Guru Indonesia: Generasi yang Hilang?

Sesekali lakukanlah survei di tempat keramaian yang dihadiri anak-anak muda terpelajar. Lantas, berbasa-basilah untuk bertanya tentang cita-cita mereka. Andaikan ada 10 anak muda yang Anda tanyai, berapakah yang bercita-cita menjadi seorang guru? Hahahaha 😀 Tidak usah terkejut seandainya hanya beberapa gelintir saja –bahkan bisa jadi nihil– anak muda yang dengan amat sadar memiliki cita-cita dan “dunia panggilan” untuk menjadi seorang guru. Mereka adalah anak-anak muda yang cerdas. Potret generasi masa kini yang (nyaris) tak pernah bersentuhan dengan penderitaan hidup. Orang tua mereka telah membukakan jalan ke “peradaban” baru; intelek, gaul, punya kelengkapan asesori untuk bisa hidup secara modern dan global. Pendeknya, generasi muda terpelajar Indonesia masa kini telah mampu menikmati berbagai “kemanjaan” hidup.

Disadari atau tidak, kemanjaan hidup dalam lingkungan keluarga akan berpengaruh terhadap pola dan gaya hidup. Kalau sejak kecil mereka telah terbiasa hidup dalam desain budaya yang sarat kemanjaan dalam lingkungan keluarga, kelak setelah dewasa pun diduga akan mengadopsi pola dan gaya hidup yang telah mereka terapkan sejak kecil.

Anak-anak dibesarkan oleh zamannya. Seiring dengan makin maraknya pola hidup pragmatis yang dikibarkan oleh bendera konsumtivisme, materialisme, dan hedonisme, anak-anak muda masa kini memiliki kecenderungan untuk berpikir praktis dan pragmatis. Apresiasi terhadap sikap dan pola hidup yang menghargai proses dan kerja keras (nyaris) hilang dalam “kamus” kehidupan kaum muda. Kondisi itu diperparah dengan miskinnya keteladanan orang tua dan kaum elite yang secara sosial mestinya bisa menjadi anutan. Mereka bukannya menunjukkan kesalehan, baik individu maupun sosial, tetapi justru menampakkan praktik hidup yang sarat dengan berbagai perilaku amoral. Untuk mencapai tujuan, mereka tak jarang menghalalkan segala cara, bermimpi sukses ala Abu Nawas dengan menerapkan cara-cara magis, bahkan tak jarang menggunakan ilmu permalingan yang dalam ajaran agama apa pun jelas-jelas dilarang. Kursi empuk kepejabatan tak jarang didapat dengan cara-cara curang dengan cara menggunakan uang pelicin atau menggunakan umpan untuk menjerat relasinya. Ironisnya, perilaku tak terpuji semacam itu sudah merasuki dunia pendidikan kita yang notabene menjadi “kawah candradimuka” peradaban. Jual beli gelar –bahkan konon hingga jenjang S3– atau kuliah instan, misalnya, sudah bukan rahasia lagi. Sungguh, sebuah “drama” di atas panggung kehidupan sosial negeri ini yang membikin “miris” para pemburu kebenaran, kejujuran, dan keadilan.

Kondisi tersebut diperparah dengan makin permisifnya masyarakat terhadap berbagai tindakan amoral dan tak terpuji yang tampak vulgar di atas panggung kehidupan sosial kita. Hal mitu bisa dilihat dan disaksikan dengan jelas oleh anak-anak muda kita. Lantas, bagaimana peran institusi pendidikan dalam menghadapi situasi semacam itu?

Secara jujur mesti diakui, ada kontradiksi nilai yang acapkali bertentangan secara diametral. Di sekolah, para murid tidak hanya sekadar diajar, tetapi juga dididik. Mereka diharapkan mampu mengapreasiasi dan menginternalisasi nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan melalui berbagai dimensi pelajaran di sekolah. Namun, anak-anak muda kita bisa dengan mudah dan gamblang melihat berbagai perilaku dan tindakan tak terpuji yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat kita. Imbasnya, terjadi kontradiksi nilai antara apa yang ditanamkan dan ditaburkan di sekolah dengan berbagai ulah tak terpuji yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat kita. Tak mengherankan jika para pelajar kita memiliki “kepribadian terbelah”; menganut nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah atau larut dalam berbagai tindakan anomali sosial yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat kita.

Ketika kepribadian kaum muda kita terbelah dan dihadapkan pada dua kondisi yang saling bertentangan, konon, mereka cenderung akan mengambil sikap dan tindakan yang sesuai dengan sifat agresif dan naluri purba mereka yang tengah bergolak. Tak berlebihan apabila kaum remaja kita –yang sebenarnya tergolong cerdas dan hidup dalam lingkungan keluarga yang mapan– sering kali terjebak pada perilaku yang kurang terpuji.

Lantas, apa hubungannya dengan judul tulisan ini? Secara tidak langsung mungkin tidak ada benang merahnya. Tapi marilah kita coba refleksi sejenak. :mrgreen: Anak-anak muda yang sangat cerdas dan hidup dalam lingkungan keluarga yang mapan itu sebenarnya merupakan aset bangsa yang luar biasa besarnya. Mereka kelak diharapkan mampu menjadi agen perubahan yang sanggup membawa bangsa dan negeri ini menjadi bangsa yang terhormat dan bermartabat.

Salah satu pendorong dinamika dan gerak peradaban adalah pendidikan. Maju mundurunya dunia pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas guru. Gurulah yang berada di garda depan dalam dunia pendidikan sehingga mereka memiliki peran strategis dalam “melahirkan” anak-anak bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, sosial, dan spiritual. Namun, agaknya apresiasi masyarakat dan pemerintah pun masih menimbulkan tanda tanya? Sudahkah masyarakat memosisikan guru pada aras yang sebenarnya? Bagaimanakah perhatian pemerintah dalam mengangkat harkat dan kehormatan guru selain melalui lagu “Hymne Guru” yang lebih terasa sebagai sebuah sindiran dan parodi ketimbang penghormatan?

Daftar pertanyaan semacam itu masih bisa terus bertambah seiring dengan makin banyaknya derita guru, mulai dari penghasilannya yang pas-pasan, guru tukang ojek, hingga penjual rokok ketengan. Dus, dari sisi mana pun jadi guru itu sangat tidak menguntungkan. :mrgreen: Secara sosial, guru tak jarang mendapatkan perlakuan “istimewa” sehingga pantang berbuat khilaf dan dosa. Secara ekonomi sangat jelas. Penghasilan guru belum menjanjikan untuk bisa hidup layak. Rumah pun terpaksa masih ngontrak. Kalau mampu beli, umumnya mereka pilih rumah tipe RSSSSSSSS (Rumah sangat sederhana sekali sampai-sampai selonjor saja susah sekali. 😀 ) model kreditan.

Dalam penafsiran awam saya, rendahnya minat anak-anak muda Indonesia yang cerdas untuk menjadi guru lebih disebabkan oleh tingkat status sosial-ekonomi yang kurang menguntungkan. Lihat saja mahasiswa calon guru yang masuk ke LPTK. Sebagian besar di antara mereka lantaran “tersesat” dan terpaksa setelah gagal masuk ke perguruan tinggi. Ini artinya, guru dalam dunia pendidikan kita selama ini hanya berasal dari mahasiswa “sisa-sisa”. Tak heran apabila setelah lulus pun mereka terpaksa jadi guru setelah gagal bersaing mencari pekerjaan yang lebih menguntungkan. Tak heran pula apabila mereka pun gagal “melahirkan” manusia-manusia (baca: lulusan) unggulan.

Pemerintah agaknya sudah mulai “melirik” peran guru dalam membangun peradaban bangsa yang lebih terhormat dan bermartabat. Program sertifikasi guru, misalnya, dinilai sebagian kalangan sebagai cara strategis untuk meningkatkan kompetensi akademik dan kualifikasi guru sehingga mampu menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Namun, tak jarang juga yang berpandangan bahwa program semacam itu hanya memboroskan uang negara. Prosedurnya pun dibikin rumit. Guru-guru muda yang kreatif dan potensial untuk “mendongkrak” mutu pendidikan jutru terkesan dikebiri dan dimarginalkan. Hanya mereka yang sudah punya “jam kerja” tinggi yang terjaring untuk mengikutinya. (Jangan-jangan anggarannya memang belum siap sehingga perlu didesain melalui prosedur yang rumit sambil menunggu perkembangan anggaran). Saya setuju dengan pandangan Ersis Warmansyah Abbas, kalau memang memiliki “kemauan politik” untuk memperhatikan nasib guru, kenapa mesti harus mengikuti ujian sertifikasi? Bukankah mereka sudah mendapatkan bekal yang cukup dari LPTK tempat menimba ilmu? Apakah setelah dinyatakan lulus uji sertifikasi dengan sendirinya mutu pendidikan akan terdongkrak?

Nah, jika nasib guru terus-terusan diabaikan, guru akan menjadi sebuah generasi yang hilang. Bukan tidak mungkin negeri ini akan “kehabisan” guru lantaran tak banyak generasi muda yang tertarik untuk menggelutinya. Kalau kekhawatiran ini benar, siap-siaplah untuk hidup di sebuah negeri yang tidak mengenal peradaban. Nah, bagaimana? ***

35 Comments

  1. Wah ,apa jadinya ya kalau negeri ini tidak ada guru lagi ?Sungguh tak berani saya bayangkan.
    Generasi kini sudah menjadi generasi cengeng , semua maunya serba instan dan praktis.Mana ada lagi yang mau susah-susah.

    Praktek jual beli ijiasah itulah salah satu yang membodohkan generasi kita.Tidak mengherankan kalau sebagian besar hasil bumi kita di olah di luar negeri.
    Bukan karna negeri kita ini tidak memiliki orang yang berkemampuan untuk mengelolah melainkan karna kita sudah menjadi negeri yang kehilangan kepercayaan diri , cengeng dan terbiasa maunya terima bersih.

    Nasib guru di negeri kita ini memang sangat memprihatikan.
    Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka bisa berkonsentrasi mengajar, mendidik dan membimbing kalau tuk sekedar bensin motor saja sudah terasa membebani mereka.Yang paling tragis ialah nasib para guru yang mengabdikan diri di kota-kota kecil dan perdesaan.
    Di daerah kami , Singkawang,Kal-bar ,Pada beberapa waktu yang lalu ketika kami mengadakan perjalanan tuk sekedar bersilahturami ke beberapa sekolah dan menemui para guru sungguh mengangetkan sekali setelah mendengar bahwa gaji para guru di sebuah perdesaan ,yang terletak tidak jauh dari kota sambas hanya 250ribu/bulan.25oribu/perbulan, coba bayangin.Mungkin peran masyarakat juga di butuhkan demi pembangunan bersama, misalnya memberikan sumbangan khusus tuk para guru.

    ———————–

    Terima kasih atas sikap empati Mbak Hanna terhadap nasib guru. Ya, seperti Mbak Hanna bayangkan, tentu saja guru yang masih harus berpikir memenuhi tuntutan perut agaknya mustahil bisa konsentrasi mengajar dengan baik. Itulah barangkali yang menyebabkan animo generasi muda untuk menjadi guru sangat rendah.

    Untuk meningkatkan kesejahteraan guru memang tak bisa hanya dengan mengandalkan peran pemerintah. Pihak dunia usaha perlu memiliki kepedulian untuk ikut mengangkat harkat dan martabat guru.

    Menyedihkan sekali ya Mbak penghasilan guru di daerah Singkawang. Hanya dengan 250 ribu per bulan mana bisa mereka meningkatkan kompetensinya. Ya, mudah2an ada perubahan yang bisa memperbaiki nasib guru.

  2. Institusi pendidikan sekarang banyak yang komersial. Sehingga peranan guru tidak jarang harus menyesuaikan dengan keinginan orang tua yang sangat memanjakan anak. Ironis, bukan?

    ————–
    Betul, Bu Enggar. Ironis betul dunia pendidikan di negeri kita ini. Lembaga yang seharusnya mampu menetralisir diri dari hal-hal yang bersifat komersial justru malah menjadi sumbernya. hehehehe 😀 Guru idealis seringkali tak sanggup mempertahankan idealismenya ketika komersialisasi sudah merasuki lembaga pendidikan kita. OK, salam, Bu Enggar.

  3. Hmmm…. sepertinya serba salah deh…. sebuah dilemma…. maju kena… mundur kena! Sepertinya memang untuk mensejahterakan guru, untuk berjalan dengan baik, peranan swasta dan perorangan perlu juga dilibatkan. Tapi masalahnya begini:
    Andaikan… gaji guru dinaikkan berkali-kali lipat, tentu kita tidak bisa mengandalkan kas pemerintah yang sudah ‘minim’ itu, tentu jalan terbaiknya adalah menaikkan ‘uang sekolah’ sesuai prinsip ilmu ekonomi, seperti di sebuah perusahaan. Namun ya itu, kalau uang sekolah naik, timbul pula polemik lagi nanti kalau pendidikan itu mahal! Sungguh sebuah masalah yang dilematis!

    ———————-
    Hemmmmmm, memang dilematis, Bung Yari, bahkan kayak lingakaran setan. Hehehehe 😀 Ketika pemerintah nggak sanggup lagi menaikkan gaji guru, orang tua siswa bisa dilibatkan. Tapi resikonya juga nggak bisa dianggap remeh. Muncul opini publik bahwa sekolah itu mahal. Kalau gitu, ya udah, pakai seleksi alam saja. Bagi mereka yang masih sanggup jadi guru dengan penghasilan pas2an ya dipersilakan. Kalau nggak mampu, ya, cari aja pekerjaan lain. hehehehe 😀 *ekstrem*

  4. sepertinya sudah mulai bergeser lagi pak, kebelakang memang Guru bukanlah pilihan utama sebagai tujuan . namun melihat baru-baru ini, fakultas-fakultas ilmu pendidikan sudah muali ramai lagi, IKIP (atau Universitas Negeri….) juga sudah mulai bergeliat kembali. mungkin baru sebagian kecil, tapi saya optimis ini adalah awal dari kebangkitan profesi guru, jika benar janji pemerintah yang kemarin di teriakkan itu dapat terlaksana degan baik.

    bukankah kita sudah cukup belajar dan kemudian mafhum kalau pendidikan adalah investasi jangka panjang, buat negara, dan buat masyarakat. mudah-mudahan dunia pendidikan kita akan terus maju.

    *tulisannya bagus mo minta ijin di bajak buat koleksi pribadi* :mrgreen:

    ————————-
    Ya, mudah2an itu pertanda baik. Masalahnya, jangan2 tingginya animo untuk masuk ke LPTK karena dengar berita sudah ada UU Guru dan Dosen yang menjanjikan kesejahteraan guru. Kalau dugaan ini benar, animo mereka lagi-lagi bukan disebabkan lantaran memenuhi “dunia panggilan”, melainkan lebih disebabkan karena janji2 meningkatnya kesejahteraan guru. Mudah2an dugaan itu keliru.

    *Kalau memang layak ditrackback, mangga disedoooot, Bung, hehehe 😀 *

  5. Institusi pendidikan sekarang banyak yang komersial. Sehingga peranan guru tidak jarang harus menyesuaikan dengan keinginan orang tua yang sangat memanjakan anak. Ironis, bukan?

    ————–
    Betul, Bu Enggar. Ironis betul dunia pendidikan di negeri kita ini. Lembaga yang seharusnya mampu menetralisir diri dari hal-hal yang bersifat komersial justru malah menjadi sumbernya. hehehehe 😀 Guru idealis seringkali tak sanggup mempertahankan idealismenya ketika komersialisasi sudah merasuki lembaga pendidikan kita. OK, salam, Bu Enggar.

  6. SETUJU!
    wah, postingan pak sawali ini selalu aja mbikin saia pengen ikotan posting juga – terlepas dari sifat khas orang endonesa yang emang suka ikotan^^, harap maklum –

    menurut saia sendiri segh, selaen banyak faktor diatas, generasi sekarang ini (termasuk saia sendiri) adalah generasi materialistis, mereka lebih memilih menjadi seorang wiraswasta atau pegawai biasa dibandingkan dengan menjadi seorang guru, walopun emang ada beberapa (dengan kesadaran moral mereka yang amat tinggi) yang emang pengen jadi guru…

    kasarannya ya, kalo jadi guru itu, yang mo dikorupsi itu apa? paling pol ya ngorupsi duit buku tho?

    tapi saia juga pengen jadi guru ko’, apalagi jadi guru sekolah kejuruan yang khusus wanita…huahuahua (dalam kasus ini tidak bicara moral lho ya..huehuehue)

    Terima Kasih pak!

    ————————
    Tapi mungkin ya nggak semua generasi muda materialistis lho Mas, ya? Ini perlu digarisbawahi. Ada juga anak muda yang idealis, kok. Termasuk mungkin ada juga yang kepingin jadi guru, meskipun persentasenya amat kecil.
    Zaman yang sudah masuk dalam perangkap materialistis memang sering membikin banyak orang berlomba menumpuk harta. Lantas, kalau guru, apa yang mau dikorup? hehehe 😀 Bener juga kali ya, paling banter hanya ngemplang duwit buku, hehehe. Kalau pingin jai guru baguslah itu. Siapa pun muridnya, hahahaha 😀 termasuk jika semua muridnya cewek yang centiul2 hehehe 😀

    Ok, salam.

  7. Kalo guru gajinya gede dan dihormati, pasti banyak yang mau, hehe…
    udah gajinya gak gede-gede amat, dimaki-maki pula…
    ah. bisa gila..
    bisa dibilang kalau ‘yang pinter-pinter’ gak mau jadi guru. Yang jadi guru, ya yang terperosok dan gagal sewaktu masa remaja..

    Tapi ada juga guru yang bener-bener cerdas dan memang mau memajukan bangsa ini, salut!

    —————
    Iya, juga, ya, Bung? Kalau gaji guru tinggi, animo kaum muda sakini untuk jadi guru pastu luar biasa. Bisa jadi LPTK akan nolak2 calon mahasiswa karena saking banyaknya, hehehehe 😀 Nah, sekarang, gaji dah pas2an, bertindak meyimpang sedikit saja, masyarakat agar beramai-ramai menghujatnya. :mrgreesn:
    Ok, salam!

  8. Yah… profesi guru memang belum menjadi pilihan utama bagi generasi2 trbaik anak bangsa ini. Lalu bagaimana perserta didiknya bisa optimal diolah jika orang2 yg terbaik ogah menjadi guru.
    Kata kunci memang adanya perhatian dalam hal kesejahteraan terhadap profesi guru di negeri.
    Negeri jiran Malaysia telah terbukti dalam menangani hal ini. Sejak awal2 mereka telah mprioritaskan guru/pendidikan bagi tonggak pembangunannya.
    Pemimpin di negeri kita tnyata mmiliki pandangan yg berbeda sehingga yah hasilnya seperti yg kita saksikan.

    Semoga guru dan pendidikan jangan lagi sekali2 dilalaikan bagi pemimpin bangsa ini kelak. Amin.

    Salam guru.

    ——————
    Amiiin, kita punya harapan yang sama, Pak. Agar mutu pendidikan di negeri ini bisa terangkat, guru sebagai komponen utama dalam kegiatan pembelajaran harus diperhatikan kesejahteraannya sehingga bisa menjalankan tugas dab profesinya dengan baik. Ok, kembali salam guru, Pak Herianto, trims.

  9. Duh saya jadi tersentil tersentuh nih, saya juga lulusan kependidikan Pak.

    Memang, dulu katanya mahasiswa calon guru itu adalah mahasiswa kelas dua (dinomor duakan). Mahasiswa buangan yang tak mampu masuk ke universitas top di negeri kita. Mungkin pendapat itu benar, tapi itu dulu lho…, itu juga katanya. 😀

    Saat ini keadaan mulai lain. Seperti yang dikemukakan oleh komentator no 5 di atas. Banyak teman-teman saya, yang secara sadar memilih untuk jadi guru sebagai pilihan utama. Mereka-mereka itu adalah mantan siswa-siswi terbaik di sekolahnya dulu. Sebagai kasus, semasa saya kuliah, teman-teman saya yang masuk kuliah itu bisa saya katakan 50 % nya secara sadar milih jadi guru (bukan mahasiswa buangan). Saya amati, saya tahu, mereka adalah mahasiswa-mahasiswa hebat, terbaik di sekolahnya.

    Oh, iya. Tentang guru yang jadi tukang ojek, itu pun pernah saya saksikan sendiri. Guru saya dulu melakukannya. Waktu itu, saya masih anak-anak, belum kepikiran menderitanya mereka (guru-guru saya).

    Oh, iya lagi. Memang sih bila yang disurvey itu anak-anak kota, apalagi anak orang kaya, yang biasa hidup mapan, yang sudah terkontaminasi sifat materialistis yang ditanamkan oleh kedua orang tua mereka, maka jangan berharap mendengar cita-cita mereka adalah jadi guru.

    Tapi coba, lakukan survey ke anak-anak desa yang masih sederhana, yang masih lugu, belum terkontaminasi sifat materialistis, banyak di antara mereka ingin jadi guru, ustad, kyai, ulama, dll. Contohnya, adik saya yang masih kecil (Padahal adik saya itu adalah selalu terbaim di sekolahnya. Hahaha…. sebagai kakaknya, saya ikutan bangga lho…). 😀

  10. @Pak Al-Jupri
    Lewat tulisan ini sebenarnya saya mau nyentil hati nurani anak-anak muda yang cerdas *kalau kebetulan baca 😀 * yang secara ekonomi mereka juga tak mengalami masalah. Adakah niatan mereka untuk menggeluti profesi sebagai seorang guru seperti yang dilakukan oleh saudara-saudaranya di daerah pedesaan. Kalau saja ada sekitar 25% saja anak-anak muda cerdas di negeri ini yang mau berprofesi sebagai guru, saya berkeyakinan, mereka bisa ikut berkiprah dalam meningkatkan mutu pendidikan. Otak mereka cemerlang, secara ekonomi mereka juga nggak punya masalah sehingga bisa menjalani profesinya dengan baik.
    Apa yang Pak Al-Jupri katakan saya kira nggak salah, Pak. Sebagian besar calon guru memang berasal dari desa. Tnetu saja ini masih bisa dibanggakan. Persoalannya, anak-anak dari daerah pedesaan rata-rata masih memiliki masalah dalam mengurus ekonomi sehingga sebagian waktu mengajarnya sering tersita untuk cari objekan.
    Itu sudah jadi fenomena umum, Pak. Harapan kita mudah2an ada anak-anak muda yang cerdas yang benar-benar memiliki “dunia panggilan” sebagai seorang guru.
    Ok, Pak Al-Jupri, terima kasih, dan salam sejahtera selalu.

  11. Wah ini ini artikel cerdas … saya mau nanya nih, apa ngak niat bikin buku? Kalau mau saya bantu, tapi harus iku (sedikit) aturan saya he … he …

    Oh ya ada sedikit komen … Kutipan dari artikel Sawali T.: Dalam penafsiran awam saya, rendahnya minat anak-anak muda Indonesia yang cerdas untuk menjadi guru lebih disebabkan oleh tingkat status sosial-ekonomi yang kurang menguntungkan … apa ini tidak salah data dan persepsi? Kenapa?

    Fakultas Pertanian, Kehutanan, Peternakan, dan selanjutnya pada tidak diminati. Di kampus saya ada yang mendaftar lima mahasiswa saja —ini fenomena umum di PT Indonesia lho. FKIP?

    Justru ribuan. Mereka diseleksi … karena temat sangat terbatas, dibuka jalur mandiri … peminat harus ditolak. Kini yang cerdas-cerdas masuk FKIP. Menurut saya … ini kondisi positif bagi memilih calon guru yang tidak pemalas, jahiliyah IT, ngeluh-ngeluh dan mengeluh.

    Saya mimpi, sepuluh tahun ke depan akan lahir guru-guru cerdas, paham IT, rajin membaca dan menulis … bukan ahli belajar teori … Guru yang paham politik, guru yang mampu mengoreski diri, tidak guru yang malang. Guru malang?

    Ya, dia mendidik intelektual, orang pintar, pejabat, pengusaha … koruptior sampai maling besar. E … mereka-mereka yang beruntung itu tidak mau memperbaiki nasib gurunya. Durhaka. Anak harimau. Pertanyaannya: Apa bukan salah didik?

    Artinya, guru harus introspeksi, jangan-jangan memang salah dalam mendidik, curang misalnya. Bayangkan saja, anak didiknya bukan membantu malah menyusahkan. Dosa apa yang telah dilakukan.

    Jangan salahkan kaca, perbaiki diri.

    Bagaimana menurut Sameyan?

    ————————–
    Tentang rendahnya minat anak2 muda yang cerdas untuk masuk ke FPTK mungkin perlu data lebih lanjut, ya, Pak, ya? Dalam tangkapan pemahaman saya, FPTK mungkin banyak diminati calon mahasiswa, tapi perlu dipertanyakan lebih jauh, apakah mereka masuk dengan niat yang bener2 tulus dengan tingkat kecerdasan yang bagus ingin jadi guru atau setelah dengar UUGD yang menjanjikan adanya peningkatan kesejahteraan bagi guru? Hehehehe … 😀 Kalau alasannya bener2 tulus untuk jadi guru, wah, salut, Pak. Itu artinya, guru dalam dunia pendidikan kita akan diisi oleh guru-guru hebat yang tidak diragukan lagi kompetensinya. Tapi kalau alasannya karena iming2 perbaikan kesejahteraan lewat UUGD, wah, fenomena itu tak akan banyak berarti untuk peningkatan mutu pendidikan.

    *Sebenarnya ada niatan juga nulis buku, Pak, terutama nonbuku ajar. Selama ini saya memang sudah nulis buku ajar untuk SD, SMP, dsan SMA, lama2 jadi jenuh, Pak, nggak ada perkembangan ilmunya. Monoton dan menjemukan, hehehehe 😀 Kalau Pak Ersis punya “proyek” buku :mrgreen: insyaallah saya siap dilibatkan dan bersedia untuk memenuhi ketentuan yang berlaku. Hehehehe 😀 OK, makasih, Pak Ersis. Salam sejahtera *

  12. guru memang sosok sentral daram pergerakan peradaban, diakui secara teoritis…. hanya ketika begerak ke tataran praktis tak banyak orang yang peduli keberadaan guru yang selalu tak nampak sebagai icon atau sosok yang di gugu dan ditiru…. hhhhhhhh 🙁

    ———————–
    Betul dan sangat setuju, Kang. Teoretis, guru itu sosok vital dalam dinamika pendidikan. Tapi praktiknya, sosok guru lebih banyak disia-siakan ketimbang dapat penghormatan. Hehehehehe 😀

  13. guru memang sosok sentral daram pergerakan peradaban, diakui secara teoritis…. hanya ketika begerak ke tataran praktis tak banyak orang yang peduli keberadaan guru yang selalu tak nampak sebagai icon atau sosok yang di gugu dan ditiru…. hhhhhhhh 🙁

    ———————–
    Betul dan sangat setuju, Kang. Teoretis, guru itu sosok vital dalam dinamika pendidikan. Tapi praktiknya, sosok guru lebih banyak disia-siakan ketimbang dapat penghormatan. Hehehehehe 😀

  14. Waduch Pak, program sertifikasi guru yang katanya berimbas pada peningkatan kesejahteraan guru yang masih belum terealisasi juga sepertinya akan terhantam program pensiun seumur hidup anggota DPR :mrgreen:

    Wah menanggapi (profesi) guru kok sepertinya membuat saya bingung…ya mirip2 paradoks kenyataan (bukan paradoks pernyataan) gitu :mrgreen:
    Di satu sisi memang terlihat bahwa generasi muda kita banyak yang tidak berminat menjadi guru (dengan alasan ekonomi dll) tetapi ternyata di sisi lain saya juga melihat kenyataan (khususnya di daerah saya) dimana banyak juga lulusan jurusan non kependidikan (contoh Kehutanan, Pertanian, Administrasi Negara, dll) yang “menyeberang jalur” dan mengambil akta IV untuk menjadi guru…beberapa dari mereka (kebetulan saya kenal) mengatakan kalau (profesi guru) relatif masih lebih luas dr profesi sesuai latar belakang pendidikan mereka.
    Kira2 bagaimana nich Pak?

    —————-
    Wah, membicarakakn profesi yang satu ini agaknya memang nggak ada habis2nya ya, Pak. Paradoks kenyataan juga, ya? Ketika mau kuliah, mereka ramai2 nggak mau masuk ke LPTK. Eeeee, lantaran nggak gampang cari kerja, lantas “menyeberang” jadi guru, meski mereka harus menempuh program Akta IV. Bukan hanya temen2 Pakde King aja yang seperti itu, di daerah saya juga banyak, Pak. Ini kan makin rumit dan kompleks. Bagaimana mungkin mutu pendidikan kita bisa terdongkrak kalau gurunya merupakan “sisa laskar” barisan pencari kerja yang berijazah nonkependidikan, hehehehe 😀 meski tidak menutup kemungkinan kompetensi mereka bisa jadi nggak kalah dengan mereka yang lulus dari LPTK. Paradoks juga, ya, Pak. Jangan2 profesi guru diminati lantaran ada UUGD yang menjanjikan kesejahteraan lebih layak dan memadai bagi profesi guru dan dosen? :mrgreen:

  15. Yap ntar saya bikin blog untuk calon Samoeyan, kalau lewat email repot … saya bantu nerbitkan satu buku sampeyan tentang pendidikan … Pak Swali apa ngak guru yang ada yang negleuh melulu? Menjdikan gaji minim sebagai alasan he he … Hati-hati lho meragukan yang ‘akan’ menjadi guru sementara yang telah ‘jadi’ guru yang perlu dipertanyakan …

    ——————-
    Wah terima kasih banyak, Pak Ersis, jadi merepotkan saja, nih!
    Mungkin itu termasuk salah satu sifat manusiawi seorang guru, Pak. Nggak bisa melaksanakan tugas secara profesional kalau gajinya kecil, hehehehe 😀 :mrgreen:
    Menurut hemat saya, profesionalisme guru harus mulai dibangun sejak seseorang memutuskan dirinya menjadi seorang guru. Dengan cara seperti itu, setidaknya dia mulai bisa memiliki bekal yang cukup tentang dasar2 kependidikan yang kemudian dimatangkan melalui proses pengalaman di lapangan.
    Ok, Pak Ersis, sekali lagi terima kasih.

  16. Ratusan wali murid SMP YIMI Gresik yang beralamat di jalan Letjen Suprapto 76 Gresik kemarin pada tanggal 6 September 2007 mengadakan sebuah pertemuan untuk menentang rencana pemecatan 49 orang guru oleh pimpinan Yayasan Malik Ibrahim yaitu Hasan Syahab. Pertemuan yang juga dihadiri oleh segenap wali murid siswa, serta komite sekolah dan juga disaksikan oleh wakil Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dinas P dan K) Gresik serta Dewan Pendidikan Gresik (DPG) berlangsung sangat menegangkan. Dikarenakan alasan yang digunakan sebagai dasar pihak yayasan untuk memecat guru-guru tersebut sangat tidak masuk akal. Hal ini didasari oleh munculnya surat edaran tertanda tanggal 5 september 2007 yang berisikan pilihan kepada seluruh dewan guru antara memilih untuk terus bergabung dengan yayasan atau mengundurkan diri. syarat untuk terus bergabung dengan pihak yayasan Malik Ibrahim adalah mengikuti aturan yang telah ditetapkan diantaranya mendukung untuk tidak mengikuti ujian nasional. Jelas sekali hal ini ditolak oleh semua wali murid, karena apabila murid-murid SMP YIMI gresik tidak mengikuti UNAS maka darimana mereka akan mendapatkan ijasah yang sah dan legal dari pemerintah untuk melanjutkan ke pendidikan selanjutnya? bagaimanakah masa depan mereka itu nanti? inilah pertanyaan yang meresahkan hati para wali murid.

    ide untuk tidak mengikuti UNAS ini muncul dari direktur YIMI yaitu Munif Chatib dan jajaran konsultannya diantaranya Mardjuki dan Vita wardhana. setelah adanya konfirmasi langsung kepada Munif Chatib oleh seorang wali murid melalui telepon selular dinyatakan bahwa hal itu tidak jadi masalah karena dia sudah menyiapkan 400 orang guru cadangan untuk menggantikan mereka yang dipecat. Hal ini juga ditolak keras oleh wali murid yang berarti bahwa ada sebuah konspirasi antara pihak yayasan dan direktur. Pihak Yayasan Malik Ibrahim yang siang itu diwakili oleh Halim selaku sekretaris yayasan terus membantah semuanya, namun setelah didesak oleh wali murid akhirnya dia mau mengakui juga.

    Akhir dari pertemuan ini ditutup dengan sebuah kesepakatan yang berisi (1) Munif Chatib dinonaktifkan selaku direktur beserta jajaran konsultannya karena dianggap tidak kompeten untuk menangani bidang pendidikan, (2) Semua guru tetap dipertahankan, (3) Surat edaran tentang pemecatan guru dicabut (4) SMP YIMI tetap mengikuti UNAS sesuai dengan aturan pemerintah.

    Salah seorang wali murid yang juga seorang Kepala Sekolah SD dan pelatih program IAPBE menyatakan bahwa di YIMI telah terjadi pelecehan terhadap pendidikan, dimana semua aturan pendidikan dapat dirumuskan seenaknya oleh munif chatib selaku direktur tanpa memperhatikan peraturan pemerintah diantaranya lagi ialah menolak kurikulum KTSP, sering memberhentikan guru secara sepihak, menolak semua program pelatihan guna peningkatan SDM Guru dan karyawan sekolah dan mengancam akan memecat apabila guru tetap bersikeras mengikuti pelatihan tersebut hal ini pernah dibuktikan adanya ancaman pemecatan terhadap wakasek Nur Hadi, S.S karena mengikuti program kerjasama Indonesia dan Australia IAPBE. menolak konsep Manajemen berbasis sekolah dibuktikan dengan tidak diikutsertakannya seluruh lapisan guru dalam perancangan RAPBS.

    Hal ini tidak terjadi di SMP YIMI saja melainkan juga pada TK YIMI dan MI YIMI dimana 8 orang guru TK dan 28 Orang guru MI mendapatkan ancaman yang serupa dengan seluruh guru SMP YIMI Gresik. Apabila empat tuntutan tersebut tidak dipenuhi samapi batas waktu yang ditentukan yaitu hari jum’at tanggal 7 september 2007 pukul 13.30 maka semua wali murid akan membawa kasus ini ke meja hukum dan menarik semua siswanya berikut uang pendidikan yang selama ini dibayarkan menurut K.H Zakaria selaku ketua komite

  17. Bapak saya seorang guru sd. Tahun 1950 dah jadi guru SD. Tahun 1944 dah diangkat jadi kepala sekolah sd, hingga pensiun pada tahun 1999. Nasibnya??? gajinya tetap kecil, setiap gajian dipotong ini potong itu. Pernah pada tahun 1984 ditawari jadi guru sma. Tapi yang nawari minta uang 25 juta rupiah. Katanya untuk melicinkan jalannya file yang dikirim. Sehingga meja-meja para penentu kebijakan itu licin, akhirnya cita-cita jadi guru sma bisa tercapai. Namun bapak saya tidak mau menyogok, khawatir anak muridnya jadi apa, apalagi anak-anaknya, kalau dikasih makan haram jadi apa.
    Barangkali nasib para guru akan berobah, kalau yang jadi bupati, gubernur atau presiden dari para guru. Bagaiamana menurut pak sawali???????
    http://refleksie.blogspot.com

  18. @ Masturi:
    Bapaknya Pak Masturi telah mengambil keputusan yang tepat dan bijaksana. Kalau dunia pendidikan yang notabene menjadi basis pencerah peradaban kalau sudah dinodai aksi suap-menyuap, wah, ya makin nggak karu2an nasib masa depan negeri ini. Setuju banget, Pak, saya.
    Tentang bupati, gubernur, dan presiden dari guru? Wah, saya tidak bisa menjawab, Pak. Sebab kalau seseorang sudah masuk dalam lingkaran kekuasaan katanya juga cenderung korup :mrgreen: Kalau memang sudah memiliki dunia panggilan sebagai guru, ya, menurut saya, sih, sebaiknya ya total menjadi guru. Biarlah yang menjadi penjabat di negeri ini adalah murid2nya, hehehehe 😀
    OK, makasih Pak Masturi, salam hangat.

  19. Salam,

    Kami atas nama KOMPAS-TV.COM ingin memberikan informasi bahwa siaran TV-ONE sudah dapat di akses melalui http://www.kompas-tv.com

    Kami sedang menjajaki untuk menayangkan beberapa TV Nasional lainnya dan juga Voice of Amerika untuk dunia sport dan hiburan.

    Kalau ada hal lainnya yang bisa kami jelaskan, agar menghubungi admin@sdm-tv.com (Sandika Digital Media) sebagai pemilik web :
    http://www.kompas-tv.com
    http://www.kompase.com
    http://www.seleb.tv
    http://www.videoku.tv

  20. wah nyindir gua juganih mas, joker juga lulusan S1 dan sudah jadi guru pns lagi tapi ya itu mas karena tingginya gaji sampe sampe gua masih ngompreng jualan barang bekas di pasar loak dan keliling bawa gerobag untuk cari barang bekas. dan malemnya misah-misah kertas untuk ditimbang. sertifikasi menurut joker akal-akalan aja yang tidak lain hanya untuk menghabiskan uang proyek kali. . . he.he.. maipin gua hanya ngelantur jangan dianggap serius.

    aku suka tulisan ini paling tidak gua bisa ngungkapin uneg-eneg gua

  21. Tulisan yg menggugah, pak Sawali. Untuk menjadi bangsa yg bermartabat, terlebih dahulu tentu siswanya kudu bermartabat. Implikasinya: pendidikan harusnya bukan hanya melakukan transfer ilmu pengetahuan dan pengembangan keterampilan, melainkan lebih luas lagi juga melakukan pembudayaan atau enkulturasi. Di mana salah satu hal terpenting dalam enkulturasi ini adalah pembentukan karakter dan kepribadian.

    1. @Akhmad Guntar,
      wah, makasih banget apresiasi dan tambahan informasinya, pak akhmad. makin terbukti kalau dunia pendidikan memegang peranan yang amat penting dalam membangun karakter dan kepribadian anak bangsa.

  22. Kalo dibandingin sama guru jakarta yang makmur, kelakuannya malah aneh. Banyak yang bilang jadi belagu 😆 Mudah2an gak semua benar…

    Contoh yang simple bgt, guru2 sekarang kalo udah menjelang weekend sering bilang ke muridnya: “Ngapain buru2 pulang, mentang2 mau weekend”

    Secara tidak langsung guru itu mendukung weekend2an (pdhl sekolah waktunya bljr)

    Baca juga tulisan terbaru Uchan berjudul (Share) Foto-foto Kebakaran Plumpang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *