Guru Bahasa, Sastra, dan KTSP

Jika dibandingkan dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya, muatan sastra dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tampak lebih utuh dan komprehensif. Ada keterampilan reseptif (mendengarkan dan membaca) dan produktif (berbicara dan menulis) sekaligus di dalamnya. Dengan kata lain, ada aktivitas siswa untuk mendengarkan sastra, membaca sastra, berbicara sastra, dan menulis sastra selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Kalau muatan sastra dalam KTSP ini disajikan dengan baik, fenomena “rabun sastra” yang konon sudah menggejala di kalangan pelajar itu, saya yakin akan dapat teratasi.

Persoalannya sekarang, sudah benar-benar dalam kondisi siapkah para guru bahasa menyajikan muatan sastra dalam KTSP itu kepada siswa didik? Sanggupkah para guru bahasa kita memikul peran ganda; sebagai guru bahasa dan sekaligus guru sastra? Mampukah para guru bahasa kita memberikan bekal yang cukup memadai kepada anak-anak negeri ini dalam mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis sastra? Hal ini penting saya kemukakan, sebab selama ini memang tidak ada spesifikasi dalam penyajian materi bahasa dan sastra. Guru bahasa dengan sendirinya harus menjadi guru sastra.

Kalau guru bahasa memiliki kompetensi sastra yang memadai, jelas tidak ada masalah. Mereka bisa mengajak siswa didiknya untuk “berlayar” menikmati samudra sastra dan estetikanya. Melalui sastra, siswa bisa belajar banyak tentang persoalan hidup dan kehidupan, memperoleh “gizi” batin yang mampu mencerahkan hati nurani, sehingga sanggup menghadapi kompleks dan rumitnya persoalan kehidupan secara arif dan dewasa. Namun, secara jujur mesti diakui, tidak semua guru bahasa memiliki kompetensi sastra yang memadai. Minat dan kecintaan guru bahasa terhadap sastra masih menjadi tanda tanya. Tidak berlebihan jika pengajaran sastra di sekolah cenderung monoton, kaku, bahkan membosankan.

gusmus-duduk-baca-puisi2.JPG Tidak semua guru bahasa mampu menjadikan sastra sebagai “magnet” yang mampu menarik minat siswa untuk mencintai sastra. Yang lebih memprihatinkan, pengajaran sastra hanya sekadar menghafal nama-nama sastrawan beserta hasil karyanya. Siswa tidak pernah diajak untuk menggumuli dan menikmati teks-teks sastra yang sesungguhnya. Kalau kondisi semacam itu terus berlanjut bukan mustahil peserta didik akan mengidap “rabun” sastra berkepanjangan. Implikasi lebih jauh, dambaan pendidikan untuk melahirkan manusia yang utuh dan paripurna hanya akan menjadi impian belaka.

Kini sudah saatnya dipikirkan pemberdayaan guru bahasa dalam pengertian yang sesungguhnya. Format pemberdayaan guru semacam seminar, lokakarya, penataran, atau diklat yang cenderung formal dan kaku, tampaknya sudah tidak efektif. Forum non-formal semacam bengkel sastra barangkali justru akan lebih efektif. Mereka bisa saling berbagi pengalaman dan berdiskusi. Simulasi pengajaran sastra yang ideal bisa dipraktikkan bersama-sama, sehingga guru bahasa memperoleh gambaran konkret tentang cara menyajikan apresiasi sastra yang sebenarnya kepada siswa.

Guru bahasa menjadi figur sentral dalam menaburkan benih dan menyuburkan apresiasi sastra di kalangan peserta didik. Kalau pengajaran sastra diampu oleh guru yang tepat, imajinasi siswa akan terbawa ke dalam suasana pembelajaran yang dinamis, menarik, kreatif, dan menyenangkan. Sebaliknya, jika pengajaran sastra disajikan oleh guru yang salah, bukan mustahil situasi pembelajaran akan terjebak dalam atmosfer yang kaku, monoton, dan membosankan. Imbasnya, gema apresiasi sastra siswa tidak akan pemah bergeser dari “lagu lama”, terpuruk dan tersaruk-saruk.

Kini, KTSP sudah diluncurkan. Dari sisi muatan materi ajar, KTSP terkesan lebih ramping dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Namun, dari sisi pendalaman materi, KTSP terasa lebih intens dan konkret dalam memberikan bekal kompetensi kepada siswa. Secara eksplisit, KTSP sudah mencantumkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Konsekuensinya, guru harus benar-benar mumpuni dan berkompeten di bidangnya. Jika tidak, kegagalan KTSP sudah menanti, menyusul kegagalan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Demikian juga halnya dengan pengajaran sastra. Guru bahasa yang sekaligus guru sastra jelas dituntut memiliki kompetensi dan talenta sastra yang memadai.

Ada baiknya Depdiknas perlu segera melakukan pemetaan guru bahasa untuk mengetahui guru bahasa yang memiliki kompetensi dan minat di bidang sastra. Merekalah yang kelak diharapkan menjadi guru sastra yang mampu membawa dunia siswa untuk mencintai sastra. Guru bahasa yang nihil talenta dan miskin minat sastranya tidak usah dibebani tugas ganda. Biarkan mereka berkonsentrasi di bidang kebahasaan, sehingga mampu memberikan bekal kompetensi kebahasaan secara memadai. Sebaliknya, biarkan pengajaran sastra diurus oleh guru bahasa yang benar-benar memiliki kompetensi dan minat di bidang sastra. Dengan spesialisasi semacam itu, kompetensi bahasa dan sastra siswa diharapkan bisa berkembang bersama-sama tanpa ada yang dianaktirikan. ***

———————————–

Catatan: Gambar “dicuri” dari sini.

No Comments

  1. @ awan965:
    makasih pak awan, sering2 berkunjung ke mari ya, pak. *halah jadi malu* saya yakin pak awan pasti ok banget deh kompetensinya.

    @ akafuji:
    oh, materi ramping, tapi praktiknya berat? walah, pilih metode yang ndak bikin repot bu nisya. apalagi utk bhs jepang, pasti banyak metode yang bisa dipilih.

    @ erander :
    makasih pak eby. hehehehehe 😆 iya, harus ngisi username, email, dan websitenya. tapi kalo dah masuk ke sini, biasanya hanya tinggal tulis huruf depannya doang kok pak eby.

    @ STR:
    walah, bengkel sastra? Macem mana pula? Mas Satria nih ada2 ajah, *halah*

    @ Dhan :
    hehehehehehe 😆 mau kabur ke mana mas dhan, hehehehe 😆 pintu rumah terkunci rapat, hehehehehe 😆 walah hanya blog biasa aja. ndak mungkin sulit utk beli bensin vertamax di sini mas dhan, *halah*

    Sawali Tuhusetya’s last blog post..Guru Bahasa, Sastra, dan KTSP

  2. Wuih, buaguss…. Mungkin perlu pengkajian lebih dalam.

    Tapi di sekolah saya ada satu maslah nih, Pak. Bukan guru yang tidak kompeten/minat dalam bidang sastra. Tapi di mata saya dan beberapa teman saya yang agak ‘miring’ kami beranggapan bahwa guru saya itu tidak berani bereksplorasi. Maksudnya beliau hanya mungkin mengajak anak didiknya mencintai sastra, tetapi hanya sebatas minor saja. Tidak berani sampai tingkat lanjut padahal sudah SMA. Terlebih lagi ketika ada beberapa karya yang dikumpulkan dan isinya terbilang cukup radikal/keras/menyindir penguasa meskipun masih dalam batas wajar. (Saya sendiri kebanyakan pakai bahasa edan saya). Beliau pasti memberi pandangan tidak suka dana dalam beberapa kasus sampai menegur si pembuat agar jangan membuat sesuatu yang seperti itu lagi. Sedangkan yang temanya ‘biasa-biasa saja’ atau sehari-hari bisa disanjung sedemikian rupa. Kesannya seperti beliau ingin mengajak mengeksplorasi dunia sastra tapi hanya sampai pantai saja, lautnya tidak diarungi. 🙁

    Saya agak kesulitan dengan guru ini. Ditambah lagi saya juga sering mendapati dia tidak memahami karya saya. IMO

    Lemon S. Sile’s last blog post..Tindakan Penekanan di Sekolah? Ada Campur Tangan Guru Juga!

  3. @ Li Xiang-ying dan Lemon S. Sile:
    hahahahaha 😆 kayak kangsenan aja nih antara mas gun dan mas lemon. kalo saya sih seneng banget punya siswa yang kreatif kayak getuh. kalo sikap kritis dibungkam, bahkan ditakut-takuti melalui otoritas sang guru, walah, pantas saja kalo dunia persekolahan gagal melahirkan penulis2 hebat: “dibunuh sebelum berkembang”. anak2 bangsa yang kreatif ini, sekali lagi menurut saya loh, mestinya perlu diberikan kebebasan untuk berekspresi. persoalan content, isi, ato tema, saya kira ndak perlu dibatasi. yang perlu dipoles *halah sok tahu yak* barangkali diksi (pilihan kata) dan struktur kalimat. andrea hirata, penulis laskar pelangi, tuh sebenarnya orang ekonomi. dia bisa menjadi penulis teks sastra yang kini dikagumi banyak orang karena memiliki kebebasan berekspresi sejak SD-nya di pedalaman Belitung. BTW, tulisan2 mas gun dan mas lemon *dari sma labschool, yak, kan fasilitasnya ok banget tuh, sory jarang berkunjung yak* bagus kok, saya seneng. kritis, berisi, dan terjaga diksinya. *salut*

    Sawali Tuhusetya’s last blog post..Guru Bahasa, Sastra, dan KTSP

  4. Dari sisi muatan materi ajar, KTSP terkesan lebih ramping dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya.

    Lah pak….. logika saya kok begini yaa…. yang kurikulumnya lebih “gemuk” aja, kok murid2nya belum bisa menjiawai karya sastra, apalagi kalau yg “ramping”. Soalnya yang “ramping” itu pasti ada yg dipangkas kan pak?? Entah itu sastranya ataupun pelajara bahasanya?? Bukannya itu berarti si anak malah mendapat materi yg kurang atau belum mencukupi? 😀

    Yari NK’s last blog post..Perjalanan Luar Angkasa yang Mandiri

  5. ya, kurikulum sebelumnya itu lebih banyak berorientasi ke materi, bukan kompetensi, bung yari. Gemuk muatan materinya, tapi pendalamannya kurang. siswa dicekoki materi dan teori, tapi mereka ndak memiliki komepetensi apa2. KTSP sebaliknya. materi lebih ramping, tapi pendalamannya lebih intens sehingga siswa didik diharapkan bener2 berkompetensi. kalo ada materi pidato, misalnya, siswa ya harus bener2 bisa berpidato, bukan menghafalkan pengertian pidato atau cara2 berpidato.

    Sawali Tuhusetya’s last blog post..Guru Bahasa, Sastra, dan KTSP

  6. Jadi ingat, dulu disuruh ngapalin cuma ngapalin beberapa karya chairil anwar semacam Aku, kemudian membaca keras2 di depan kelas 😆 yah, mungkin saya masih ikutan kurikulum yang dulu barangkali pak, sehingga hanya mengenal nama dan beberapa karya-nya saja. smoga dengan kurikulum baru ini, tidak hanya mengenal, menghafal namun tentu juga mengerti tentang maksud dan kepribadian

    Goop’s last blog post..2 Menunggu Nostalgia Gerimis

  7. @ Goop:
    hehehehehe 😆 model pembelajarannya masih teoretis dan hafalan yak mas goop. untungnya mas goop suka baca karya sastra, hehehehehe 😆 jadi ndak hanya hafal nama pengarang dan karyanya doang.

    @ Donny Reza:
    walah, mas donny kan seorang penulis. jadi, meski kurikulumnya kurang mendukung, mas donny bisa menikmati teks sastra dalam arti yang sesungguhnya, bahkan mampu menerapkan keterampilan produktif. salut mas donny.

    Sawali Tuhusetya’s last blog post..Guru Bahasa, Sastra, dan KTSP

  8. Ada baiknya Depdiknas perlu segera melakukan pemetaan guru bahasa untuk mengetahui guru bahasa yang memiliki kompetensi dan minat di bidang sastra.

    Bagus juga tuch Pak, tetapi kalau tidak ada follow up ya sia2 juga

  9. Wow … ini yang saya suka dari Pak Swali … analisis jujur dan langsung ke sasaran. Ya, semua terpulang pada guru? Coba perhatikan, emang Taufik Ismail belajar sastra ketika kuliah ‘hewan’ di IPB? Kira-kira Taufik ‘membaca’ sastra, menulis sastra, dan jutaan orang berguru padanya. Guru sastra?

    Kita kampanye, kini era tidak megeluh, buat karya nayata. Malu ah jadi orang yang belajar (akademik) sastra tapi ngak mampu memotivasi orang bersastra, menulis sastra. Malu-maluin aja {Pak Swali ngak maulu-maluin lho).

    Saya malah mimpi, kita-kita (maaf sok bisa) menghimpun yang bisa nulis (sastra, e jadi malu) lalu sharing dengan para siswa. Kan kini di sekolah bertebaran ICT/internet. Konkret. Ngak perlu teori ini-itu, negleuh sana-sani, sampai peemrintah yang ngak peduli atau depdiknas yang ‘buta’ sastra. Kita lakukan saja. Beranl?

    Tampa sastra hidup teras kurang lengkap.

    Bagaimana menurut Sampeyan?

    Ersis WA’s last blog post..Go Blog: Efisiensi Waktu

  10. Nuwun sewu pak awali, sepertinya pengajaran sastra dalam pelajaran bahasa indonesia sangatlah minim porsinya, kalau gak salah?! Malah sekarang namanya cuma “Bahasa Indonesia” sementara dulu “Bahasa dan SASTERA Indonesia”… Bukan begitu pak?!

    Mengingat kembali masa sekolah, saya merasa, muatan linguistik atau bahasanya lebih kental ketimbang sastra..

    Terlepas dari itu, sebenarnya yang membuat resah saya bukan pada “apakah siswa mampu menghasilkan teks sastra?” tapi lebih pada “apakah siswa mampu menulis?”. Terus terang, saya tak memiliki kemampuan sedikitpun untuk menulis selepasa SMA. Diminta mengarang pun, saya hanya mampu menghasilkan karangan dengan lkevel anak SD.

    Kini, setelah menggeluti profesi guru, saya tak mau mengulang kesalahan yang sama, saya hanya ingin siswa saya rajin menulis dan produktif mengutarakan isi pikiran dan hatinya. Setelah mereka terbiasa menulis, harapan saya, menghasilkan teks sastra akan lebih mudah.. Meski sepandai apa pun seseorang dalam hal menulis, belum tentu mampu menghasilkan teks sastra yang berbobot.. Bagi saya, menulis sastra adalah pekerjaan besar. Lebih sulit daripada merakit komputer bahkan utaik-atik script. hehehehe

    Jadi, kalau diurutkan, mencintai membaca, mencintai menulis, mencintai sastra dan menghasilkan teks sastra.. mudahan salah.. dengan begitu pasti ada penyempurnaan.. Amin..

  11. @ gempur:
    kalau kita cermati muatan materi bahasa dan sastra dalam KTSP sebenarnya seimbang, Pak. Masing-masing memiliki SK dan KD tersendiri dalam keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. yang menjadi persoalan, dalam praktiknya, muatan sastra tidak disajikan secara seimbang dengan muatan bahasa. Mengapa? *halah* Yak, secara jujur harus diakui, banyak guru bahasa yang minim talenta dan minatnya terhadap sastra. akibatnya, materi sastra sering dilewati begitu saja.
    Menulis itu salah satu aspeknya. Pelajaran sastra difokuskan pada keterampilan reseptif (mendengarkan dan membaca) dan produktif (berbicara dan menulis) sehingga mereka tidak lagi gagap sastra.

    Sawali Tuhusetya’s last blog post..Guru Bahasa, Sastra, dan KTSP

  12. ini menjadi tantangan sendiri..karena budaya sastra tidak mudah..Jadi ingat waktu SMA di kanisius dulu, buat pelajaran bahasa Indonesia, kami diwajibkan membuat sinopsis karya /roman sastra sebulan sekali..itu yang mungkin saya begitu menyukai sastra sampai sekarang

    iman brotoseno’s last blog post..Telanjang ? Siapa Takut

  13. tolong donk…saya kirimin gambaran tentang kontribusi membaca sastra yang lengkap…..

    waduh, gambaran kontribusi membaca sastra yang lengkap? mas egie bisa melacaknya lewat om google, kok! 💡

  14. Assalamualaikum, Pak…

    Salam kenal dari saya di Cirebon nih Pak..

    Saya sedang menyusun skripsi tentang ‘Penggunaan metode implikasi konflik dalam pembelajaran menulis cerpen’…

    Bisa tolong tunjukkan referensi lain gak Pak?
    Misal, metode-metode yang terkait…

    Terima Kasih sebelumnya,,,

    Wassalam… :mrgreen:

    salam kenal juga mas tresno. judul skripsi yang bagus, mas, semoga lancar dan sukses. tentang referensi, saya kira mas tresno bisa juga melacaknya melalui om google atau buku2 sastra yang berkaitan dengan dunia penciptaan. ok, mas, salam kreatif! 💡

  15. Assalamualaikum, Pak…

    Salam kenal dari saya di Solo nih Pak..

    Saya sedang menyusun skripsi tentang ‘Penggunaan metode implikasi konflik dalam pembelajaran menulis cerpen’…

    Bisa tolong tunjukkan referensi lain gak Pak?
    Misal, metode-metode yang terkait…

    Terima Kasih sebelumnya,,,

    Wassalam… :mrgreen:

Tinggalkan Balasan ke deKing Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *