Sastra Koran versus Sastra Cyber

Semenjak dunia sastra merambah dunia maya alias internet, banyak kalangan –terutama mereka yang mengklaim dirinya sebagai sastrawan– merasa gerah. Pasalnya, lewat berbagai blog yang gratisan, hampir setiap orang bisa memublikasikan teks-teks sastra ciptaannya. Bahkan, teks sastra yang tergolong “sampah” pun bisa dengan mudah terpublikasikan. Hal yang (hampir) mustahil terjadi dalam sastra koran. Untuk bisa meloloskan teks sastranya di sebuah media cetak, minimal harus lolos dari “barikade” selera sang redaktur. Ini artinya, tidak bisa sembarang teks sastra bisa lolos dari persyaratan ketat yang ditetapkan oleh sang redaktur.

Menurut hemat saya, dikotomi sastra koran versus sastra cyber bukanlah perkara substansial. Sastra sangat erat kaitanya dengan dunia imajiner yang bebas ditafsirkan oleh orang dari berbagai kalangan. Ini artinya, siapa pun punya hak untuk menafsirkan nilai-nilai estetika dan nilai-nilai etika alias pesan moral yang terkandung di dalamnya. Persoalan sastra koran dan sastra cyber hanyalah persoalan medianya saja. Kalau sastra koran selalu mengenal batasan-batasan yang dikendalikan oleh otoritas sang redaksi dan selera pasar, sastra cyber (hampir) tak mengenal batasan-batasan otoritas itu. Setiap orang pun bebas memiliki blog gratisan yang bisa dijadikan sebagai media untuk memublikasikan karya-karyanya. Selain itu, koran juga mengenal batasan dimensi ruang dan waktu. Pembacanya hanya kebetulan mereka yang berlangganan dan dibatasi oleh waktu penerbitan. Untuk rubrik sastra dan budaya biasanya terbit setiap hari Minggu yang acapkali hanya dijadikan sebagai “suplemen” hiburan, melengkapi kolom-kolom keluarga dan entertainment lainnya.

“Pulchrum dicitur id apprensio”, kata filsuf skolastik, Thomas Aquinas. Adagium yang berarti “keindahan bila ditangkap menyenangkan” itu menyiratkan makna bahwa keindahan menjadi mustahil menyenangkan tanpa media sosialiasi. Keindahan sebuah teks sastra mokal bisa dinikmati orang lain tanpa publikasi. Ini artinya, media publikasi menjadi penting untuk dipersoalkan ketika sastra diposisikan sebagai sebuah produk budaya yang eksistensinya makin bermakna jika dinikmati oleh pembaca. Sebagus dan sehebat apa pun sebuah teks sastra jika tidak ada media yang memublikasikannya, maka disadari atau tidak, teks tersebut hanya berada dalam kekosongan makna. Oleh karena itu, seorang kreator idealnya memiliki ruang publik untuk menginternalisasikan teks-teks ciptaannya kepada publik sastra seperti yang dilakukan oleh Seno Gumiro Adjidarma, TS Pinang, atau sastrawan-sastrawan lain yang lolos dari pantauan awam saya.

Harus diakui, sosialisasi karya-karya kreatif lewat media cetak nyaris menjadi tradisi dalam sastra kita. Pada dekade ’50-an, tradisi itu muncul melalui berbagai majalah. Malah, (almarhum) HB Jassin, Pamusuk Eneste, atau (almarhum) Satyagraha Hoerip –sebagai editor penerbitan buku—karya-karya para sastrawan yang tersebar di berbagai media cetak pun terbit menjadi sebuah buku. Kemampuan mereka yang mampu menembus barikade redaksi sastra-budaya di media cetak dalam memasyarakatkan obsesi visi dan estetisnya harus dipahami sebagai upaya untuk memperoleh legitimasi kepengarangan. Dan itu memang sangat perlu dilakukan oleh seorang pengarang. Kalaulah tradisi itu berlanjut hingga sekarang, harus dimaknai sebagai upaya pengarang untuk tetap memiliki publik (massa) yang telah “bersetubuh” dengan media cetak. Dorothea Rosa Herliany yang mencuat lewat antologinya “Kepompong Sunyi” pun hingga kini masih aktif meng-“koran’-kan sajak-sajaknya. Lirik Abdul Hadi WM juga bisa kita nikmati lewat berbagai media cetak. (Almarhum) Linus Suryadi AG –semasa hidupnya–, Medy Loekito, Triyanto Triwikromo, atau Ghufron Hasyim –untuk menyebut beberapa nama– masih butuh legitimasi kepengarangan lewat koran.

Harus diakui pula, koran dan media cetak telah punya andil dalam membesarkan nama-nama satrawan. Bahkan, Kompas kini dianggap menjadi “barometer” perkembangan sastra mutakhir. Tak heran jika ada yang bilang, jangan mengaku dirinya sebagai seorang pengarang apabila karyanya belum dimuat di koran nasional itu. Namun, menganggap koran atau media cetak menjadi satu-satunya sumber untuk membikin seseorang menjadi sastrawan juga sebuah opini yang menyesatkan pada era keterbukaan dan digital ini.

Untuk nama-nama pengarang yang sering diklaim masuk pada kelompok “elite” bolehlah menggunakan koran sebagai corong untuk menyuarakan karya-karyanya. Namun, bagi calon-calon sastrawan, mengandalkan koran sebagai satu-satunya media publikasi, disadari atau tidak, idealisme semacam itu hanya akan terkubur bersama mimpi-mimpinya di tengah sergapan kemajuan zaman. Saya kira pengarang yang bersangkutan akan bernasib bagaikan “rusa masuk kampung”, lantaran teks-teks ciptaannya hanya akan menjadi deretan kegelisahan yang tak tersalurkan.

Karena itu, jika seorang pengarang ingin dikenal publik, mau atau tidak, dia harus memiliki media yang tepat untuk memperkenalkan karya-karyanya. Sastra cyber, khususnya blog, saya pikir bisa menjadi sebuah media yang tepat untuk itu. Hanya dengan sedikit bekal dan modal kemampuan memainkan jari-jemarinya di atas keyboard, lantas melakukan registrasi untuk membuka sebuah blog, meluncurlah karya-karya secara online dengan segmen yang lebih luas. Apalagi ditambah sedikit pengetahuan untuk melakukan sindikasi lewat Feedburner dengan kemampuan jangkauan RSS terkenal. Bisa dipastikan, dalam waktu singkat namanya akan cepat dikenal publik.

Persoalan kualitas? Saya pikir itu seleksi alam yang akan berbicara. Pengunjung sastra cyber, saya kira, sudah semakin cerdas dan kritis. Mereka bisa membedakan teks sastra yang berkualitas dan yang tergolong “sampah”. Teks sastra cyber yang menihilkan mutu, pelan tapi pasti akan ditinggalkan oleh pengunjungnya. Meskipun demikian, saya masih meyakini asumsi bahwa apa yang mereka tulis lewat sastra cyber, murni terlahir dari kepekaan nurani, hasil pergulatan daya jelajah kreativitas yang intens. Mereka tidak harus dicurigai sebagai manusia hipokrit yang cenderung menuruti kepuasan selera dan sekadar memanjakan liarnya imajinasi. Teks sastra yang selama ini muncul secara online tetap menunjukkan penjelajahan rasio akal budi dan budi nurani dalam transpirasi total kepengarangan.

Kini, agaknya dikotomi sastra koran versus sastra cyber harus mulai dikikis. Zaman sudah jauh bergeser, dari dunia praliterasi menuju postliterasi. Produk postliterasi semacam internet sudah saatnya dimanfaatkan dengan baik oleh calon-calon pengarang. Sebuah “musibah” apabila ingin menjadi pengarang terkenal hanya melulu “bersetubuh” dengan media cetak tanpa sedikit pun mau melirik media internet yang demikian jauh mampu menembus batasan dimensi ruang dan waktu. Nah, bagaimana? ***

4 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *