Semangat Kartini dan Nasib Tragis Para TKW

Nasib memilukan yang dialami oleh saudara-saudara kita yang mengadu nasib di negeri orang belakangan ini kian menambah panjang daftar drama tragedi di atas panggung sosial negeri ini. Ketika pulang ke kampung halaman bukan nasib baik yang dibawa sebagai oleh-oleh, melainkan serentetan derita dan cerita duka. Tak hanya itu. Tak sedikit para tenaga kerja wanita (TKW) yang harus menderita cacat lahir dan trauma batin seumur hidupnya. Bahkan, tak jarang harus ditebus dengan nyawa.

Kita tentu masih ingat dengan kasus Darsem, pekerja rumah tangga migran asal Subang yang terancam hukuman mati di Arab Saudi? Namun, bagaimana respon penguasa? Ketua DPR Marzuki Alie, dengan enteng menyatakan bahwa kasus Darsem cuma mencoreng citra bangsa. Yang menyedihkan, tanpa sedikit pun menunjukkan sikap empati, anggota partai politik yang kini tengah berkuasa itu mengatakan sebagai hal yang wajar kalau Darsem harus mengalami kekerasan karena kebodohannya. Hmm … Kita tak habis pikir juga, kok bisa-bisanya wakil rakyat yang sangat terhormat itu melakukan blunder pernyataan seperti itu? Bukankah Darsem juga rakyat yang seharusnya dibela kehormatan dan martabat kemanusiaannya?

TKW

Sungguh, ini sebuah tragedi kemanusiaan yang seharusnya tak boleh terjadi di sebuah negeri yang santun dan beradab. Bisa jadi, R.A. Kartini yang bermimpi untuk memuliakan martabat dan derajat kaum perempuan, akan terus meratap di alam keabadian menyaksikan nasib kaumnya yang tak pernah bergeser dari kubangan penderitaan. Bukan semata-mata lantaran kebodohan dan keterbelakangan kaumnya, melainkan juga keberpihakan penguasa yang abai menjaga kehormatan bangsanya.

Nasib tragis para TKW tak bisa dilepaskan kaitannya dengan lemahnya penguasa dalam melakukan deteksi dini terhadap para “maklar” TKW yang secara gelap terus beraksi melakukan transaksi nakal. Para calon TKW yang sebagian besar berpendidikan rendah seringkali tak sanggup keluar dari perangkap yang sengaja dipasang oleh para mafia TKW untuk mengeruk untung besar. Pemerintah bisa saja berapologi bahwa mereka telah memberikan advokasi dan perlindungan optimal terhadap para TKW. Namun, kita juga tidak bisa mengelak dari fakta bahwa para TKW gagal mendapatkan rasa aman dan bebas dari rasa takut setelah mereka melayani majikan-majikan “hitam” yang memperlakukan mereka tak lebih dari budak belian seperti pada zaman jahiliyah.

Atmosfer pengerahan massal para TKW ke luar negeri kian menggila ketika situasi sosial-ekonomi sebagian masyarakat kita yang berpendidikan rendah gagal terakomodasi oleh negara dalam bursa lapangan kerja. Alasan ekonomi jelas menjadi faktor utama. Para TKW rela bersusah-payah meninggalkan suami dan anak-anak semata-mata untuk mengubah nasib. Sementara, sang suami di rumah juga terpaksa harus menganggur akibat rendahnya akses mereka untuk bisa bersaing mendapatkan lapangan kerja. Satu-satunya cara untuk menolong dan menyelamatkan keluarga mereka dari lilitan persoalan ekonomi adalah melalui TKW. Maka, jadilah TKW sebagai pilihan hidup yang harus mereka lalui untuk mewujudkan mimpi mereka; bisa terhindar dari sindrom kemiskinan yang membelitnya. Namun, apa yang terjadi? Alih-alih bisa mewujudkan mimpi dan harapan; bisa hidup enak dan kepenak, mereka justru harus berhadapan dengan kebengisan zaman; dipermainkan oleh para mafia TKW, dan mesti berhadapan dengan majikan berhati busuk dan biadab.

Bercermin pada realitas anomali yang dihadapi oleh para TKW, kita jadi teringat “pemberontakan” pemikiran R.A. Kartini di tengah situasi feodalistik yang menelikungnya ratusan tahun yang silam. Melalui berbagai surat kepada sahabatnya, Abendanon, di negeri Belanda, Kartini mengkritisi kondisi sosial-budaya Jawa pada saat itu yang dinilai membuat ruang gerak kaum perempuan pribumi kian tak berdaya. Sebagian besar suratnya mengekspresikan keluhan dan gugatan, khususnya menyangkut budaya Jawa yang dianggap sebagai penghambat dan belenggu kemajuan perempuan. Kartini memimpikan kehidupan kaum perempuan Jawa yang memiliki kebebasan dalam belajar dan menuntut ilmu.

Surat-surat Kartini juga menyatakan harapan agar dirinya bisa seperti kaum muda Eropa, terbebas dari kungkungan penderitaan akibat belenggu adat dan tradisi yang membuat kaum perempuan Jawa tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, atau harus bersedia dimadu. Dengan caranya sendiri, Kartini terus berjuang untuk membuka mata hati dan pikiran kaumnya melalui berbagai program pemberdayaan diri agar kaum perempuan bisa berdiri sejajar dan setara dengan kaum pria.

Pemikiran Kartini, disadari atau tidak, telah memberikan inspirasi kepada kaumnya sehingga secara bertahap kaum perempuan kita bisa ikut berkiprah membangun peradaban yang lebih mencerahkan, terhormat, dan bermartabat. Kini, sudah tak terhitung lagi jumlah kaum perempuan yang sukses memegang posisi kunci, baik di sektor pemerintah maupun swasta. Namun, kita juga dibuat miris dengan banyaknya kaum perempuan kita yang harus bersikutat untuk menyelamatkan harga diri dan kehormatannya di negeri orang. Sungguh, ini sebuah “set-back” emansipasi yang telah digagas Kartini, sehingga kaumnya harus mengalami derita berkepanjangan di tanah seberang.

Dalam situasi demikian, diperlukan upaya revitalisasi serius terhadap pemikiran Kartini, sehingga roh, semangat, dan perjuangannya tetap hidup, tumbuh, dan berkembang di dada Kartini-Kartini muda. Penguasa yang memiliki otoritas dan tanggung jawab untuk melindungi warganya perlu mengkaji ulang terhadap kebijakan “ekspor” TKW ke luar negeri. Apa pun dalihnya, lebih-lebih kalau hanya sekadar untuk mendongkrak devisa, pengiriman TKW tanpa regulasi dan advokasi yang jelas hanya akan melahirkan repertoar tragis yang berkepanjangan. Yang tidak kalah penting, Kementerian Tenaga Kerja juga harus sigap untuk menindak mafia TKW yang selama ini telah menyengsarakan kaum perempuan kita di tengah cengkeraman majikan-majikan asing yang kehilangan nurani.

Semoga momentum Hari Kartini 2011 bisa menjadi pemantik kesadaran kolektif bangsa kita untuk memosisikan kaum perempuan akar rumput menjadi lebih berdaya dan tak lagi ditelikung nasib akibat kebijakan penguasa yang kurang berpihak kepada rakyat kecil. Sungguh ironis kalau negeri yang besar dan kaya raya ini harus mendapatkan stigma sebagai lumbung TKW akibat kebijakan penguasa yang salah urus mengelola negara.

Nah, Selamat Hari Kartini dan Dirgahayu Kaum Perempuan Indonesia! ***

No Comments

  1. bahan renungan : di budaya manapun, kebanyakan mengekang wanita. mengapa ?? apakah karena wanita sangat perkasa hingga harus dikekang, atau wanita barang simpanan yang perlu dijaga.

  2. Mas Sawali,

    Tulisan yang sangat tepat pada waktu yang sangat tepat pula.
    Sangat disayangkan sekali MA sebagai ketua DPR yang seharusnya mewakili seluruh
    rakyat Indonesia bisa berpendapat dan berucap sembarangan tentang seorang rakyak
    yang terancam hukuman mati dinegara dia mencari nafkah untuk dikirim ke Indonesia.

    Kalau wanita TKW tsb bodoh itu karena pemerintah gagal untuk meningkatkan skill
    para TKI kita.
    Apabila DPR menjalankan fungsi kontrol pada pemerintah tentunya hal tsb tidak akan
    terjadi.

  3. Selamat Hari Kartini! Semoga kita semua tak hanya mampu memaknai setiap perjuangannya, tetapi juga mengimplementasikannya di semua sudut kehidupan, amin.

    Sekali lagi, kita dihadapkan dengan realitas penguasa yang lahir dari pendidikan tanpa karakter. Untuk itu, kita mesti membangun generasi selanjutnya supaya penguasa selanjutnya tak “norak” seperti itu.

  4. TKW dan TKI adalah pahlawan devisa
    Tapi perhatian pemerintah masih sipandang kurang pada mereka
    Hargai kontribusi mereka

    Salam dari Bogor Pak 🙂

  5. Lumbung TKW? Kesalahan siapa, Penguasa atau sistem pendidikan? Memilukan sekali. Semoga di masa datang permasalahan-permasalahan ini tidak terjadi lagi. Amin.

  6. Sampai kapan ya, kita ngga jual TKI lagi,…. nasibnya miris semua. Kalau dulu saya ngganggur, ngga kepikiran untuk jadi TKI, apalagi kaum hawa, ngga seindah yang dibayangkan

  7. Sulut deh mencari kartini kartini baru di negeri ini.!
    TKI,saya rasa ini masalah serius yang harus di tangani pemerintah agar tkw asal indonesia jgn hanya kekerasan yang di dapatnya di luar negeri.

  8. pak tulisannya bagus, dikirim ke koran aja, siapa tahu bisa dimuat. hehe, perjuangkan nasib wanita di kesetaraan hak asasi, mereka juga sma seperti laki2, punya mimpi dan cita2 untuk terus maju meraih kesuksesan.

  9. Duh,
    saya yang pengen kerja diluar negri jadi takut nih…
    Kalo jadi perawat diluar negri kira-kira aman ga ya?
    Terus, enaknya negara mana?
    Ada yang bisa ngasih pendapat?

  10. Assalamualaikum…
    Izinkan saya numpang bicara…

    Saya ingin kongsi pengalaman mempunyai TKW dari Indonesia. Saya pernah mengambil seorang pembantu untuk mengurus ibu saya yang telah uzur. Saya bertuah kerana mendapat seorang pembantu berasal dari Surabaya yang begitu baik, rajin dan menyayang. Kami sekeluarga menganggapnya seperti keluarga sendiri. Sayangnya dia hanya sempat bersama selama 2 tahun sahaja. Dia pulang ke Surabaya untuk majlis pernikahan anaknya. Kini ibu saya sudah tiada…

    Salam dari Malaysia

  11. Bagi perempuan maupun laki-laki, bekerja apapun (entah dilindungi pemerintah maupun tidak) akan dilakukan agar tetap bisa bertahan hidup di jaman yang sulit ini, itulah fakta kemiskinan 100 juta lebih rakyat miskin indonesia yang berpenghasilan dibawah 18ribu sehari.
    Semoga masih ada pemimpin yang sadar bahwa Pembukaan UUD 1945 itu harus dilaksanakan, bukan hanya dihapalkan atau malah disimpan selamanya di gudang

  12. Itulah mengapa wanita disarankan untuk tidak meniru kaum laki, hari kartini hanya mengajarkan kalau kaum wanita itu untuk menjadi wanita yang pintar dan sebagainya , kalau sudah pintar cukup untuk dalam ruang lingkup keluarganya saja,menjaga kehormatan keluarga serta mendidik anak2nya menjadi berguna bukan berambisi menggantikan peran laki2 menjadi khalifah di muka bumi, siapa yang menentang alam,mari kita tunggu saja keretakan demi keretakan, guncangan demi guncangan,luapan air yang siap menggulung, muntahan panas yang siap menghanguskan,tiupan kencang yang akan meluluhlantakan, dan pada saat itu tiada lagi UUD ’45, tiada lagi izin instansi, tiada lagi surat keputusan, tiada lagi keadilan bayi, remaja, dewasa, tua, lansia,tumbuhan, binatang,mau yg ngaku benar atau merasa tidak bersalah, pukul rata habissssssssssssss, kecuali yang di terima taubatnya, berarti ada kesempatan hidup dari semua itu…..amin..kabulkanlah do’a kami yang terdzolimi amin…amin….aminnnnnnnn….`@,~,@`

  13. Kondisi wanita Indonesia saat ini memang sudah jauh lebih baik. Banyak wanita yang kini menjadi orang penting.

    Namun, saya pribadi belum merasakan aura semangat emansipasi Kartini di daerah pedesaan. Tragisnya mereka (wanita di wilayah pedesaan) harus berhadapan dengan stigma dalam masyarakat mereka sendiri yang masih berpikiran bahwa setinggi-tingginya wanita menuntut ilmu dan menggapai karir, pada akhirnya masuk dapur juga.

    Disamping itu, kebanyakan wanita yang secara ekonomi sangat tergantung pada suami, biasanya tidak memiliki “bargaining power” untuk berkata “tidak”.

  14. kemajuan jaman memudahkan semuanya,,kartini yang jadi pelopor buat para wanita tuk bisa mensejajarkan kedudukan nya dengan laki-laki memang berhasil dan kebanyakan wanita sekarang merasakan emansipasi,sayang kebodohan tak pernah hilang juga dari bangsa ini,banyak contoh yang bisa kita petik dari berbagai macam berita yang di muat,tragis memang di satu titik kita ingin kaum wanita pintar dan bisa berhasil,kebejatan yang mereka lakukan pada tkw-tkw kita sungguh di luar nalar dan perikemanusiaan,,bukan hanya modal keberanian dan kasanggupan saja yang di butuhkan terlebih yang penting adalah kepintaran,,,

  15. nasib pahlawan devisa tak seindah jasanya. seharusnya kita malu terlalu banyak mengirim buruh migran, ini membuktikan lapangan pekerjaan tidak banyak di negeri ini

  16. hmmm…
    sebuah paradoks atas semangat kartini
    sepertinya peringatan kartini belum teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari
    pemerintah harus diingatkan lagi akan hal ini
    semoga kartini memberi pengingat lebih banyak bagi penguasa
    salam saya Kang

    sedj

  17. sebuah paradoks atas semangat kartini
    sepertinya peringatan kartini belum teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari
    pemerintah harus diingatkan lagi akan hal ini
    semoga kartini memberi pengingat lebih banyak bagi penguasa
    sala

  18. Bunda Kartini bila masih hidup,mungkin menangis sampai habis air mata beliau melihat nasib malang pahlawan devisa : TKW…
    Lama gak jalan-jalan ke rumah Pak Wali, sampai-sampai terbawa ke mimpi…

  19. terkadang nasib para tkw sangat memperihatinkan ,perlindunga perempuan sangat kurang adanya perhatian dari pihak-pihak terkait.padahal seorang perempuan adalah merupakan sosok penerus kartini.

  20. Etos hidup wanita yang telah diinspirasikan Kartini sejatinya masih memiliki kesaktian yang luar biasa, ketika orang tidak terjebak pada kehidupan yang mementingkan kejasmanian dan mengabaikan kerohanian, Pak.

    Salam kekerabatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *