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.

    Memang saya akui bahwa uang mampu membuat seseorang bisa lupa akan segalanya, termasuk akal sehat badrun yang tergiur dengan tawaran yang diberikan oleh sosok seorang pria paruh baya yang menyuruhnya untuk meletakan sebuah bom disebuah pusat perbelanjaan demi uang yang akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

    Himpitan ekonomi yang terjadi pada keluarga Badrun memang bisa menjadi contoh untuk kita semua dalam mensyukuri setiap rizki yang kita dapat dan juga harus tegar dalam menghadapi setiap masalah dalam keluarga meskipun terasa amat berat untuk dihadapi. Sosok seorang ayah yang sudah melaksanakan tugasnya sebagai kepala keluarga untuk memberikan nafkah bagi anak dan istrinya, namun tetap saja penghasilan yang didapat belum mencukupi untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga, sehingga mengakibatkan perseteruan dalam rumah tangga tersebut. Dan sekarang Badrun harus menghadapi beratnya kenyataan hidup dan meninggalkan anak dan istrinya akibat perbuatannya.

  6. RANGKUMAN CERPEN :
    Cerpen yang dipilih : PENJARA

    RANGKUMAN :

    Badrun, seorang mantan buruh pabrik tekstil terpaksa mendekam di penjara karena kemiskinan yang membelit dirinya. Seandainya ia mempunyai penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, tentu ia tidak akan ikut-ikutan melakukan unjuk rasa untuk menuntut kenaikan upah. Akibat unjuk rasa yang ia lakukan, Badrun dipecat tanpa diberi pesangon.

    Badrun pun harus pontang panting mencari pekerjaan lain. Hingga akhirnya ia mendapatkan pekerjaan dari seorang lelaki yang baru pertama kali ia temui. Pekerjaan yang ia dapatkan adalah pekerjaan yang sangat mudah. Ia hanya disuruh meletakkan sebuah plastik kresek di sudut etalase yang terletak di sebuah gedung plaza. Ia tidak tahu benda apakah yang ada di dalam plastik kresek itu, tetapi ia melaksanakan tugasnya dengan baik dan mendapatkan bayaran yang lumayan. Badrun merasa sangat beruntung.

    Namun ia keliru. Bukan untung yang ia peroleh malah sebaliknya Badrun ditangkap oleh pihak yang berwenang. Ia dituduh telah meledakkan sebuah gedung plaza megah. Rupanya benda yang ada dalam plastik kresek yang ia taruh di sudut sebuah etalase adalah BOM. Akh, Badrun yang malang. Entah sampai kapan ia harus mendekam di penjara.

    REVIEW :

    KELEBIHAN :

    Kisah dalam cerpen ini sangat jelas menggambarkan nasib buruh di Indonesia yang dibelit kemiskinan. Nilai-nilai sosial sangat kentara di cerpen ini. Unsur ‘kebejatan’ para napi dan ‘kerakusan’ para sipir juga digambarkan dengan gamblang. Bahkan, sistem hukum di Indonesia yang seharusnya menganut asas praduga tak bersalah – tetapi dalam praktek banyak orang yang tak bersalah dijebloskan dalam penjara – ikut dikupas.

    Bagai ungkapan : sekali tepuk dua tiga lalat terbunuh, seperti itulah isi cerpen ini. Salut buat sang penulis.

    KEKURANGAN :

    Alur cerita begitu mudah ditebak dan cenderung klise. Tidak ada rasa penasaran yang membuat saya ingin segera tahu akhir cerita. Juga tidak ada kejutan yang mencengangkan.

  7. Kang Sakri dan Perempuan pemimpi

    Cerita ini mengingatkan saya akan film fiksi ‘Titanic’ kisah cinta dibalut sejarah. nah cerita Kang Sakri ini walaupun menyinggung sedikit sekali mengenai gempa jogja tetapi alur ceritanya bagus dan pas, apalagi kalo gempa jogja ini di pakai dalam rangka menutup jalannya cerita.

    Jadi kelebihannya: alur cerita mengemukakan tentang sesuatu yang telah tejadi lalu dilanjutkan oleh flashback awal mula cerita seterusnya ada ketegangan ketegangan yang dipaparkan dan akhirnya akhir klimaks yang tak terduga. mirip film ‘terminator’

    Kekurangan: ya itu tadi kalo saya tidak salah menduga, kalo ini dikaitkan dengan gempa jogja, porsi cerita gempanya sangat sedikit.
    tapi untuk cerpen yang di akhiri semi mengambang gini saya suka.

  8. dari beberapa kumpulan cerpen karya pak Sawali Tuhusetya saya paling terkesan dengan cerpen yang berjudul :
    TUMBAL
    dalam ringkasan ceritanya menceritakan bahwa beberapa ibu ibu warga kampung kehilangan bayinya ,bayi yang masih berumur bulanan itu mendadak hilang dari ibunya ,kemudian raibnya bayi tersebut di hubungkan dengan pembangunan jembatan yang di pimpin oleh kepala Desa ,sebagian masyarakat meyakini kejadian hilangnya bayi tersebut sebagai Tumbal dalam pembangunan Jembatan tersebut, sebagian warga akhirnya meminta menghentikan kelanjutan pembangunan tersebut ,namun ada juga tokoh yang meminta untuk mengadakan selamatan atau mengadakan ritual untuk menghentikan hal tyersebut,kelanjutanya terkuak bahwa kasus hilangnya bayi bayi tersebut hanyalah rekayasa untuk menutupi kecurangan Kepala Desa
    Review :
    Kelebihan :
    Cerita ini merupakan sentilan tajam terhadap pemuka dan pemimpin pemimpin kita ,serta membukakan mata kita terhadap fakta mengenai keculasan para pemimpin ,yang banyak mengalihkan pandangan serta mengaburkan borok kepemimpinannya dengan isu isu yang meresahkan,budaya Tumbal memang dulu pernah menggemparkan ,namun sekarang tumbal di cerita itulah yang terjadi dengan istilah Tumbal untuk tembel,mengaburkan kebobrokan dan korupsinya,para pemimpin jaman sekarang banyak sekali mengandalkan tumbal atau mencari cari sensasi yang di maknakan sebagai tumbal, contohnya ketika BBM naik lantas huru hara Flu burung di angkat, atau kasus Ambalat di usik itukan tumbal juga,dalam cerita ini memiliki kelebihan juga memunculkan keberanian seorang pemuda untuk menyuarakan sesuatu yang mungkin kelak membawa perubahan,cerita ini berasa mudah di pahami dan dengan bahasa yang sangat demokratis senantiasa membawa pembaca larut dalam emosi yang berkecamuk di dalam cerita tersebut,( menurut saya sangat berhasil sekali menggiring imaginasi dan emosi kita masuk dalam cerita )
    Kekurangan:
    sebenarnya nyaris tidak ada kekurangan ,hanya cerita ini masih pendek sekali,kemudian Ending ceritanya serasa mistis sekali ,dan seperti menyisakan misteri di balik cerita itu yang akhirnya jadi kesan TUMBALnya mistik ( atau di sengaja menggelitik pembacanya )
    salam hormat saya

  9. Sang Pembunuh

    Sepuluh tahun yang lalu, kampung kami kedatangan serombongan tamu dari kota. Mereka adalah rekanan Juragan Karta, orang terkaya sekampung. Ternyata, tujuan kedatangan mereka adalah untuk membangun pabrik di kampung. Buktinya, keesokan harinya Juragan Karta mengumumkan rencana itu dengan dalih untuk meningkatkan SDM dan SDA di kampung. Bahkan, disertai ancaman bagi yang menolak untuk mendukung rencana tersebut. Pak Lurah pun mengiyakan dan menyatakan
    dukungannya.
    Karena menolak menyerahkan tanah sawah dengan ganti rugi yang sangat sedikit, aku dan Mas Karjo dimusuhi habis-habisan oleh Juragan Karta dan anak buahnya. Mereka juga menghasut hampir seluruh warga desa untuk membenci kami. Hingga pada puncaknya, Mas Karjo dibunuh dengan sadis, dan aku difitnah sebagai pembunuhnya. Akupun divonis penjara selama 10 tahun, dan sampailah aku di penjara yang pengap ini. Namun, semangatku kembali menyala karena sepekan lagi aku akan bebas….

    Review

    Menurut saya, cerpen berjudul Sang Pembunuh ini cukup menarik, karena ide ceritanya yang cukup membumi. Relevan dengan kondisi riil sosial Indonesia, di mana pembangunan proyek kerap mengorbankan dan memaksa sejumlah warga seperti Aku untuk menyerahkan tanahnya dengan ganti rugi yang tidak setimpal. Selain itu, alur dalam cerpen ini juga cukup bagus karena menggunakan timing method khas penulisnya, present -> past -> future. Alur khas yang unik dan seharusnya tidak mudah ditebak.
    Namun, lebih dari itu, saya kira cerpen ini kurang memiliki taste. Diawali dengan blunder inkonsistensi kata ganti tokoh utama -yang sebenarnya tidak perlu terjadi-. Perhatikan perubahan kata “aku” dan “saya”. Terhitung ada 3 kata “aku” dan 51 kata “saya”. Cerpen ini menjadi terkesan terasa sepo (dingin) karena menggunakan kata “saya”
    sebagai kata ganti orang pertama. Bandingkan jika menggunakan “aku”.
    Selain itu, ritme cerita juga terkesan terlampau datar, tanpa adanya kejutan yang signifikan. Coba bandingkan dengan irama emosional dalam cerpen Marto Klawung atau Kang Panut. Sangat berbeda bukan? Seperti pada paragraf ke-3 dan ke-4. Terasa cemplang (drastis) ketika memasuki paragraf ke-4. Padahal, saya mengira penulis akan melanjutkan harapan-harapan “wah” di paragraf ke-3 pada paragraf ke-4. Juga ketika tokoh Aku sudah bebas dari penjara, keramahan warga kampung yang sebenarnya mengejutkannya diceritakan oleh penulis dengan biasa saja. Terkesan monoton dan kurang bertanggungjawab.
    Pada umumnya, cerpen ini memiliki nilai lebih tentang fenomena nyata dalam masyarakat yang diangkat. Namun, menjadi bumerang yang fatal karena diceritakan dengan
    tergesa-gesa dan melompat-lompat.
    Sedangkan secara keseluruhan, kesepuluh cerpen karya Sawali Tuhusetya ini lebih baik jika dibaca parsial. Karena terdapat banyak tabrakan antar cerita. Obyek penjara dalam Sang Pembunuh dan Penjara dideskripsikan nyaris sama. Juga, gambaran penulis untuk orang yang dituakan sebagai lelaki berikat kepala hitam, diulang-ulang dalam Sepotong Kepala, Kang Panut, dan Marto Klawung. Serta berbondong-
    bondongnya warga yang nglurug dalam Kepala di Bilik
    Sarkawi dan Kang Sakri dan Perempuan Pemimpi, sama-sama menggunakan perangkat manusia purba. Jadi, menurut saya, masing-masing dari sepuluh cerpen ini memiliki kelebihan masing-masing. Namun, akan sedikit menguap jika membacanya berurutan.:)

    Maaf ya, Pak. Malah banyak ngritiknya, padahal saya sendiri juga belum bisa membuat cerpen yang menarik seperti Pak Sawali. Dari sepuluh cerpen itu, saya rasa Pak Sawali lebih kompeten 🙂 pada cerpen yang bernuansa budaya lokal. Tapi, yang bernuansa politik seperti Negeri Kelelawar juga menarik. 😀
    Sekian dulu reviewnya, Pak. Hitung-hitung belajar. 🙂

  10. Rangkuman “Sang Pembunuh”
    Cerpen ini menceritakan seorang ‘aku’ yang terpaksa menikmati rasanya dibalik jeruji penjara dengan segudang ketidak adilan dan siksaan dari teman se-selnya dan para sipir penjara karena ‘aku’ dituduh membunuh temannya sendiri karena dia teguh dalam pendiriannya untuk tetap mempertahankan hak-haknya yang akan dirampas oleh seorang seorang juragan Karta yang ingin merebut tanah-tanah warga kampung dengan kedok ingin memajukan kampung tersebut. Dan setelah ‘aku’ bebas dari penjara dia melihat kampungnya telah berubah total, gedung pabrik telah berdiri diatas bekas lahan pertanian dan kebencian warga dengan ‘aku’ pun sirna dan warga pun menyambut baik kedatangan ‘aku’ dikampung tersebut.

    Tetapi apa yang ‘aku’ sangat terkejut ketika mendapatkan istrinya diperistri oleh juragan Karta, dengan amarahnya yang sudah diubun-ubun ‘aku’ pun menuju ke rumah juragan Karta dengan rombongan warga kampung tersebut yang juga memiliki dendam yang sama. Didapatinya juragan Karta sedang bercengkrama dengan istri ‘aku’, langsung ‘aku’ pun menghajar tubuh juragan Karta sampai babak belur, belum puas dengan itu ‘aku’ pun mengambil pedang yang terpajang di tembok juragan Karta dan langsung menebas leher juragan Karta dan hampir putus.

    Kelebihan
    Cerpen ini sangat pas untuk menggambarkan seorang wong alit yang tidak dapat mengalahkan seorang yang memiliki kuasa. Dengan alur flash back penulis sangat mahir dalam memainkan kata-kata dan sangat menjiwai cerita tersebut. Dan membuat pembaca tidak menjadi bingung karena dapat mudah mencerna apa yang di maksudkan cerpen tersebut

    Kekurangan
    Dimata saya yang hanya seorang siswa SMA cerpen ini hampir sempurna, meskipun terdapat kesalahan pengetikan yang mungkin akibat tergesa-gesa mengetik yang membuat sedikit tidak nyaman untuk pembaca. Tapi tetap cerpen ini menurut saya sudah sempurna.

  11. Penjara

    Kenyataan pahit yang tak seorangpun menginginkannya. Apakah ini jalan hidup yang memang sudah ditentukan untuknya? atau pilihan hidup yang telah ia tentukan sendiri dan kini menanggung akibatnya.
    Badrun buruh pabrik tekstil. Terpaksa tanpa daya mendekam di penjara Memuaskan nafsu setan orang-orang tak beradab yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Menyaksikan tingkah polah kebejatan moral yang terus tumbuh subur bagaikan tak akan pernah ada matinya. Dan Badrun hanya bisa melirih,”mana mungkin penjara ini mampu menjadi tempat pertobatan bagi para pendosa?”
    Sedangkan dirinya belum lagi menyadari, apakah ia berdosa?
    Mengapa Badrun di penjara? Mengapa harus Badrun?


    Cerpen “Penjara” ini mampu mengusik hati pembaca. Pembaca tidak begitu mudah dapat menerka apa sebenarnya yang dialami Badrun? namun begitu sampai di akhir cerita, pembaca dibangkitkan berbagai rasa, : rasa ketidakadilan, ikhlas menjalani cobaan, dan pertaubatan atas segala tindak tanduk dalam menjalani hidup. Dan menyisakan sedikit pertanyaan,”mengapa harus badrun?”.

  12. DHAWANGAN, DAN SISI LAIN SAYA YANG “TERTAMPAR”, SEBUAH CATATAN PENDEK

    Saya terperanjat, ketika niatan awal saya membaca cerpen Sawali Tuhusetya berjudul Dhawangan ini adalah untuk, menikmati aura magis yang disajikan dalam bentuk kesenian lokal bernama barongan, harus terkikis ketika saya dapati, bahwa di dalamnya terselip kritik sosial yang cukup menohok, terutama kepada kita-kita yang dalam hidup bertetangga, masih gemar menghina dan mencaci, serta memarginalkan individu yang kebetulan terlahir sebagai kaum difabel, baik dalam bentuk cacat fisik, maupun cacat mental.

    Cerpen yang dihidangkan dengan pola sorot balik dengan menampilkan tokoh bernama Jayus yang diceritakan tersisih dari pergaulan masyarakat di desanya dan bahkan, sampai tidak diakui eksistensi dan garis kekerabatannya oleh saudara-saudara kandungnya sendiri hanya karena ia mengidap Halitosis (penyakit bau mulut [di sini dikisahkan mulut Jayus menyemburkan bau bacin]) ini, menampilkan dengan begitu apik bagaimana seseorang yang dianggap abnormal seperti Jayus, mendapat masalah sosial (dan psiko-sosial) di lingkungannya.

    Dus, jika cerpen ini kita perlakukan dengan “skimming through” (membaca sepintas), gambaran yang kita dapatkan bisa dipastikan tak akan jauh dari kisah yang hanya menyodorkan atraksi pertunjukan barongan yang ditaburi bumbu-bumbu mistis layaknya cergam Petruk-Gareng-Semar karya almarhum Tatang. S. Alih-alih, pesan sosial yang begitu mendesak yang ingin disampaikan pengarang pun, tidak akan tertangkap. Bisa kita rasakan, bagaimana pilunya seorang Jayus yang sampai terpaksa merelakan harga diri dan sisi kemanusiaannya ditukar dengan sifat dhawangan ketika ia dengan memohon, meminta kepada Kang Marto Barong, pimpinan group “Singa Tata Jalma” yang memamerkan atraksi barongan, agar dirinya diperkenankan menjadi pemain dhawangan. Asumsi Jayus begitu sederhana, dengan membiarkan dirinya kesurupan kala mementaskan aksi dhawangan, ia akan bisa melupakan kesedihan batin bahwa dirinya hidup penuh dalam hinaan dan cacian orang-orang. Sebuah pemikiran dan bentuk eskapisme yang tentu wajar dipikirkan oleh sosok seperti Jayus (mungkin kalau contoh-contoh di sekitar kita, bentuk pelarian yang umum dipikirkan orang yang terkena tekanan batin, biasanya tak akan jauh-jauh, kalau bukan menjadikan diri sebagai kriminal dengan merampok atau menjadi psikopat, paling banter ya bunuh diri).

    Membaca secara “dua lapis” cerpen Dhawangan ini, mengingatkan saya pada sebuah teori sosiologi yang membahas teori-teori umum perihal penyimpangan, yang salah satunya bernama “teori labeling”. Teori Labeling ini mengatakan, bahwa seseorang bisa menjadi menyimpang, ketika ia mendapatkan label-label (khususnya stigma) tertentu yang ia dapat dari hasil interaksi sosialnya. Seperti seorang yang baru keluar dari penjara, namun masyarakat sekitar tetap menganggap dan menyebutinya seorang maling, misalnya. Pemberian label “maling” secara terus-menerus ini, akan mengakibatkan individu yang bersangkutan, merasa bahwa dirinya tidak akan pernah bisa diterima lagi di masyarakat, ia merasa dirinya tidak diperkenankan berbaur dengan masyarakat sebagaimana individu lainnya, dan jelas ia akan merasa teralienasi. Eksesnya, karena ia tidak diterima lagi secara baik-baik, ia akan berpikir lebih baik menjadi maling kembali, sebab toh, meski dirinya sudah berusaha menjadi baik pun, cap “maling” masih saja dilekatkan pada dirinya. Begitu pula terhadap mereka-mereka yang disisihkan dari pergaulan sembari diberi label “gila”, “sudrun”, “bau bacin”, “pincang”, dan lain-lain. Orang yang diberi cap cacat mungkin tidak bisa berbuat lain selain peranan yang telah diberikan kepadanya. Pemberian label dan stigma yang demikian, akan menyebabkan orang tersebut menjadi penyimpang sekunder. Ia akan lari pada tempat dan pemikiran yang ia anggap nyaman, meski sebetulnya salah, contoh konkretnya menjadi seorang psikopat.

    Ending terbuka dalam cerpen ini pun, membuat cerita serasa semakin bertambah mencekam; apakah kematian lima warga kampung yang mengenaskan dengan leher hampir terputus seperti terkena bekas gigitan makhluk ganas adalah ulah dari dhawangan sebagai sosok halus khas mitos dalam kisah-kisah zaman dulu, ataukah merupakan manifestasi dendam kesumat seorang Jayus terhadap mereka-mereka yang pernah mencaci dan menghinanya; entah, tak ada yang tahu (kecuali pengarangnya sendiri). Namun toh, seperti yang pernah dikatakan Radhar Panca Dhahana, bahwa ”sastra memang semestinya dikembalikan kepada pembaca, baik secara teoretis maupun praktis”. Dan senada pula dengan semangat postmodern, terwakili ucapan Barthes, bahwa “pengarang telah mati”, dan pembacanyalah yang memiliki kebebasan memainkan tafsir atas karyanya.

    Meski pesan sosial yang dibawa dalam cerpen ini makin tersirat menjelang akhir cerita, sehingga semakin membuka mata kita apa yang mau disampaikan pengarangnya (yang membuat cerpen ini memiliki kekuatan–karena selain menekankan estetika kisah, juga menampilkan esensi cerita secara gamblang) tetap saja ada beberapa kekurangan dalam penyajiannya. Tapi, entah mungkin karena saya lebih cenderung mengamati sebuah cerita pendek dari segi substansi atau apa, membuat saya tidak terlalu memperhatikan detail-detail kelemahan cerpen ini, kecuali repetisi kalimat “…di tengah irama gamelan yang rancak ditingkah ketipak kendang yang menghentak-hentak…” yang saya rasakan cukup mengganggu (sampai ada dua-tiga kali diulang pada tiga paragraf). Padahal dengan melihat siapa sosok Sawali sesungguhnya (sebagai seorang yang memiliki kompetensi yang tidak perlu diragukan dalam dunia sastra kontemporer), semestinya beliau bisa memilih kalimat lain, meskipun saya akui, pengulangan kalimat yang digunakan bukanlah sesuatu yang sifatnya tautologis.

    Lainnya, yang menjadi kekurangan (atau saya sebut saja keanehan yang lebih bersifat tanda tanya dibanding akhir kisah yang masih misterius), adalah peran Mak Timah selaku ibu Jayus. Penyebutan namanya yang hanya sekali, terkesan sebagai tokoh yang hanya dihadirkan sambil lalu, padahal ia sebagai Simbok yang diceritakan menjadi tempat satu-satunya Jayus mengadu dan satu-satunya orang yang masih sayang kepada Jayus, tentulah memiliki potensi yang tidak bisa diabaikan untuk menjadikan Jayus anaknya tetap tegar menapaki hidup. Tidak diceritakan pula, bagaimana kondisi batin sang ibu ketika mengetahui anaknya hilang bersamaan dengan hilangnya dhawangan yang, pada saat yang sama, menjadi awal terjadinya pembunuhan berantai yang terjadi di kampung yang menjadi setting cerita.

    Tapi terlepas dari itu–sekali lagi seperti apa yang diucapkan Radhar dan Barthes–saya sebagai pembaca, memiliki akses penuh untuk melakukan dekonstruksi ulang, dengan melanjutkan kisah ini sekehendak hati jika ingin mengenyahkan segumpal rasa penasaran yang masih tertinggal di benak. Tapi saya tidak melakukannya, atau katakanlah, belum, sebab, dengan menikmati secara literer saja cerpen Dhawangan ini, selain saya jadi mengenal salah satu atraksi kesenian lokal (yang entah bersetting di Cirebon, Kudus, atau Jepara) ini, saya sudah mendapatkan pelajaran berharga, bahwa kita semestinya hidup ditaburi sikap saling menyayangi, menjaga lidah, tepa selira, mau menerima kekurangan orang lain, tanpa ada diskriminasi apalagi men-subordinasi mereka-mereka yang terlahir tidak normal.

    Tentu, saya yang tidak bersih dari dosa pernah menghina dan mengejek orang di sekitar, merasa “tertampar” dengan cerpen buah tangan Pak Sawali ini, sebagaimana “tertampar”-nya seorang pelacur yang konon kemudian sadar dan tobat setelah membaca “Kota Kelamin”-nya Mariana Amiruddin. Bukan dengan dakwah atau khotbah yang berbusa dan berjam-jam saja yang mampu menyadarkan manusia, tapi lewat sebuah cerpen pun, tingkah polah seorang manusia bisa berbalik seratus delapan puluh derajat. Untuk hal ini, dan untuk yang ke sekian kalinya, saya angkat topi kepada Pak Sawali… (dan tentu, saya ucapkan terima kasih, cerpen panjenengan menyadarkan saya dari kekeliruan yang sebetulnya sudah lama melekat dalam diri saya ini, yakni kecenderungan mencaci kekurangan dan ketidaksempurnaan yang ada pada diri orang lain). 😉 ***

    []

    Parijs van Java | 16 Januari 2009
    Menjelang Subuh…

  13. Astaghfirullahaladzhim! Saya ada salah ketik Pak Sawali, harusnya Mak Tentrem kok pada tulisan saya di atas tertulis Mak Timah :mrgreen:
    .
    Mohon diedit :mrgreen:
    Terima kasih
    *jadi malu*

  14. Dhawangan

    Jayus adalah tokoh sentra dalam cerpen ini. Sosok Jayus digambarkan sebagai pria dengan kekurangan fisik mulai dari mata juling sampai mulut bau ‘bacin’. Kekurangan fisik Jayus menjadi bahan olokan warga dan mereka pun mulai memberi julukan yang bernada merendahkan mulai dari Jayus Gemblung sampai Jayus Bacin. Jayus menerima segala hinaan yang diarahkan kepadanya dan berusaha bersikap ramah kepada mereka.

    Ada satu hiburan rakyat yang menarik perhatian Jayus “barongan”. Barongan mirip seperti kuda lumping, ada penari, pemain musik, pawang dan unsur mistis. Barongan sendiri berkisah tentang makhluk yang bernama Dhawangan.
    Selain unsur menghibur, Jayus tertarik dengan barongan karena menurutnya melalui pertunjukan rakyat ini ia akan bebas berekspresi menjadi dirinya sendiri dan melupakan segala cemoohan serta cacian dari warga sekitar.
    Akhirnya Jayus memutuskan menghadap ketua rombongan barongan untuk menyatakan keinginannya untuk ikut serta dalam permainan tersebut.
    Jayus diterima karena kebetulan ada salah satu anggota yang berhalangan dan kemudian mulai berlatih. Di sesi latihan Jayus tampil memukau begitu pula di setiap pertunjukan bersama rombongannya, sampai-sampai mereka mendapat kehormatan untuk tampil di pendapa kabupaten.

    Suatu ketika rombongan barongan ini diminta tampil dalam acara hajat mantu yang diadakan penduduk setempat. Awal pertunjukan semuanya berjalan normal. Kemudian Jayus mulai berulah danmengganggu kerumunan penonton. Karena khawatir terjadi sesuatu, sang pawang pun berusaha menyadarkan Jayus yang tengah kesurupan roh halus itu. Tapi segala upaya yang dilakukan sang pawang gagal dan akhirnya Jayus kabur.
    Setelah kejadian itu, kampung mendapat teror makhluk yang diduga dhawangan yang tidak mau keluar dari tubuh Jayus. Sudah lima orang penduduk yang menjadi korban makhluk itu.

    Pesan Moral :
    Dalam cerpen ini pak Sawali ingin mengangkat masalah sosial yang kelihatan sepele tapi rupanya tidak bisa disepelekan. Kebiasaan masyarakat mengejek dan merendahkan orang, itulah yang disoroti disini. Kebiasaan mengejek dan meremehkan orang bisa berakibat buruk bagi kepribadian orang mulai dari minder sampai mencari pelarian ke hal-hal yang sifatnya negatif.
    Melalui tokoh imajiner bernama Jayus pak Sawali menceritakan apa akibat dari perbuatan yang tidak bertanggung jawab itu.

    [+]
    Ending yang terbuka yang membiarkan imajinasi pembaca berkelana adalah salah satu sisi positif dari cerpen ini. Selain itu cerpen ini memiliki pesan moral yang bagus

    [-]
    Unsur mistis dalam cerpen ini bisa menjadi pembelajaran negatif karena mengajak pembaca untuk percaya pada tahayul.

  15. Judul Cerpen: Perempuan Bergaun Putih

    Rangkuman:

    Desa di pinggir hutan jati itu kini menjadi mencekam setelah munculnya sosok perempuan bergaun putih yang selalu setia menunggui bukit di bibir lembah kematian.Hawa kematian tercium di setiap sudut desa,sosoknya yang misterius sering menjadi tanda tanya besar bagi penduduk tentang siapakah perempuan itu sebenarnya.
    Kejadian pagi hari,saat gadis berkepang dua merenggang nyawa menjadi awal dari semua kegelisahan warga.Banyak juga asumsi dan pertanyaan bahwa perempuan bergaun putih itu adalah jelmaan dari gadis berkepang dua, tapi tak ada seorangpun yang tahu siapa dia sebenarnya dan kenapa dia ada disana.
    Ketakutan warga semakin menjadi karena sosok perempuan bergaun putih yang muncul di bibir bukit semakin banyak.Seiring dengan bertambahnya sekumpulan gagak yang menebarkan kotoran dan baunya yang sangat menyengat diatap-atap rumah warga.Kini hampir setiap hari terlihat para warga yang pergi meninggalkan desa dan tak tahu akan berakhir sampai kapan.

    Review:

    Cerpen perempuan bergaun putih,adalah salah satu cerpen yang sangat bagus yang dikemas dengan nuansa surelis yang begitu kental.ceritanya sederhana sehingga mudah dipahami.Namun,sangat disayangkan alurnya yang berulang dan dialog para tokohnya juga kurang menyatu dengan seting cerita sehingga menyebabkan hilangnya kesan kewajaran sebuah dialog.

    Catatan:
    (Dialog itu dapat berupa bahasa jawa seluruhnya,sehingga lebih mengesankan desa terpencil)

  16. Sepotong Kepala

    Jasad sukardal ditemukan tanpa kepala. sungguh kejadian yang tidak diduga-duga, untuk apa membunuh orang yang sudah tidak waras. “Benar-benar kejam” geram salah seorang warga. Seluruh warga bersepakat untuk menguburkan meski jasadnya tanpa kepala.
    Sukardal sebelumnya hanya seorang kusir dokar, Keadaan ekonomi sukadal tidak memberikan pilihan selain mengijinkan manirah istrinya, bekerja di luar negeri menjadi TKW. Sukardal terganggu akalnya karena stress berat akibat kabar bahwa manirah, telah hamil dan diperistri orang asing di tanah rantau.
    Manirah pun pulang, namun penduduk kampung tidak memberikan simpati kepada manirah atas meninggalnya suaminya. manirah tidak tahu mengapa penduduk desa berbuat seperti itu pada dirinya. Genap seminggu jasad sukardal yang tanpa kepala itu dikuburkan, salah seorang penduduk menemukan potongan kepala sukardal. manirah pun segera menyahut kepala suaminya itu, menyimpan di kamar. Manirah menjadi sedikit ganjil, jarang keluar rumah semenjak ditemukan kepala suaminya itu. Menurut kabar, manirah mlah sering menimang-nimang kepala itu, menciuminya, bercanda, di dalam kamarnya.

    Review.
    Sebuah potret masyarakat pingiran yang begitu takjub dengan cerita-cerita sukses TKW. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa hanya dengan menjadi TKW langsung bisa mengangkat derajat status di masyarakat.
    Saya melihat sebuah sindiran kepada pemerintah, Sebuah kenyatan bahwa pemerintah tidak bisa memberikan pekerjaan yang layak bagi kehidupan seperti manirah. Bahwa sebenarnya bumi negeri ini sangat kaya dibanding negri-negeri yang lain, namun ironisnya pemerintah malah berharap kepada devisa negara yang mengalir melalui keringat TKW. Seorang kusir dokar seperti sukardal tidak menjadi perhatian yang serius. Bagi pemerintah itu kusir dokar, petani, matun, pengecer rokok, pembuat srabi, warung nasgithel, tidak menjadi hal yang penting daripada penerimaan kucuran devisa dari para TKW.
    Pembawaan cerita yang berangsur ke hal-hal ganjil, diluar nalar manusia, memang menjadi ciri khas dari Pak Sawali. Bagi saya itu tidak masalah karena sebuah ciri khas masing-masing penulis berbeda dan saya sebagai pembaca harus menerima itu. Sebuah cerpen, jika pesan yang disampaikan telah terpahamkan kepada pembacanya setelah membaca, itulah cerpen yang berhasil, sepotong kepala ini salah satunya.
    salam kreatif.

  17. Marto Klawung

    Cerpen ini mengisahkan seorang lelaki penderita gangguan jiwa, Marto Klawung, yang namanya diambil sebagai judul tulisan. Marto Klawung digambarkan menderita Schizophrenia furor, jenis gangguan jiwa yang membuatnya sangat mudah terpancing emosi dan berani membabat siapa saja yang dianggap telah menyakiti dirinya. Dari keseluruhan cerpen yang berada dalam daftar review, karya yang ini menjadi unik karena menggunakan tokoh “Aku” sebagai pencerita, namun “Aku” tak berperan sebagai tokoh utama. Walau demikian—tak sekadar berkisah—tokoh “Aku” merupakan kontributor yang sangat penting dalam mempengaruhi jalan cerita.

    Seperti biasa, karya-karya fiksi Sawali Tuhusetya memiliki sarat muatan intrik sosial dengan latar belakang kehidupan rakyat biasa dan bumbu-bumbu surealis. Menikmati karya sastra serupa ini memang tak bisa lepas dari profil penulisnya sendiri. Sawali Tuhusetya adalah pemerhati sosial yang tulisan dan kritik-kritik tajamnya banyak dipublikasi di media. Karya sastranya dengan demikian pastilah juga penuh muatan kritik.

    Karya ini sangat membumi dengan mengedepankan permasalahan yang cukup lazim ditemui di masyarakat kelas bawah di pedesaan yang terpencil. Pikiran masyarakat masih gampang disusupi prejudice dan prasangka. Perbedaan dianggap keanehan dan abnormalitas sosial, walaupun dalam cerita ini memang digambarkan dengan sangat ekstrim, yakni seorang penderita gangguan jiwa. Dalam konteks yang lebih luas, seorang Marto Klawung bisa jadi apa saja dalam masyarakat di kehidupan nyata; orang-orang yang tertindas karena stigma yang diberikan oleh lingkungan, yang pada tahap tertentu jadi berubah murka dan furor, mambalaskan sakit hatinya dengan berbagai cara yang anarkis dan balik menyengsarakan masyarakat yang membencinya.

    Dengan halus tulisan ini menyindir susahnya menjadi rakyat miskin, digambarkan dengan kondisi Marto Klawung yang tak mungkin dirawat dengan pantas karena ketiadaan biaya. Alih-alih dibawa ke Rumah Sakit, masyarakat lebih memilih memasung si pesakit. Masyarakat juga tidak terlalu percaya bahwa otoritas akan bisa menawarkan bantuan yang berarti.

    Setiap perbuatan akan memberikan balasan setimpal, demikian pesan tulisan ini. Sang tokoh “Aku” yang mempengaruhi masyarakat untuk memasung Marto Klawung pun menerima ganjarannya. Akhir yang sudah bisa ditebak, namun jalan ceritanya sungguh tidak terduga. Bahwa “Aku” akhirnya mendapat sabetan parang bisa terbaca sejak paragraf kedua bagian akhir cerita. Namun bahwa Marto Klawung sempat berubah jinak sesaat sebelumnya sungguh memberi kejutan bagi pembaca. Bagaimana Marto Klawung bisa bebas dari pasungnya, penulis meninggalkan pembaca bertanya-tanya dan berspekulasi sendiri. Bisa jadi Yu Kentring, sang istri yang setia bagaimanapun kondisi suaminya. Pembaca juga dipersilakan berimajinasi bahwa Marto Klawung bebas karena bantuan alam gaib, yang memang sangat kental atmosfirnya dalam karya-karya fiksi Sawali Tuhusetya.

    Kebiadaban masyarakat yang putus asa sekali lagi digambarkan dengan sadis pada akhir cerita, dengan mengorbankan tokoh Marto Klawung demi menyelamatkan desa. Satu lagi fenomena sosial yang disindir oleh penulis: main hakim sendiri. Kali ini Marto Klawung, berikutnya siapa lagi?

  18. Judul: Sepotong Kepala
    Review:
    Cerpen ini menceritakan tekanan batin seorang sukardal yang gila karena mendengar istrinya tengah hamil di negeri orang sana. Suakrdal tidak sanggup menerima bahwa istri yg dia sayangi dan dia anggap setia telah mengkhianatinya. Tetapi pada kenyataannya, Manirah, istri

  19. Selamat malam, Pak Sawali. Salam kenal. Maaf, saya ingin ikut kontes review cerpen. 
    Sebelum dan sesudahnya, saya mohon maaf jika ada hal-hal yang tidak berkenan. Misalnya, dalam hal mengungkapkan kelebihan dan kekurangan cerpen, tentu saja saya ungkapkan secara SUBJEKTIF. Jadi, maaf jika ada hal-hal yang tidak Bapak setujui.
    O iya, awalnya saya membaca cerpen ”Perempuan Bergaun Putih” yang termuat di buku kumcer, setelah itu baru membaca cerpen yang ada di blog Bapak. Nampaknya ada beberapa perbedaan di antara keduanya. Kalau tidak salah, yang di blog hasil editan dari yang di kumcer ya, Pak? Maaf kalau salah. 
    Sebagai catatan, saya benar-benar menikmati mengikuti acara yang Bapak adakan ini. Tanpa sadar sudah nulis dan ngutip banyak sekali (sayang tanggal 16 Januari 2009 sudah hampir berakhir, hehehe). Intinya, terima kasih, karena kontes Bapak, saya telah dapat belajar membuat review. Sekali lagi, saya mohon maaf jika ada hal-hal dalam tulisan saya yang tidak Bapak pahami. Sebab, saya sendiri juga tidak paham, hehehe. Mungkin lagi setengah trance. 
    Selamat membaca, Pak. Semoga tidak bosan, dan semoga bermanfaat. Terima kasih.

    Entahlah, Aku Tak Pernah Paham!
    Sebuah Penafsiran atas Cerpen ”Perempuan Bergaun Putih”
    Karya Sawali Tuhusetya

    A. Rangkuman:
    Tiba-tiba saja, tanpa seorang pun tahu sebabnya, anak perempuan satu-satunya yang sangat disayangi Kang Badrun dan Yu Darmi meninggal. Padahal, gadis kecil berkepang dua itulah yang diharapkan Kang Badrun dan Yu Darmi dapat mengangkat martabat keluarga mereka. Kang Badrun dan Yu Darmi berharap, setelah dewasa gadis itu dapat mengikuti jejak gadis-gadis tetangga mereka yang merantau ke negeri orang, dengan tujuan untuk mengumpulkan bekal hidup dan sepetak tanah sebagai kado yang wajib dipersembahkan kepada orang tuanya sebelum disunting seorang lelaki. Ah, kematian gadis itu membuat Kang Badrun dan Yu Darmi sangat menderita. Namun, ternyata penderitaan mereka belum berakhir. Penderitaan hidup Kang Badrun dan Yu Darmi makin sempurna ketika salah satu dari empat anak lelakinya tertangkap basah mencuri uang milik kepala dusun. Sesuai dengan adat di kampung itu, Kang Badrun sekeluarga pun terpaksa diusir dari kampung kelahiran yang mereka cintai.
    Entah ke mana Kang Badrun dan keluarganya yang bernasib kurang beruntung itu pergi. Yang jelas, semenjak kematian gadis itu dan kepergian keluarga Kang Badrun, kampung mereka bagaikan dipayungi jubah malaikat maut. Hawa busuk kematian tercium di setiap sudut dan pintu-pintu rumah penduduk. Bahkan, sudah hampir tiga purnama ini, para penduduk dikejutkan oleh kehadiran sosok perempuan misterius bergaun putih. Entah siapa dia, tak seorang pun yang tahu. Yang pasti, setiap rembulan menggantung di langit, dia selalu setia menunggui bukit di bibir Lembah Kematian. Dari mulutnya, sesekali mendesis senandung pemujaan rembulan yang perih. Menurut penuturan beberapa penduduk, rambut perempuan itu tergerai memanjang hingga menyentuh lututnya. Sedangkan wajahnya yang rata selalu menengadah ke langit, menatap rembulan yang dipujanya.
    Malam berganti malam. Namun, perempuan bergaun putih itu tak kunjung menghilang. Bahkan, setiap malam berganti, jumlah perempuan bergaun putih yang menengadahkan wajahnya ke langit makin bertambah. Mereka semua mirip, hingga membuat para penduduk tersentak. Dan, para penduduk pun makin tersentak, ketika pada malam berikutnya ribuan burung gagak bertengger di atas bubungan atap rumah dengan meninggalkan kotoran busuk yang menusuk hidung. Setiap malam, jumlah burung gagak itu kian bertambah, hingga membuat beberapa rumah penduduk tak sanggup lagi menampung beban. Akibatnya, belasan rumah roboh. Akhirnya, atas kesepakatan dengan tetua kampung, para penduduk mengungsi ke tempat lain. Tidak jelas, di mana mereka harus tinggal. Yang pasti, hampir setiap hari terlihat rombongan penduduk membawa barang-barang dan ternak melintasi jalan-jalan kampung yang sunyi, dingin, dan berkabut. Entah sampai kapan.

    B. Review:
    Berikut ini kelebihan dan kekurangan cerpen ”Perempuan Bergaun Putih”. Baik secara intrinsik, maupun ekstrinsik. Pokoke campur aduklah. Maklum, kejar deadline! 

    1. Kelebihan
    a. Judul cerpen ini menjadi judul kumpulan cerpen Pak Sawali, tentu karena cerpen ini memiliki keistimewaan (walaupun saya tidak paham apakah memang seistimewa itu).

    b. Berdasarkan proses kreatifnya, memang cukup menarik, seperti yang Bapak tulis di bawah ini.

    Catatan:
    (Cerpen ini kutulis ketika “insomnia”-ku kambuh pada Jumat dini hari, malam ke-2 Muharam 1429 H, ketika koneksi internet tiba-tiba lumpuh, ketika tiba-tiba saja imajinasi liarku teringat seseorang yang terus “menghipnotis” dan merangsang “adrenalin”-ku untuk melahirkan cerpen-cerpen surealis *halah* bernada perih).

    Apakah berarti cerpen ini hanya ditulis dalam satu malam? Maaf, saya tak paham. 

    c. Saat membaca cerpen ini, ada tiga hal yang langsung berkelebat di benak saya. Dalam hal pemilihan gaya bahasa bernuansa kengerian, serta merta mengingatkan saya pada cerpen ”Anjing-anjing Menyerbu Kuburan” karya Kuntowijoyo dan buku serial Wiro Sableng yang berjudul ”Banjir Darah di Tambun Tulang”. Namun, nuansa Wiro Sableng, yang sering saya baca saat masih kecil, lebih kental. Jadi, membaca cerpen ini membuat saya agak bernostalgila hingga senyam-senyum sendiri. 
    Satu hal lainnya, percakapan dua orang tokoh yang sering berakhir dengan pertanyaan tak terjawab, mengingatkan saya pada naskah drama ”Menunggu Godot”. Mungkinkah memang ada hubungannya, Pak?

    d. Secara isi, untunglah cerpen ini masih berhasil memotret penderitaan wong cilik, jadi masih nyambung dengan cerpen-cerpen lain dalam kumcer Perempuan Bergaun Putih. Salah satu isi cerpen ini, saking menderitanya seakan-akan wong cilik susah untuk mempunyai harapan, hingga harus menggantungkan harapan pada anaknya. Bahkan ketika sang anak tersebut meninggal, menjadi putus asa, tak tahu harus berbuat apa. Mungkin itu mencerminkan kehidupan wong cilik di negeri semrawut ini. Hopeless.
    2. Kekurangan
    Maaf, Pak, terus terang saya merasakan beberapa kekurangan dalam cerpen ”Perempuan Bergaun Putih”. Kekurangan tersebut, antara lain, sebagai berikut.

    a. Judul cerpen ini menjadi judul kumcer (kumpulan cerpen) Pak Sawali. Entah dengan alasan apa, saya tidak paham. Dugaan bodon saya, karena cerpen ini termasuk salah satu dari tiga cerpen dokumen pribadi yang terdapat dalam kumcer Perempuan Bergaun Putih. Dugaan lain, mungkin karena judul cerpen ini lebih menarik (menjual) daripada judul 19 cerpen lain yang terdapat dalam kumcer itu. Walaupun sebenarnya, menurut saya, ada juga judul cerpen yang cukup menarik untuk dijadikan sebagai judul kumcer, misalnya ”Sepotong Kepala”, ”Sang Pembunuh”, atau ”Jagal Abilawa”.
    Saya merasa penasaran apa alasan pemilihan judul cerpen ini sebagai judul kumcer, karena cerpen ini, secara keseluruhan, tidak lebih bagus jika dibandingkan cerpen-cerpen yang lain. Misalnya, secara tematik dan amanat, cerpen ini kalah bagus jika dibandingkan dengan cerpen ”Penjara”, ”Kang Sakri dan Perempuan Pemimpi”, atau ”Sang Pembunuh” yang lebih berhasil membingkai potret wong cilik yang teraniaya dan hidup serba salah.
    Sebagai gambaran, kumpulan cerpen pilihan Kompas selalu diberi judul berdasarkan judul cerpen terbaik dalam kumcer tersebut. Apakah dalam kasus kumcer Perempuan Bergaun Putih ini juga demikian?

    b. Hal-hal yang diceritakan dalam cerpen ini bagaikan kumpulan kepingan puzzle yang tidak utuh. Bahkan, terkadang terlalu dipaksakan untuk digabungkan, sehingga nampak semrawut di sana-sini. Misalnya, hubungan antara kematian gadis berkepang dua, kemunculan perempuan bergaun putih, dan kemunculan gerombolan gagak yang membuat penduduk desa mengungsi, gagal untuk saya pahami. Entahlah, apa mungkin karena cerpen ini terlalu surealis, ya?

    c. Ada beberapa pernyataan yang ambigu dalam cerpen ini, yang dapat membuat pembaca terkecoh jika tidak teliti. Misalnya, kutipan berikut ini (dari buku, halaman 13).
    Gadis kecil berkepang dua itulah yang didambakan Kang Badrun dan Yu Darmi dapat mengangkat martabat keluarganya. Mengikuti jejak tetangganya, gadis itu merantau ke negeri orang.
    Pada blog Pak Sawali, kutipan di atas berubah menjadi berikut ini.
    Gadis kecil berkepang dua itulah yang didambakan Kang Badrun dan Yu Darmi dapat mengangkat martabat keluarganya. Mengikuti jejak gadis tetangganya merantau ke negeri orang.
    Pada dua kutipan di atas, terkesan bahwa anak perempuan Kang Badrun sudah merantau ke luar negeri. Padahal, kenyataannya belum, karena ia masih kecil. Tentu pernyataan yang ambigu tersebut dapat mengganggu kenikmatan kita saat membaca.
    d. Dalam hal penulisan kata maupun istilah, ada beberapa hal yang kurang tepat. Misalnya, dalam dua kutipan berikut (dari blog Pak Sawali).
    Sesekali terdengar samar lolong serigala di hutan jati yang jauh seperti memanggil-manggil arwah para penghuni lembah kematian.
    Yang membuat pori-pori mereka makin merinding, hampir setiap malam mereka menyaksikan seorang perempuan bergaun putih yang suka menunggui rembulan di bibir lembah kematian.
    Saya merasa terganggu dengan penulisan lembah kematian. Apa maksudnya? Jika merujuk pada sebuah nama, sebaiknya ditulis Lembah Kematian. Pun jika merujuk pada sebuah lembah yang bernuansa kematian, tetap saja penulisan tersebut terasa mengganggu.
    O iya, saya lebih setuju penulisan Kang dan Yu tidak di-italic, seperti yang ada di blog (yang di buku, hampir di semua cerpen, di-italic). Sebab lema/kata Kang dan Yu sudah ada di KBBI. Jika di-italic untuk menunjukkan berasal dari kosakata bahasa Jawa, mengapa kata Mas tidak di-italic? Lebih baik arti kata-kata tersebut, juga arti kosakata lainnya yang berasal dari bahasa Jawa, ditambahkan sebagai keterangan di akhir cerpen sebagai informasi.
    e. Dalam hal fakta atau kelogisan, ada juga beberapa hal yang mengganggu. Sebagai contoh dalam kutipan berikut (dari blog Pak Sawali).
    Gadis kecil itu anak perempuan Kang Badrun dan Yu Darmi satu-satunya. Empat anaknya yang lain laki-laki yang sulit diharapkan masa depannya. Gadis kecil berkepang dua itulah yang didambakan Kang Badrun dan Yu Darmi dapat mengangkat martabat keluarganya. Mengikuti jejak gadis tetangganya merantau ke negeri orang.

    Dalam kutipan di atas, terkesan anak perempuan lebih berharga daripada anak lelaki. Padahal, yang berkembang selama ini di masyarakat Jawa, orang tua lebih menginginkan anak lelaki daripada anak perempuan. Berdasarkan kutipan di atas, saya menangkap kesan bahwa anak perempuan lebih berharga karena dapat menjadi TKW di luar negeri. Namun, bukankah anak lelaki juga dapat menjadi TKI?
    f. Kutipan dari blog Pak Sawali berikut ini, terutama yang saya bold, mungkin dapat membantu menjawab mengapa cerpen ini terasa memiliki kekurangan. Walaupun sebenarnya, menjadi hal yang menarik juga, karena ending cerpen ini disayembarakan . Piye tho, kurang ning kok menarik? Mbuh ah, aku ra paham. 
    Bagaimanakah nasib para penduduk yang berbondong-bondong melakukan eksodus lantaran tak kuasa lagi menghadapi serbuan ribuan burung gagak yang datang dan pergi secara tak terduga? Di manakah mereka mesti tinggal? Adakah trauma yang tersisa setelah mereka hijrah ke daerah hunian yang baru? Bagaimanakah kondisi kampung terpencil setelah para penduduk melakukan hijrah massal? Bagaimana pula dengan keberadaan perempuan bergaun putih yang misterius itu?
    Saya yakin Sampeyan memiliki daya imajinasi yang lebih liar untuk melanjutkan ending cerpen ini. Jujur saja, imajinasi saya sudah mentok sehingga tak sanggup lagi mengembangkannya menjadi sebuah cerpen yang menghanyutkan, apalagi menjadi sebuah novel.
    Berkaitan dengan itu, tolong saya berikan tambahan ending sebuah paragraf saja, lalu tulis di kolom komentar tulisan ini! Pengembangan ending menjadi hak “prerogatif” Sampeyan sepenuhnya. Saya akan sangat mengapresiasinya. Akan saya pilih 10 paragraf terbaik menurut penilaian saya pribadi dan akan saya berikan hadiah Kumcer langsung ke alamat Sampeyan. Oleh karena itu, cantumkan juga alamat rumah secara lengkap untuk memudahkan pengiriman.

    O iya, ending cerpen ini akhirnya bagaimana, Pak? Sudah saya cari di blog Bapak, tapi belum ketemu. Maklum, mata saya sudah 5 watt. 

    Sebenarnya masih banyak yang ingin saya utarakan, Pak, tapi nanti malah semakin panjang nggak karuan, hehehe. Mungkin lain kali bisa kita sambung, sebab saya juga ingin tahu jawaban dari rangkaian pertanyaan yang saya kemukakan dalam review ini. Terima kasih.
    Btw, kalau salamnya Liverpudlian: YNWA! YOU’LL NEVER WALK ALONE!
    Tapi untuk Pak Sawali, saya ucapkan: Salam kreatif! YNWA! YOU’LL NEVER WRITE ALONE! 

  20. maaf, Pak, review saya langsung copy paste dari Word.

    ternyata hasilnya jadi semrawut, hehehe.

    emoticon smile-nya ( 😉 ) malah jadi kotak kecil.

    terima kasih. YNWA! 😉

  21. KANG PANUT
    Pernah saudara mendengar orang meninggal namun lama kemudian hidup lagi? Jika belum, maka cerpen Sawali dengan judul Kang Panut akan menceritakan kepada saudara-saudara sekalian bagaimana seorang laki-laki tua yang biasa menjadi tukang masak, (atau pembuat minuman bagi warga yang berhajat) mendadak saja meninggal. Berawal dari kematian lelaki inilah, kemudian berkumpul beberapa warga. Di tengah keheningan kematian, mendadak saja pemuda desa melemparkan kata yang tak enak ketika seorang Lurah dating melayat. Pemuda tak mau melepas amarahnya, sampai kemudian keributan muncul, mengalihkan semua warga dari kematian lelaki bernama Kang Panut.

    Belumlah lama berselang, beberapa media menuliskan artikel yang mengklaim bahwa kemunculan beberapa sinetron di layar televisi belakangan ini, tak bisa lepas dari nilai sekedar membual. Sekedar menghadirkan cerita, tak lantas memberikan ruang berfikir terhadap pemirsa. Kenyataan yang terjadi dalam indutsri perfilm-an tersebut, nampaknya terjadi pula pada dunia kepengarangan kita. Membaca cerpen karya pak Sawali, saya merasa risih ketika konflik yang bapak bangun adalah konflik murahan yang boleh dibilang terlalu mudah pembaca mencemoohnya. Perlu diingat, sekalipun cerpen (sebagai karya sastra) adalah sekedar fiksi, namun PEMBACA JUGA MEMPUNYAI NALAR untuk merunut setiap kejadian di dalamnya.

    Dan saya tak mencatat kelebihan, kecuali, konsistensi anda yang tak bisa lepas dari tema kematian, serta segala sesuatu yang berbau kerakyatan. Pada poin yang terakhir ini, bapak bolehlah saya jadikan simbol cerpenis yang mempunyai solidaritas terhadap kehidupan rakyat. Dan satu tahun blok anda, (selain dengan kegembiraan) rasanya perlu sekali dirayakan dengan banyak bereksplorasi.

  22. JAGAL ABILAWA
    Sawali telah kerasukan ruh Sori Siregar, Edi AH Iyubenu, Kuntowijoyo.

    Sebelum anda berbangga dengan kalimat di atas, saya terlanjur menuliskan sebuah catatan sebagai berikut:

    Bahwasanya seorang pembaca cerpen tak ubahnya penumpang angkot. Dan pengaranglah sopir kendaraan tersebut. Selamanya penumpang akan memasrahkan segalanya terhadap sopir. Masalah keselamatan, masalah kapan sampainya, masalah jalan yang terjal, itu urusan sopir. Sebab andalah pemegang kemudi. Namun, seberhak apapun anda, penumpangpun mempunyai kuasa untuk melayangkan protes. Seperti ketika anda tak berhati-hati pada tikungan tajam, atau ketika anda sedikit melamun.

    Maka sebenarnya sah, ketika seorang pengarang menghendaki ending yang mengangetkan. (Bahkan karya yang seperti inilah karya yang diidam-idamkan pembaca) Namun, ketika anda mengerem sebuah kendaraan dengan mendadak, tanpa kapabilitas kendaraan yang mendukung, niscaya fatal juga apa yang akan terjadi.

    Adalah wajar ketika istri ngidam kemudian menghendaki sesuatu yang aneh-aneh. Dan demikianlah yang terjadi terhadap Sumi, istri sang Narator. Maka sejatinya tak ada masalah sepanjang anda membangun konflik yang bermula dari ngidamnya Sumi itu. Dengan plot yang tak sebegitu berat, (mengingatkan saya akan gaya Almarhum Kuntowijoyo) anda berhasil membawa pembaca masuk ke dalam alam imaji anda. Bahkan ketika Sumi melahirkan bayi tanpa bantuan siapapun, itu adalah kewajaran. Bukankah bayi dalam rahimnya adalah bayi yang lain dari yang lain. Namun, dalam fase yang seharusnya genting ini, anda terlihat terlalu cair. Atau lebih kasarnya gagal menjiwai sebuah peristiwa.

    Ketika kau berniat untuk menuls, penggallah kepalamu terlebih dahulu.
    Kalimat di atas saya kutip dari ungkapan Joni Ariadinata. Dan memang betul, ketika kita mengarang cerpen, maka janganlah lebih mendahulukan kegeniusan ide, atau kebijakan tokoh. Sebab penjiwaan lebih wajib ketimbang beberapa perangkat itu.

    Oleh sebab itu, mengapa cerpen Isbedi Setiawan, atau cerpen Juwayriyah Mawardi terasa indah walaupun konflik serta tokoh-tokoh yang dihadirkan tak sehebat atau sebijak Fahri? Dijawab oleh Yanusa Nugroho (dalam pengantar cerpen Isbedi) bahwa terkadang menyajikan perkara yang biasa itu sulit. Sebab dalam cerpen yang bertemakan biasa, satu hal yang lebih dituntut adalah penjiwaan. Penjiwaan yang saya maksud, bisa diartikan semisal penyajian bahasa, atau mengeluarkan beberapa ideologi, mengeluarkan kegelisahan-kegelisahan batin.

    Namun, saya terlanjur menemukan jempol untuk menghadiahi bapak. Sebab, karya bapak adalah karya sastra yang tak mau lari dari konflik. Dan karya yang beginilah yang menurut I Nyoman Dharma Putra sebagai karya yang komplit. (Pengantar Cerpen Terpilih Kompas 2003). Jika seorang Sori Siregar adalah pesulap realita kedalam imajinasi, maka (saya kira) andapun pantas menyandang hal itu.

  23. JAGAL ABILAWA
    Sawali telah kerasukan ruh Sori Siregar, Edi AH Iyubenu, Kuntowijoyo.

    Sebelum anda berbangga dengan kalimat di atas, saya terlanjur menuliskan sebuah catatan sebagai berikut:

    Bahwasanya seorang pembaca cerpen tak ubahnya penumpang angkot. Dan pengaranglah sopir kendaraan tersebut. Selamanya penumpang akan memasrahkan segalanya terhadap sopir. Masalah keselamatan, masalah kapan sampainya, masalah jalan yang terjal, itu urusan sopir. Sebab andalah pemegang kemudi. Namun, seberhak apapun anda, penumpangpun mempunyai kuasa untuk melayangkan protes. Seperti ketika anda tak berhati-hati pada tikungan tajam, atau ketika anda sedikit melamun.

    Maka sebenarnya sah, ketika seorang pengarang menghendaki ending yang mengangetkan. (Bahkan karya yang seperti inilah karya yang diidam-idamkan pembaca) Namun, ketika anda mengerem sebuah kendaraan dengan mendadak, tanpa kapabilitas kendaraan yang mendukung, niscaya fatal juga apa yang akan terjadi.

    Adalah wajar ketika istri ngidam kemudian menghendaki sesuatu yang aneh-aneh. Dan demikianlah yang terjadi terhadap Sumi, istri sang Narator. Maka sejatinya tak ada masalah sepanjang anda membangun konflik yang bermula dari ngidamnya Sumi itu. Dengan plot yang tak sebegitu berat, (mengingatkan saya akan gaya Almarhum Kuntowijoyo) anda berhasil membawa pembaca masuk ke dalam alam imaji anda. Bahkan ketika Sumi melahirkan bayi tanpa bantuan siapapun, itu adalah kewaharan. Bukankah bayi dalam rahimnya adalah bayi yang lain dari yang lain. Namun, dalam fase yang seharusnya genting ini, anda terlihat terlalu cair. Atau lebih kasarnya gagal menjiwai sebuah peristiwa.

    Ketika kau berniat untuk menuls, penggallah kepalamu terlebih dahulu.
    Kalimat di atas saya kutip dari ungkapan Joni Ariadinata. Dan memang betul, ketika kita mengarang cerpen, maka janganlah lebih mendahulukan kegeniusan ide, atau kebijakan tokoh. Sebab penjiwaan lebih wajib ketimbang beberapa perangkat itu.

    Oleh sebab itu, mengapa cerpen Isbedi Setiawan, atau cerpen Juwayriyah Mawardi terasa indah walaupun konflik serta tokoh-tokoh yang dihadirkan tak sehebat atau sebijak Fahri? Dijawab oleh Yanusa Nugroho (dalam pengantar cerpen Isbedi) bahwa terkadang menyajikan perkara yang biasa itu sulit. Sebab dalam cerpen yang bertemakan biasa, satu hal yang lebih dituntut adalah penjiwaan. Penjiwaan yang saya maksud, bisa diartikan semisal penyajian bahasa, atau mengeluarkan beberapa ideologi, mengeluarkan kegelisahan-kegelisahan batin.

    Namun, saya terlanjur menemukan jempol untuk menghadiahi bapak. Sebab, karya bapak adalah karya sastra yang tak mau lari dari konflik. Dan karya yang beginilah yang menurut I Nyoman Dharma Putra sebagai karya yang komplit. (Pengantar Cerpen Terpilih Kompas 2003). Jika seorang Sori Siregar adalah pesulap realita kedalap imajinasi, maka (saya kira) andapun pantas menyandang hal itu.

  24. KANG PANUT
    Pernah saudara mendengar orang meninggal namun lama kemudian hidup lagi? Jika belum, maka cerpen Sawali dengan judul Kang Panut akan menceritakan kepada saudara-saudara sekalian bagaimana seorang laki-laki tua yang biasa menjadi tukang masak, (atau pembuat minuman bagi warga yang berhajat) mendadak saja meninggal. Berawal dari kematian lelaki inilah, kemudian berkumpul beberapa warga. Di tengah keheningan kematian, mendadak saja pemuda desa melemparkan kata yang tak enak ketika seorang Lurah dating melayat. Pemuda tak mau melepas amarahnya, sampai kemudian keributan muncul, mengalihkan semua warga dari kematian lelaki bernama Kang Panut.

    Belumlah lama berselang, beberapa media menuliskan artikel yang mengklaim bahwa kemunculan beberapa sinetron di layar televisi belakangan ini, tak bisa lepas dari nilai sekedar membual. Sekedar menghadirkan cerita, tak lantas memberikan ruang berfikir terhadap pemirsa. Kenyataan yang terjadi dalam indutsri perfilm-an tersebut, nampaknya terjadi pula pada dunia kepengarangan kita. Membaca cerpen karya pak Sawali, saya merasa risih ketika konflik yang bapak bangun adalah konflik murahan yang boleh dibilang terlalu mudah pembaca mencemoohnya. Perlu diingat, sekalipun cerpen (sebagai karya sastra) adalah sekedar fiksi, namun PEMBACA JUGA MEMPUNYAI NALAR untuk merunut setiap kejadian di dalamnya.

    Dan saya tak mencatat kelebihan kecuali, konsistensi anda yang tak bisa lepas dari tema kematian, serta segala sesuatu yang berbau kerakyatan. Pada poin yang terakhir ini, bapak bolehlah saya jadikan simbol cerpenis yang mempunyai solidaritas terhadap kehidupan rakyat. Dan satu tahun blok anda, (selain dengan kegembiraan) rasanya perlu sekali dirayakan dengan banyak bereksplorasi.

  25. Ping-balik: pendidikan dunia

Comments are closed.