Pengajaran Sastra, Kurikulum, dan Kompetensi Guru Bahasa

Minggu, 10 April 2011, saya didaulat untuk menjadi salah satu pembicara dalam Seminar Sehari bertema “Menuju Pengajaran Sastra yang Apresiatif” yang digelar oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang di Gedung B1 Ruang 106 FBS UNNES. Seminar tersebut juga menghadirkan pembicara Mukh. Doyin (Dosen FBS UNNES), Teguh Wibowo (Guru SMA 2 Semarang), dan Achiar M. Permana (wartawan Warta Jateng). Seminar yang dihadiri sekitar 100-an peserta dari unsur pendidik dan calon pendidik mulai pukul 09.30-13.00 WIB tersebut, selain untuk mengenang 100 hari wafatnya Bapak S. Suhariyanto (Dosen FBS UNNES), juga dimanfaatkan sebagai ajang reuni.

Berikut adalah tulisan pendek yang saya sajikan dalam seminar tersebut.

Pengajaran Sastra, Kurikulum, dan Kompetensi Guru Bahasa *)
Oleh: Sawali Tuhusetya

seminarseminarseminarSeiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju proses kesejagatan, sastra menjadi makin penting dan urgen untuk disosialisasikan dan “dibumikan” melalui institusi pendidikan. Karya sastra memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang. Dengan bekal apresiasi sastra yang memadai, para keluaran pendidikan diharapkan mampu bersaing pada era global dengan sikap arif, matang, dan dewasa.

Namun, secara jujur harus diakui, selama ini sastra belum mendapatkan tempat yang terhormat dalam dunia pendidikan kita. Selalu saja ada dalih untuk mengebirinya. Entah lantaran kurikulumnya, ketidaksiapan gurunya, sulitnya menentukan bahan ajar, atau minimnya minat siswa. Selalu saja muncul beberapa alasan klasik untuk menutupi nihilnya “kemauan baik” untuk memosisikan sastra pada aras yang berwibawa dan bermartabat. Yang lebih memprihatinkan, masih ada opini “menyesatkan” bahwa sastra hanya sekadar produk dunia khayalan dan lamunan yang tak akan memberikan manfaat dalam kehidupan nyata.

Sastra pada hakikatnya merupakan “prasasti” kehidupan; tempat diproyeksikannya berbagai fenomena hidup dan kehidupan hingga ke ceruk-ceruk batin manusia. Sastra bisa menjadi bukti sejarah yang otentik tentang peradaban manusia dari zaman ke zaman. Hal ini bisa terjadi lantaran sastra tak pernah dikemas dalam situasi yang kosong. Artinya, teks sastra tak pernah terlepas dari konteks sosial-budaya masyarakatnya. Dengan kata lain, teks sastra akan mencerminkan situasi dan kondisi masyarakat pada kurun waktu tertentu. Sebagai sebuah produk budaya, dengan sendirinya teks sastra tak hanya merekam kejadian-kejadian faktual pada kurun waktu tertentu, tetapi juga menafsirkan dan mengolahnya hingga menjadi adonan teks yang indah, subtil, dan eksotis. Kepekaan intuitif sang pengarang terhadap masalah hidup dan kehidupan menjadi modal yang cukup potensial untuk melahirkan teks-teks sastra yang “liar”, unik, dan mencengangkan.

Karena diciptakan dengan mempertimbangkan kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra, sebuah teks sastra memiliki kandungan nilai yang sarat dengan sentuhan kemanusiawian. Dengan membaca teks sastra, nurani pembaca menjadi lebih peka terhadap persoalan hidup dan kehidupan. Teks sastra juga mampu memberikan “gizi batin” yang akan mempersubur khazanah rohani pembaca sehingga terhindar dari kekeringan dan “kemiskinan” nurani. Tek sastra juga mampu merangsang peminat dan pembacanya untuk menghindari perilaku-perilaku anomali yang secara sosial sangat tidak menguntungkan. Agaknya masuk akal kalau Danarto pernah mengatakan bahwa kaum remaja-pelajar yang suka tawuran dan selalu menggunakan bahasa kekerasan dalam menyelesaikan masalah merupakan potret kegagalan pengajaran sastra di sekolah. Mereka tak pernah membaca teks sastra sehingga tidak memiliki kepekaan dan kearifan hidup dalam menghadapi masalah kehidupan yang mencuat ke permukaan.

Persoalannya sekarang, masihkah kita mencari-cari alasan untuk mengebiri sastra dalam dunia pendidikan ketika peradaban benar-benar sedang “sakit”? Masihkah kita berdalih untuk menyingkirkan sastra dari dunia pendidikan ketika nilai-nilai kesalehan hidup gagal merasuk ke dalam gendang nurani siswa lewat khotbah dan ajaran-ajaran moral? Masihkah kita mengambinghitamkan kurikulum pendidikan ketika apresiasi sastra di kalangan pelajar menjadi mandul, bahkan banyak pelajar kita yang mengidap “rabun sastra”?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu memang bukan hal yang mudah untuk dijawab. Sastra bukan “sihir” yang sekali “abrakadabra” langsung bisa mengubah keadaan. Sastra lebih banyak bersentuhan dengan ranah batin dan wilayah kerohanian sehingga hasilnya tak kasat mata. Nilai-nilai kesalehan hidup yang terbangun melalui proses apresiasi sastra berlangsung melalui tahap internalisasi, pengkraban nilai-nilai, persentuhan dengan akar-akar kemuliaan dan keluhuran budi, serta pergulatan tafsir hidup yang akan terus berlangsung dalam siklus kehidupan pembacanya. Proses apresiasi sastra semacam itu akan menghasilkan “kristal-kristal” kemanusiaan yang akan memfosil dalam khazanah batin pembaca sehingga menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya. Ini artinya, mengebiri sastra dalam kehidupan tak jauh berbeda dengan upaya pengingkaran terhadap nilai-nilai kemuliaan dan martabat manusia itu sendiri.

Dalam konteks demikian, sesungguhnya tak ada alasan lagi untuk melakukan proses marginalisasi terhadap sastra, apalagi dalam dunia pendidikan yang notabene menjadi “agen perubahan” untuk melahirkan generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pun kini sudah amat akomodatif dan “bersahabat” dengan sastra. Jika kurikulum sebelumnya membidik sastra hanya sekadar tempelan seperti dalam sebuah mozaik, kini sastra sudah menjadi bagian esensial dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.

Jika dibandingkan dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya, muatan sastra dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tampak lebih utuh dan komprehensif. Ada keterampilan reseptif (mendengarkan dan membaca) dan produktif (berbicara dan menulis) sekaligus di dalamnya. Dengan kata lain, ada aktivitas siswa untuk mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis sastra selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Kalau muatan sastra dalam KTSP disajikan dengan baik, fenomena “rabun sastra” yang konon sudah menggejala di kalangan pelajar kemungkinan besar akan dapat teratasi.

Persoalannya sekarang, sudah benar-benar dalam kondisi siapkah para guru bahasa menyajikan muatan sastra dalam KTSP itu kepada siswa didik? Sanggupkah para guru bahasa kita memikul peran ganda; sebagai guru bahasa dan sekaligus guru sastra? Mampukah para guru bahasa kita memberikan bekal yang cukup memadai kepada anak-anak negeri ini dalam mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis sastra? Hal ini penting dikemukakan, sebab selama ini memang tidak ada spesifikasi dalam penyajian materi bahasa dan sastra. Guru bahasa dengan sendirinya harus menjadi guru sastra.

Kalau guru bahasa memiliki kompetensi sastra yang memadai, jelas tidak ada masalah. Mereka bisa mengajak siswa didiknya untuk “berlayar” menikmati samudra sastra dan estetikanya. Melalui sastra, siswa bisa belajar banyak tentang persoalan hidup dan kehidupan, memperoleh “gizi” batin yang mampu mencerahkan hati nurani, sehingga sanggup menghadapi kompleks dan rumitnya persoalan kehidupan secara arif dan dewasa. Namun, secara jujur mesti diakui, tidak semua guru bahasa memiliki kompetensi sastra yang memadai. Minat dan kecintaan guru bahasa terhadap sastra masih menjadi tanda tanya. Tidak berlebihan jika pengajaran sastra di sekolah cenderung monoton, kaku, bahkan membosankan.

Tidak semua guru bahasa mampu menjadikan sastra sebagai “magnet” yang mampu menarik minat siswa untuk mencintai sastra. Yang lebih memprihatinkan, pengajaran sastra hanya sekadar menghafal nama-nama sastrawan beserta hasil karyanya. Siswa tidak pernah diajak untuk menggumuli dan menikmati teks-teks sastra yang sesungguhnya.

Kalau kondisi semacam itu terus berlanjut bukan mustahil peserta didik akan mengidap “rabun” sastra berkepanjangan. Implikasi lebih jauh, dambaan pendidikan untuk melahirkan manusia yang utuh dan paripurna hanya akan menjadi impian belaka.

Kini sudah saatnya dipikirkan pemberdayaan guru bahasa dalam pengertian yang sesungguhnya. Format pemberdayaan guru semacam seminar, lokakarya, penataran, atau diklat yang cenderung formal dan kaku, tampaknya sudah tidak efektif. Forum non-formal semacam bengkel sastra barangkali justru akan lebih efektif. Mereka bisa saling berbagi pengalaman dan berdiskusi. Simulasi pengajaran sastra yang ideal bisa dipraktikkan bersama-sama, sehingga guru bahasa memperoleh gambaran konkret tentang cara menyajikan apresiasi sastra yang sebenarnya kepada siswa.

Dalam situasi demikian, guru bahasa menjadi figur sentral dalam menaburkan benih dan menyuburkan apresiasi sastra di kalangan peserta didik. Kalau pengajaran sastra diampu oleh guru yang tepat, imajinasi siswa akan terbawa ke dalam suasana pembelajaran yang dinamis, inspiratif, menarik, kreatif, dan menyenangkan. Sebaliknya, jika pengajaran sastra disajikan oleh guru yang salah, bukan mustahil situasi pembelajaran akan terjebak dalam atmosfer yang kaku, monoton, dan membosankan. Imbasnya, gema apresiasi sastra siswa tidak akan pemah bergeser dari “lagu lama”, terpuruk dan tersaruk-saruk.

Ada baiknya Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) perlu segera melakukan pemetaan guru bahasa untuk mengetahui guru bahasa yang memiliki kompetensi dan minat di bidang sastra. Merekalah yang kelak diharapkan menjadi guru sastra yang mampu membawa dunia siswa untuk mencintai sastra. Guru bahasa yang nihil talenta dan miskin minat sastranya tidak usah dibebani tugas ganda. Biarkan mereka berkonsentrasi di bidang kebahasaan, sehingga mampu memberikan bekal kompetensi kebahasaan secara memadai. Sebaliknya, biarkan pengajaran sastra diurus oleh guru bahasa yang benar-benar memiliki kompetensi dan minat di bidang sastra. Dengan spesialisasi semacam itu, kompetensi bahasa dan sastra siswa diharapkan bisa berkembang bersama-sama tanpa ada yang dianaktirikan. ***

*) Disajikan pada acara “Menuju Pengajaran Sastra yang Apresiatif” di Universitas Negeri Semarang (UNNES) pada hari Minggu, 10 April 2011

No Comments

  1. (Maaf) izin mengamankan PERTAMAX dulu. Boleh, kan?!
    Di tempat saya guru bahasa saja sudah kalang kabut mengejar tuntutan kurikulum bahasa. Materi sastra pun sering hanya disampaikan ala kadarnya.

  2. betul pak, yang utama adalah kompetensi kesastraan para guru bahasa. BUKAN hanya bisa MEMBERI CONTOH bagaimana membuat karya sastra, melainkan guru bahasa harus bisa MENJADI CONTOH dalam hal karya-karya sastra. Kalau begini berarti UNES dan LPTK pencetak guru bahasa juga harus ikut bertanggung jawab

  3. maaf sebelumnya, saya kira bahwa terlalu banyak guru bahsa adalah sebuah pekerjaan yang mungkin tidak sengaja sebelum asal kuliah untuk mempermudah mendapatkan pekerjaan.
    Sehingga saat benar bekerja ( termasuk menjadi guru) adalah sekedar kegiatan rutin sampai pada waktu gajian.
    ini pendapat pribadi saja, masih banyak juga yang memang benar benar jiwanya adalah seorang guru.

  4. Saya punya pandangan sendiri tentang sastra Pak… Sastra adalah bahasa indah untuk penuangan ide akan sesuatu….mungkin ada yang tak setuju dnegan pandangan saya,,….tapi itulah yang saya tangkap. Saya sendiri menyukai sastra meski tak mampu menciptakan satukarya sastra….walau beberapa karya saya ada yang menilai mengandung unsur sastra. saya hanya menulis 🙂

  5. Wah…hebat, Pak…
    Menjadi pengisi acara di acara seminar sastra..
    Selamat, Pak…

    Saya juga suka sekali dengan sastra,…
    makannya saya pengen menjadi seorang sastrawan yang handal nanti…amin..
    O ya, Pak…tanggal 18 nanti saya mau UN, minta do’anya ya, Pak…
    Supaya diberi kemudahan, dan kelancaran oleh Allah swt. Amin… 🙂

    Terimakasih banyak…

  6. wahhh jadi inget saat kuliah dulu saya ambil fakultas FBS tp jurusan bhs ingg…Saya pernah tahu bahasa pak Sawali saat ultah TPC ke 2 di Sby dulu…
    mnurut saya sastra agak njelimet, mungkin krn kurang ketertarikan saya kali yaaa

  7. Bicara soal sastra, terus terang buat saya agak susah pak untuk mempelajarinya 😀
    Waktu sma dulu, wah..kalo soal sastra kadang saya suka ogah-ogahan, gak ada bakat kayaknya, hihiih…
    Tapi emang tepat kalo dunia sastra lebih dipelajari secara maksimal 🙂

  8. kebanyakan orang mengenal sastra justru dari luar sekolah, pak. saya dekat dg sastra justru ketika kuliah di jurusan ilmu komunikasi. he2. pendidikan formal saya sangat kecil kontrbusinya terhadap pengetahuan sastra saya.

  9. sastra… kenapa kurang menyentuh dan kurang berefek… mungkin karena sebagian besar dari peserta didik hanya tahu sastra lewat sinopsis dan soal2 T___T

    semoga pendidikan sastra bisa lebih baik lagi 🙂

  10. saya suka pernyataan pada hakikatnya sastra merupakan “prasasti” kehidupan; tempat diproyeksikannya berbagai fenomena hidup dan kehidupan .

  11. Sastra yang begitu kuat menyumbang batin dan kerohanian orang, begitu disayangkan karena ternyata memang, kini, sastra kurang tersentuh dalam proses pembelajaran di sekolah secara apresiatif. Apalagi fakta keseharian di tengah-tengah masyarakat banyak dipertontonkan kekerasan, kemunafikan, kebobrokan moral di level figur publik. Jadi, lengkap sudah “kehancuran” generasi bangsa ini, ya Pak. Ah, semoga ini hanya pikiran saya saja yang kurang beres. hehehehe….

    Salam kekerabatan.

  12. Sastra? Wuih saya sering terkagum-kagum ama para sastrawan sastrawati. Bahkan anak-anak muda mereka sudah punya karya yang mengesankan.
    Saya bermimpi punya karya bidang sastra. Sayangnya latar belakang pendidikan “kurang mendukung” 😀

    Rus banyak cari ilmunya dulu di sana sini 🙂

    1. wah, salut banget, mas erdien. sastra sesungguhnya tak berkaitan langsung dg latar belakang pendidikan, kok. banyak sastrawan hebat yang justru tdk berlatar belakang pendidikan kesastraan.

  13. sepengalaman saya ketika skolah sastra hanya antara baca dan nulis .. belum sampai ke tingkat apresiasi dan interprestasi.. tapi ga tau juga sih dengan kurikulum skrg 🙂 mudah2an lebih bagus dan komprehensif.. karena sastra mengasah kepekaaan 🙂 bukan begitu mas?

  14. Bicara soal sastra, dari dulu guru bahasa saya kurang ‘klop’ kalau ngajar sastra. Apalagi sekarang, banyaknya peminat guru PNS bukan berarti pintu terbuka bagi pendidikan kita, perlu evaluasi sejauh mana kemampuan mereka.

  15. sastra itu kaya makna, kaya perbendaharaan kata.. dan sastra itu indah, namun saya tidak banyak belajar tentang sastra. Terimakasih dah share! belajar banyak tentang sastra disini.

  16. Tadi malam anak saya latihan drama yang akan dipentaskan pagi hari ini dikelasnya.
    Memang pengetahuan tentang sastra harus ditanamkan secara dini disekolah2 dan mutu guru sastra perlu dikembangkan secara terus menerus.

  17. Saya salut dengan apresiasi Pak Sawali terhadap sastra.

    Barangkali yang menjadi hambatan terbesar adalah kadar apresiasi masyarakat dan pemerintah terhadap dunia sastra.

    Stigma dalam masyarakat kita masih menganggap gelar dokter atau insinyur lebih menarik daripada gelar sarjana sastra, jika dikaitkan dalam hal kesempatan kerja.

    Dari sisi pemerintah terbukti dengan kasus perpustakan HB Jasin. Kasus ini akan mempertebal stigma masyarakat yang saya sebutkan di atas.

    Barangkali ini PR jangka panjang bagi kita semua.

  18. Wow, salut Pak Sawali. Setelah membaca tulisan ini, aku teringat dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Taufik Ismail bahwa siswa SMA di Indonesia hampir 0% yang membaca novel atau karya sastra, tak seperti di negeri jiran Malaysia atau Singapura, bahkan di negara-negara maju yang siswanya sangat aktif membaca sastra. Tetapi itu dulu, dan mungkin sekarang lain.

    Akan tetapi lagi, seperti yang Pak Sawali katakan, sastra masih belum menjadi perhatian khusus dalam dunia pendidikan, bahkan cenderung diabaikan. Jika banyak guru yang seperti Anda, insya Allah sekolah di Indonesia akan maju… 🙂

    1. terima kasih atas apresiasinya, mas. penelitian taufiq ismail beberapa tahun yang silam agaknya masih relevan utk saat ini. meski kurikulum sdh berubah, rendahnya budahnya literasi di negeri ini agaknya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap rendahnya minat baca anak2 terhadap buku2 sastra.

  19. setiap orang membutuhkan bekal sastra, apapun latar belakangnya….
    setidaknya untuk bekal bicara, bekal menulis untuk laporan dan bekal untuk melembutkan hati dan mendinginkan fikiran tentunya..
    semoga para guru bahasa Indonesia bisa bersemangat untuk menyemangati para muridnya dalam belajar sastra

    1. setuju banget, mas pur. bahasa sebagai media berekspresi dengan sendirinya sangat diperlukan sbg sarana berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan, di berbagai ranah kehidupan. terima kasih supportnya, mas.

  20. guru yang seharusnya bisa menaburkan benih dan menyuburkan apresiasi sastra di kalangan peserta didik, saya kok blom melihatnya ya….yang saya lihat di sekitar saya hanya guru2 yang “sak dermo” berangkat menunaikan kewajiban dinas semata. semoga di tempat lain tidak seperti itu

  21. tulisan yang ekstensif dan menarik 🙂 . saya masih ingat guru sastra sma saya dulu, salah satu orang yang paling menginspirasi untuk baca sastra. Saya kira itu salah satu hal yang penting, bagaimana seorang guru, utamanya guru sastra, bisa memberi inspirasi sastra kepada siswa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *