Hidup di Negeri yang Memberhalakan Angka-Angka

(Catatan Pembuka: Dalam paruh dasawarsa terakhir ini setidaknya ada tiga isu utama yang mencuat dalam jagad pendidikan kita, yakni Ujian Nasional (UN), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan Sertifikasi Pendidik. Sebagai bagian dari upaya refleksi diri, menjelang akhir tahun 2011 ini saya mencoba untuk memberikan beberapa catatan khusus tentang tiga isu utama tersebut ke dalam tiga edisi secara berturut-turut. Nah, Selamat menyongsong Tahun Baru!)

Catatan Pendidikan Akhir Tahun (Bagian I)

Ujian sejatinya merupakan tembok terakhir yang mesti dilalui oleh siapa pun yang tengah menempuh pendidikan dan latihan tertentu untuk meraih predikat “lulus” dari sebuah “kawah candradimuka”. Lulus bisa dimaknai sebagai standar kemampuan “alumni” sebuah institusi dalam menguasai sejumlah kompetensi yang telah dipersyaratkan, baik dalam ranah pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), maupun sikap (afektif). Setelah dinyatakan berhasil lolos dari “kawah candradimuka”, para alumni diharapkan mampu mengimplementasikan dan mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya agar mampu memberikan kemaslahatan hidup, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Ibarat seorang “cantrik” dalam sebuah institusi “pertapaan”, setelah lulus mereka diwajibkan “turun gunung” untuk melakukan pengembaraan hidup di tengah keramaian duniawi. Mereka mesti “tapa ngrame” di tengah tantangan hidup yang sarat godaan dan tantangan.

Kalau boleh dianalogikan, peserta didik dalam sebuah institusi pendidikan idealnya juga mesti mengikuti alur dinamika semacam itu. Secara bertahap, mereka harus lolos dari tembok terakhir sebelum berlanjut ke jenjang berikutnya. Setiap memasuki jenjang pendidikan, peserta harus lolos dari tempaan “kawah candradimuka”. Begitulah “siklus” yang dialami oleh setiap peserta didik. Namun, apa yang terjadi jika “kawah candradimuka” yang seharusnya benar-benar mampu menguji ketangguhan seorang peserta didik dipertanyakan banyak kalangan? Apa pula yang akan terjadi kalau ranah kognitif, psikomotor, dan afektif yang mestinya dikuasai seorang peserta didik secara “paripurna” justru terdistorsi oleh sebuah kebijakan yang dinilai banyak kalangan tidak edukatif dan mencerdaskan?

Sesungguhnya negeri kita sudah memiliki pengalaman yang cukup matang dalam menggelar ujian akhir. Namanya pun berubah-ubah, mulai ujian negara, Ebtanas, hingga ujian nasional. Terlepas apa pun namanya, yang pasti muaranya sama, yakni untuk menghasilkan lulusan yang sanggup menghadapi tantangan zaman. Namun, jika dirunut dari sisi sejarah, mutu ujian yang diselenggarakan oleh pemerintah justru mengalami “set-back”. Mutu lulusan sekolah kita dinilai mengalami kemunduran. Mereka makin terasing dan tercerabut dari akar sosio-kulturalnya, sehingga gagal menghadapi tantangan zaman dengan penuh kearifan dan “wisdom”. Setelah terjun dan “tapa ngrame” ke tengah-tengah kehidupan masyarakat, mereka bukannya mampu memberikan kemaslahatan hidup buat sesama, melainkan justru dianggap menjadi “biang kerok” lahirnya sejumlah perilaku anomali sosial, semacam korupsi, suap, manipulasi anggaran, persekongkolan busuk, mafia hukum, dan semacamnya. Mungkin tidak berlebihan kalau ada yang mengatakan bahwa institusi pendidikan kita bukannya melahirkan manusia yang cerdas, jujur, dan rendah hati, melainkan justru telah melahirkan manusia-manusia hipokrit, bebal, dan keras kepala.

Memang terlalu naif kalau menimpakan semua kesalahan dan silang-sengkarutnya persoalan di negeri ini semata-mata akibat kegagalan dunia pendidikan kita. Ada banyak faktor yang turut bermain di dalamnya. Selain makin permisifnya sikap masyarakat kita terhadap berbagai perilaku anomali sosial, negeri kita juga tengah mengalami krisis keteladanan nasional secara kasat mata. Kaum elite kita terlalu lemah dan tidak responsif terhadap berbagai persoalan yang muncul. Mereka justru lebih suka mengalihkan isu dan bermain retorika ketimbang menyelesaikan masalah secara cepat, cerdas, dan terukur.

Meskipun demikian, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa dari sekian faktor yang paling berpengaruh terhadap silang-sengkarutnya persoalan di negeri ini adalah sistem pendidikan kita. Ibarat sungai, dunia pendidikan adalah hulu yang airnya akan terus mengalir hingga ke hilir yang dampaknya akan terasa hingga ke ceruk-ceruk kehidupan yang paling dalam sekalipun. Jika air dari hulu sudah tereduksi limbah dan polusi, jelas mutu air yang mengalir ke hilir makin belepotan borok dan penyakit.

Kita lihat saja setiap kali rutinitas tahunan yang bernama Ujian Nasional (UN) itu berlangsung. Selalu saja kita dibuat “sesak napas” dan mengelus dada menyaksikan berbagai modus kecurangan yang terjadi. Entah itu mencontek massal, bocornya soal dan kunci jawaban, hingga manipulasi nilai. Namun, setiap kali kasus itu mencuat ke permukaan, (nyaris) tak pernah ada tindakan hukum untuk menjerat sang pelaku. Para birokrat pendidikan kita, secara berlapis jutru terkesan melindungi para pelaku kecurangan lantaran dianggap telah “berjasa” dalam mendongkrak angka kelulusan. Yang menyedihkan, ketika ada seorang peserta didik yang mencoba untuk berbuat jujur, mereka justru diberi stigma sebagai siswa yang “sok suci” dan terkucilkan dari tengah-tengah kehidupan masyarakat. Fenomena ini makin membuktikan betapa mengguritanya perilaku kecurangan itu dalam sistem UN kita. Repotnya lagi, tak ada tindakan hukum yang bisa memberikan “efek jera” terhadap sang pelaku, sehingga mereka bebas beraksi setiap menjelang UN tiba.

Memberhalakan Angka
Selain kecurangan “akut” yang sudah demikian lama menggurita dalam UN, kita juga dicemaskan dengan “mitos pengukuhan” yang memosisikan hasil UN sebagai parameter utama dalam mengukur mutu pendidikan. Lihat saja pola kerja akreditasi sekolah, promosi sekolah menuju status Sekolah Standar Nasional (SSN) atau Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), angka dan nilai UN selalu menjadi prioritas utama! Akibatnya, setiap sekolah, dengan berbagai macam cara berupaya melembagakan pendongkrakan nilai UN untuk meningkatkan citra dan marwah sekolah. Menjelang UN tiba, peserta didik di-drill soal-soal UN –bagaikan melatih binatang dalam sirkus– agar menjadi penghafal kelas wahid. Harapannya jelas, agar angka UN terdongkrak dan dengan demikian gengsi sekolah dan pejabat terkait terangkat. Inilah repotnya hidup di sebuah negeri yang memberhalakan angka.

Boleh jadi, model pendidikan seperti inilah yang pernah dikritik oleh pemikir asal Brasil, Paulo Freire, sebagai pendidikan gaya bank. Pengalamannya bekerja selama bertahun-tahun di tengah- masyarakat desa yang miskin dan tertindas, membuat Freire menerapkan pendidikan “hadap-masalah” agar subjek didik memiliki kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas yang terjadi. Pada model pendidikan gaya bank, guru tidak memberikan pengertian kepada peserta didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Peserta didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya peserta didik yang disimpan dalam kebisuan sebab miskinnya daya cipta. Dalam konteks demikian, pendidikan gaya bank hanyalah menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap kaum bisu dan tertindas. Oleh karena itu, untuk melakukan sebuah perubahan, Freire menawarkan alternatif pendidikan “hadap-masalah” yang bertolak dari pemahamannya tentang manusia. Ia menganggap bahwa manusia merupakan bagian dari realitas yang harus dihadapkan pada peserta didik agar muncul kesadaran akan realitas itu. Hal ini berlandas tumpu pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi, dan politik.

UN agaknya tidak bisa menghindar dari stigma sebagai manifestasi pendidikan gaya bank itu. Para peserta didik tidak lagi diajak untuk berpikir kritis dan berproses secara kreatif, tetapi dikarantina dalam pasungan kebijakan birokrasi yang amat tidak menguntungkan buat masa depan peserta didik. Mereka hanya didesain untuk bisa bermain spekulasi dengan menghafalkan ciri dan karakter soal berbentuk pilihan ganda yang “mengharamkan” jawaban alternatif. Pikiran anak-anak masa depan negeri ini telah diseragamkan, linear, dan menabukan pola berpikir multidimensi. Guru yang berada di garda depan pun tak bisa menghindar dari kungkungan kebijakan dan pencitraan naif semacam itu.

Saya bukannya anti-UN, apalagi ini juga menjadi amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pendidikan kita memang butuh standar ujian dengan tolok ukur yang jelas agar bisa memotret kompetensi siswa secara nasional untuk meningkatkan daya saing dan kompetisi global. Namun, UN dengan sistem yang amat rentan terhadap berbagai modus kecurangan dan menjadi media “mitos pengukuhan” yang memosisikan hasil dan angka UN sebagai parameter mutu pendidikan, hanya akan menjadikan peserta didik kehilangan daya kritis dan daya nalar hingga akhirnya mereka benar-benar kehilangan karakter sebagai bagian warga bangsa yang jujur, luhur, dan bermartabat. ***

No Comments

  1. nah ini pak guru, saya mulai degdegan. mbarep saya sebentar lagi harus UN.
    rasa-rasanya, jaman saya Ebtanas dulu ngga sengeri sekarang ya. sekarang ini sekolah-sekolah (termasuk di dalamnya adalah guru, murid dan orangtua murid) jadi paranoid. anak-anak kelas akhir diteter pelajaran tambahan di sekolah. setelah itu masih ikut bimbingan belajar, atau mendatangkan guru ke rumah. yang lebih aneh lagi (menurut saya) sampai sampai sekolah menggelar istighosah demi kelulusan para siswa. rrrr… bukan mau bilang ngga perlu berdoa, tapi kok ya sampai segitunya… itu sih masih usaha positif. nah yang sampai tega curang demi angka itu yang makin bikin prihatin..
    sst… tapi to pak, anak saya ngga saya suruh les tambahan. kasihan nanti stress, di sekolah sudah tiap hari ulangan dan pe er segunung…

  2. Judulnya sangat luar biasa mantab pak, semoga yang terkait didalamnya sadar akan dampak dari “budak nilai” yang justru menciptakan orang pandai tapi miskin kemampuan/pengembangan diri. Semoga 2012 menjadi lebih baik bagi pendidikan bangsa ini. Amin

    1. apalagi tahun ini tahun kedua yang nantinya nilai UN dan US akan diperhitungkan,, akan tetapi dimana siswa yang diberikan tambahan pelajaran atau les di sekolah terkadang menyepelekan… menganggap remeh,

  3. Fakta itu tampaknya sudah menjadi tradisi, yang barangkali sulit untuk diubah, ya Pak. Sebab, terkait dengan UN demikian banyak orang terlibat di dalamnya, dari tingkat pusat sampai daerah, yang sama-sama mencari “keuntungan”, agar tetap dapat prestise diri.

  4. setiap membaca postingan pak Sawali saya selalu harus merenung panjang, entah ingin bergembira ataukah menangis..
    entah macam apa generasi Indonesia ke depan nanti denngan sistemp pendikan macam begini 🙁

  5. dulu pas mau UN. saya malah ditakut-takutin setakut-takutnya sama guru..
    katanya bakal ada CCTV-lah.. polisi penjaga tiap kelas-lah.. dll..

    saya cuman nanya, saya ini murid yang mau UN atau narapidana sih.. 🙁

  6. Hahaha… setuju Pak. Kita ini sudah memberhalakan angka. Bahkan dunia pendidikan pun sudah ketularan. Mestinya namanya diganti saja deh, jangan pendidikan. Kasihan kata ‘pendidikan’ itu sendiri kalau hanya dinilai dengan angka. Mungkin bisa diganti dengan kata lain, misalnya pengajaran. Sekolah kerjanya ngajarin. Kalau yang diajarin nggak bisa ya sudah, nggak lulus…

    Berat kalau pendidikan. Dididik untuk apa? Apa untuk menghasilkan nilai tinggi doang? Saya pribadi, misalnya, mendidik anak agar ia bisa menjadi dirinya sendiri dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Meskipun masih kecil, saya ajari dia untuk dua hal itu. Soal angka di rapor yang kecil, saya nggak terlalu pusing. Manusia itu kan punya kelebihan dan kekurangan. Kelebihan yang harus dipupuk dan dikembangkan, kekurangan ya nggak usah dipikirin, toh nanti akan tertutup oleh kelebihan. Lagipula seabrek mata pelajaran di sekolah juga dalam kehidupan ini belum tentu kepakai semua kok. Kita yang sudah pada merasakan kerasnya dunia tentu sadar bahwa banyak mata pelajaran di sekolah yang sebenarnya tidak selayaknya dipaksakan untuk diajarkan kepada semua murid. Ajarkan peserta didik untuk mengenali dirinya sendiri, mengetahui kelebihannya, bakatnya dan didorong untuk semakin memperkaya kelebihan dan mengembangkan bakatnya. Kelebihan-kelebihan dia nanti yang akan berguna buat masa depannya, bukan kekurangan-kekurangan yang bisa jadi malah membuat rapotnya mendapat nilai jelek.

    Saya menyekolahkan anak agar ia punya ijazah sekolah formal karena di negeri ini ijazah masih sangat berarti. Walaupun, bisa jadi di masa dewasanya nanti ijazah itu juga nggak berguna buat dia.

    1. itulah yang terjadi dalam dunia pendidikan kita, mas arif. nilai dan angka menjadi proritas utama. repotnya, masyarakat luas pun mengamininya. akibatnya? anak2 “dipaksa” utk memperoleh nilai yang tinggi, entah bagaimana pun caranya. kapan mind-set seperti ini bisa berubah? mas arif benar sekali, setiap anak [aa dasarnya memiliki talenta yang berbeda2, tapi ironisnya mereka dirancang untuk diseragamkan.

  7. Lha, ya ini yang tak maksudkan Pak! – Waduh, jane inyong kemaren dah komen yang karepe kalo udah denger yang namanya UN aja rasanya ati ini udah mblegidig, mati rasa, apriori, sebel, wis pokoke sejenisnya. Jadi – kok mau komen – mau baca aja postingan yang model begitu belom-belom rasanya udah neg.

    Saya pribadi mungkin samalah sama sampeyan – bukannya anti pati mentah-mentah sama UNnya sendiri sebagai bagian dari proses evaluasi. Karena bagaimanapun yang namanya evaluasi itu hukumnya “harus dilakukan” pada setiap proses apapun yang tengah dan atau telah dilaksanakan. Lha, ning itu lho, esensinya kok jadi kabur begitu, gak jelas, ambyar. Mbok kita lihat, anak-anak itu malah jadi obyek pelaksanaan UN. Wah, panjang nih Pakde, kalo kita omongin.
    “Angka sudah menjadi berhala di negeri ini”; wis toh, jan saya setuju. Dan mestinya kita sama persepsinya ketika memaknai sebuah “berhala” itu? Lha, ini kan kehancuran Pak. Sudah sekian lama itu terjadi, sudah sekian akutnya itu berlangsung.
    Betul, UN itu hanya bagian kecil dari kebijakan-kebijakan ciptaan sistem yang ada. Kalo kita telisik dari hulunya, oh lha dhalah, wong cen udah kayak begitu!
    Pak Sawali, postingan sampeyan tentang hal ini kan berupa catatan akhir tahun ya Pak. Ya, namanya catatan kan berupa rekaman atau potret yang menggambarkan keadaan. Namun, saya pengennya mau ngithik-ngithik sampeyan Pak. Karena saya yakin Pak Sawali orang yang “briliant” untuk ber-ide apa saja tentang pendidikan, yah mungkin dalam tataran dan lingkup tertentu. Mbok, iya o, ide sampeyan apa untuk esensi masalah yang ada. Meskipun gagasan sampeyan tidak terdengar (baca: diabaikan) sesampai dilangit, tapi saya yakin bisa jadi hiburan atau jadi tonikum penambah indahnya angan-aangan yang “ideal” bagi teman-teman yang merasa prihatin dengan kondisi yang ada. Hayo, pak …. “kami” pingin denger.

    1. wah, ada masukan dari pak mis? saya malah dah kehabisa ide utk menulis tentang silang-sengkarutnya persoalan pendidikan di negeri ini. sebagian besar sudah saya tulis di blog, tapi kok ndak ngefek dan berdampak ya, haks.

  8. Angka adalah nilai eksak yang bisa dijadikan tolak ukur pasti.
    Saya tetap setuju penggunakan nilai tolak ukur berdasarkan angka, namun tidak setuju dengan cara-cara kebocoran dan kecurangan dalam menetapkannya. Nilai minimal untuk lulus harusnya minimal 6. Dibawah itu ya tidak lulus.

    1. memang benar, mas andy, angka memang jadi tolok ukur yang jelas dan pasti. yang disayangkan, secara sistemik angka menjadi target akhir, bagaimanapun caranya, sehingga muncul banyak modus kecurangan, semata-mata demi mengejar angka.

  9. Aneh memang pemerintah kita, pendidikan karakter diwacanakan dirusak dengan pendidikan bermain karakter dalam UN…daripada priustasi kita bakar diri lebih baik nulis dan nulis mas.

  10. Saya sebagai pendidik juga prihatin atas eses UN. Sepertinya MBS yang dicanangkan pemerintah dengan sistem desentralisasi pendidikan ibarat melepas kepala memegang ekornya. Sementara saya hanya guru kecil maka bisanya hanya memadukan saja pak Sawali, tujuan saya yang mengedepankan pendidikan adalah sebuah proses dan UN sebagai nilai akhir.

    1. memang bener, bu min. KTSP yang berbasiskan sekolah dan masyarakat pada akhirnya malah seringkali berbenturan dengan sistem UN yang tidak mencerminkan perbedaan kultur dan karakter setiap satuan pendidikan.

  11. yang jelas sulit untuk mengurai benang kusut UN pak, kalau nilai jeblog pastilah susah masuk sekolah favorit…
    tapi ada juga beberapa sekolah (swasta) yang menerima murid melalui test sendiri dan menggunakan parameter sendiri.. sepertinya ini lebih adil dan lebih baik, karena tiap sekolah bisa men seleksi calon murid terbaik diantara yang paling baik.. wallahu ‘alam

    1. saya sepakat banget, mas pur. idealnya, setiap sekolah memang perlu diberi kewenangan utk mengatur PSB sesuai dengan visi dan misi sekolahnya, tidak diseragamkan, apalagi setelah dilihat berdasarkan hasil UN, ternyata nilai UN tdk selalu mencerminkan kompetensi calon siswa yang sesungguhnya.

  12. saya setuju pak.
    UN memang tidak cukup menjadi tolak ukur dalam menilai siswa.
    1. kecurangan, saya sendiri mengalami nya. banyak teman termasuk saya yang menerima sms entah dari mana tentang kunci jawaban UN, dan yang mengejutkan jawaban itu bukan main-main. hampir 100% benar.
    2. biaya untuk UN, entah berapa milyar kalo tidak salah saya mendengar dari berita pemerintah mengeluarkan uang untuk UN. memang pendidikan sangat penting, tapi kalo melihat negara kita yang “seperti ini”, saya rasa kurang pantas mengeluarkan uang sebanyak itu. saya lebih setuju sekolah yang menentukan kelulusan siswa nya.
    hehe ini pendapat saya pak. mohon maaf jika ada salah kata 😀

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *