Istana Daun Retak dan Bungkam Mata Gergaji: Sebuah Catatan

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan kiriman dua buku “Gumam” (Istana Daun Retak, April 2010 dan Bungkam Mata Gergaji, Februari 2011) dari Bang Ali Syamsudin Arsi (Asa); seorang guru, sastrawan, sekaligus penggiat sastra yang tak pernah berhenti bergerak membumikan dan mengakrabkan sastra yang selama ini masih terbilang sebagai “dunia lain” di negeri ini.

Syukurlah, sayang stok buku 1 dan buku 2, belum ada persediaan, santai saja, tidak usah tergesa-gesa membacanya, saya tahu Pak Sawali juga teramat sibuk dan padat agenda.

Saya tertarik membaca usulan agar pembelajaran sastra terus dipertajam dan program sms, atau juga sdsb dilanjutkan kembali atau paling tidak format semacam itu hadir kembali. Di Banjarbaru saya baru saja membangun Gubuk Kecil yang khusus diperuntukkan agenda pertemuan sastrawan, temu diskusi sastra, pelatihan dan bimbingan membaca-menulis sastra, nama tempat itu adalah TOSI (Taman Olah Sastra Indonesia), bangunan berupa panggung ukuran 6 x 8 meter, tiang batang galam, lantai bambu, atap daun rumbia.

bungkambungkam

Begitulah salah satu pesan via email dari sosok sastrawan kelahiran Barabai, Kalimantan Selatan (1964), yang kini bermukim di kota Banjarbaru itu, ketika saya meminta maaf lantaran terlambat memostingnya. Di tengah proses kreativitasnya yang tak pernah berhenti berinovasi dan bereksplorasi melalui genre “gumam” yang dianutnya, ternyata Bang Asa tidak menyendiri dan “soliter” dalam kubangan imajinasinya yang “liar” dan “mencengangkan”. Ia bersosialiasi, bersilaturahmi, dan bertegur sapa. TOSI yang digagasnya bisa menjadi bukti bahwa ia terus mencari ruang berekspresi untuk membuat “prasasti kehidupan” di tengah dinamika sastra Tanah Air yang dalam banyak hal masih sering diabaikan oleh sastrawan “mainstream” kita. Persoalan apakah “gerakan” yang digagasnya mendapatkan sambutan publik atau tidak, bukanlah hal yang terlalu penting benar untuk dipersoalkan. Toh melimpahnya sambutan publik tidak serta-merta bisa menjadi ukuran brilian atau tidaknya sebuah “gerakan”.

Perjalanan gumam adalah perjalanan kata dengan segala ke-keraskepala-annya. Gumam memang keras kepala. Keras kepala dengan segala vitalitas, motivasi, semangat, dan intensitas. Berjalan pada jalur yang tetap, dijaga, dan konsisten. Ada memang godaan untuk meliuk ke arah yang lain, dan selalu saja kembali kepada jalurnya, sesekali dapat saja ia melemahkan ketegangan demi ketegangan, ini penting agar penjagaan jalur itu selalu bergairah untuk duduk suntuk mengutak-atik seperangkat katayang bergerak-gerak lincah, menari-nari gemulai, berkelebat melintas, bahkan ada yang bersembunyi-sembunyi, tidak jarang yang memang berlari menghindar dari tangkapan …. (“Catatan Kreatif” dalam Bungkam Mata Gergaji).

Ya, ya, karya-karya Bang Asa memang tergolong unik. Karya-karyanya tidak bisa digolongkan ke dalam genre sastra konvensional. Prosa tetapi sekaligus juga puisi. Atau sebaliknya, puisi tetapi sekaligus juga prosa. Secara tipografis, teks-teks sastra karya Bang Asa memang seperti prosa pada umumnya. Namun, dari sisi muatan isi dan diksinya, ia telah melompati kaidah-kaidah prosa konvensional. Bahkan, dari dua sisi ini, karya-karya Bang Asa lebih tepat dibilang sebagai genre puisi. Simak saja, kutipan berikut!

…. Berduyun sudah kepal-kepal tangan mengarah ke satu titik pasti, istana daun retak. Tak ada yang mampu menurunkan salamnya dari puncak menara. Berpuluh tahun sudah mencoba untuk selalu menahan lilitan di pundak karena semua berakibat satu titik pasti, istana daun retak. Tak ada yang bangun dan bangkit dengan segera lalu menjulurkan telapak sebagai penghormatan mulia terhadap rasa sakit dari yang dinamakan sebagai rakyat. Entah tertidur pulas atau memang ditakdirkan sebagai orang-orang yang selalu berada di sisi tebing sungai berbeda tempat …. (Istana Daun Retak hlm. 31).

Simak juga kutipan berikut ini!

Satu mata gergaji belum mewakili seluruh rotasi. Satu mata gergaji belum mampu menghentikan revolusi.

Potongan-potongan kepingan-kepingan unsur-unsur bagian-perbagian sudut-sudut bergerak secara garis lurus untuk belah-membelah bergerak untuk pecah-memecah tidak lain hanya untuk membentuk satu-kesatuan sakit melilit-lilit. Sengaja menciptakan. Yap. Sakit berkepanjangan. Persekongkolan, diam-diam atau teran-terangan. Satu-kesatuan bergerak tanpa dipandu karena memang merupakan ketentuan dari hasrat bahkan saling tumpang saling sikut saling tikam, “Tetapi seluruh mata gergaji telah melibas setiap bayang-bayang dari berjuta harapan, harapan yang dihamparkan oleh banyak telapak tangan terbuka dan sangat terbuka, tetapi bungkam mata gergaji adalah rahasia dari kekuasaan genggam di kepal-kepal tangan bergetar, urat syaraf pun terhentak tiba-tiba, genggam yang sejalan dengan kebiri di lingkup nafsi-nafsi. Mata gergaji bergerak di antara kerumunan orang-orang jalanan di antara runtuhnya gubuk-gubuk,” Ayo, kita harus berkorban untuk kedamaian bangsa ini dan kita menjadi bagian dari keindahan yang memang sepantasnya dilaksanakan. …. (Bungkam Mata Gergaji, hlm. 16-17).

Membingungkan? Hmm … Di mata kaum realis, “gumam” ala Bang Asa bisa jadi dianggap “nonsense”, tetapi dari sudut pandang berkesenian dan berkebudayaan, Bang Asa bisa dibilang sebagai sosok sastrawan yang punya nyali besar untuk berkreasi, berelaborasi, dan bereksplorasi. Berdasarkan pengakuannya, Bang Asa telah mengakrabi teks sastra bergenre “gumam” sejak 1987. Wow, sebuah konsistensi sikap yang sungguh layak diapresiasi. Dalam kurun waktu 24 tahun, genre teks “gumam” bisa terus bertahan, tanpa harus tergoda untuk mengalirkan jelajah kreativitas melalui teks-teks yang dianggap “mainstream” oleh sementara kalangan.

Vitalitas Bang Asa untuk menemukan gaya pengucapan yang khas dan unikum melalui proses penjelajahan dan transpirasi total lewat teks-teks gumamnya selama ini makin membuktikan bahwa siapa pun berhak menjadi “pewaris sastra” yang sah. Bang Asa telah menunjukkan kiprahnya sebagai “generasi sastra” yang memiliki keberanian luar biasa untuk melakukan dekonstruksi bahasa, tanpa harus mengidap “sindrom” kehilangan legitimasi kesastrawanan. Bang Asa, dalam konteks berkesenian dan berkebudayaan adalah sebuah vitalitas, semangat, dan roh kreativitas yang layak diperhitungkan dalam jagat sastra Indonesia mutakhir.

Begitulah! Bang Asa terus berkarya dan tak pernah berhenti mendansakan penanya lewat teks gumam hingga –entah—mencapai puncak ekstase penciptaan. Pun juga dengan “gerakan” TOSI yang digagasnya.

Minggu pertama dilaunching TOSI dengan ditandai penanaman pohon buah ‘papakin’ dan pohon buah ‘ramania’, kedua pohon buah itu pemberian teman namanya HE Benyamine, seorang pengamat seni budaya tinggal di Banjarbaru, penanaman dilakukan oleh Ketua Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, Abang Ogi Fajar Nuzuli, saat ini beliau juga menjabat sebagai Wakil Walikota Banjarbaru, kemudian penanaman juga dilakukan oleh Hamami Adaby, penyair senior yang masih aktif, tinggal di Banjarbaru telah menerbitkan beberapa buku kungai”, Tiga Kutub Senja, Kaduluran, Dimensi, dan lain-lain. gairah bersastra di Banjarbaru cukup lumayan dan jenjang generasi cukup terjaga karena mereka yang lebih tua dari saya masih banyak yang eksis pun yang berusia lebih muda dari saya, bahkan saya tetap melakukan pelatihan dengan sistem safari ke beberapa sekolah dasar, ada 3 sekolah dasar dan 2 setingkat smp. Nah pada posisi lokasi TOSI itu saya yang menerima kehadiran mereka, saya sejak tahun 2005 sampai saat ini selalu menerapkan Metode ( ? ) yang saya namakan “Tulisan Berpindah Tangan”, saya melihatnya sangat banyak sekali dampak positif dari pelaksanaan itu. gambarannya begini, perpindahan tulisan dari satu penulis kepada penulis yang lain ditentukan dengan sangat tertib walau tetap menjaga situasi menyenangkan, bila ada semisal 5 orang penulis (anak, siswa, dll.) maka setiap orang akan membaca pada lembar yang setiap saat beredar sesuai ketentuan pembimbing/pelatih, percepatan dan ketelitian dalam menulis pun akan teruji ketika diterapkan waktu menulis, semisal dengan hitungan agar batas waktu penulisan terkontrol dengan baik. Wah, seharusnya ini tertuang dalam bentuk Satuan Pembelajaran ya Pak Sawali, tetapi saya melakukannya secara alami dan yang paling utama adalah membuka peluang kepada penulis (anak, siswa, dll.) menjadi BERANI menulis. maaf selalu mengganggu ketenangan Bapak, selalu mengusik kedamaian Bapak Sawali. Salam hangat selalu. (Email dari Bang Asa)

Wah, ini sebuah pendekatan yang saya anggap “luar biasa” ketika kurikulum yang cenderung formal dan kaku gagal mendekatkan anak pada sastra, apalagi melahirkan penulis masa depan yang andal. Sungguh, pendekatan yang Bang Asa lakukan menginspirasi bagi saya agar tetap memiliki adrenalin dan energi untuk terus membumikan sastra kepada anak-anak sebagai pewaris sastra yang sah di negeri ini.

Terima kasih banget atas share infonya, Bang. Semoga Bang Asa tidak pernah bosan untuk memberikan kabar-kabar dari Banjar Baru yang lainnya. (Balasan saya via email).

Begitulah cara Bang Asa berkomunikasi. Santun dan terus memberikan pekabaran tentang dunia sastra yang amat dicintainya, dari tanah kelahirannya, kepada sahabat-sahabatnya. Salam kreatif! ***

No Comments

  1. Saya juga punya keinginan besar untuk mewujudkan impian saya pak, bisa membuat buku, meski jelek.
    Selamat ya pak, meski sibuk, mingsih sempat BW dan menelaah buku hadiahnya Bang GA.

  2. disela keterbatasan kemampuan sastra yang saya miliki, saya berusaha untuk membangkitkan minat sastra kepada siswa yang saya ajar. memang terasa sekali kurang perhatian/apresiasi dalam keterampilan sastra
    saya suka Bang Asa yang selalu berusaha memopulerkan daerah dengan karya-karyanya

  3. pejuang sastra yang tak kenal lelah membumikan sastra di tengah kehidupan yang makin kapitalis… semoga semangatnya dapat menginspirasi kita semua..

  4. benar-benar pejuang sastra sejati…..
    nomong-ngomong, saya jadi ingin membaca buku Istana Daun Retak, dan Bungkam Mata Gergaji itu, Pak….he..he..

    Di Bogor ada ngga ya…

  5. Wah, jadi penasaran tuh cerita utuhnya.
    Kira-kira bisa nggak ya saya kayak gitu?
    Harusnya saya yang muda, harus lebih semangat nih

  6. ternyata dijaman sekarang ini masih banyak para pengiat sastra, yang benar-benar sastra tidak hanya mengikuti trend sekarang yang lebih banyak tulisan ngepop. semoga terus berkarya untuk sastra Indonesia…

  7. Buku yang sangat bagus sepertinya ya Pak Sawali..
    Insya Allah kehadiran buku itu akan memperkaya khazanah sastra Indonesia dan mendekatkan generasi muda pada sastra bangsanya sendiri 🙂

  8. Masalah sastra seperti ini memang menarik bagi yang berkecipung di dalam nya. Namun bagiku terasa membuat panas di kepala, maklum saja aku bukan sastrawan yang pandai memutar kata menjadi kalimat yang terjalin indah menjadi prosa. Bagiku sangat susah membacanya 😆

    Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan

  9. Sastra menurut sebagian besar orang di Indonesia adalah bahasa asing termasuk saya, hehehe. Tapi sepertinya buku ini menepis anggapan itu. Di Gramedia ada ga pak? Soalnya di Jambi toko buku baru ada gramedia

  10. saya suka sastra realis dan surealis. ini sastra mencerdaskan. beda dengan sastra yang beberapa dekade membawa sastra negeri ke arah melankolis, ahumanis, tapi gerakannya sarat politis.

  11. Saat saya membaca kutipan-kutipan karya Pak ASa di atas, sulitlah kumengerti makna yang terkandung karena bahasanya begitu mengalir sederas air sungai musim hujan. Tapi, ada sesuatu yang mampu menyentuh benak, sehingga tetap nikmat. Ah!

    Salam kekerabatan.

  12. Buku-buku Gumam-Asa dicetak secara swakelola, indie dan maaf tidak ada di toko buku, apalagi sekarang toko buku dengan aturan yang terkadang sulit untuk ‘membuka ruang secara luas’, karena mereka juga dalam persaingan yang luar biasa, oke rekan-rekan budiman yang ingin memiliki buku-buku Gumam-Asa silahkan hubungi nomor 081351696235, persediaan terbatas, enak pakai sms saja ya he he

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *