Dalang: Ki Sawali Tuhusetya
Prof. Dr. Gotama masih sibuk dengan rutinitasnya di ruang laboratorium. Di ruang yang tak begitu luas itulah guru besar Ilmu Kimia Erriya University itu menghabiskan waktunya. Istrinya, Dewi Windradi, yang masih muda, sintal, dan bahenol pun jarang-jarang disentuhnya lagi. Kesetiaannya dalam mengabdi kepada ilmu pengetahuan telah mengalahkan segala-galanya.
Di kalangan ilmuwan, Prof. Dr. Gotama memang dikenal sebagai sosok brilian dan teguh memegang prinsip. Iming-iming dhuwit bertumpuk-tumpuk dari wayang-wayang kaya yang hendak memanfaatkan kebrilianannya pun ia tampik. Wayang tua berkepala setengah botak itu hanya punya hasrat menciptakan penemuan-penemuan baru sebagai warisan kepada umat wayang yang kini ditengarai sudah dicemari oleh ulah oknum ilmuwan yang rela menjual kebenaran demi menuruti kepentingan-kepentingan sempit dan memuaskan kebuasan nafsu.
Ruang laboratorium berselimut keheningan. Hanya sesekali terdengar denting lembut botol-botol eksperimen yang tengah dibenahi Jembawan, asisten pribadinya yang suntuk membantunya. Tiba-tiba saja tubuh kurus Prof. Gotama nyaris terpelanting dari kursi kerjanya ketika secara mendadak terdengar suara ribut dari luar. Konsentrasinya buyar. Jembawan tersentak. Buru-buru wayang muda bertubuh gempal itu mendekati atasannya.
Sang profesor berdiri. Jidatnya berkerutan hingga tampak semakin tua. Sesekali jemarinya membetulkan letak kacamata minusnya yang kelewat tebal. Mondar-mandir ia dari pojok ke pojok. Dari sudut ke sudut.
Suara ribut dari luar itu tak ada tanda-tanda mau mereda, bahkan kian menjadi-jadi, ditingkah teriakan-teriakan yang bikin merah telinga. Rasa kesal menyesak di dada sang profesor yang tipis. Jembawan hanya bisa termangu.
“Jembawan! Tolong lihat apa yang terjadi di luar!” perintah sang profesor lirih tapi wibawa.
“Baik!”
Jembawan ngeloyor ke luar ruang laboratorium. Di sana ia melihat ketiga putra profesor tengah terlibat dalam perebutan sengit terhadap sebuah mangkuk lengkap dengan tutupnya. Jembawan geleng-geleng kepala. Ia merasa tidak paham dengan ulah putra atasannya itu; saling berebut benda yang tak seberapa nilainya itu.
Perebutan terus berlanjut. Anjani berhasil mempertahankan mangkuk beserta tutupnya. Guwarsa dan Guwarsi kecewa berat. Ketika Anjani bersicepat menerobos ke kamar, Guwarsa dan Guwarsi berkelebat menuju ruang laboratorium tanpa memedulikan Jembawan yang berdiri bengong. Tanpa basa-basi, kedua putra sang profesor itu langsung menggebrak pintu laboratorium dengan kasar. Wajah mereka tampak memerah.
“Papa tidak adil! Kenapa benda itu tidak dibagi rata utuk kami bertiga? Kenapa hanya dikasihkan kepada Anjani? Kenapa, Pa?” berondong Guwarsa. Sang profesor yang berdiri termangu kaget bukan main mendapat dampratan yang mendadak itu.
“Iya, Papa terlalu memanjakan Mbak Anjani! Kami nggak akan berbuat macam ini andaikan Papa mengajak kami rembugan!” cocor Guwarsi.
“Rembugan? Rembugan apa?” sahut Prof. Gotama dengan suaranya yang khas. Lirih tapi wibawa.
“Itu! Ah, Papa pura-pura tidak tahu!” sela Guwarsa. Sang profesor masih belum bisa memahami maksud kedua putranya itu. Jembawan yang sudah ikut masuk ke ruang laborat pun masih tetap geleng-geleng.
“Jembawan! Tolong panggilkan Anjani dan Nyonya kemari!” perintah Prof. Gotama tanpa memandang Jembawan.
“Baik!”
Sejurus kemudian, Dewi Windradi dan Anjani yang diiring Jembawan sudah masuk ke ruang laboratorium “abadi” sang guru besar.
“Dari mana kamu mendapatkan benda itu, Anjani?” tanya Prof. Gotama sembari menatap mangkuk dan tutupnya yang tengah dipangku Anjani.
“Dari Mami, Pa!” sahut Anjani tertunduk.
Prof. Gotama mengamati secara detail benda mirip mangkuk yang diserahkan Anjani. Bola matanya yang berada di balik kaca mata minus itu mendadak berubah liar, memancarkan rasa curiga.
“Dari mana kamu memperoleh benda ini, Mi? Bukankah ini Cupumanik Astagina, benda antik yang sudah sangat langka karena hanya dewa yang memilikinya? Dari mana, Mi?”
Suasana ruang laboratorium mendadak seperti diselimuti kabut. Dewi Windradi geragapan. Kepalanya pening nyut-nyutan. Seandainya berterus terang, jelas merupakan petaka baginya, sebab perselingkuhannya dengan Bhatara Surya akan diketahui sang suami dan anak-anaknya. Dewa Matahari itulah yang telah memberinya. Wajah Windradi suntrut.
Sebagai istri yang masih muda, ia sangat membutuhkan belaian lembut sang suami. Tapi tampaknya Prof. Gotama lebih banyak berada di ruang laborat ketimbang memperhatikan dirinya. Kesepian benar-benar menggumpal di dada Windradi yang sintal dan padat. Maka, ketika Bhatara Surya diam-diam menggodanya, Windradi terpikat sinyal asmara itu. Apalagi, jika memikirkan suaminya yang mulai keropos dimakan usia. Iman Windradi pun lenyap entah ke mana.
Windradi terus menjalin hubungan gelap dengan Bhatara Surya secara rapih dan terselubung. Tak ada yang berhasil mencium perselingkuhannya, hingga akhirnya Bhatara Surya memberinya hadiah Cupumanik Astagina. Konon, benda itu mampu memonitor kehidupan di jagat raya jika tutupnya dibuka. Sedangkan, tutupnya mampu memonitor semua kejadian yang berlangsung di alam semesta. Bhatara Surya berpesan, jangan sampai ada wayang lain yang melihat atau memilikinya, termasuk anak-anak Windradi sendiri, sebab bisa menimbulkan petaka.
Tapi, tampaknya Windradi lupa pesan “gacoan”-nya itu. Didorong rasa cinta dan kasih sayangnya terhadap putrinya, Anjani, yang cantik dan imut-imut itu, Windradi memberikan Cupumanik Astagina itu saat Anjani berulang tahun yang ke-17. Celakanya lagi ketika Anjani mencoba “kesaktian” benda ajaib itu, Guwarsa dan Guwarsi memergokinya. Karuan saja, suasana jadi ribut. Guwarsa dan Guwarsi hendak merebutnya.
“Ayo katakan, Mi! Dari mana kamu memperolehnya?” Bentakan dahsyat Prof. Gotama yang lain dari biasanya itu memecah belah benak Windradi. Belum pernah ia menyaksikan suaminya segarang itu. Pikiran Windradi kacau. Padangannya tertunduk lesu. Dadanya berkecamuk rasa penyesalan yang dahsyat. Tetes demi tetes, air mata jatuh ke pipinya yang agak memucat.
Pandangan Prof. Gotama jatuh ke wajah Guwarsa, Guwarsi, dan Jembawan. Sebagai ilmuwan ulung, ia paham betul terhadap ikwal benda yang dipegangnya itu. Secara gamblang, ia ceritakan keistimewaan Cupumanik Astagina kepada kedua putra dan asisten setianya itu.
Jembawan yang semula memandang remeh keberadaan benda itu jadi tertarik. Rasa takjub muncul di lorong benaknya. Ingin rasanya Jembawan memiliki benda itu. Berulang-ulang, wayang yang masih betah membujang itu mengeplak bathuknya yang lebar.
“Kamu tak mau jujur istriku?” Hening. Hanya terdengar isak Windradi yang kian lama kian cepat. Tubuh kurus Prof. Gotama tampak menegang. Bola matanya jalang dan beringas, seperti menyemburkan sinar amarah yang menerobos lewat kaca mata minusnya. Mendadak sontak, wayang tua yang tampak ringkih itu meraih botol besar berisi cairan warna merah darah. Lantas, dengan cekatan mengguyurkannya ke tubuh Windradi yang tertunduk lesu. Windradi terpaku. Aneh! Tubuh Windradi tak mampu bergerak-gerak lagi. Betul-betul jadi patung. Kaku dan beku. Masih diluapi amarah yang luar biasa, Prof. Gotama terus melampiaskan hatinya yang panas ke tubuh Windradi. Tubuh kaku itu dipukul-pukul sekuat tenaganya.
Tubuh Windradi yang sudah jadi patung itu ditendangnya seperti bola. Tak ayal lagi, tubuh Windradi melesat cepat ke udara dengan kecepatan yang sulit diukur.
Kabut duka benar-benar menyelimuti keluarga Prof. Gotama yang kehilangan sang ibu dan sang istri sebagai “bidadari” rumah tangga. Tapi duka itu tak berlangsung lama ketika mereka ingat keampuhan dan kecanggihan Cupumanik Astagina.
Guwarsa dan Guwarsi tetap melakukan “somasi” agar benda itu diserahkan kepada mereka. Tapi rupanya Prof. Gotama benar-benar ingin bersikap adil dan demokratis.
Dilemparnya Cupumanik Astagina itu tinggi-tinggi ke udara. Yang berhasil menangkapnya, dialah yang berhal memilikinya. Jembawan, Anjani, Guwarsa, dan Guwarsi berebut membuntuti jatuhnya Cupumanik. Tapi usaha mereka sia-sia, bahkan petaka pun menimpa sehabis menyelam, di sebuah telaga yang dianggap sebagai tempat jatuhnya benda langka itu. Kecuali Anjani yang hanya membasuh kaki, tangan, dan wajahnya lewat telaga itu, tubuh Jembawan, Guwarsa, dan Guwarsi berubah sempurna sebagai kera.
Batin Prof. Gotama benar-benar menangis. Tubuhnya tampak semakin renta. Istri melayang, anak-anaknya pun ketiban sial. Petaka yang menindihnya sungguh kontras dengan kapasitasnya sebagai ilmuwan yang begitu dihormati dan disegani. Sang profesor kian terpaku dan termangu di ruang laboratorium “abadi”-nya dengan perasaan tak menentu. *** (Tancep kayon)
oOo
Keterangan:
Gambar diambil dari sini!
Urutan gambar (dari atas ke bawah):
1. Gotama
2. Jembawan
3. Anjani
4. Guwarsa
5. Guwarsi
ppiclaimsline.co.uk
Petaka di Balik Cupumanik Astagina: Catatan Sawali Tuhusetya
trus polahnya si anjani itu kira2 terjadi karna kurang didikan ortu ato bgaimana ya,,,:-?
selanjutnya itu cerita CPM ASGN itu versi mahabarata ya???
hehe … menurut pakem wayang sih memang dari sononya begitu, mas hehe … cuma dalam konteks sekarang, mungkin ada benarnya juga kalau karakter dan kepribadian seseorang akan sangat dipengaruhi pendidikan dalam lingkungan keluarga.
perlu penulisan wayang dengan cara kotemporer…, sebab wayang adalah budaya indonesai yang diakui milik dunia tapi dilupakan oleh pemiliknya. bahkan pemiliknya lebih senang mencari filsafat dari negeri lain….. dikit dikit mengacu ke luar negeri……., maklum banyakan ilmuwan kita belajar dari luar negeri……
setuju, mas. kalau budaya kita tak disajikan secara menarik, bisa jadi generasi masa depan negeri ini makin jauh dari sentuhan budaya bangsanya sendiri.
wey, luar biasa pak! saya seneng sekali baca tulisan2 sampean… format kontemporernya sangat menarik 🙄
Maaf pak dah lama ga mampir kesini [sok repot] hehe, banyak perubahan.. gambar semar cocok dengan sampean pak -dalam artian selalu memberi pencerahan dalam tiap tulisan dan ngayomi- mpun salah penggalih nggih… tok tok tok 💡
azaxss last blog post..“Bloggers Unite For Human Rights”
oooyups, makasih mas azaxs. walah, gpp juga, mas, santai aja, hehehe 🙄 mas azaxs kan bisa berkunjug ke sini kapan pun mas azaxs mau. btw, ttg tokoh semar memang saya suka karena karakternya yang merakyat itu, mas, hehehehe 🙄