Sutardji Calzoum Bachri, Maman S. Mahayana, dan Saut Situmorang

Kategori Sastra Oleh

Usai sudah perhelatan akbar itu. Gedung DPRD Kabupaten Kudus, Jawa Tengah (19-21 Januari 2008) telah menjadi saksi kiprah para “penggila” sastra se-Indonesia dalam memburu dan menemukan cintanya. Saya bukanlah anggota Komunitas Sastra Indonesia (KSI), apalagi pengurus. Kehadiran saya hanya sebatas penggembira. Kalau toh saya dapat undangan, itu juga karena *halah* ulah teman-teman di Kudus itu, semacam Mas Mukti Sutarman Espe, sang penyair flamboyan atau Dimas Jimat Kalimasadha, cerpenis yang tak kalah “katrok” dan “ndesa” seperti saya, heheheheehe :mrgreen: Jadi, bukan lantaran KSI-nya. Meski demikian, saya menaruh respek dan hormat kepada pihak penyelenggara yang berhasil menghadirkan para “pemuja” imajinasi itu ke dalam sebuah ruang dan waktu yang sama. Jelas, bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Sayangnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, yang dijadwalkan untuk membuka acara secara resmi, batal hadir. Demikian juga Budi Darma, sang penulis cerpen “Kritikus Adinan”, Arswendo Atmowiloto, penulis novel Canthing, atau Emha Ainun Najib, sang penyair “Lautan Jilbab”. Walhasil, saya pun hanya bisa berharap pada “kharisma” Sutardji Calzoum Bachri, Maman S. Mahayana, Sujiwo Tejo, Diah Hadaning, Habiburrahman El Shirazy, atau Saut Situmorang untuk bisa menghidupkan atmosfer perhelatan.

ksi5.jpg

Syahdan, diskusi yang digelar sebelum acara dibuka pun langsung membangkitkan tensi tinggi ketika kritikus Maman S. Mahayana dengan nada getir mengkritik pemerintah dan Depdiknas yang dinilai abai terhadap dunia sastra atau ketika Parni Hadi, Direktur Utama RRI, menyayangkan kebijakan pemerintah yang memisahkan kebudayaan dari dunia pendidikan dan menggabungkannya dengan dunia pariwisata. Audiens pun terhenyak. Sayangnya, tensi yang sudah meninggi itu tiba-tiba mencapai antiklimaks ketika sang moderator menyatakan bahwa waktu telah habis. Suasana makin hening ketika “Presiden” penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri didaulat membaca puisi. Di tengah tampilan fisik yang mulai menua, sang penyair itu masih sanggup “menyihir” ratusan audiense. Yang ingin menikmati puisi Sutardji Calzoum Bachri, silakan klik di sini.

maman.jpgMenjelang acara pembukaan, saya segera memburu Maman S. Mahayana. Dengan sikap latah dan sok akrab, saya mengajak dosen FIB UI Jakarta itu untuk sedikit berdiskusi. Di luar dugaan, Maman S. Mahayana “terpancing” juga. Beliau segera menarik lengan saya untuk keluar dari arena perhelatan. Basa-basi pun tumpah; mulai dari yang sepele hingga yang serius. Suasana jadi hangat. Di dalam ruang, upacara pembukaan terus berlangsung hingga akhirnya terdengar rancak suara terbang papat sebagai pertanda bahwa perhelatan akbar itu resmi dimulai.

Kami terus terlibat dalam obrolan dan diskusi hingga akhirnya saya menawarkan jasa untuk mengantarkan sang kritikus itu ke penginapan. Kami tak sempat menikmati atraksi Ki Sujiwo Tejo, Diah Hadaning, atau sastrawan lain. Sayang, di perjalanan, cuaca kurang bersahabat. Hujan seperti tumpah dari pintu langit. Lantaran naik sepeda butut, terpaksa cari tempat berteduh. Eh, terdampar di warung kopi. Wah, dari sinilah saya makin tahu siapa Maman S. Mahayana yang sesungguhnya. Beliau ternyata “pencandu” kopi; kental dengan sedikit gula. Di situlah tampak benar kalau Pak Maman, demikian Beliau saya sapa, sangat dekat dengan para tukang becak dan masyarakat bawah. Itu terlihat dari bagaimana cara dia menempatkan diri dan membuka percakapan hingga akhirnya mampu menjalin percakapan santai dan akrab yang menghangatkan suasana di tengah guyuran hujan.

p1190132.JPG

Bedakan ketika Maman S. Mahayana menjadi pembicara dalam forum diskusi!

p1200147.jpg

Keesokan harinya (Minggu, 20 Januari 2008) saya masih berharap pengarang Ayat-ayat Cinta, Habiburrahman El Shirazy, mampu “menghipnotis” suasana perhelatan. Namun, dalam forum diskusi, justru tenggelam di balik “kharisma” Saut Situmorang yang tampil eksentrik dengan warna vokalnya yang khas; ngebass, tapi rancak.

saut1.jpg

Yang ingin menikmati puisi Saut Situmorang, silakan klik di sini.

Berikut beberapa skrinsut yang menggambarkan suasana perhelatan selama Kongres KSI berlangsung.

ksi21.jpg

p1200138.JPGksi13.jpg

gunoto-s.jpgksi7.jpg

diah-hadaning.jpgjiwotejo1.jpg

Perhelatan memang telah usai. Yang menjadi pertanyaan adalah mampukah forum semacam kongres KSI menghidupkan dan mendinamiskan atmosfer komunitas sastra yang tersebar di seluruh penjuru tanah air? Sanggupkah KSI menghasilkan kreator-kreator ulung yang melahirkan karya-karya masterpiece yang mampu menembus batas-batas geografi? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu penting untuk dijawab agar KSI tidak terjebak menjadi sebuah penggerak komunitas yang latah dan hanya sekadar rutinitas belaka. Jangan sampai terjadi sindiran Chairil Anwar “sekali berarti sesudah itu mati” terus menjadi ancaman akut yang sering menghinggapi forum-forum sejenis. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

38 Comments

  1. Aku penggemar berat Sutardji Calzoum Bachri, aku pengen banget mengikuti jejak beliau, coz di sekolah juga aku masuk exkul teater, namanya Teater Peri, aku suka kesenian,,, tapi nyanyi aku nggak bisa yang aku gemari bikin puisi ‘n bawain puisi’y…. Pak Sutardji Calzoum Bachri, bikinin puisi teantang Teater Peri donk,,, biar keren!… Heheheh,,,, :-”
    Tapi… jangan ketang nggak perlu di bikinin, biar aku aza yang bikin, biar aku bisa persis Pak Sutardji Calzoum Bachri,, ya ngaak? ya nggak?.. hehehehhehehheh:d/:d/:d/:d/:d/:d/

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Sastra

Membalas Cerita Ombak

MEMBALAS CERITA OMBAK Ali Syamsudin Arsi Kata-kata ombak: ( 1 ) “Ya
Go to Top