Membaca Gumam Asa, Dahi-dahi yang Berkerut

Membaca Gumam Asa, Dahi-dahi yang Berkerut

Catatan: Harie Insani Putra

Koran Radar Banjarmasin, Minggu 24 April 2011, Buku & Sastra, Lorong

 

Adakah disiplin ilmu di dunia ini yang dapat menguraikan kebekuan teks-teks gumam Asa? Andai pertanyaan itu diberikan untuk saya, maka saya akan menjawabnya dengan balik bertanya. Kenapa harus meragukan hal itu? Justru yang perlu dicarikan jawabannya adalah, siapa yang bersedia membawa gumam Asa dalam sebuah pengkajian karya sastra tingkat lanjut? Jika ternyata teori-teori sastra tak mampu membedahnya, mungkin ada teori-teori di bidang ilmu lainnya bisa dijadikan sebagai alat bantu untuk memecah Gumam yang konon beku?

Demikianlah yang terpikir usai mengikuti acara peluncuran buku “Bungkam Mata Gergaji” yang disebut penulisnya, Ali Syamsudin Arsi (ASA) sebagai Gumam. Acara ini berlangsung di Taman Olah Sastra Indonesia (TOSI) bertempat di kota Banjarbaru, 17 April 2011. Untuk membuka kebekuan tentang ‘Gumam’ maka didaulatlah pemerhati sastra HE. Benyamine dan penikmat sastra, Nasrullah (staf pengajar program studi pendidikan sosiologi Unlam) untuk menjabarkan hasil dari pembacaan mereka.

Dalam telaah HE. Benyamine (H.E.B.E), teks-teks Asa dalam buku Bungkam Mata Gergaji (BMG) merupakan sebuah upaya pemberontakan terhadap sesuatu yang telah mapan. Kemapanan di sini tentu saja bisa dimaknai secara luas. Maka H.E.B.E ini kemudian memberikan kesimpulan bahwa ASA secara pribadi cenderung memiliki pemikiran seorang yang anti kemapanan dan ke kiri-kirian. Pendapat H.E.B.E ini kemudian ditanggapi Asa dengan menyatakan bahwa ia kurang setuju ketika disebut kekiri-kirian. Penolakan ini juga ditanggapi H.E.B.E bahwa ketika karya telah sampai ke publik, maka publik berhak menilai. Mendadak saya terkenang dengan manifestonya Roland Barthes- ‘pengarang sudah mati’. Dalam filsafat, jika boleh menyederhana kannya, maka kaitan penulis terhadap pembaca sudah ditandai lewat era modern isme dan post modernisme. Dalam modernisme, pembaca cenderung tidak kritis terhadap proses pembacaan karena penulis diposisikan sebagai pemilik makna tunggal. Seiring manifestonya Roland Barthes, ‘matinya sang penulis’ justru akan membuat pembaca lebih bergairah dalam memberikan makna dan pemaknaan sebuah teks yang dibacanya. Kalau disederhanakan lagi, pengarang sudah mati maka lahirlah pembaca, begitu semangat dalam era post modernisme.

Berbeda dengan H.E.B.E, Nasrullah menyampaikan pandangannya secara teoritis dan cukup ilmiah. Bermula dari teori kimia gerak Brown. Bahwa ada kemiripan teks gumam dengan cara gerak Brown yang tidak teratur akibat antar partikel senantiasa bergerak acak. Dalam antropologi, Nasrullah menyamakannya sebagai dongeng yang bisa bicara dan tentang apa saja. Untuk lebih menegaskan, dikutiplah ungkapan Albert Einstein, “Imajinasi lebih berharga daripada ilmu pengetahuan’. Masih banyak lagi kupasan yang disampaikan Nasrullah dalam makalahnya dan tidak mungkin bisa saya catat seluruhnya di sini.

Dalam kesempatan kedua, Asa ingin menunjukkan bagaimana sebuah gumam terlahir (semacam demo). Karena tidak ada laptop, maka Asa cukup menceritakannya saja. Kata Asa, gumamnya lahir melalui alam bawah sadar. Seperti orang ‘sakau’, begitu katanya, namun saya lebih senang menyebutnya ‘ekstase’. Kalimat demi kalimat mengalir begitu saja. Ucapan Nasrullah sebenarnya bisa menanggapi proses Gumam Asa di atas. Nasrullah menganalogikan bahwa ketika sebuah imajinasi berbuah menjadi teks dan dikumpulkan dalam sebuah buku yang dihadirkan ke tengah publik maka perlu ada toleransinya. Dengan kata lain saya sebut sebagai ‘berdamai dengan pembaca’. Apakah Asa belum berdamai?

Hajriansyah, pelaku sekaligus pemerhati sastra pun senada dengan H.E. B.E bahwa dalam buku gumam kali ini sudah ada upaya berdamai dengan pembaca. Itu bisa ditandai lewat teks yang digunakan. Namun seberapa keras upaya perdamaian itu diikat? Hajri mengatakan jika dalam buku gumam sebelumnya cenderung ditulis dengan kalimat panjang, justru dalam BMG terdapat gumam-gumam pendek. Apakah itu saja sudah cukup berdamai? Saya pikir bukan masalah panjang atau pendeknya kalimat. Ibarat puisi, justru seberapa banyak tanda-tanda yang bisa diberikan agar Gumam bisa dimaknai secara utuh. Sependek apapun, toh jika sangat beku, tetap menyulitkan. Sebaliknya, meski panjang, tapi cair dan tidak harus encer, saya kira sebuah teks mampu berbicara panjang lebar tanpa harus diwakili si penulisnya.

Meski Gumam begitu beku, sebenarnya tetap ada yang menarik untuk dicermati. Ketika saya coba membacanya, tentu saja tanpa harus mencari makna , gumam menawarkan sesuatu yang ritmis, dan puitik. Kenapa bisa terpola semacam itu? Adakah karena Asa seorang penyair? Saya pikir ini pun bisa menjadi bahan kupasan lebih lanjut tentang Gumam Asa lewat pintu kajian sosio kultural. Sebuah cara pendekatan karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan baik pengarang, proses penulisan, pembaca dengan teks sastra itu sendiri. []

Catatan, kepada rekan-rekan yang berminat memiliki buku gumam-asa silahkan kontak nomor 081351696235.

No Comments

  1. (Maaf) izin mengamankan PERTAMAX dulu. Boleh, kan?!
    Sastra dan seni lainnya, saya yakin akan selalu mampu menampung gumam-guman asa, membeah kebekuanya, dan menghadirkan pada semua orang.

  2. Sebuha karya sastra pada akhirnya ada pada pembaca sebagai penilainya. Semakin tinggi tingkat pemahaman terhadap karya sastra, maka nilai-nilia terhadap suatu karya sastra akan semakin jelas. Gumam ASA, tidak lagi beku dibekap oleh pengkajian ilmu, pasti bisa diurai dari segi pembaca sebagai penikmat karya sastra

  3. Saya berharap, bukan disana saja yang aktif menggerakkan sastra. Jarang mendengar kegiatan sastra di kota saya, dan jarang sekali siswa sekarang memahami sastra (termasuk saya) 🙂

  4. Karya yang menghasilkan suatu “gumam”merupakan kritikan yang membangun bagi yang mengena, namun juga ada yang salah mengartikan dari sebuah peristiwa tersebut. semua itu merupakan olah asa sebagai pembelajaran kedewasaan kita yang mau menerimanya ya Pak !

    Sukses selalu

    Salam

    Ejawantah’s Blog

  5. belum baca bukunya pak, tapi dari paparan diatas, bahwa manusia mencari kemapanan selama ini dicoba untuk menjadi dinamis. Kemapanan seperti ruji-ruji besi tahanan. mungkin penulis penat dengan kemapanan yang telah ada, tapi soal kekiri-kirian saya belum berani komentar karena belum baca. hehe.

  6. Sastra sering membawa pembacanya untuk mengerutkan dahi ketika hendak memahami kedalaman makna yang dikandung. Sesuatu yang tersirat dalam karya sastra, umumnya, sungguh besar nilainya bagi kehidupan. Begitu bukan, Pak?

    Salam kekerabatan.

  7. Ini bagus. saya sendiri lagi suka CTL (Contextual Teaching and Learning)–sori ini bukan sastra, memang. Tapi kalau ada hubungan di dalam pembahasan di dalam posting, saya kira CTL bisa dijadikan rujukan. Bertolak dari sana, mungkinkah sebuah karya juga harus tetap konsisten di dalam menjaga kiontextualitas karyanya. Ini sangat penting untuk mengembalikan para pembaca kembali ke darat. Jika filosofi harus disebut, maka artinya kemudian menjadi: “hasil karya sastra berkaki”. Jika itu tidak nyambung, maka harus tetap kontekstual alias berkaki.

  8. Lingkup ilmiah sastrawi yang berbobot. Saya pernah makan kuliahnya Dr. Sadewo dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Apa yang saya dapat dari kritik sastra bisa untuk melihat bahwa: perkembangan sastra terasa semakin dahsyat. Bagaimana hermeneutika harus hidup dan harus menyentuh every detail side of human’s heart, mind and mindset. Ini seperti ketika hermeneutika harus menerebos memasuki setiap lorong-lorong sangat sempit teori-teori yang terkait ketika sang ilmu baru tersebut baru mau muncul ke permukaan sebagai yang terlahir baru untuk hidup nyata di dunia baru di luar rahimnya. Saya juga pernah membaca buku Prof. Subakdi dari Yogyakarta tentang yang berhubungan dengan sastra amerika. Luar biasa, dan semuanya sangat dinamis, bergerak, progressive dan siap untuk menjadi milestone for facing, entering and participating inside of the actual-contextual real reality. Rupanya jika sudah mencapai titik tertentu, maka akan harus ada new starting point lagi; dan itu akan terus dan terus berulang tiada pernah berhenti karena sifat sastra memang HIDUP. Romo Mangun bilang: Sastra pada dasarnya adalah religiusitas. Religiusitas adalah embrio untuk hingga iman natinya. Maka mengapa orang atheis, non-theis, kafir atau apalah bisa sangat mencintai istri, anak, saudara dan yang lain; itu karena religiusotas. Ia asal dan alinya harus ber-logos. Tapi, terus terang saja, pemikiran filsafati (bukan falsafah, lho! filsafat dengan falsafah beda!) harus dijamah, dimasuki, dan diakrabi dengan berani. Memang akan diobrak-abirk di dalamnya. Tapi akan ada restrukturisasi dalam bentuk bulat dari sebuah pencapain yang tak akan stuck. Joko Pinurbo pernah saya dengar dalam seminar. Juga Christ siapa itu lupa dari UGM dulu. Lalu Kang Linus Suryadi AG, dan yang lain-lai. Mereka orang-orang kritis. Entah sekarang di mana, saya belum browsing. Dan apa yang dipaparkan di posting mengingatkan juga tak hanya hermenutika. Teori-teori baru lain seperti psikologi Abraham Maslow ketika lahir juga berani memasuki setiap lorong sempit teori-teori pendahulunya seperti Freudianisme dan Behaviorisme. Lalu Being-ya Enrich Fromm. Juga Liebniz yang tak hanya aperion-nya Thales itu. Saya kagum dan terus maju. Beranilah memasuki setiap lorong-lorong maha-sempit luar biasa itu biar Indonesia rakyatnya tak hanya suka apa-apa serba status quo: gaji tetap, dapat insentive, dapat uang ganti, dapat pensiun, dapat sertifikasi lalu enak, tak belajar dan mandeg; ketika diminta merenungi realita, emosi tidak kuat dan berteriak-teriak atau bahkan malah anarkis. Kasihan Bangsa Tercinta ini. Sentuh mereka hingga paling dasar dan bongkar habis heart, mind dan mindset yang status quo plus materialst, hedonist, fungsionalist, berkerumun banyak tapi tak kritis, dst. Langkahnya harus seperti tentara siap tempur dalam arti bukan mematikan tetapi menghidupkan. Menghidupkan ini harus menjadi sentral dan inti (nucleus) pemikiran, kesadaran, refleksi, buah harum-manis di dalam mengejawantahkan sikap berkarakter. Sebab kitis atau apalah tetapi mematikan dan tak menghidupkan itu percumah. Bahayanya, budaya kematian bisa terus tumbuh berkembang dengan sangat subur. Sejak the early age, lalu masa muda hingga jadi pemuda dan nanti pastilah kelanjutannya. Ini usia yang sangat-sangat menjanjikan jika positif. Ingat: ini tak lagi hanya jaman modern, jaman komputer, jaman robot tapi sudah jaman informasi. Selamat, semoga semua semakin menjadi nyata secara positif.

  9. pendidikan dengan model sastrawan sedikit banyak lebih menyentuh alam bawah sadar manusia. lebih mengena dan menggema dalam diri

  10. pendidikan harus di nomor satukan.
    karena dengan pendidikan khususnya bagi siswa sangat besar sekali manfaatnya, siswa yang belajar membaca disekolah lebih baik dari pada mereka yang tidak dapat membaca.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *