Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah

Dalam satu dekade belakangan ini, nurani kita tercabik-cabik dan terharu-biru oleh maraknya aksi kekerasan yang brutal dan sadis berkedok agama. Kasus yang dengan telanjang menampilkan ulah bar-bar dan premanisme sebagaimana yang tertayang di layar kaca bukanlah karakter bangsa kita yang sesungguhnya. Kekerasan yang terjadi di Cikeusik atau Temanggung beberapa waktu yang silam, misalnya, makin membuka mata kita bahwa sakralitas makna “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”, diakui atau tidak, sudah mulai luntur. Dan ini, jelas menjadi perkara serius yang perlu segera dituntaskan sebelum akhirnya mewabah menjadi “penyakit sosial” yang bisa meluluhlantakkan basis keindonesiaan kita yang sejak dulu amat toleran terhadap perbedaan. Apalagi, kasus-kasus yang mencuat ke permukaan terkait langsung dengan masalah keyakinan, kepercayaan, atau agama yang menjadi salah satu hak dasar dan asasi setiap warga bangsa. Ini artinya, tak seorang pun yang berhak untuk mencampuri dan mengintervensi hak-hak setiap warga negara yang mendasar dan asasi itu.

Taruhlah keyakinan perorangan atau sekelompok orang dianggap menyimpang atau bertentangan dengan “keyakinan” mainstream yang ada di negeri ini, tetapi tidak lantas berarti harus dituntaskan dengan cara-cara kekerasan yang justru amat bertentangan secara diametral dengan keyakinan agama apa pun. Bukankah setiap agama selalu mengajarkan nilai-nilai cinta dan kasih sayang kepada sesama secara universal? Sungguh tidak bisa dipahami kalau pada akhirnya muncul “perilaku sesat” lewat tampilan preman dengan menenteng pentungan atau senjata tajam di ruang-ruang publik. Sungguh tidak bisa dimengerti kalau ada sekelompok orang yang berteriak di jalanan dengan menyebut-nyebut nama Tuhan, tetapi wajah mereka menunjukkan keangkuhan dan kegarangan dengan tangan menenteng senjata tajam berlumuran darah segar.

Dalam kondisi seperti itu, idealnya negara harus “hadir” di tengah kecamuk kekerasan yang membadai semacam itu. Namun, sayang sekali, negara melalui aparat yang berwenang dinilai selalu hadir terlambat sehingga kekerasan demi kekerasan terus berlangsung tanpa ada upaya untuk mencegah sejak dini. Sejak peristiwa berdarah Mei 1998, entah sudah berapa nyawa yang melayang sia-sia akibat praktik premanisme dan vandalisme berbau SARA.

Mungkin ada benarnya kalau ada yang bilang bahwa kekerasan berbau SARA yang seringkali terjadi di negeri ini merupakan manifestasi kesalahpahaman akibat lemahnya pemaknaan terhadap perbedaan. Perbedaan belum dipahami secara utuh sebagai sebuah “rahmah”, tetapi justru dipersempit hingga menimbulkan pemaknaan eksklusif yang memicu tumbuhnya sikap fanatisme sempit. Mereka yang tidak sepaham dianggap sebagai pihak lain yang mesti dimusuhi yang tidak jarang diikuti dengan aksi-aksi agitasi dan provokasi. Imbas yang muncul dari situasi seperti itu adalah banyaknya orang yang tidak tahu apa-apa, tetapi terlibat secara masif dalam aksi-aksi premanisme yang tidak mereka sadari.

Dalam konteks demikian, dibutuhkan pemaknaan secara utuh terhadap nilai-nilai multikultural sejak dini, sehingga generasi masa depan negeri ini bisa memandang perbedaan sebagai sebuah “rahmah”, melihat keberagaman sebagai pola perilaku yang khas di tengah-tengah negeri yang secara “sunatullah” memang telah “ditakdirkan” sebagai bangsa yang multibudaya. Sampai kapan pun, akar kekerasan akan menjadi ancaman laten selama nilai-nilai primordialisme dipahami secara naif dan sempit.

Salah satu upaya strategis yang bisa dilakukan untuk membangun generasi masa depan yang “sadar budaya” semacam itu adalah penanaman nilai keberagaman melalui pendidikan multikultural di sekolah. Di tengah kompleksnya persoalan-persoalan pendidikan seperti saat ini, memang bukan hal yang mudah untuk merevitalisasi dan mengokohkan pendidikan multikultural dalam dunia persekolahan kita. Banyak kalangan menilai, generasi Indonesia saat ini merupakan generasi yang tengah mengalami “gegar budaya”. Pada satu sisi, anak-anak muda yang tengah gencar memburu ilmu di bangku pendidikan tak pernah berhenti mendapatkan asupan “gizi” tentang nilai-nilai keluhuran budi dan akhlakul karimah, tetapi pada sisi yang lain, mereka juga tidak bisa menutup mata terhadap maraknya berbagai perilaku anomali sosial, kerusuhan, dan kekerasan yang berlangsung vulgar dan telanjang di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dalam situasi seperti itu, peserta didik mengalami “kepribadian yang terbelah”, sehingga tak jarang berada di persimpangan jalan ketika dihadapkan pada situasi yang saling kontradiktif.

Meski demikian, tidak lantas berarti bahwa institusi pendidikan sebagai “kawah candradimuka peradaban” boleh bersikap abai dan melakukan pembiaran secara terus-menerus dan berkelanjutan terhadap perilaku generasi yang “gegar budaya” semacam itu. Melalui berbagai pendekatan dan model-model pembelajaran yang menarik, peserta didik perlu diajak berdiskusi, bersimulasi, dan berdialog bagaimana cara hidup saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat plural. Sekolah perlu di-setting dan didesain sebagai wadah simulasi terhadap berbagai fenomena hidup dan kehidupan Indonesia yang serba-plural.

Pendidikan multikultural, dengan demikian, tidak cukup menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran tertentu, tetapi perlu diimplementasikan secara integral ke dalam berbagai materi pembelajaran yang relevan dengan mata pelajaran yang bersangkutan. Tidak ada salahnya, peserta didik diajak berdialog dan belajar menumbuhkan kepekaannya terhadap kasus kekerasan yang terjadi. Bagaimana respon dan sikap peserta didik terhadap aksi-aksi kekerasan yang terjadi bisa dijadikan sebagai masukan berharga dalam proses pembelajaran berbasis pendidikan multikultural. Guru perlu memberikan kebebasan kepada subjek didik untuk merespon dan menyikapinya, sehingga mereka merasa dihargai dan diperlakukan sebagai sosok yang amat dibutuhkan kehadirannya dalam proses pembelajaran.

Meskipun demikian, guru dalam fungsinya sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran perlu memberikan penguatan agar pengalaman belajar yang mereka peroleh bisa dikonstruksi menjadi pengetahuan baru tentang nilai-nilai multikultural itu. Jika dikemas dalam proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, bukan mustahil kelak mereka akan menjadi generasi yang “sadar budaya” sehingga mampu menyandingkan keberagaman sebagai kekayaan budaya bangsa yang perlu dihormati dengan sikap toleran, tulus, dan jujur. ***

No Comments

  1. Salam kenal pak Sawali..

    Satu kata untuk tema ini, Apa kita cukup paham untuk urusan Politik?”. Kita jangan mau jadi korban permainan politik pak.. Mereka yang memegang kekuasaan hanya bisa cengar-cengir melihat banyak banget versi pemberitaan dan berbagai tanggapan atas kejadian itu… mereka berfikir lagi dan berencana untuk melakukan apalagi agar masalah sebenarnya tertutupi…

    1. salam kenal juga, mas dhany. agaknya memang bener juga, mas. perilaku politik di mana pun agaknya suka menghalalkan segala cara utk mencapai tujuan, bahkan termasuk menggunakan jalan kekerasan.

  2. (Maaf) izin mengamankan KEDUAX dulu. Boleh, kan?!
    Sebagai pengajar dan pendidik saya terkadang terbentuk pada target kurikulum dan target nominal nilai ketuntasan yang musti dicapai oleh anak didik. Sehingga penanaman sikap, moral, dan nilai lebih sering dinomorduakan.

  3. pendidikan multikultural memang tidak saja menjadi tanggung jawab guru di sekolah tp jg tanggung jawab orang tua dan masyarakat pada umumnya sehingga nantinya penerus kita menjadi lebih mengerti dan peka terhadap multikultural dalam bersosialisasi

  4. Sehubungan dengan sangat meningkatnya aksi kekerasan berkedo agama akhir2 ini yang seolah-olah tidak mampu ditanggulangi pemerintah dan aparat keamanannya, mutlak diadakan upaya kembali tentang nilai2 kebinekaan bangsa kita.
    Untuk itu sangat diperlukan pendidikan multikultiral disekolah2 sedini mungkin.
    Kalau tidak, saya tidak bisa membayangkan bagaimana masa depan Indonesia, mas.

  5. katanya bhinneka tunggal ika…
    tapi penanaman kebersamaan multikultural memang harus diajarkan sembari dipraktekkan. masalahnya, yang harus menanamkan dogma ini pun kadang masih munafik. tidak bisa benar-benar menerima perbedaan — sepenuhnya…
    *tunjuk diri sendiri*

  6. semoga amanah yang kian berat dipikul para Guru bisa terlaksana dengan baik dan menjadi amal kebaikan di dunia dan diakhirat kelak… didunia dapat tunjangan sertifikasi di akhirat dapat surga, mantabbbb…

      1. kalau komentar saya ini dihitung satu lagi, perkiraan saya untuk menghitung jumlah komentar menggunakan alamat e-mail, nama diabaikan

  7. setuju sekali pak, pendidikan multikultural ini harus ditanamkan sejak dini.. namun bukan berarti tanggung jawab guru semata lebih kepada lingkungan tempat anak2 tersebut berada 🙂

  8. saya sendiri meragukan perilaku masyarakat sekarang seperti yang diberitakan,
    fenomena anarkis, dan kekerasan sejatinya bukan ciri khas bangsa Indonesia yang ramah.

    Konflik-konflik yang terjadi kan buatan manusia usil, entah motifnya apa…
    Sudah banyak rahasia umum yang ga pernah diungkap media…
    Wartawan pun asik saja, melihat konflik yang terjadi sebagai bahan berita…

  9. om, saya belum ngerti banyak istilah2 bonfit gitu, punya link yang menjelaskan arti kata contoh; revitalisasi, dll, mau belajar ni.

    yang jelas Kondisi Ilmu warga yang beraneka agama ini masih kurang, yang belum memahami arti sebuah kepercayaan dan perbedaan.

  10. Sebenarnya ini tentang moral anak bangsa menurut saya,Orang2 yang melakukan tindakan kekerasan yang terjadi baru2 ini di indonesia yang berkodok kepercayaan kepada TYME hanya sekelompok orng yg tidak bertanggungjawab dan hanya suruhan.!

  11. menurut saya, pendidikan moral memang harus diterapkan sejak dini. kita sebagai orang dewasa tidak seharusnya mengajari anak2 untuk melakukan tindakan seperti binatang tdk bermoral yang bisanya cuma main kekerasan.

  12. pendidikan di usia dini yang kadang tidak kita sadari adl dari tontonan anak2 di TV. pernahkah kita menyadari bahwa adegan2 kekerasan sering terjadi dalam film2 kartun yg justru akan membuat kita tertawa krn menganggapnya sbg sesuatu yg lucu. hal ini mungkin memang terlihat sepele tapi sebetulnya jauh di alam bawah sadarnya, mereka sudah mulai menumbuhkan bibit2 anarkisme dalam dirinya.

  13. Setuju sekali, pak, pendidikan multikultural penting untuk dihayatkan sejak dini di sekolah-sekolah pada generasi muda. Dengan demikian, ke depan bangsa ini menjadi bangsa yang kaya rasa hormat antarsesama.

    Salam kekerabatan.

  14. Setuju pak, bangsa Indonesia mempunyai semboyan “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”
    Jadi agar menumbuhkan generasi yang dapat mengimplementasikan semboyan tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, perlu pendidikan multikultural.

    Salam

  15. sebuah kritik yang harusnya didengar oleh masyarakat Indonesia
    Rakyat Indonesia harus kembali pada karakternya yang berbudi luhur dan menghargai orang lain.
    sukses selalu

  16. Kekerasan sekarang ini sudah MEMBUDAYA.. moralitas dipinggirkan, dan agama cuman sebagai tontonan.. mari kita sama-sama membumi-hanguskan KEKERASAN di muka bumu ini dengan Memperbanyak INSTROPEKSI DIRI.. Dan selalu ingat dengan Tuhan.

  17. harusnya beda keyakinan tidak menjadikan perpecahan antar suku,daerah ……..kita harus menjunjung tinggi nilai dan norma-norma yang ada,pendidikan dasar utama berprilaku yang baik

  18. pendidikan harus di nomor satukan tapi sayang mahalnya biaya pendidikan sekarang membuat para orang tua tuk memilih anak-anaknya mencari rizki walaupun umur mereka belum cukup….,timbulnya kekerasan akibat kurang adanya kasadaran dari semua pihak termasuk pemerintah

    1. betul sekali, mas ara. meski kini sudah ada subsisi BOS, kesan bahwa pendidikan itu mahal memang belum hilang, lebih2 dengan adanya sekolah berlabel RSBI/SBI, hmm … mahalnya biaya pendidikan makin tampak jelas.

  19. sebenarnya kekerasan yang terjadi, terutama atas dasar keyakinan, lebih cenderung berbau premanisme politik yang tidak berkaitan langsung dengan keyakinan itu sendiri. tindakannya tidak mewakili kecenderungan umat beragama Indonesia yang toleran dan terbuka dalam menjalani kehidupan yang multikultural … dan upaya lebih memperkuat kecenderungan umat beragama Indonesia yang toleran adalah antara lain sebagaimana tulisan di atas.

  20. iya juga ya… mungkin aksi2 brutal siswa di sekolah karena kurangnya kesadaran ttg multikultur di negeri ini. mereka bukan tidak tahu, tapi kurang sadar…
    semangat, pak guru! 🙂
    semoga ilmunya bermanfaat…

    1. hmm … agaknya memang bukan hal yang mudah utk mengurai akar kekerasan di negeri ini, mas tony. persoalannya makin rumit dan kompleks, apalagi kalau sdh dicampuri urusan politik.

  21. Kita ini sejak dahulu merupakan sebuah bangsa yang multikultur. Ratusan suku bangsa dengan ratusan bahasa tergelar di kepulauan nusantara. Akan tetapi, di saat umur peradaban semakin tua mengapa justru kita melupakan keniscayaan tersebut? Sungguh disayangkan memang. Apakah karena pendidikan kita saat ini melupakan apresiasi sastra dan budaya sebagai penyeimbang jiwa?

  22. Yup betul banget pak.
    Mungkinkah sudah habis jalan penyelesaian hingga mesti harus terjadi kekerasan seperti itu.
    takutnya malah jadi terbalik, yang jadi korban justru lebih baik daripada penyerangnya.
    la wong yang nyerang aja beringasnya dah seperti kesetanan gitu 🙁

    1. saya yakin, masih banyak jalan terbaik tanpa melakukan kekerasan, mas. sayangnya, tak sedikit orang yang lebih menyukai cara2 vulgar seperti ini, apalagi kalau sdh melibatkan massa. repot.

  23. Setiap kali membaca tulisan pak Sawali, ada rasa sejuk di hati. Bayangkan kalau di kantor atau ketemu teman-teman lalu mereka tanyakan tentang video yang baru saja mereka lihat di Youtube tentang kekerasan seperti tak pernah habisnya, bagaimana anda harus menjelaskan kepada mereka?

    Terima kasih pak Sawali atas ide yang menyejukkan hati ini.

    Salam dari Amerika,

    Aris/

  24. Perkembangan pendidikan Indonesia belum terlalu signifikan dilihat dari pemerataan diberbgai daerah, paling menyedihkan melihat kondisi bangunannya ga usah bicara sistem pembelajarannya, dari gedung sekolahnya saja sudah bikin ga betah sekolah, jadi gimana mau maju pendidikan di Indonesia, cuma bisa berdoa banyak donatur asing yang masuk untuk intervensi dalam pembangunan gedung-gedung sekolah di sini. Makasih informasinya, sukses selalu!

  25. Tampaknya konstitusi negara kita, Indonesia, tidak henti-hentinya terus diuji. Terasa seperti ada pergolakan antara kepentingan politik dan hati nurani dalam benak pejabat kita. Hati nurani menolak, tapi tak berdaya karena kepentingan politik.

  26. Pasti semua ujung-ujungnya hanya karena duit, kalau semua banyak duit gak bakal ada sarah, premanisme, bentrok, demo, kalau negeri kita kaya pasti bakal enjoy, adem ayem, damai, betul gak mas bro ? 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *