
Oleh: Sawali Tuhusetya
Selama empat hari, Senin-Selasa (7-8 September) dan Rabu-Kamis (16-17 September), saya bersama sekitar 25 rekan sejawat dari sekolah lain mengikuti pelatihan pembuatan web sekolah berbasis joomla. Pelatihan ini terselenggara atas kerja sama antara Bidang Pendidikan Dasar Dinas Dikpora Kab. Kendal dan Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan (KTP) Universitas Negeri Semarang (Unnes). Pelatihan berlangsung di SMP 1 Brangsong.
Dalam sambutannya, Ketua Jurusan KTP Unnes, Budiono, menyatakan bahwa program kerja sama ini dimaksudkan untuk ikut membantu kiprah sekolah dalam upaya memanfaatkan piranti Teknologi, Informasi, dan Komunikasi dalam dunia pendidikan.
“Kami menawarkan menawarkan kerja sama dengan sekolah Bapak-Ibu untuk mengadakan pelatihan yang berkaitan dengan pemanfaatan TIK untuk kepentingan pendidikan dan pembelajaran. Kami yang menyediakan instruktur dan materinya secara gratis,” tegas Budiono didampingi Sekretaris Jurusan KTP Unnes, Heri Tri Luqman, dan Kasie SMP Bidang Pendidikan Dasar, Endi Listyo.
Pelatihan pembuatan web sekolah, lanjut Budiono, juga dimaksudkan untuk mendukung kebijakan Rencana Strategis (Renstra) Depdiknas dalam upaya mendorong sekolah agar memiliki web sebagai media online untuk memperkenalkan program-program sekolah kepada publik.
Ya, ya, apa yang dikemukakan oleh Ketua Jurusan KTP Unnes memang bisa dibilang sebagai sebuah terobosan langkah yang menarik dalam upaya mengakrabkan sekolah terhadap penggunaan TIK. Web sekolah, dalam pandangan awam saya, bisa menjadi media pencitraan publik yang tepat bagi sekolah yang bersangkutan di tengah berkembangnya dunia virtual seperti saat ini. Melalui web sekolah, berbagai program dan kebijakan sekolah pada era otonomi seperti sekarang ini, bisa diakses dan diikuti publik, sehingga bisa dijadikan sebagai rujukan bagi institusi pendidikan dalam melahirkan kebijakan dan program yang visioner dan mencerahkan.
Berkaitan dengan pembuatan web, sekolah memang bisa saja memanfaatkan jasa pembuatan web yang lebih menarik. Namun, langkah semacam ini dinilai tidak mencerdaskan dan memberdayakan warga sekolah dalam mengelolanya. Sekolah akan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi kepada pihak pembuat sehingga tidak bisa leluasa dalam mengembangkan web yang sesuai dengan tuntutan dan dinamika sekolah yang bersangkutan. Dengan memegang admin secara mandiri, sekolah jadi lebih paham bagaimana mengusahakan langganan domain dan hostingnya, menginstal engine (joomla) yang hendak digunakan, atau meng-update web setiap saat. Cara semacam ini, selain lebih murah dan praktis, juga akan makin mengakrabkan warga sekolah dalam mengelola web yang telah dibuat.
Sudah jadi rahasia umum di negeri ini bahwa memelihara dan merawat sesuatu yang telah dibuat itu jauh lebih sulit ketimbang membuat atau membangunnya. Membuat web, saya kira sama mudahnya ketika kita membuat akun sebuah email. Hanya dengan mengikuti langkah-langkah dan tutorial yang ada, jadilah sebuah web. Namun, eksistensi sebuah web jauh akan lebih bermakna apabila diimbangi dengan kemampuan pengelolaannya secara simultan dan berkelanjutan hingga akhirnya menjadi sebuah web yang dirindukan banyak orang.
Inilah sebuah tantangan baru bagi sekolah ketika dunia di abad gelombang ini sudah menjadi sebuah perkampungan global. Web tak cukup hanya dilahirkan, tetapi juga perlu dibesarkan, dirawat, dan dipelihara dengan sentuhan sikap serius dan “istikomah” hingga akhirnya menjadi sebuah web yang benar-benar eksis dan mencerahkan. ***
6 klasifikasi wisatawan menurut oka a yoeti
Web Sekolah dan Upaya Pencitraan Publik: Catatan Sawali Tuhusetya