Pasca-Sertifikasi: Gaya Hidup Guru Berubah?

(Catatan Penutup: Tulisan ini merupakan catatan terakhir saya menjelang akhir tahun 2011 tentang isu pendidikan mutakhir, yakni Ujian Nasional, KTSP, dan Sertifikasi Guru. Semua opini yang tertuang dalam tiga seri tulisan “reflektif” tersebut murni opini saya pribadi, tidak ada kaitannya dengan institusi atau organisasi apa pun. Kalau ada kesalahan, semata-mata itu murni kekhilafan saya pribadi yang memiliki banyak keterbatasan. Semoga catatan akhir tahun ini bisa dijadikan sebagai refleksi diri, khususnya saya pribadi, untuk menyongsong tahun baru 2012 agar dunia pendidikan di negeri ini makin berkembang secara dinamis sesuai dengan tuntutan zamannya. Nah, selamat menyongsong tahun baru 2012).

Catatan Pendidikan Akhir Tahun (Bagian III)

plpgJudul tulisan ini terilhami oleh salah satu tajuk rencana yang dimuat di salah satu koran Jawa Tengah. Intinya, tajuk tersebut menyoroti gaya hidup guru yang berubah pasca-sertifikasi pendidik. Mereka punya rumah dan mobil baru. Jadi hedonis dan konsumtif. Guru mendadak menjadi “orang kaya baru”. Sungguh jauh berbeda dengan profil guru ala “Oemar Bakri” sebagaimana tersirat dalam lirik Iwan Fals yang tersohor itu.

Benarkah memang demikian? Harus diakui, tingkat kesejahteraan guru yang sudah menikmati tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok memang membaik. Setidaknya, mereka sudah tidak lagi direpotkan urusan dapur. Namun, mampu beli rumah dan mobil baru? Agaknya terlalu berlebihan kalau tunjangan profesi guru dikaitkan dengan “stigma” semacam itu. Tanpa mengabaikan rasa syukur, gambaran kemakmuran guru yang demikian menghebohkan bisa jadi akibat lamanya guru menanggung beban hidup. Yang selama ini bergaji pas-pasan –sehingga mesti nyambi jadi tukang ojek atau penjual rokok ketengan untuk menyambung hidup– tiba-tiba “dimanjakan” dengan tunjangan profesi. Barangkali bayangan imajiner semacam itu yang menggiring opini publik bahwa guru masa kini hidup “kemloprah” dan kaya raya.

Salahkah publik menilai demikian? Saya kira tidak! Itu murni hak publik untuk menilainya, meski realitas yang terjadi tidak demikian. Taruhlah kalau sudah jauh lebih banyak guru yang bisa beli rumah atau mobil baru, perlu juga dipertanyakan, benarkah “kekayaan” yang mereka peroleh semata-mata dari tunjangan profesi yang didapatnya? Masih butuh dibuktikan, bukan?

Ya, ya, sebagai sosok yang berada di garda terdepan dalam dalam dunia pendidikan, kehadiran guru memang tak pernah luput dari sentilan dan kritik. Di mata sebagian besar masyarakat kita, guru diprofilkan sebagai sosok “paripurna”; rendah hati, bersahaja, dan sarat keteladanan. Guru mesti steril dari cacat dan cela sebagaimana tersirat dalam adagium “digugu lan ditiru” (dipercaya dan diteladani). Alih-alih berperilaku buruk, salah ngomong saja bisa jadi masalah. “Guru kok ngomongnya gitu, gimana nanti murid-muridnya?” Begitulah respon yang muncul ketika ada guru yang pernah sedikit salah ngomong. Dalam pemahaman demikian, guru digambarkan sebagai sosok yang tulus dan total dalam memberikan pengabdian, tanpa pamrih, berkepribadian pinunjul, dan tak banyak menuntut. Sebagian besar usia produktifnya dimaksimalkan untuk melayani kepentingan masa depan anak-anak bangsa. Bertahun-tahun lamanya guru senantiasa digambarkan sebagai sosok “pahlawan tanpa tanda jasa”. Sebuah ekspektasi yang tak pernah luntur meski zaman kini sudah banyak berubah.

Namun, ada yang lupa! Seiring dengan gerak dan dinamika perubahan zaman, guru juga manusia. Mereka punya keluarga; butuh hidup layak dengan jaminan penghasilan dan kesejahteraan hidup dari profesinya. Mereka tak selamanya bisa hidup bagaikan seorang resi tempo “doeloe” yang sudah mampu menjaga jarak dengan gebyar keduniawian. Lebih daripada itu, guru juga butuh “meng-upgrade” kompetensi diri. Mereka butuh koran, bahkan internet, untuk mengakses informasi-informasi kekinian. Mereka juga butuh buku-buku baru untuk memenuhi naluri “haus ilmu” yang ada dalam dirinya. Belum lagi, keperluan perangkat teknologi semacam laptop untuk keperluan inovasi pembelajaran agar anak-anak tak kena sidrom kejenuhan di kelas dan berbagai tuntutan kebutuhan “manusiawi” lainnya. Sungguh masuk akal kalau guru memiliki penghasilan profesi yang layak agar benar-benar bisa tampil optimal dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka tak perlu lagi direpotkan dengan urusan ekonomi keluarga, sehingga sebagian besar waktunya bisa dimanfaatkan secara total untuk kepentingan peserta didiknya.

Dalam konteks demikian, sesungguhnya sangat wajar dan masuk akal apabila guru mendapatkan tunjangan profesi sesuai dengan beratnya beban tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Dengan penghasilan yang layak diharapkan kinerja dan profesionalisme guru juga kian meningkat. Mereka bisa fokus dan total dalam memberikan bekal keilmuan secara optimal kepada peserta didiknya. Meskipun demikian, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap realitas yang terjadi bahwa belum semua guru penerima tunjangan profesi benar-benar menunjukkan peningkatan kinerja seperti yang diharapkan.

Sebenarnya riskan juga mengaitkan antara tunjangan profesi dan kinerja guru. Jumlah guru di negeri ini sekitar 2,7 juta jiwa yang tersebar di berbagai pelosok tanah air. Kompetensi mereka juga amat beragam. Distribusinya tidak merata. Kompetensi guru desa-kota juga masih amat timpang. Untuk bersama-sama melakukan sebuah perubahan jelas butuh proses dan waktu. Dampak tunjangan profesi terhadap kinerja guru tentu tidak bisa serta-merta terjadi. Apalagi, diisukan banyak terjadi kasus manipulasi portofolio guru. Ini artinya, ada yang salah dalam uji sertifikasi itu sendiri. Kalau guru yang sudah lulus sertifikasi, lantas kinerjanya dinilai tetap stagnan dan “jalan di tempat”, seharusnya proses uji sertifikasi itu sendiri yang perlu diperbaiki.

Jangan sampai terjadi, guru yang sudah dinyatakan lulus sertifikasi masih diragukan kinerjanya akibat proses uji sertifikasi yang dianggap kurang sahih. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga suasana psikologis guru tersertifikasi agar tetap nyaman berkarya untuk bangsa sehingga bisa mengoptimalkan kinerjanya. Kalau mereka masih terus diusik, apalagi “diancam-ancam” akan dicabut tunjangan profesinya dengan alasan yang tidak jelas, kapan dunia pendidikan kita bisa terlepas dari kondisi stagnan dan “status-quo”? ***

48 Comments

  1. Hm hm hm … yak-yak-yak … saya setuju …. gak komen banyak ah…. lha wong setuju kok, mau komen apa lagi. Mana kemaren-kemaren udah dua kali kebablasen komennya, terlalu panjang …. Yuk, saudara “GURU”-ku, maju terus! Tapi ngomong-ngomong ketika kemaren-kemaren udah cair BLT-nya, Pak Sawali borong apa aja, dong?

    1. untuk komentar pertama di blog ini bukan hal yang sulit kok, pak. apa memang komentator pertama sering diidentikkan dengan “cari muka”. duh, jangan2 nanti malah ndak ada yang mau komentar dong, pak, hehe …

  2. Saya juga pengajar, tapi penghasilan utama bukan dari mengajar tapi dari internet. Betul kata Pak Sawali, sedikit salah bicara atau update status bisa jadi fatal :d

  3. Benar Pak Sawali, hal yang baru di negeri ini memang selalu menjadi bahan pembicaraan publik, apalagi guru yang memang sejak dahulu dianggap sosok yang mulia, yang jauh dari hingar-bingar duniawi, yang lembut, tidak pernah protes, selalu siap memberi pelayanan ikhlas, menerima dengan senyum lugu sekalipun tidak ada apa-apanya. Waduhhh, ketika guru dicurahi “berkat” finansial lewat sertifikasi agar semakin eksis mendidik anak-anak bangsa ini banyak direcoki. Benar, kalau begitu kapan ya pendidikan di negeri ini akan baik…

  4. wahh.. ternyata bukan hape aja yg pake di upgrade… guru juga yah 😀

    iyah sih pak dhe… yg terpenting bukan ijasah atau nilai2nya .. yg terpenting penerapannya…

    🙂

  5. Sosok guru memang sama dengan ustadz pak, karena ustadz iakni guru juga. Di duniwa ini pun hanya ada 2 profesi:
    1. Profesi guru
    2. Profesi lainnya.
    Setahu saya, model sertifikasi itu mirip dengan Indonesia dan IMF pak. Guru sebagai Indonesia, Tunser sebagai IMF. Kalawo di IMF itu namanya pinjaman bersyarat, kalawo di sertifikasi, namanya tunjangan bersyarat. Ibarat lain, orang tuwa ngasih uwang ama anak. Nak, kamu saya kasih uwang, tetapi dengan syarat …, jadi pastilah ada kesan “Di/ter/me” tekan 😆

  6. Ah, saya kira kalau hanya karena sertifikasi kemudian mampu membeli rumah dan mobil, itu terlalu berlebihan. Terlalu mengada-ada. Kita berbaik sangka saja, siapa tahu para guru yang kemudian bisa memiliki rumah dan mobil itu sudah lama menabung dan baru kesampaian membeli rumah dan mobil setelah sertifikasi.

  7. Seharusnya dengan adanya sertifikasi guru akan lebih profesional dalam bidang yang digelutinya. Ngomong-ngomong masalah sertifikasi guru, sebenarnya saya mendapatkan jatah sertifikasi di smk di daerah saya akan tetapi selalu saya tunda-sudah dua kali saya limpahkan ke orang lain karena saya saat itu dalam proses pelimpahan ke perguruan tinggi, dan akhirnya saya lepaskan begitu saja sertifikasiku di smk karena saya sekarang sudah keluar dari smk dan menunggu giliran sertifikasi di PT yang belum tahu kapan.

  8. mengutip tulisan Bp, “..Jangan sampai terjadi, guru yang sudah dinyatakan lulus sertifikasi masih diragukan kinerjanya..” , mungkin harus dilakukan evaluasi ulang atas ini, karena setelah program sertifikasi seharusnya dilanjutkan dengan program kompetensi, untuk lebih memperjelas dampak kebijakan sertifikasi apakah benar benar membuat kualitas siswa didik ikut meningkat, karena tujuan utama nya tentu demi peningkatan kualitas pendidikan Indonesia

  9. Saya masih ingat waktu kecil, pesan dari ayah saya yang seorang guru. Nanti kalo sudah besarjangan jadiguru, karena hidupnya susah. Mending usaha saja. Tapi sekarang Ayah saya bersyukur menjadi guru, karena ada sertifikasi ini. Akhirnya….saya pun mengikuti jejaknya menjadi guru, walaupun sebetulnya boleh dibilang tidak sengaja jadi guru :-p

  10. Tujuan sertifikasi saya rasa adalah untuk meningkatkan kinerja guru selain apresiasi untuk guru. Karena itu tujuan ini harus segera dilakukan oleh semua guru, agar sertifikasi tetap berjalan terus alias tidak dicabut.Mari kita buktikan bahwa guru Indonesia memang patut untuk diberikan sertifikat profesional, agar nada miring soal “orang kaya baru” bisa pupus karena bukti kualitas.

  11. Tambah penghasilan dari sertifikasi tapi mencari tambahan penghasilan lain tetep jalan, samakah sertifikasi dengan uang, jika suatu saat tujnagan sertifikasi di batalkan bagaimana ya nasib guru sudah lebih sejahtera?

  12. Tanpa uji sertifikasipun, kalau para guru mempersembahkan hidupnya secara total dengan kemauan mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, produk pendidikan akan dapat dipertanggungjawabkan pada kurun waktu kedepan. Dan yakinlah, ketika hal itu dilakukan dengan formulasi hati yang selesai – meminjam bahasanya Emha –, barakah Allah akan berseliweran menaungi kehidupan kita semua. Masih percayakah para guru dengan manajemen ’barakah’ ditengah hiruk pikuk zaman yang serba mengedepankan rasionalitas seperti sekarang ini. …

  13. Salam Hormat Bu Guru.. 🙂
    Maaf Bu, boleh saya bertanya tentang satu tajuk rencana yang dimuat di salah satu koran Jawa Tengah itu apa dan edisi kapan ya bu?
    Saya mahasiswa tingkat akhir sdg tertarik meneliti tentang gaya hidup guru pasca sertifikasi guru
    Namun saya terkendala kekurangan referensi yg membahas fenomena ini bu
    Terimakasih banyak..
    Semoga Guru semakin sejahtera untuk Indonesia yg Sejahtera.. 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *