Gumam Asa, Aforisma dan Pasta Kebenaran

Gumam Asa, Aforisma dan Pasta Kebenaran
Oleh : Sainul Hermawan
(Koran Media Kalimantan, Sabtu, 28 Agustus 2010, Sastra)

Istana Daun Retak (IDR) (Frame Publishing, 2010) adalah kumpulan tulisan yang dinamai gumam oleh penulisnya sendiri, Ali Syamsudin Arsi (ASA). IDR adalah kumpulan gumamnya yang ketiga setelah Negeri Benang Pada Sekeping Papan (Tahura Media, 2009) dan Tubuh di Hutan Hutan (Tahura Media, 2009). Pada halaman delapan, ASA bertanya, “adakah gumam ini masuk dalam salah satu jenis gaya penulisan, sebagai karya dalam jenis apa ia?”

Meski ia menyerahkan jawaban pada keputusan pembaca dalam segala kemungkinan tafsirnya, ASA sendiri ingin ia masuk dalam ranah sastra. Karena itulah ia pernah hadir di bulletin sastra swakelola Seloka Tepian yang sangat pendek umurnya dan juga pernah mengisi ruang Cakrawala Sastra dan Budaya Koran Radar Banjarmasin.

Secara sosiologis ada persepsi yang sama antara penulis dan dua penerbit meskipun memiliki kedekatan persahabatan yang mungkin merintangi obyektivitas redaksi dalam menerima atau menolak sebuah tulisan untuk memasuki ruang sastra. Namun, ada indikasi karakteristik wacana dalam buku ini untuk bisa disebut salah satu genre sastra yang bernama aforisma (aforisme).

Dalam wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Aphorism), ensiklopedia berbasit internet, dijelaskan bahwa aforisma dalam sastra sering disebut sebagai sastra kebijaksanaan. Berdasarkan ensiklopedia ini, aforisma biasanya berupa pernyataan-pernyataan singkat berisi kebenaran subyektif yang disampaikan secara lisan ataupun dengan tulisan prosais ataupun puitik yang mengulang-ulang kata, frase, atau kalimat dan bahkan mempermainkan ketiganya dengan bahasa yang tak tertata sebagai bentuk pembangkangan kreatif terhadap tatanan berbahasa untuk menyegarkan persepsi pembaca yang serba otomatis dengan mengaduk-aduk konvensi bahasa dalam pikirannya. Sekedar contoh, baca cuplikan baris-baris awal dari Gumam Asa nomor dua dalam buku ini (5-9), berjudul “Raja-Raja Menikmati Istana”:

Akh, tak ada kemiskinan itu. Kemelaratan itu hanya hayalan saja. Itu ciptaan orang-orang yang memahami bahwa kemewahan sangat nyata. Sejak engkau melarikan diri dan mulai menancapkan sebiji hati di tiang pancang itu maka sejak itu pula yang namanya dunia merambah belantara tanpa dapat dikendalikan. Tubuh melayang dan tersangkut di akar-akar bakau pulaumu retak daunnya sebagaimana ikan-ikan itu melahap buih-buih di pecahan gelombang.

Dalam cuplikan itu ada ungkapan-ungkapan bijak dan permainan bahasa. Sebagai sebuah permainan, makna Gumam akan dapat kita pahami dengan baik jika kita tahu aturan mainnya. Dalam catatan kreatifnya ASA tampaknya mencoba menggagas aturan main itu. Pertama, bahasa Gumam adalah bahasa yang liar. Kedua, dalam keliaran itu dia menyelipkan pesan yang dapat diraih secara keseluruhan, atau sebagian saja dalam bentuk percikan atau bias. Ketiga, akrobat kata-kata dalam Gumam ini bukan sekadar sarana melainkan juga sasaran. Sebagian gumam dalam buku ini semacam antitesis bagi upaya Emha Ainun Nadjib untuk menyederhanakan yang rumit, sebaliknya Gumam merumitkan yang sederhana sekaligus yang rumit.

Wajar jika ada pembaca, yang sudah terbiasa dengan bacaan yang mudah diterima persepsi, mudah putus asa membacanya karena memang bahasa Gumam jungkir-balik, dan aneh meski jika kita pahami dengan pelan kita bisa temukan pesan bijak yang ingin disampaikan.

Dengan semesta intensi ASA dan resepsi sebagian pembaca serta karakteristik teksnya, IDR bisa kita baca dari mana saja: bisa dari awal, belakang, dari tengah, bisa satu baris atau beberapa baris, satu paragraph atau beberapa paragraph saja, sebab peranti kohesi dan koherensi sebagai fasilititas tekstual untuk memahami hubungan antarkata, antarparagraf, dan antarbab banyak diabaikan dan ini salah satu faktor penyebab rumitnya Gumam ASA.

Gumam ASA memang tak sepenuhnya patuh pada aturan penulisan tanda baca titik atau koma. Tampak keinginan penulislah untuk tak terlalu sibuk menyandingkan sastra dan bahasa. Ia ingin estetika mengalir semaunya tanpa kekangan tata bahasa. Ia seakan menciptakan tata sastra dengan menunggangi bahasa. Ia tak ingin dikuasai bahasa. Tetapi konvensi penulisan kata masih tetap dipatuhi.

Ada sebagian isi buku ini yang bisa dibaca sebagai prosa naratif, dan sangat banyak berupa prosa lirik atau puisi yang ditampilkan dengan tifografi prosa, dan ada puisi dalam tifografi bait per-bait.

Meski ada pertanyaan, kita tak akan menemukan tanda tanya, dan meski banyak seruan, tanda seru tak satupun ia gunakan. Tapi, kita yang akrab dengan gaya ASA dalam membaca puisi, kita bisa dengan mudah menandai pada bagian mana perlu ada tanda tanya dan tanda seru.

Cara terbaik menikmati buku ini bukan dengan mulai menanyakan mana pangkal dan ujungnya. Nikmatilah seperti anak kecil menikmati hujan. Setiap hantaman air dari langit menjadi sensasi tersendiri. Demikian pula dengan lebatnya hujan kata-kata dalam buku ini. Tinggal pilih, mau menikmati efek bunyi saat kata-kata itu menghantam otak kita atau batin kita. Mungkin ASA sedang membayangkan dirinya bermain di taman sastra dengan bahasa sebagai hujannya. Di taman itu ia memainkan bahasa sesuka hatinya.

Kesukaan itu tentu tak semata muncul dari dalam dirinya. Tampaknya dia telah lama mencermati teori-teori Wittgenstein tentang permainan bahasa melalui buku Filsafat Analitik (Mustansyir, 2001:101-107). ASA tampaknya sepakat dengan gagasan dasarnya bahasa, tak ada satu cara yang mutlak untuk menggunakan bahasa dan memahami makna bahasa. Jangan menyalahkan bahasa Gumam sebelum kita mengetahui dasar-dasar aturan permainannya. Karenanya, Gumam menarik ditelaah lebih jauh dari pelbagai kemungkinan permainan bahasanya.

Dengan demikian, IDR tentu buah persilangan sastra, teater, pendidikan, dan filsafat. Dalam buku ini penulisnya ingin mengekspresikan sikap mentalnya kepada idola, kawan dan musuhnya. Memang daripada dua buku Gumam sebelumnya, yang ini bisa lebih mudah dinikmati, dan ketidakjelasan tampak berhasil jadi style. Kompleksitas ungkap cukup mudah disaripatikan, tentu oleh mereka yang bermaksud demikian.

Karena terlalu asyik bergumam, ASA pun melihat potensi-potensi gumam di sekitarnya. Pada gumam ke-6 (28-35) dalam buku ini, ia bergumam bersama hutan, padi, kepal tangan, gambar, kaki, botol plasik, dll. Ia pun menentukan sasaran gumam (gumam ke-14, hal. 93-116).

Sebagai widom literature yang berpretensi menawarkan kebenaran yang subyektif dengan bahasa akrobatik, IDR cukup melelahkan pembacaan. Kelelahan juga akibat abstraksi ide yang berlebihan. Makna-makna berkelebat, mungkin sulit ditangkap. Dengan cara-cara berbahasa yang menyimpangi konvensi, dengan gaya tak langsung yang cukup rumit, ASA sengaja tidak ingin berterus-terang dengan kebenaran yang ingin ia sampaikan. Ini semacam pasta kebenaran dalam konsep Edward de Bono (2009: 97-100).

Sebagaimana halnya pasta gigi yang berfungsi menjaga gigi agar tetap putih dan cemerlang serta gusi tetap sehat, pasta kebenaran bisa berfungsi merawat kebenaran dengan cara yang instant dan harus diulang dengan kesegaran yang temporer. Membesar-besarkan fakta dengan bahasa-bahasa bersayap, kata de Bono, adalah bentuk umum pasta kebenaran. Setiap ungkapan dalam pasta kebenaran sulit diukur atau diverifikasi karena sifatnya yang sangat subyektif.

Boleh juga jika Anda mau coba sebagai sarana terapi jika Anda sulit tidur. Yang paling enak dari buku ini adalaj jika isinya dihidupkan dalam pembacaan puisi oleh penulisnya. Justru itulah sasaran penulisnya dengan style yang semacam ini. Teks Gumam tampak lebih ditujukan untuk ditampilkan di atas pentas poetry recital daripada dibaca untuk pemahaman.

Genre yang abu-abu dari Gumam, antara puisi dan prosa pada satu sisi menciptakan momentumnya sendiri tetapi di pihak lain ia asing bagi pembaca prosa dan puisi sehingga pada akhirnya ia berpotensi diasingkan. Setidaknya tak dipertimbangkan sebagai bahan yang layak untuk segmen pembaca tertentu. Tapi, kata ASA sendiri, bacaan ini sangat digemari murid-murid di sekolah tempat ia mengajar. Sebagai karya sastra, tentu ia punya kemungkinan untuk disikapi demikian. Sebab, hal yang membosankan bagi seseorang, mungkin menarik bagi orang lain. Pun, bagian yang tak terukur dari tulisan saya ini adalah sebentuk pasta kebenaran.

Penulis Gumam

Ali Syamsudin Arsi, lahir di Barabai, Kalimantan Selatan pada tahun 1964. Kini menetap di kota Banjarbaru. Sering menulis puisi, cerpen, esei juga terkadang naskah drama.

Puisi-puisinya juga ikut meramaikan buku-buku kumpulan puisi bersama, dari yang ada di wilayah Kalimantan Selatan, sampai pulau Jawa dan Sumatera, diantaranya: (1) Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Medan, 2005), (2) Komunitas Sastra Indonesia, catatan perjalanan (Kudus, 2008), (3) Kenduri Puisi, buah hati untuk Diah Hadaning (Yogyakarta, 2008), (4) Tanah Pilih (Jambi, 2008), (5) Pedas Lada Pasir Kuarsa (Bangka Belitung, 2009), (6) Mengalir di Oase (Tangerang Selatan, 2010), (7) Percakapan Lingua Franca (Tanjungpinang, Kepulauan Riau, 2010), (8) Beranda Senja, setengah abad Dimas Arika Mihardja (Jakarta, 2010)..

Bukunya yang telah terbit adalah berupa tetralogi gumam asa, yaitu (1) Negeri Benang pada Sekeping Papan (2009), (2) Tubuh di Hutan Hutan (2009), dan (3) Istana Daun Retak (2010).

Sebagai editor, telah pula menerbitkan buku-buku; (1) Bahana (kumpulan puisi, 2002), (2) Darah Penanda (antologi sastra, cerpen dan puisi hasil lomba, 2008), (3) Taman Banjarbaru (kumpulan puisi penyair Forum Taman Hati Banjarbaru, 2005), (4) Di Jari Manismu Ada Rindu (kumpulan puisi Hamamy Adabi, 2008), (5) Bertahan di Bukit Akhir (kumpulan puisi penulis Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 2008), (6) Bunga Bunga Lentera (kumpulan puisi siswa SD dan SMP kota Banjarbaru, 2009), (7) Tugu Bundaran Kota (kumpulan puisi siswa SD dan SMP kota Banjarbaru, 2010).

Tahun 1999 menerima penghargaan sastra dari Bupati Kabupaten Kotabaru. Tahun 2005 menerima penghargaan sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan. Tahun 2007 menerima penghargaan sastra dari Balai Bahasa Banjarmasin. ***

26 Comments

  1. Ya, perspektif seseorang tentang sebuah karya sastra tentunya akan berbeda-beda, tetapi setelah membaca artikel ini saya sependapat dengan murid-murid ASA di sekolahnya, satu kata, menarik ….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *