Penyair Indonesia Asal Kalsel dalam “Akulah Musi”

PENYAIR INDONESIA ASAL KALSEL DALAM “AKULAH MUSI”

(Wajah paling mutakhir perpuisian Nusantara)

Oleh : Ali Syamsudin Arsi

1

MENARIK bila dicermati saat  Penyair Indonesia asal Kalsel Eza Thabry Husano , penyair yang  lahir di Kandangan pada  3 Agustus tahun 1938. Beliau meninggal dunia pada 15 Juli 2011 (dalam usia 73 tahun), saat hari terakhir agenda internasional di bidang sastra, yaitu Dialog Borneo-Kalimantan XI di kota Samarinda, Kalimantan Timur. Acara sastra di tanah air berlanjut pula secara berkesinambungan tanggal, yaitu 16 sampai 19 Juli 2011 dengan tajuk Pertemuan Penyair Nusantara V di kota Palembang, Sumatera Selatan.

asaKEDUA agenda sastra tersebut sama-sama meluncurkan buku kumpulan tulisan yang tentu menjadi penting bagi khasanah sastra di tanah air. Di dalam kedua buku tersebut nama Eza Thabry Husano masuk sebagai tanda eksistensi beliau di ranah sastra untuk tanah air Indonesia tercinta ini. Ditilik dari tahun kelahiran maka dalam buku “Akulah Musi”  terbaca jelas bahwa beliau merupakan orang senior yang ikut memberikan sumbangan pikiran, ide dan gagasan, serta perasaan dalam bentuk puisi berjudul “Langgam Pernikahan” hal. 186-187, kemudian “Cakar Waktu” hal. 188. Bahkan  Sdr. Fakhruddin yang bertandang ke rumah duka mendapatkan ‘mandat’ untuk mengirimkan 2 amplop besar  berisi puisi untuk: 1) sebagai peserta Lomba Cipta Puisi, dan 2) sebagai penyumbang puisi untuk buku antologi bersama. Kedua amplop itu ditujukan kepada Panitia Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII di kota Barabai, Kab. Hulu Sungai Tengah digelar pada 16-19 September 2011 nanti. Semoga beliau mendapat tempat yang nyaman dan terasa begitu damai, amin amin amin.

POTENSI LAIN adalah ketika nama Arief Rahman Heriansyah, Penyair Indonesia asal Kalimantan Selatan kelahiran kota Amuntai, Kab. HSU pada tanggal 14 Juni 1992, pada tahun 2011 ini berusia 19 tahun. Sebuah puisi Arief berjudul “Ruang Pedang” hal. 89-90, merupakan satu puisi penghias buku “Akulah Musi”.

BENAR adanya Penyair dari Aceh, L.K. Ara (12 November 1937) menempati urutan pertama sebagai penyair senior diikuti oleh Eza Thabry Husano (3 Agustus 1938) pada urutan kedua. Penyair termuda ada pada Penyair dari Sumenep, Madura yaitu Syahdaka Musyfiq Abadaka (5 Juli 1994) lalu berukutnya Arief Rahman Heriansyah (14 Juni 1992). Tidaklah berlebihan bila ketiga editor (Ahmadun Yosi Herfanda, Anwar Putra Bayu dan Isbedy Stiawan) bersepakat menemukan kata kunci buku tersebut sebagai ‘Wajah Mutakhir Perpuisian Nusantara’ alasan mereka adalah, “Dengan sangat banyaknya penyair yang karya-karyanya masuk antologi ini, dan cukup terwakilinya kepenyairan dari negara-negara serumpun, kiranya antologi puisi Akulah Musi ini dapatlah dianggap cukup representatif untuk mewakili “wajah paling mutakhir perpuisian Nusantara”, inilah potret perkembangan perpuisian paling mutakhir di negara-negara serumpun di kawasan Nusantara dapat dilihat dan ditengarai,” (hal. xi-xii). Tidak berlebihan memang dan kita tentu boleh saja setuju.

Selain Eza Thabry Husano dan Arief Rahman Heriansyah, Penyair Indonesia asal Kalimantan Selatan yang ikut ikut serta dalam perayaan karya puisi di dalam buku Akulah Musi tersebut adalah, AA Ajang, Abdurrahman El-Husaini, Arsyad Indradi, Ali Syamsudin Arsi, Jamal T Suryanata, Mahmud Jauhari Ali, dan Sandi Firly. Sembilan nama ini menjadi berarti bagi Kalimantan Selatan. Sembilan nama ini pula terlihat dengan jelas perwakilan generasi tua, dewasa dan usia muda. Dengan alasan itu pula maka buku antologi puisi Akulah Musi merupakan “wajah paling mutakhir perpuisian Nusantara” yang tentu saja dapat pula ditelisik dengan kehadiran penulis-penulis dari berbagai sudut wilayah di seluruh negeri kesatuan Republik Indonesia ini.

Kepada almarhum Eza Thabry Husano kita ucapkan selamat jalan semoga tuhan yang maha esa memberikan kemudahan dan kelapangan tempat dari sebaik-baiknya tempat dalam istirahat yang panjang. Amin.

Arief Rahman Heriansyah kini tengah memasuki masa perkuliahan awal di IAIN Antasari Banjarmasin, Fakultas Tarbiyah, tinggal di Banjarmasin.  AA Ajang seorang PNS di lingkungan Pemkab. Barito Kuala, tinggal di Banjarmasin. Abdurrahman El-Husaini seorang guru di SMA Negeri 1 Martapura, Kab. Banjar, tinggal di Martapura.  Ali Syamsudin Arsi seorang guru di SMP Negeri 11 Banjarbaru, tinggal di Banjarbaru. Arsyad Indradi pensiun dar PNS, terakhir sebagai Pengawas Pendidikan di Kab. Banjar, tinggal di Banjarbaru.  Jamal T Suryanata seorang PNS di lingkungan Dinas Pendidikan Kab. Tanah Laut, tinggal di Pelaihari. Mahmud Jauhari Ali pekerja swasta, tinggal di Kertak Hanyar, Kab. Banjar. Sandi Firly redaktur sebuah penerbitan di Kalimantan Selatan, tinggal di Banjarbaru.

Buku “Akulah Musi” memikul beban penting karena ia hadir ketika proses seleksi yang ketat ada padanya, proses yang diberlakukan dengan ‘tanpa pilih kasih’ karena harus dilakukan dan itu menjadi sangat berarti. Tim Editor telah melakukan seleksi dengan, “konsekuensinya, cukup banyak pengirim puisi (calon peserta) dari Indonesia yang “terpaksa”  ditolak karya-karyanya, dan tidak diundang untuk mengikuti PPN V, karena kualitas sajak-sajak mereka berada di bawah standar yang kami terapkan”, selanjutnya Tim Editor mengungkapkan bahwa, “Dalam penyeleksian karya para penyair dari Indonesia, Tim Editor juga mengabaikan nama agar tim bersikap adil. Pertama yang dilihat adalah karyanya, setelah itu baru nama dan dedikasinya dalam perpuisian Indonesia. Misalnya karya-karya dari penyair Indonesia yang sesungguhnya sudah lama berkiprah, namun karena karya yang dikirim untuk PPN V ini kualitasnya di bawah standar yang kami terapkan, dengan sangat terpaksa kami gugurkan. Lebih dari itu, sesuai dengan amanat  Tim Advisor (Pengarah) PPN V, Tim Editor dituntut untuk lebih selektif dalam memilih penyair dari Indonesia melalui karya-karyanya. Hal ini agar ada dorongan untuk meningkatkan kualitas karya-karya mereka selanjutnya.” (hal. ix-x)

SUMBANGSIH Penyair Indonesia asal Kalimantan Selatan dalam buku Akulah Musi ini yaitu: AA Ajang, 2 puisi: – Perjanjian Suci, – Tidak Berjudul. Abdurrahman El-Husaini, 2 puisi: – Bisik Lumut di Batu-batu, – Isak dan Sesal Batu-batu. Ali Syamsudin Arsi, 2 puisi: – Sebutir Debu di Kesunyian, – Durian Gantang, Suatu Pagi. Arief Rahman Heriansyah, 1 puisi: – Ruang Pedang. Arsyad Indradi, 2 puisi: – Nyanyian Laut, – Jalan Kembali Membentang. Eza Thabry Husano, 2 puisi: -Langgam Pernikahan, – Cakar Waktu. Jamal T Suryanata, 2 puisi: – Risalah Daun, – Setelah Pertemuan. Mahmud Jauhari Ali, 2 puisi: – Tanda Tangan Batu, – Bidadari Bertangan Duri. Sandi Firly, 2 puisi: – Hujan Bulan November, – Sisa Usiamu Beku.

Dari 174 nama penyair yang masuk dalam buku tersebut, terdapat 2 dari negara Thailand, 4 dari negara Brunei Darussalam, 7 dari negara Singapura, 15 dari negara Malaysia, dan 146 nama penyair dari negara Indonesia. Dari 146 itulah tertulis nama  9 penyair dari Kalimantan Selatan. Semoga penerapan yang ketat dalam sistem seleksi ini dapat berlanjut di masa-masa yang akan datang, artinya kita selalu berfokus pada persoalan ‘kualitas’ dan tidak lagi berdasarkan ‘kuantitas’.

2

Berikut ditampilkan satu-satu puisi karya Sembilan Penyair Indonesia asal Kalimantan Selatan yang terdapat dalam buku Akulah Musi.

AA Ajang

Perjanjian Suci
nufrah itu mengujur deras
membasahi kolam
menempel dinding
saat tubuh bergelinjang

napas terengah
kuyup keringat menyapa badan
terkulai lemah di pembaringan
entah siang atau malam

detik berlalu, bertemu bulan
saat darah berselaput daging
mulai membentuk
raga hakiki

di dalam rongga itu
ada janji tertutur
antara bentuk dengan tuannya
sesaat sebelum tertiupnya angin kehidupan
pada wujud persemaian
tepat bermasa seratus dua puluh hari
cikal bakal anak manusia

Abdurrahman El-Husaini

Bisik Lumut di Batu-batu
Aku melihat pengayuh di matamu
Jejak masa lalu
Nilai budaya yang terusik dari perahunya sendiri

Aku melihat perahu di matamu
Jejak sungai masa lalu
Peradaban yang terusir dari dermaganya sendiri

Aku melihat sepasang pengayuh dalam perahu
Hanyut di sungai waktu
Tidak ada yang peduli
Bisik lumut di batu-batu

Mtp, 22/11/10P

Ali Syamsudin Arsi

Durian Gantang, Suatu Pagi
Embun masih segar di telapak daun
tengadahkan wajahnya ke arah terbit matahari

Dingin masih suntuk menimbun
suara pikuk piaraan kejar-mengejar menghampiri

Durian Gantang, suatu pagi
pohon-pohon masih segar berdiri

Banjarbaru, 2011

Arief Rahman Heriansyah

Ruang Pedang
adalah sebuah jalan dingin samar-samar
yang menikam angin di ujung pusara
liat bergelombang lepas caranya tekuk
akan tubuh yang renta timba derita
apakah kokoh tonggak samudra
membuka nanar lubang-lubang jendela

adalah sebuah ruang tak ada dasar
berliku tajam seperti elang mematai
menyongsong kemana memori yang tersembunyi
dalam nestapa renungi yang terbuang
bukan tanpa sebab membuang selaksa air mata
secercah bara mengebu-ngebu lahirlah setetes
dahaga
para binasa yaitu tak tanya pelita
akankah takut terus bersemayam kantongi kornea
mata
mimpi, takkan bisa dikejar imaji
karena mimpi bukanlah mimpi-mimpi
robek saja benteng berkelakar amarah sepi
walaupun hanya satu kali

adalah sebuah arus yang tak terkecuali
tak ada cinta pada tapak jejak langit prasasti
antara kau dan aku adalah duri yang tersaji
sepenuh belantara adalah duka yang
terintimidasi
dongeng kematian, meninabobokan tangis
cakrawala
gaduh menikam genderang menyisakan tabu
dengarkan celoteh pekik teriakan gerami candu
tegah prasangka pernyataan demi pernyataan
isak sedu-sedan aku dalam semboyan tangismu
aura di antara cermin tubuh malam terlalu
datar jangka bulan detak ghirah harmoni

lantas kemana ruang diletakkan demi ruang?
sekejab mata seperti hanya tatap binatang jalang
tinta biru menyibak dalam kerisauan
mengungkap derita yang telah lama terpendam
karenanya rinduku adalah pedang
yang menangkis buaian peringatan perang
karena rindu adalah ruang pedang
yang bergeleyut dalam euforiamu

penjara suci, 10 Muharram 1432 H

Arsyad Indradi

Jalan Kembali Membentang
Mengosongkan bilik hati jadi ruang hampa
Jadi altar riwayat usia
Jiwa menyulut malam pijar memancar
Menyibak awan dalam jagat kelam
Api harapan dalamnya anganangan
Debar tumpah kenangan resah
Saat puput terakhir membuka gerbang kehidupan
Menatap antara keduanya masihkah ada cinta
Altar basah air mata sisigan impian
Tuhan beri lagi aku jalan

Beri aku zikir pada musafir
Beri aku doa pada fakir
Biarkan aku gila mengejar cahaya kerinduan
Mengejar cahayamu tuhan

“Enampuluhsatu lilin merah tiuplah
Padamkan ruang hampa padamkanlah segala dendam
Kembali melangkah jejak perjalanan panjang
Kaukah kado masa depan sayang”

KSSB, 31 Des 2010 (Malam Ultahku ke 61)

Eza Thabry Husano

Cakar Waktu
perarakan cahaya lampu-lampu kehidupan
tertera dalam lambaian musim
dan getar ilalang di hempasan padang
tafsir isyarat masa lalu
ketika uap embun menelan serat rambutku
kau mengucap kata ziarah
dalam timbunan sejarah
di tepi kolam aku masih tertegun
mencicil letup luka

: siapa tahu purnama dan matahari
Mengusung keranda hari?
cakar anak panah menanam darah
separuh langit kita pecah
sebelum cinta itu tamat mengaji
pusara hari berbagi

kucelup rindu lewat tanah
mengalir penat nafasku sendiri
memapak arakan pelayat, sunyi
kelatu meluaskan erang dan kenangan
rentang jauh seutas tali ayunan

: masa lalu, o Kekasih
jemputlah aku!

Banjarbaru (2011)

Jamal T Suryanata

Risalah Daun
seperti tetes air mata yang membutiri kembali
luka perjalanannya sebelum mencapai ufuk
meski matahari tak pernah membakar risaunya
daun-daun gugur dengan rela, dengan bisu saja
sebab ia ingin menyempurnakan rindu reranting
bagi kesahajaan cinta pohon pada tanah lembab
yang senantiasa menyusuinya tanpa meminta

“telah kusadap getah rindumu,” kata tanah
pada daun yang menjelmakan air dan hara
agar pohonan tak berhingga menerima cintanya

“tapi cintaku tak pernah terbagi,” bisik daun
lalu ranting-ranting termangu di pokok pohon
karena tanya tak lagi berjawab sesudahnya

wahai, selembar daun telah menyempurnakan
rindunya sebelum malam membadaikan sunyi
tapi bermiliar serangga segera meningkahinya
dengan alun sayup lagu-lagu cinta semesta

2010

Mahmud Jauhari Ali

Tanda Tangan Batu
serpihan logam yang kauluncurkan ke jantungku
ialah risalah jelaga dari serambi hatimu yang merah saga
dan segumpal kabut di genggamanmu itu
tak ubahnya bom yang meledak!
menjungkirbalikan kata
mematahkan langkah-langkah laju
juga menenggelamkan tangan-tangan tembaga
di antara air-air yang menderas menjelma ombak

o! Tampaknya benar kata seekor camar senja itu
bahwa aku, tak lagi manusia di depan matamu yang nanar
melainkan seekor ulat di antara gurat-gurat petaka
yang mudah kauracuni dengan kata-kata,
kaubakar di bawah tumpukan kayu retak, dan
kauhempas-hempaskan ke tanah keras,
melebihi kerasnya cadas di tanah jelata

dan, di bawah bola jingga dan perak ini
hari tetap abu-abu
hingar-bingar, jingkrak pesta pora hilang, lesap
darah impian pun berceceran di jalan-jalan
lalu, aku pun termangu dalam genggamanmu dan
kabut yang pekat

Kalimantan Selatan, 2011

Sandi Firly

Sisa Usiamu Beku
kita selalu bertemu di jalan panjang berdebu itu,
mengukur
jarak tanpa senyum, matamu hilang ditelan bayang
bayang senja
aku menyapamu dalam gumam yang getas, sebelum
akhirnya
kita berpisah selewat waktu

angin tak pernah sama dalam gumpalan
cuaca, gerimis panas menjadi ruang dalam wajahmu
jalan
panjang itu menjadi titik mata kita, aku menuju
pulang
sementara kau terus berjalan menyusuri jalan hingga
ke lorong hatimu yang tak pernah putus

kau tak berkabar
suka dan air mata tamat sudah
sisa usiamu beku dalam ayunan angin yang ngilu,
tapi
kutahu kau akan terus berjalan di jalan itu,
menyusuri
lorong hatimu sendiri, di mana sekarang
kau sedang tersesat

Semoga tulisan ini mampu menjadi humus di kesuburan tanah kesastraan saat agenda Aruh Sastra Kalimantan Selatan ke-8 berlangsung di kota Barabai pada tanggal 16 – 19 September 2011. Agenda yang mengandung ‘gagasan besar’ demi manusia dan kemanusiaan di negeri Republik Indonesia tercinta ini. Karena kita sangatlah meyakini bahwa sumbangsih pemikiran, ide dan gagasan yang dituangkan dalam bentuk puisi adalah sebuah jalan panjang (abadi); menjernihkan dan menajamkan lewat imaji-imaji, bolehlah ia sebagai pusat inspirasi bagi kemajuan demi kemajuan cara dan sikap berpikir yang terkadang jauh mendahului kebenaran secara logika, sebab pula kita memperlakukan manusia selayaknya secara manusiawi adanya. Salam sastra salam budaya. ***

No Comments

  1. Bagus puisi-puisinya pak, semoga ide dan gagasan yang tertuang dalam puisi-puisi ini menjadikan kita lebih mengerti, bahwa sastra juga berperan dalam pembangunan bangsa ini, …. karena pembangunan bukan hanya fisik semata …

  2. Makasih Pak Sawali atas sajiannya berupa puisi…sangat menikmati sekali nich…bisa print out agar mudah dibaca.Kita tunggu berikutnya pak….

  3. Puisi nya memang indah.. ah, jadi terbawa arus puisi nya saya.. 🙂

    puisi itu memang ajaib menurut saya, entah apa yang kita pikirkan, kita rasakan, kita lihat, atau apapun itu…

    semua nya bisa tersalurkan dengan indah 🙂

  4. Satu lagi informasi tentang perkembangan sastra di Indonesia yang saya peroleh dari berkunjung ke blog Mas Sawali.
    Acara semacam ini bila dilakukan secara terus menerus pasti akan memajukan perkembangan sastra di Indonesia yang saat ini kondisinya kurang jelas.

  5. menurutkan logika. mengepakkan sayap sastra. maka bertaburlah fakta-fakta dalam kesejatian jiwa. terima kasih. ulasan Pak Sawali memperluas cakrawala pandang saya. Salam sastra dan budaya pula.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *