Kelembutan Gaya Tutur dalam Sajak-sajak Dharmadi

Aura“Saya sedang mencari Tuhan,” begitulah tegas penyair Dharmadi di aula Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi, Kabupaten Kendal, Minggu, 24 Agustus 2008 yang silam dalam acara bedah puisi Jejak Sajak karyanya. Upaya pencarian Tuhan agaknya masih terus mewarnai sajak-sajak karya penyair kelahiran Semarang, 30 September 1948 itu, termasuk dalam kumpulan sajak terbarunya, Aura.

Dalam antologi puisi yang diterbitkan oleh Kosa Kata Kita, Jakarta (cetakan pertama: April 2011) ini, Dharmadi serasa tak sanggup menghindar dari deraan nasib yang menelikungnya. Janin-janin impiannya diam-diam “terbunuh” sebelum mewujud menjadi sebuah kenyataan yang indah. Segala daya dan upaya ditempuh untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Namun, yang tersisa hanya segumpal jiwa. Dalam kondisi demikian, si aku lirik terus berupaya menghadirkan wajah Tuhan dalam setiap denyut dan tarikan napasnya, sebagaimana tersirat pada teks bertitel “dalam permainan” berikut ini.

dalam permainan

kau mainkan cuaca di ladang nasibku
menyengat ganda keringatmu

menajam aura apimu

kian gagap aku merapal
bahasa musim

diam-diam selalu kau kremasi
janin impianku

telah habis segala

tinggal segumpal jiwa
kuwujudkan wajah-mu
(2006)

Seiring dengan bertambahnya usia yang sudah melebihi kepala 6, Dharmadi terasa makin jujur, matang, dan arif dalam menyikapi berbagai cobaan hidup. Pengalamannya yang sudah amat matang dalam menghadapi ujian dan musibah telah membawanya ke dalam sebuah “singgasana” pemaknaan tentang kearifan hidup. Deraan nasib buruk tak harus disikapi dengan cara “memberontak” terhadap garis Tuhan. Kematangan dan kearifan sikap hidup itu tersirat dalam liriknya “dalam kemarau” dan “penyucian” berikut ini.

dalam kemarau

demi hujan langit setia menjerat awan
yang digiring angin, sambil mengingat bumi
(2000)

penyucian

embun membasuh malam
dari debu pengkhianatan
dalam tatapan rembulan
(2000)

Baik pada sajak “dalam kemarau” maupun “penyucian”, Dharmadi tak pernah kehilangan tempat berpijak ketika tengah menghadapi pengkhianatan dan berbagai cobaan yang tengah menguji derajat kesetiaannya kepada hidup dan kehidupan. Ia tak lupa mengingat bumi tempat dia berpijak, mekipun hujan, awan, dan angin menjeratnya dalam sebuah ketragisan hidup. Pun dia tetap tersenyum menatap rembulan (simbul kedamaian), meski debu-debu pengkhianatan bertaburan di sekelilingnya. Begitulah kearifan Dharmadi dalam menghadapi kenyataan-kenyataan hidup yang pahit.

Dengan beragam tema, Dharmadi berusaha untuk tetap menjaga totalitas dan vitalitas kepenyairannya dengan menggunakan bahasa yang sederhana, subtil, dan menyentuh ke dalam 54 puisi yang tersaji dalam antologi ini. Gaya ucapnya yang cenderung lembut dan sebisa mungkin menghindari kata-kata yang vulgar dan kenes menjadikan dirinya sebagai sosok penyair yang berkarakter dan berupaya untuk tetap konsisten menjaga elan vital kepenyairannya yang khas. Ia tak suka bicara tentang tema-tema besar dan terjebak ke dalam permainan bahasa yang bombastis dan muluk-muluk. Lewat tema-tema sederhana dan permainan bahasa yang lembut dan subtil, Dharmadi kian mengokohkan dirinya sebagai penyair yang “istikomah” dalam melahirkan teks-teks puisi dengan menonjolkan kreativitas berbahasa sebagai alat utama sang penyair. Bisa jadi benar analogi Sides Sudyarto DS dalam “Sukma dalam Bahasa Penyair Dharmadi” bahwa bahasa di tangan Dharmadi seperti lilin yang sedang meleleh. Lalu, dengan cekatan ia mencetak lilin kental itu menjadi bentuk apa saja sesuai dengan kemampuan dan kreativitasnya.

Begitulah sosok Dharmadi sebagai penyair sederhana yang tak pernah mau terjebak ke dalam perangkap narasi-narasi besar ketika meng-eksplorasi tema dan bahasa. Kekayaan pengalaman hidup dengan gaya bertuturnya yang lembut dan subtil membuat puisi-puisinya makin bermakna, bernas, dan penuh kearifan di tengah usianya yang bisa dibilang tak muda lagi.

Terus berkarya Pak Dharmadi, semoga karya-karyamu terus mengalir dari getaran penamu yang penuh kelembutan dan tak pernah lelah mencari Tuhan. Terima kasih atas kiriman bukunya, semoga bisa menjadi penanda persahabatan dan silaturahmi kita di ladang sastra yang makin terabaikan di tengah peradaban yang makin menghamba pada materi, uang, dan kekuasaan. Salam budaya! ***

No Comments

    1. setuju, mas. ada banyak cara yang bisa digunakan untuk mengenal dan mencintai Allah. bagi penyair, puisi termasuk salah satu cara yang tepat utk mengekspresikan sikap religiusnya.

  1. “kau mainkan cuaca di ladang nasibku”

    Aku suka sekali dengan kalimat itu. Terasa sekali keluar dari individu yang tak habis-habisnya mencari Tuhan, dibasuh ribuan pengalaman, serta janin-janin impian yang prematur.

  2. bagus………
    adalah jiwa tulus
    yang bergerak keabadian
    menyelam dalam angan
    tuk berbagi duka
    buat kita adalah segala
    yang tak luput pada-Nya

    1. mungkin itulah yang menjadi penyebab, mengapa banyak orang yang menyukai bentuk puisi utk mengekspresikan perasaannya, mbak. bahasanya singkat tapi mengandung makna yang luas dan kaya.

    1. Ulasan yang menarik, sayapun mencoba menafsirkan beberapa puisi beliau, ada kesamaan , ada perbedaan, akan tetapi menjadi kekayaan sudut pandang..salam kenal.salam hormat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *