Catatan Pendidikan Akhir Tahun (Bagian II)
Selain persoalan UN yang masih silang-sengkarut, kurikulum juga menjadi perangkat pendidikan yang tak kalah memicu kontroversi. Sejak Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diluncurkan oleh Mendiknas No. 22, 23, dan 24 Tahun 2006, hingga kini dinilai masih dalam tataran konsep. Implementasinya masih jauh dari harapan. Banyaknya “kurikulum tersembunyi” yang harus diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan kita juga menimbulkan masalah tersendiri. Sebut saja, pendidikan karakter, nasionalisme, kesetaraan gender, atau tata tertib lalu lintas. Ibarat kereta, laju kurikulum pendidikan kita agak tersendat akibat banyaknya “penumpang titipan” sebelum masuk stasiun.
Dari sisi konsep, KTSP yang berbasis kompetensi sesungguhnya jauh lebih baik daripada kurikulum 1994 yang disempurnakan melalui suplemen tahun 1997. KTSP yang merupakan buah reformasi –seiring dengan digulirkannya otonomi pendidikan– didesain untuk memberikan kemandirian dan kebebasan kepada setiap satuan pendidikan (baca: sekolah) agar mampu berkreasi menyusun kurikulum yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan sekolah. Hal ini amat berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya yang “siap pakai”. Guru dan praktisi pendidikan hanya menjalankan kurikulum yang sudah didesain oleh orang pusat. Dengan kata lain, pada kurikulum sebelumnya, sekolah dan guru tak lebih dari sebuah robot yang dikontrol melalui remote komando yang dikendalikan oleh orang-orang pusat. Nah, dalam KTSP, sekolah dan guru dituntut bersikap kreatif untuk mendesain kurikulum sekolah yang sesuai dengan dinamika, kebutuhan, dan kondisi lokal.
Agaknya situasi transisi semacam itu menimbulkan kondisi “gegar budaya” dalam dunia persekolahan kita; dari situasi yang terbiasa taat komando, lantas dituntut kreatif untuk menyusun kurikulum sekolah sendiri. Dalam situasi transisi seperti itu, tidak sedikit sekolah yang “kelimpungan” mendesain kurikulum sendiri sehingga harus repot-repot mengadopsi kurikulum dari sekolah lain yang sudah lebih dulu menyusunnya. Model kopi-paste pun menjadi budaya baru dalam penyusunan kurikulum sekolah. Yang lebih mencemaskan, model kopi-pastenya “sungguh terlalu” sampai-sampai identitas sekolah “asal” tidak sempat di-delete dan diganti dengan identitas sekolahnya sendiri. Hal itu terungkap ketika dalam sebuah monitoring pelaksanaan kurikulum di sekolah A. Ketika tim monitoring melakukan pengecekan, ternyata footer dokumen I kurikulum yang dijadikan sebagai bukti fisik itu masih berlabelkan sekolah B.
Tidak berlebihan jika ada yang “memplesetkan” singkatan KTSP menjadi Kurikulum Tetap Sama Produknya. KTSP yang seharusnya menggambarkan karakteristik dan kultur sekolah justru terjadi duplikasi dokumen secara berjamaah. Kurikulum satu sekolah dengan sekolah lain sama sekali tidak ada perbedaannya. Padahal, mestinya kurikulum disusun melalui proses analisis konteks oleh tim pengembang kurikulum sekolah dengan melibatkan pemangku kepentingan yang ada, sehingga kurikulum yang dirancang benar-benar menggambarkan situasi, kondisi, dan kebutuhan sekolah secara nyata.
Dokumen II KTSP tentang silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pun mengalami proses yang tidak jauh berbeda. Kopi-paste perangkat pembelajaran yang seharusnya sekadar dijadikan model, justru dikopi habis-habisan, termasuk tanda titik dan komanya. Ketika implementasi KTSP memasuki tahun pertama (sekitar tahun 2007), model kopi-paste agaknya masih bisa dimaklumi. Namun, ketika sudah memasuki tahun ketiga dan keempat model kopi-paste masih terus berlangsung, makin terbukti bahwa KTSP belum bisa membumi dalam dunia persekolahan kita. Idealnya, model kopi-paste alias tahap adopsi dilakukan pada tahun pertama dan kedua, tahun ketiga sudah masuk pada tahap adaptasi (KTSP sudah disesuaikan dengan sikon dan kebutuhan sekolah meskipun masih “berbau” kurikulum sekolah lain), sedangkan memasuki tahun keempat, KTSP benar-benar sudah memasuki tahap mandiri (KTSP murni disusun secara mandiri berdasar sikon dan kebutuhan sekolah).
Tahun 2012 sudah membentang di depan mata. Itu artinya, implementasi KTSP sudah memasuki tahun ke-5. Bahkan, kisi-kisi soal Ujian Nasional Tahun 2012 benar-benar sudah menggunakan Standar Isi (KTSP) dan tidak lagi menggunakan model irisan seperti UN tahun-tahun sebelumnya. Jika implementasi KTSP masih dalam tahap adopsi, masih terus meraba-raba, dan mencari-cari bentuk, kapan peserta didik kita menjadi cerdas dan berkarakter? Akan menjadi sebuah ironi apabila KTSP yang sudah saatnya memasuki siklus revisi lima tahunan, justru masih berjalan stagnan. Yang lebih ironis, KTSP sudah setengah windu diimplementasikan, tetapi upaya penyeragaman daya nalar dan pola pikir peserta didik melalui Ujian Nasional masih terus berlanjut. Duh, quo-vadis dunia pendidikan kita? ***
waaaaa bagus sekali….….
semua postingan babak ini sangat bagus untuk dibaca….
menarik sekali………..
alangkah baiknya kita saling berbagi informasi lainnya,,kunjungi dong web kami http://ict.unsri.ac.id untuk saling mengenal informasi…
terima kasih.