Guru Indonesia: Generasi yang Hilang?

Kategori Pendidikan Oleh

Sesekali lakukanlah survei di tempat keramaian yang dihadiri anak-anak muda terpelajar. Lantas, berbasa-basilah untuk bertanya tentang cita-cita mereka. Andaikan ada 10 anak muda yang Anda tanyai, berapakah yang bercita-cita menjadi seorang guru? Hahahaha 😀 Tidak usah terkejut seandainya hanya beberapa gelintir saja –bahkan bisa jadi nihil– anak muda yang dengan amat sadar memiliki cita-cita dan “dunia panggilan” untuk menjadi seorang guru. Mereka adalah anak-anak muda yang cerdas. Potret generasi masa kini yang (nyaris) tak pernah bersentuhan dengan penderitaan hidup. Orang tua mereka telah membukakan jalan ke “peradaban” baru; intelek, gaul, punya kelengkapan asesori untuk bisa hidup secara modern dan global. Pendeknya, generasi muda terpelajar Indonesia masa kini telah mampu menikmati berbagai “kemanjaan” hidup.

Disadari atau tidak, kemanjaan hidup dalam lingkungan keluarga akan berpengaruh terhadap pola dan gaya hidup. Kalau sejak kecil mereka telah terbiasa hidup dalam desain budaya yang sarat kemanjaan dalam lingkungan keluarga, kelak setelah dewasa pun diduga akan mengadopsi pola dan gaya hidup yang telah mereka terapkan sejak kecil.

Anak-anak dibesarkan oleh zamannya. Seiring dengan makin maraknya pola hidup pragmatis yang dikibarkan oleh bendera konsumtivisme, materialisme, dan hedonisme, anak-anak muda masa kini memiliki kecenderungan untuk berpikir praktis dan pragmatis. Apresiasi terhadap sikap dan pola hidup yang menghargai proses dan kerja keras (nyaris) hilang dalam “kamus” kehidupan kaum muda. Kondisi itu diperparah dengan miskinnya keteladanan orang tua dan kaum elite yang secara sosial mestinya bisa menjadi anutan. Mereka bukannya menunjukkan kesalehan, baik individu maupun sosial, tetapi justru menampakkan praktik hidup yang sarat dengan berbagai perilaku amoral. Untuk mencapai tujuan, mereka tak jarang menghalalkan segala cara, bermimpi sukses ala Abu Nawas dengan menerapkan cara-cara magis, bahkan tak jarang menggunakan ilmu permalingan yang dalam ajaran agama apa pun jelas-jelas dilarang. Kursi empuk kepejabatan tak jarang didapat dengan cara-cara curang dengan cara menggunakan uang pelicin atau menggunakan umpan untuk menjerat relasinya. Ironisnya, perilaku tak terpuji semacam itu sudah merasuki dunia pendidikan kita yang notabene menjadi “kawah candradimuka” peradaban. Jual beli gelar –bahkan konon hingga jenjang S3– atau kuliah instan, misalnya, sudah bukan rahasia lagi. Sungguh, sebuah “drama” di atas panggung kehidupan sosial negeri ini yang membikin “miris” para pemburu kebenaran, kejujuran, dan keadilan.

Kondisi tersebut diperparah dengan makin permisifnya masyarakat terhadap berbagai tindakan amoral dan tak terpuji yang tampak vulgar di atas panggung kehidupan sosial kita. Hal mitu bisa dilihat dan disaksikan dengan jelas oleh anak-anak muda kita. Lantas, bagaimana peran institusi pendidikan dalam menghadapi situasi semacam itu?

Secara jujur mesti diakui, ada kontradiksi nilai yang acapkali bertentangan secara diametral. Di sekolah, para murid tidak hanya sekadar diajar, tetapi juga dididik. Mereka diharapkan mampu mengapreasiasi dan menginternalisasi nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan melalui berbagai dimensi pelajaran di sekolah. Namun, anak-anak muda kita bisa dengan mudah dan gamblang melihat berbagai perilaku dan tindakan tak terpuji yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat kita. Imbasnya, terjadi kontradiksi nilai antara apa yang ditanamkan dan ditaburkan di sekolah dengan berbagai ulah tak terpuji yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat kita. Tak mengherankan jika para pelajar kita memiliki “kepribadian terbelah”; menganut nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah atau larut dalam berbagai tindakan anomali sosial yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat kita.

Ketika kepribadian kaum muda kita terbelah dan dihadapkan pada dua kondisi yang saling bertentangan, konon, mereka cenderung akan mengambil sikap dan tindakan yang sesuai dengan sifat agresif dan naluri purba mereka yang tengah bergolak. Tak berlebihan apabila kaum remaja kita –yang sebenarnya tergolong cerdas dan hidup dalam lingkungan keluarga yang mapan– sering kali terjebak pada perilaku yang kurang terpuji.

Lantas, apa hubungannya dengan judul tulisan ini? Secara tidak langsung mungkin tidak ada benang merahnya. Tapi marilah kita coba refleksi sejenak. :mrgreen: Anak-anak muda yang sangat cerdas dan hidup dalam lingkungan keluarga yang mapan itu sebenarnya merupakan aset bangsa yang luar biasa besarnya. Mereka kelak diharapkan mampu menjadi agen perubahan yang sanggup membawa bangsa dan negeri ini menjadi bangsa yang terhormat dan bermartabat.

Salah satu pendorong dinamika dan gerak peradaban adalah pendidikan. Maju mundurunya dunia pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas guru. Gurulah yang berada di garda depan dalam dunia pendidikan sehingga mereka memiliki peran strategis dalam “melahirkan” anak-anak bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, sosial, dan spiritual. Namun, agaknya apresiasi masyarakat dan pemerintah pun masih menimbulkan tanda tanya? Sudahkah masyarakat memosisikan guru pada aras yang sebenarnya? Bagaimanakah perhatian pemerintah dalam mengangkat harkat dan kehormatan guru selain melalui lagu “Hymne Guru” yang lebih terasa sebagai sebuah sindiran dan parodi ketimbang penghormatan?

Daftar pertanyaan semacam itu masih bisa terus bertambah seiring dengan makin banyaknya derita guru, mulai dari penghasilannya yang pas-pasan, guru tukang ojek, hingga penjual rokok ketengan. Dus, dari sisi mana pun jadi guru itu sangat tidak menguntungkan. :mrgreen: Secara sosial, guru tak jarang mendapatkan perlakuan “istimewa” sehingga pantang berbuat khilaf dan dosa. Secara ekonomi sangat jelas. Penghasilan guru belum menjanjikan untuk bisa hidup layak. Rumah pun terpaksa masih ngontrak. Kalau mampu beli, umumnya mereka pilih rumah tipe RSSSSSSSS (Rumah sangat sederhana sekali sampai-sampai selonjor saja susah sekali. 😀 ) model kreditan.

Dalam penafsiran awam saya, rendahnya minat anak-anak muda Indonesia yang cerdas untuk menjadi guru lebih disebabkan oleh tingkat status sosial-ekonomi yang kurang menguntungkan. Lihat saja mahasiswa calon guru yang masuk ke LPTK. Sebagian besar di antara mereka lantaran “tersesat” dan terpaksa setelah gagal masuk ke perguruan tinggi. Ini artinya, guru dalam dunia pendidikan kita selama ini hanya berasal dari mahasiswa “sisa-sisa”. Tak heran apabila setelah lulus pun mereka terpaksa jadi guru setelah gagal bersaing mencari pekerjaan yang lebih menguntungkan. Tak heran pula apabila mereka pun gagal “melahirkan” manusia-manusia (baca: lulusan) unggulan.

Pemerintah agaknya sudah mulai “melirik” peran guru dalam membangun peradaban bangsa yang lebih terhormat dan bermartabat. Program sertifikasi guru, misalnya, dinilai sebagian kalangan sebagai cara strategis untuk meningkatkan kompetensi akademik dan kualifikasi guru sehingga mampu menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Namun, tak jarang juga yang berpandangan bahwa program semacam itu hanya memboroskan uang negara. Prosedurnya pun dibikin rumit. Guru-guru muda yang kreatif dan potensial untuk “mendongkrak” mutu pendidikan jutru terkesan dikebiri dan dimarginalkan. Hanya mereka yang sudah punya “jam kerja” tinggi yang terjaring untuk mengikutinya. (Jangan-jangan anggarannya memang belum siap sehingga perlu didesain melalui prosedur yang rumit sambil menunggu perkembangan anggaran). Saya setuju dengan pandangan Ersis Warmansyah Abbas, kalau memang memiliki “kemauan politik” untuk memperhatikan nasib guru, kenapa mesti harus mengikuti ujian sertifikasi? Bukankah mereka sudah mendapatkan bekal yang cukup dari LPTK tempat menimba ilmu? Apakah setelah dinyatakan lulus uji sertifikasi dengan sendirinya mutu pendidikan akan terdongkrak?

Nah, jika nasib guru terus-terusan diabaikan, guru akan menjadi sebuah generasi yang hilang. Bukan tidak mungkin negeri ini akan “kehabisan” guru lantaran tak banyak generasi muda yang tertarik untuk menggelutinya. Kalau kekhawatiran ini benar, siap-siaplah untuk hidup di sebuah negeri yang tidak mengenal peradaban. Nah, bagaimana? ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

28 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Pendidikan

Go to Top