Sastra Koran versus Sastra Cyber

Semenjak dunia sastra merambah dunia maya alias internet, banyak kalangan –terutama mereka yang mengklaim dirinya sebagai sastrawan– merasa gerah. Pasalnya, lewat berbagai blog yang gratisan, hampir setiap orang bisa memublikasikan…

Bangsa yang Malas Membaca

Di bulan September ini sebenarnya ada dua agenda penting dan bermakna dalam membangun sebuah peradaban yang lebih mulia dan bermartabat, yakni ibadah puasa dan aktivitas membaca. Ibadah puasa, seperti yang telah banyak ditulis oleh para pakar dan pemerhati masalah keagamaan, merupakan wahana yang tepat untuk menggembleng dan menyempurnakan diri menjadi insan kamil. Melalui puasa, kita mampu membangun kesalehan hidup, baik sosial maupun individu, bahkan juga mampu membangun kesalehan secara kaffah. Dalam kacamata sosial, ibadah puasa mampu membangkitkan solidaritas hidup terhadap kaum dhuaffa sekaligus meningkatkan kepekaan untuk ikut meringankan beban hidup sesama yang menderita. Secara individu, puasa mampu meningkatkan intenstitas interaksi dan komunikasi dengan Sang Pencipta melalui bahasa religi dan peribadatan sesuai dengan syarat dan rukunnya.

Lantas, bagaimana dengan aktivitas membaca? Ya, bulan September telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan. *Sebuah kultur yang telah lama bernaung turba dalam pranata sosial masyarakat kita. Untuk membangun kebiasaan positif seringkali diawali dengan gerakan dan pencanangan, bahkan juga upacara-upacara. *

Guru Indonesia: Generasi yang Hilang?

Sesekali lakukanlah survei di tempat keramaian yang dihadiri anak-anak muda terpelajar. Lantas, berbasa-basilah untuk bertanya tentang cita-cita mereka. Andaikan ada 10 anak muda yang Anda tanyai, berapakah yang bercita-cita menjadi seorang guru? Hahahaha 😀 Tidak usah terkejut seandainya hanya beberapa gelintir saja –bahkan bisa jadi nihil– anak muda yang dengan amat sadar memiliki cita-cita dan “dunia panggilan” untuk menjadi seorang guru. Mereka adalah anak-anak muda yang cerdas. Potret generasi masa kini yang (nyaris) tak pernah bersentuhan dengan penderitaan hidup. Orang tua mereka telah membukakan jalan ke “peradaban” baru; intelek, gaul, punya kelengkapan asesori untuk bisa hidup secara modern dan global. Pendeknya, generasi muda terpelajar Indonesia masa kini telah mampu menikmati berbagai “kemanjaan” hidup.

Disadari atau tidak, kemanjaan hidup dalam lingkungan keluarga akan berpengaruh terhadap pola dan gaya hidup. Kalau sejak kecil mereka telah terbiasa hidup dalam desain budaya yang sarat kemanjaan dalam lingkungan keluarga, kelak setelah dewasa pun diduga akan mengadopsi pola dan gaya hidup yang telah mereka terapkan sejak kecil.

Legenda Sisyphus dan Bongkar Pasang Kurikulum

Tiba-tiba saya teringat Sisyphus. Tokoh fiktif dalam mitos Yunani kuno yang diperkenalkan oleh Albert Camus itu, menurut hemat saya, layak dijadikan sebagai analogi terhadap kebijakan “penguasa pendidikan” negeri ini yang suka bongkar pasang kurikulum. Konon, lantaran mengetahui rahasia para dewa, Sisyphus dikutuk dan harus mengangkat batu ke puncak gunung. Namun, selalu gagal. Batu itu kembali menggelinding ke lembah dan Sisyphus harus kembali mengangkatnya ke puncak. Berulang-ulang. Saini KM dalam sebuah puisinya menggambarkan sosok Sisyphus seperti berikut ini.

Sisyphus

Dan batu kembali ke jurang menggelundung.
Bolak-balik beribu tahun: beribu tahun
Sisyphus mendorong batu ke puncak gunung
kau mendaki dan tergelincir, jatuh dan bangun.

Jatuh dan bangkit di Babel, Sodom dan Gomorah
Auschwitz, Hiroshima-Nagasaki dan Vietnam.
Dan dari dasar derita, dengan nafas tersengal
kau berseru ke langit: Apakah artinya ini?

Langit menjawabmu dengan biru, dengan bisu.
Kau pun bangkit lagi; pucat, berdebu dan luka
kembali mendaki dan memandang Angkasa. Mungkin
itulah artinya: Payah dan luka kau tak tunduk.

Tiga Bahasa Plesetan tentang KTSP

Setidaknya ada tiga bahasa plesetan tentang KTSP. Pertama, KTSP diplesetkan sebagai Kurikulum Tidak Siap Pakai. Plesetan ini mengisyaratkan bahwa para guru –sebagai “loko” pendidikan– belum siap menerima perubahan. Para guru tampaknya akan lebih siap apabila semua dokumen kurikulum telah disiapkan dengan rapi dari Jakarta seperti kurikulum sebelumnya. Jadi, Bapak-bapak dan Ibu-ibu guru tidak perlu lagi direpotkan menentukan indikator setiap KD, menyusun silabus dan RPP, atau menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). 😀 Ya, seperti model pendidikan bergaya sentralistis begitulah. Semuanya serba disiapkan dari pusat. Ironis, ya?

Kedua, KTSP diplesetkan sebagai Kurikulum Tetap Sama Produknya. Plesetan ini mengisyaratkan bahwa KTSP yang seharusnya mencerminkan karakter siswa didik, latar belakang sosial-budaya masyarakat setempat, dan kondisi sekolah, kenyataannya tak ada bedanya. KTSP antarsekolah, bahkan di seluruh Indonesia sama saja produknya. Itu karena “kreativitas” para guru melakukan copy-paste draft KTSP dari sekolah tertentu atau model KTSP yang dikeluarkan BSNP. 😀 Kang Guru memberikan komentar menarik dalam tulisan saya tentang “Reformasi Sekolah, Kepemimpinan Feodalistis, dan KTSP” seperti berikut ini.

Reformasi pendidikan barus sebatas kurikulum yang berubah,…. pelaksanaannya belum…. manajemennya belum…..gurunya belum… kepseknya…. belum juga, lantas apa dong yang diharapkan dari hanya perubahan kurikulum???

——————-
Melatih guru agar terampil copy-paste silabus dan RPP toh, Kang, hehehehe D
————-