103 Tahun Kebangkitan Nasional: Sebuah Refleksi

Sesekali iseng-isenglah bertanya kepada kaum elite kita yang kini tengah berada dalam lingkaran kekuasaan: setelah kebangkitan nasional mencapai usia 103 tahun, adakah kemajuan bangsa yang sudah berhasil diwujudkan? Sudahkah rakyat hidup makmur dan sejahtera, murah sandang, pangan, dan papan di sebuah negara yang berdaulat penuh? Maka, tak usah heran kalau mereka seraya menepuk dada akan menjawab: “Mengapa tidak? Angka kemiskinan sudah jauh berkurang, pertumbuhan ekonomi kita bagus. Apa lagi yang mesti diragukan?” Lantas, ketika diburu dengan pertanyaan seputar penegakan hukum dan HAM, mereka masih saja menepuk dada dengan menyuguhkan jawaban-jawaban retorik: “Loh, kenapa mesti diragukan? Kita sudah berbuat yang terbaik dan akan berdiri di garda depan dalam pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan HAM.”

harkitnasYa, ya, ya! Selalu saja menggunakan konsep ke-“kita”-an untuk mendapatkan legitimasi dan pembenaran kolektif sebagai sebuah bangsa. Dengan menggunakan konsep ke-“kita”-an, mereka merasa telah menyuarakan kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di sebuah negara demokrasi. Kaum elite kita tabu menggunakan konsep “kami” atau “saya” untuk menghindari kesan elitisme dan jauh dari rakyat. Mereka lupa bahwa di luar sana, masih ada jutaan rakyat yang terabaikan dan ternistakan yang “nyaris” tak pernah didengarkan suaranya. Ayat dan klausul hukum hanya indah dalam kitab undang-undang, tetapi esensinya justru menimbulkan luka bagi rakyat. Rakyat hanya “dimanjakan” dan disanjung-puji jika butuh dukungan suara untuk mengantarkan mereka pada puncak kekuasaan. Selebihnya, rakyat tak lebih hanya “slilit” yang harus dicampakkan. Jika perlu, sejauh mungkin dilenyapkan dari sela-sela gigi kekuasaan.

Kalau saja kaum elite kita mau “njajah milangkori”, menjelajahi kampung-kampung kumuh di pinggiran kota, blusukan ke pelosok-pelosok dusun, menyambangi anak-anak miskin dan telantar yang harus menahan kepedihan ketika didera kelaparan, maka mata hati dan nurani kaum elite kita dengan telanjang bisa menyaksikan kemiskinan akut yang menelikung kehidupan keseharian rakyat marginal yang ternistakan. Namun, siapa kaum elite negeri ini yang mau berpayah-payah bersentuhan dengan wong cilik? Siapa pula yang mau mendengarkan jeritan rakyat yang terzalimi secara struktural akibat kebijakan penguasa yang salah mengurus negara? Kaum elite mana lagi yang bisa dengan tulus memperjuangkan nasib wong cilik agar bisa ikut merasakan remahan kue pembangunan yang selama ini (nyaris) tak pernah menetes ke bawah?

Alih-alih berempati terhadap nasib wong cilik, uang miliaran pun lebih banyak dihambur-hamburkan untuk jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding yang belum tentu relevan dengan apa yang dibutuhkan rakyat banyak. Sungguh ironis sebuah negeri yang kaya nilai-nilai kearifan lokal justru harus berguru tentang pendidikan budi pekerti di tanah seberang yang belum tentu cocok jika diterapkan dalam ranah kultural negeri ini. Kaum elite kita agaknya sudah “tebal muka” untuk menyaksikan derita rakyat dan nasib kaum dhuafa. Mereka sudah kehilangan kepekaan untuk sekadar mendengarkan jeritan lirih kaum marginal yang bertahun-tahun lamanya tersingkir dari pusaran arus ekonomi kerakyatan.

Pertanyaan yang tak pernah bisa terjawab, kenapa rakyat yang seharusnya didekati dan dirangkul justru dipameri sebuah tontonan naif dan arogansi kekuasaan yang amat menyakitkan nurani rakyat? Sungguh, para pendahulu negeri yang telah meletakkan fondasi kebangkitan nasional di tengah situasi yang tidak menentu saat itu, secara imajiner bisa jadi akan mengucurkan air mata darah ketika kaum elite kita telah kehilangan sikap kenegarawanan.

103 tahun bukanlah waktu yang singkat bagi sebuah bangsa untuk bangkit dari kebangkrutan moral dan nurani. Namun, agaknya bangsa yang besar yang dikendalikan oleh rezim yang telah kehilangan sikap kenegarawanan ini tak pernah mau belajar dari semangat dan etos kerja para pendahulu negeri dalam mengelola sebuah negara. Gerakan reformasi yang kini sudah memasuki usia ke-13 tahun yang seharusnya bisa menjadi gerakan kebangkitan nasional kedua pun dinilai telah kehilangan momentumnya. Perpindahan rezim Orde Baru ke rezim reformasi yang digadang-gadang bakal mampu melakukan perubahan justru terninabobokan oleh situasi euforia yang memunculkan aktor-aktor kekuasaan baru yang justru bertentangan dengan tuntutan gerakan reformasi yang telah memakan banyak tumbal.

Tanggal 30 September 2006, penyair Wiji Thukul yang telah menjadi korban kebiadaban pihak-pihak yang tak senang kepadanya dan hingga kini masih belum jelas nasib keberadaannya, dengan nada perih menulis lirik berikut ini.

Momok Hiyong

momok hiyong si biang kerok
paling jago bikin ricuh
kalau situasi keruh
jingkratjingkrat ia

bikin kacau dia ahlinya
akalnya bulus siasatnya ular
kejamnya sebanding nero
sefasis hitler sefeodal raja kethoprak

luar biasa cerdasnya di luar batas culasnya

demokrasi dijadikan bola mainan
hak azazi ditafsir semau gue

emas doyan hutan doyan
kursi doyan nyawa doyan
luar biasa

tanah air digadaikan
masa depan rakyat digelapkan
dijadikan jaminan utang

momok hiyong momok hiyong
apakah ia abadi
dan tak bisa mati?

momok hiyong momok hiyong berapa ember lagi
darah yang ingin kau minum?

Kita sangat berharap, kaum elite negeri ini bukanlah “momok hiyong” seperti yang digambarkan dalam lirik Wiji Thukul itu. Kita bermimpi negeri ini kembali bangkit menjadi sebuah negara-bangsa yang berperadaban tinggi, gemah ripah loh jinawi, rakyat dan kaum elite menyatu seperti tersirat dalam ungkapan “manunggaling kawula-gusti”, tiarap dan bergerak dalam denyut dan harmoni kebersamaan menuju sebuah tatanan hidup baru yang adil, makmur, dan sejahtera. Mungkinkah mimpi-mimpi itu bisa terwujud? ***

No Comments

  1. syair Wiji Thukul memang begitu lugas dan menyentuh..
    Tapi kebangkitan nasional sekarang hanya sebuah sloga, pemerintah dan rakyat jalan sendiri-sendiri..

  2. Aku malah sudah berada pada titik di mana merasa ragu: apakah betul mereka itu wakil rakyat? Apakah betul mereka itu mewakili rakyat? Rasa-rasanya tidaklah berlebih-lebihan jika dilakukan redefinsi soal pengertian “Dewan Perwakilan Rakyat”. Karena kalau kita harus jujur: mereka mewakili siapa?

    Memang tidak ada sistem negara yang seratus persen sempurna. Tidak ada pula ideologi atau sistem yang bisa menjamin seluruh warga negara dan manusia di dalamnya makmur sejahtera tanpa kekurangan apa-apa (adakah negara yang seperti itu di dunia? Rasanya tidak ada). Tetapi satu hal pasti: elite yang hidup bermegah-megah dan bermewah-mewah di mana mayoritas rakyat di negara hidup sengsara, sungguh memuakkan.

    Namun itulah Indonesia. Negara kita jua. Lantas apa? Diam dan apatis pun bukan malah menyelesaikan persoalan. Aku jadi teringat salah sebuah sajak Wiji Tukul yang begitu bernas kata-katanya:

    Maka hanya ada satu kata: lawan!

    1. itulah ironi yang terjadi di negeri ini, mas dan. wakil rakyat yg seharusnya bisa menjadi teladan dan pionir perubahan malah menunjukkan perilaku sebaliknya. perilaku mereka tak hanya memuakkan, tapi sekaligus juga menjengkelkan.

  3. menjawab pertanyaan pak sawali, mungkinkah mimpi-mimpi itu bisa terwujud?
    ini agak sulit, menunggu terwujud atau pasif, entah kapan datangnya. karenanya secara pribadi, saya lebih senang untuk berkata, tidak usah berharap pada penguasa, lakukan saja apa yang kita bisa.

    melalui guyon saya percaya, bagaimana mungkin berbagai momen di negeri ini menjadi berarti, sementara para pemimpin (penguasa-?-) hanya membaca tema dan pidato yang sudah disusun oleh para staf khususnya? 😆

    1. saya juga pesimis perubahan itu akan terjadi, pakacil, selama para wakil rakyat kita makin tenggelam dalam kubangan kekuasaan. makin lama, bermimpi pun makin tak berani hidup di negeri yang penuh ironi ini.

  4. Itu cuma mimpi mas Sawali, saya ngga berharap ditahun2 kedepan pemimpin kita seperti Khalifah yang didambakan. menerima nasib yang ada juga suatu kesalahan, tapi ingin bertindak yang bakal mengganti rata2 juga memiliki sifat sama. Sulit menemukan pilihan 🙁

    1. memilih memang seringkali menyulitkan, mas, karena sama2 mengandung risiko, apalagi dalam mengurus negara. repot juga kalau terlalu sering terjadi pergantian rezim dengan cara2 yang tdk fair. ujung2nya rakyat juga yang harus menjadi korban.

  5. Halo Mas Sawali,
    Saya baca posting anda diatas tidak lama setelah melihat di TV bubarnya kongres PSSI.
    Saya jadi berpikir betapa sedihnya para pemain bola kita melihat perilaku orang2 yang seharusnya jadi teladan. Dan yang kelewatan adalah kekacauan tsb terjadi pada saat bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional.

    1. itulah ironi yang terjadi di negeri ini, mas harry. harkitnas yang seharusnya menjadi momen yang tepat utk bangkit, para peserta kongres pssi malah menunjukkan sikap sebaliknya. doh!

  6. lewat hari kebangkitan ini marilah kita bangkit dengan sebenar2 bangkit dan bergegas membangun bangsa kita tercinta ini….. wujudkan NKRI yang bnr2 utuh dalam diri setiap warganya….. akhir2 ni saya ikut prihatin dengan nasib NKRI yang sering tercabik2 dan terpecah belah hanya karena sesuatu yang kurang penting…. MERDEKA INDONESIAKU… MERDEKA..!!!!

  7. artikel yang penuh dengan kritis, dan memang semoga saja hari kebangkitan dapat melakukan perbaikan yang nyata. terimakasih atas bacaannya.
    oh, iya ada yang pula semoga wiji tukul cepat terselesaikan.

  8. ane stuju sama Post Nte ada gak Kaum Elite Membantu wong cilik di negeri ini…?
    semua kaum elite hanya mementingkan pribadi nya sendiri taq ada yg sadar bahawa dari semua harta drinya hartanya wong cilik……s

  9. menurut saya, bangsa ini malah semakin terpuruk. makanya mari kita bangkitkan kembali bangsa yg semakin terpuruk (dalam hal moral dan akhlak) ini.

  10. waduhh..
    kapan saya jadi wakil rakyat ya Pak?
    atau mungkin kelak saya juga korup seperti kebanyakan mereka ….
    Para masyarakat yang tiggal di bantaran sungai masih banyak Pak…
    untuk makan barang sesuap nasi saja banyak peminta2 yang harus rela menengadah ya pak…

  11. … Indonesia setelah “reformasi” menjadi bangsa yang “kebablasan” karena Indonesia menjadi bangsa yang melupakan sejarah.. dulu kita terkenal sebagai bangsa yang beradab, santun dan beretika, kini kita menjadi bangsa yang biadab dan lupa tata krama.., harapan terakhir bangsa ini adalah para Guru, bapak ibu guru cetaklah generasi yang berprestasi, berakhlaq dan beretika.. jadilah guru yang betul2 dapat digugu dan ditiru.. seperti Bapak Sawali.. salut untuk bapak.. bangga punya guru seperti bapak!! tks.

    1. itulah ironi yang menyedihkan, mas lutfi. reformasi bukannya berubah menjadi lebih baik, tapi justru malah menunjukkan pemandangan sebaliknya. terima kasih atas supportnya terhadap peran kaum pendidik, mas lutfi.

  12. Jangan-jangan, elite politik kita tak bisa membedakan antara “kita” dan “kami”, seperti masyarakat kebanykan. Saya beberapa kali disalahkan teman setiap kali membedakan “kami” dan “kita”. Bagi mereka, dua kata ganti tersebut dianggap sama, meskipun sudah saya jelaskan bahwa “kita” memuat: aku, kamu, dan mereka, sedangkan “kami” hanya memuat: aku dan kamu atau aku dan mereka.

    Dan ternyata, masalah “kita” dan “kami” dalam bahasa politik ini bisa sangat serius, seperti yang dijabarkan oleh Pak Sawali. Mantab!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *