Tiba-tiba saya teringat Sisyphus. Tokoh fiktif dalam mitos Yunani kuno yang diperkenalkan oleh Albert Camus itu, menurut hemat saya, layak dijadikan sebagai analogi terhadap kebijakan “penguasa pendidikan” negeri ini yang suka bongkar pasang kurikulum. Konon, lantaran mengetahui rahasia para dewa, Sisyphus dikutuk dan harus mengangkat batu ke puncak gunung. Namun, selalu gagal. Batu itu kembali menggelinding ke lembah dan Sisyphus harus kembali mengangkatnya ke puncak. Berulang-ulang. Saini KM dalam sebuah puisinya menggambarkan sosok Sisyphus seperti berikut ini.
Sisyphus
Dan batu kembali ke jurang menggelundung.
Bolak-balik beribu tahun: beribu tahun
Sisyphus mendorong batu ke puncak gunung
kau mendaki dan tergelincir, jatuh dan bangun.Jatuh dan bangkit di Babel, Sodom dan Gomorah
Auschwitz, Hiroshima-Nagasaki dan Vietnam.
Dan dari dasar derita, dengan nafas tersengal
kau berseru ke langit: Apakah artinya ini?Langit menjawabmu dengan biru, dengan bisu.
Kau pun bangkit lagi; pucat, berdebu dan luka
kembali mendaki dan memandang Angkasa. Mungkin
itulah artinya: Payah dan luka kau tak tunduk.
> Sikap yang memancarkan semangat pantang menyerah atau sebuah kesia-siaan abadi? Ya, dalam penafsiran saya, legenda Sisyphus mengandung dua muatan nilai yang kontradiktif. Pertama, me-“nonsens”-kan sikap putus asa dalam mencapai sesuatu. Meski gagal berulang-ulang, aksi harus terus dilanjutkan. Kedua, kesia-siaan dalam menjalankan aksi yang tak kunjung usai.
Sekarang, kita mencoba melakukan kilas balik terhadap perubahan kurikulum di negeri ini. Setidaknya sudah tujuh kali perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah, yakni Kurikulum 1962, 1968, 1975, 1984, 1994, KBK, dan KTSP. Namun, apa dampaknya terhadap kemajuan peradaban bangsa? Sudahkah pendidikan di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang visioner; yang mampu membawa bangsa ini berdiri sejajar dan terhormat dengan negara lain di kancah global? Sudahkah “rahim” dunia pendidikan kita melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial?
Secara jujur, kita mesti mengerutkan jidat berulang-ulang. Secara riil dan kasat mata, kita bisa menyaksikan betapa dunia pendidikan kita hanya berada di “puncak menara gading” kehidupan yang jauh dari sentuhan realitas persoalan keseharian. Proses pendidikan kita menafikan persoalan-persoalan yang relevan dengan konteks keseharian dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsanya. Tak heran jika setelah lulus pun keluaran pendidikan kita seperti “rusa masuk kampung”. Merasa asing dengan lingkungan masyarakatnya sendiri. Dalam “Sajak Seonggok Jagung di Kamar” WS Rendra membuat satire dalam lirik berikut ini.
…………..
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan
…………..
(Agaknya generasi muda di negeri ini memang telah didesain untuk menjadi “penghafal kelas wahid” dan tak pernah diberi ruang dan kesempatan untuk berkarya secara bebas di sekolah kita …. 😀 )
Reformasi pendidikan –meminjam istilah Abdul Halim Fathani— memang perlu dimulai dari pembaruan di bidang kurikulum. Sebab, kurikulum merupakan semacam satelit yang melacak dan memberi identitas edukatif bagi setiap siklus pendidikan. Secara pedagogis dan didaktis, tujuan kurikulum adalah untuk mempercantik busana kultural maupun formatif, baik itu melalui pengayaan berkesinambungan atas identitas intelektual anak didik mulai TK sampai perguruan tinggi, atau melalui penguatan otonomi pendidikan yang sifatnya subsidiaris, jauh dari sentralisasi edukatif, secara didaktis memberi otonomi pada anak didik sebagai agen yang belajar sesuai kapasitas dan kemampuannya.
Dengan nada sinis, Prof. Aleks Maryunis, guru besar Universitas Negeri Padang (2006), menyatakan bahwa selama ini pemerintah sibuk mengurusi dan membenahi dokumen tertulisnya saja. Menurutnya, perubahan kurikulum di negara kita kebanyakan menitikberatkan pada perubahan konsep tertulis, tanpa mau memperbaiki proses pelaksanaannya di tingkat sekolah. Kurikulum di Indonesia sebenarnya memiliki empat dimensi dasar, yakni konsep dasar kurikulum, dokumen tertulis, pelaksanaan, dan hasil belajar siswa. Di Indonesia yang kerap mengalami perubahan hanya dimensi dokumen tertulis berupa buku-buku pelajaran dan silabus saja yang sudah dilaksanakan. Persoalan proses dan hasilnya, tak pernah mampu dijawab oleh kurikulum pendidikan kita.
Apa yang dikemukakan oleh Prof. Aleks Maryunis tampaknya tidak berlebihan. Kebijakan bongkar pasang kurikulum dinilai tidak berimbas positif terhadap peningkatan mutu pendidikan karena yang diurus hanya sekadar dokumen administratif. Agaknya fenomena ini sudah menjadi rahasia umum sejak zaman “baheula”. Negeri kita, konon, memang lebih mementingkan urusan administrasi ketimbang substansi. Proses akreditasi sekolah, misalnya, pun lebih banyak menggunakan dokumen dan bukti-bukti fisik –dan ini pasti amat gampang direkayasa– sebagai instrumen penilaian ketimbang kinerja para pendidik dan tenaga kependidikan. Tak heran kalau banyak institusi pendidikan di negeri ini yang mentereng gedungnya, tertib administrasinya, tapi sebenarnya sangat rapuh. Kalau boleh diibaratkan, insitusi pendidikan banyak yang seperti kaus lampu “petromax”. Dari luar tampak mentereng, tapi kena sentuhan angin sedikit saja langsung hancur. Dengan kata lain, institusi pendidikan kita baru memiliki kemampuan sebatas “pamer” administrasi. 😀
Akibat atmosfer dunia pendidikan kita yang timpang dan tersaruk-saruk semacam itu, sejak 1962 negeri kita (nyaris) gagal melahirkan sosok negarawan sejati, politisi ulung, ekonom jempolan, pebisnis visioner, atau demokrat elegan yang mau dan sanggup “berdarah-darah” mengangkat pamor negeri ini di mata dunia. Yang tampak telanjang di depan mata kita justru para politisi “kacangan” yang hanya mampu gembar-gembor di atas mimbar kampanye, pebisnis ala kaum borjuis yang suka menumpuk-numpuk harta tanpa memedulikan nasib jutaan penganggur dan kaum dhuafa, para elite negara yang suka berkonflik dan menaburkan jurus “balas dendam” demi menyelamatkan kepentingan dan aset-asetnya. Yang lebih mencemaskan, para koruptor makin bergentayangan di berbagai lapis dan lini birokrasi akibat tumpulnya “pedang” hukum yang mampu mengalgojo dan menyeret pengemplang harta negara itu ke penjara.
Menurut hemat saya, kurikulum memang penting sebagai bagian dari reformasi pendidikan. Namun, hal itu akan sia-sia –seperti nasib Sisyphus— kalau tidak dibarengi dengan pemberdayaan komponen lain secara simultan dan holistik. Profesionalisme guru, misalnya, sejak dulu sudah gencar digembar-gemborkan, betapa amat vitalnya peran mereka sebagai “lokomotif” pendidikan. Tapi, realitas yang muncul, guru hanya dianggap sebagai “objek”, bahkan hanya sebatas dimaknai sebagai “tukang ajar” saja. Lihat saja ketika KTSP diberlakukan. Para guru disibukkan dengan penyusunan dokumen silabus dan RPP. Namun, bagaimana silabus dan RPP diimplementasikan dalam kegiatan pembelajaran, sama sekali tidak diperhitungkan. Itu artinya, kurikulum kita selama ini memang hanya sekadar pembenahan dokumen saja. Persoalan implementasi dan aplikasinya? Wah, jangan tanyakan, Bung! Itu berada dalam barisan pertanyaan yang paling buncit untuk dijawab. 😀 ***