Siapa Mau Jadi Bloger “Pemberontak”?

Jangan sewot dan geram ketika membaca judul postingan ini, hehehe 😀 Kata pakar pragmatik, untuk menafsirkan maksud sebuah tuturan, baik lisan maupun tulisan, perlu dipahami dulu konteksnya. Tuturan dalam situasi yang bagaimana, apa yang dibicarakan, di mana tuturan itu disampaikan, de-el-el? Dalam konteks ini, saya memiliki pengertian yang sedikit menyimpang dari makna leksikal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam kamus tebal tersebut, kata pemberontak memiliki dua arti, yaitu: 1) orang yang melawan atau menentang kekuasaan yang sah, pendurhaka; 2) orang yang sifatnya suka memberontak (melawan). Kalau toh harus dimirip-miripkan, saya cenderung memilih arti yang kedua, yaitu orang yang sifatnya suka memberontak (melawan). “Memberontak” tentang apa, kepada siapa, tujuannya apa? *pertanyaan retorik*

Dalam pengamatan awam saya, blog lebih bersifat personal. Bahkan, dalam banyak hal blog bisa menjadi “wakil” hati nurani sang pemiliknya dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan publik. Dengan kata lain, karakter dan kepribadian sang pemilik blog –lagi-lagi ini penafsiran awam– bisa dilihat dari topik yang dipilih, bahasa tutur yang digunakan, blog-blog dan situs lain yang ditautnya, cara membalas komentar, hingga asesori yang dipakai untuk menghias “teras” blognya. Oleh karena bersifat personal, blog bisa dipakai untuk apa saja; berteriak-teriak, menyumpah-nyumpah, mengungkapkan cinta, kerinduan, kebencian, deelel. :mrgreen:

*Kembali ke topik*

Guru Indonesia: Generasi yang Hilang?

Sesekali lakukanlah survei di tempat keramaian yang dihadiri anak-anak muda terpelajar. Lantas, berbasa-basilah untuk bertanya tentang cita-cita mereka. Andaikan ada 10 anak muda yang Anda tanyai, berapakah yang bercita-cita menjadi seorang guru? Hahahaha 😀 Tidak usah terkejut seandainya hanya beberapa gelintir saja –bahkan bisa jadi nihil– anak muda yang dengan amat sadar memiliki cita-cita dan “dunia panggilan” untuk menjadi seorang guru. Mereka adalah anak-anak muda yang cerdas. Potret generasi masa kini yang (nyaris) tak pernah bersentuhan dengan penderitaan hidup. Orang tua mereka telah membukakan jalan ke “peradaban” baru; intelek, gaul, punya kelengkapan asesori untuk bisa hidup secara modern dan global. Pendeknya, generasi muda terpelajar Indonesia masa kini telah mampu menikmati berbagai “kemanjaan” hidup.

Disadari atau tidak, kemanjaan hidup dalam lingkungan keluarga akan berpengaruh terhadap pola dan gaya hidup. Kalau sejak kecil mereka telah terbiasa hidup dalam desain budaya yang sarat kemanjaan dalam lingkungan keluarga, kelak setelah dewasa pun diduga akan mengadopsi pola dan gaya hidup yang telah mereka terapkan sejak kecil.

Benarkah Pelajar Kita Mengidap “Rabun” Sastra?

Ini soal klasik. Sejak tahun 2003, sastrawan Taufiq Ismail sudah mempersoalkannya. Diawali dengan melakukan survei sederhana dengan mewawancarai tamatan SMU dari 13 negara. Meski hanya berupa snapshot dan potret sesaat, hasilnya benar-benar membuat kita tersentak.

Jika siswa SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, di Jepang dan Swiss 15 buku, siswa SMU di negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMU di Indonesia-setelah era AMS Hindia Belanda-adalah nol buku. Padahal, pada era Algemeene Middelbare School (AMS) Hindia Belanda, selama belajar di sana siswa diwajibkan membaca 15-25 judul buku sastra.

Survei yang menyentakkan, bukan? Menurut Taufiq Ismail, hasil snapshot tersebut semakin memperteguh asumsi selama ini bahwa pengajaran sastra dan bimbingan mengarang di sekolah-sekolah kita kian memprihatinkan. Dihadapkan pada kenyataan ini, pekerjaan besar yang harus diagendakan adalah bagaimana meyakinkan berbagai pihak, terutama para pengambil kebijakan bahwa usaha perbaikan harus dilakukan. Pemahaman bahwa kegiatan membaca dan mengarang bagaikan dua saudara yang tak terpisahkan harus mulai ditanamkan. Semakin siswa banyak membaca, maka makin bagus karangannya. Dan, kegemaran membaca harus mulai dipupuk melalui buku-buku sastra, yang pada gilirannya akan melebar ke jenis bacaan lain. Begitu pun bimbingan mengarang (baca: menulis) bisa dimulai di kelas bahasa, lalu diperluas ke kelas dan bidang lain. (Kaitan antara aktivitas membaca dan menulis juga bisa dilihat di sini -blog yang dikelola oleh Pak Ersis Warmansyah Abbas).

Legenda Sisyphus dan Bongkar Pasang Kurikulum

Tiba-tiba saya teringat Sisyphus. Tokoh fiktif dalam mitos Yunani kuno yang diperkenalkan oleh Albert Camus itu, menurut hemat saya, layak dijadikan sebagai analogi terhadap kebijakan “penguasa pendidikan” negeri ini yang suka bongkar pasang kurikulum. Konon, lantaran mengetahui rahasia para dewa, Sisyphus dikutuk dan harus mengangkat batu ke puncak gunung. Namun, selalu gagal. Batu itu kembali menggelinding ke lembah dan Sisyphus harus kembali mengangkatnya ke puncak. Berulang-ulang. Saini KM dalam sebuah puisinya menggambarkan sosok Sisyphus seperti berikut ini.

Sisyphus

Dan batu kembali ke jurang menggelundung.
Bolak-balik beribu tahun: beribu tahun
Sisyphus mendorong batu ke puncak gunung
kau mendaki dan tergelincir, jatuh dan bangun.

Jatuh dan bangkit di Babel, Sodom dan Gomorah
Auschwitz, Hiroshima-Nagasaki dan Vietnam.
Dan dari dasar derita, dengan nafas tersengal
kau berseru ke langit: Apakah artinya ini?

Langit menjawabmu dengan biru, dengan bisu.
Kau pun bangkit lagi; pucat, berdebu dan luka
kembali mendaki dan memandang Angkasa. Mungkin
itulah artinya: Payah dan luka kau tak tunduk.

Tiga Bahasa Plesetan tentang KTSP

Setidaknya ada tiga bahasa plesetan tentang KTSP. Pertama, KTSP diplesetkan sebagai Kurikulum Tidak Siap Pakai. Plesetan ini mengisyaratkan bahwa para guru –sebagai “loko” pendidikan– belum siap menerima perubahan. Para guru tampaknya akan lebih siap apabila semua dokumen kurikulum telah disiapkan dengan rapi dari Jakarta seperti kurikulum sebelumnya. Jadi, Bapak-bapak dan Ibu-ibu guru tidak perlu lagi direpotkan menentukan indikator setiap KD, menyusun silabus dan RPP, atau menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). 😀 Ya, seperti model pendidikan bergaya sentralistis begitulah. Semuanya serba disiapkan dari pusat. Ironis, ya?

Kedua, KTSP diplesetkan sebagai Kurikulum Tetap Sama Produknya. Plesetan ini mengisyaratkan bahwa KTSP yang seharusnya mencerminkan karakter siswa didik, latar belakang sosial-budaya masyarakat setempat, dan kondisi sekolah, kenyataannya tak ada bedanya. KTSP antarsekolah, bahkan di seluruh Indonesia sama saja produknya. Itu karena “kreativitas” para guru melakukan copy-paste draft KTSP dari sekolah tertentu atau model KTSP yang dikeluarkan BSNP. 😀 Kang Guru memberikan komentar menarik dalam tulisan saya tentang “Reformasi Sekolah, Kepemimpinan Feodalistis, dan KTSP” seperti berikut ini.

Reformasi pendidikan barus sebatas kurikulum yang berubah,…. pelaksanaannya belum…. manajemennya belum…..gurunya belum… kepseknya…. belum juga, lantas apa dong yang diharapkan dari hanya perubahan kurikulum???

——————-
Melatih guru agar terampil copy-paste silabus dan RPP toh, Kang, hehehehe D
————-

Catatan Tercecer dari Semiloka Nasional: Peran TIK dalam Revitalisasi Pembelajaran

Kamis, 23 Agustus 2007, bertempat di Hotel Siliwangi, Jln Mgr. Sugijopranoto No. 61, Semarang, digelar seminar dan lokakarya (Semiloka) sehari dengan topik: Peran Tekonologi Informasi dan Komunikasi dalam Revitalisasi Pembelajaran. Semiloka diikuti oleh unsur Kepala/Dinas/Kasubdin P dan K Kabupaten Kota, Pengawas, Kepala Sekolah, Guru, dan Widya Iswara LPMP se-Indonesia (sebanyak 150 peserta). Tampil sebagai pemakalah dalam seminar tersebut adalah Ir. Lilik Gani HA, M.Sc., Ph.D (Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan Depdiknas), Ir. Indra Djati Sidi, Ph.D (mantan Dirjen Dikdasmen yang kini menjadi Dosen Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB), dan Hartoyo, M.A., Ph.D (Dosen Universitas Negeri Semarang).

3-suasana-semiloka.jpg

Pelaksanaan semiloka dilatarbelakangi PP 19/2005 (pasal 19) tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang berbunyi seperti berikut ini.

Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Reformasi Sekolah, Kepemimpinan Feodalistis, dan KTSP

Ketika rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto tumbang pada bulan Mei 1998, serta-merta angin reformasi berhembus kencang di berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat. Kran demokrasi yang selama ini mampet(-pet) terbuka lebar-lebar hingga nyemprot ke mana-mana. Unjuk rasa marak di jalan-jalan protokol. Rakyat seperti terbebas dari ruang karantina dan sel penjara yang busuk. Atmosfer sosial dan politik menjadi demikian bebas dan terbuka. Semua kalangan terbius dalam aroma kebebasan yang berlewah; terjebak dalam suasana euforia. Kebebasan yang begitu terbuka tak jarang membuat banyak orang “mabuk” reformasi. Semua orang ingin berlomba melakukan reformasi dengan cara mereka sendiri. Sedemikian jauh reformasi berjalan di atas panggung sosial-politik negeri sampai-sampai menimbulkan dampak terjadinya konflik horisontal dan terbuka antarkampung, antaretnis, atau antarkelompok.

reformasi.jpgLantas, bagaimana dengan reformasi dalam dunia pendidikan (baca: persekolahan) kita? Harus diakui, reformasi di dunia persekolahan kita berjalan lamban, kalau tidak boleh dibilang “jalan di tempat”. Menurut hemat saya, paling tidak ada tiga penghambat laju reformasi sekolah. Pertama, faktor kepemimpinan sekolah yang cenderung masih bergaya feodalistis. Ini merupakan faktor kultural yang amat sulit untuk diubah. Masih amat jarang kepala sekolah di negeri ini yang dengan amat sadar mau melakukan perubahan. Status quo dan kenyamanan merupakan jalan yang paling gampang bagi seorang kepala sekolah untuk tetap menduduki kursinya. Ironisnya, ketika ada guru yang dengan kreatif mencoba melakukan inovasi pembelajaran di kelas dianggap “nyleneh” dan tidak becus mengajar, apalagi kalau suasana kelas ramai. Kepemimpinan semacam itu tak lepas dari proses rekruitmen yang salah urus. Untuk menjadi seorang kepala sekolah, mereka tak jarang harus menebusnya dengan duwit puluhan juta rupiah. Bagaimana mungkin bisa mengharapkan kinerja kepala sekolah yang bermutu kalau proses awalnya saja sudah amburadul dan beraroma suap? Nalar awam pun bisa menebak kalau selama menjadi kepala sekolah, mereka hanya akan berupaya bagaimana caranya agar uang yang digunakan untuk membeli jabatan bisa secepatnya impas.

Sastra dan Anomali Sosial Generasi Muda Masa Kini

Saya tersentak ketika membaca sebuah berita seperti ini.

INDRAMAYU (Pos Kota) – Beredarnya video mesum yang diperankan sepasang pelajar SMA di Indramayu, membuat gerah Bupati Indramayu dan pejabat muspida lainnya. Bupati H Irianto MS Syarifudin lalu bikin gebrakan akan memeriksa keperawanan sekitar 3.500 siswi SMP dan SMA atau sederajat di seluruh Indramayu.
“Pemeriksaan bertujuan memberitahukan orangtua siswa soal status keperawanan anak gadisnya,” ujar Bupati Indramayu H Irianto MS Syarifudin di sela-sela pembakaran 2.600 buku sejarah di Kantor Kejari Indramayu, Selasa (14/8). Jika hasil pemeriksaan medis diketahui terdapat siswi SMP/Mts dan SMA/SMK/MA tidak perawan lagi atau kegadisannya sudah hilang, maka orangtuanya akan dipanggil sekolah.
“Orangtuanya akan diingatkan untuk lebih waspada dalam mendidik putrinya sehingga jangan hanya bisa menyalahkan sekolah atau gurunya saja,” kata Bupati Irianto MS Syarifudin.

Sementara itu, berita dari kota Gudeg Yogyakarta juga tak kalah menyentakkan.

Sutradara Upi Avianto mengaku tercengang membaca hasil survei terhadap sejumlah remaja Yogyakarta yang dilakukan dalam rangka penggarapan film antologi empat sutradara perempuan, “Lotus Requiem”. Survei itu mengungkap pandangan dan perilaku seks remaja di Yogyakarta, yang menurut Upi, telah jauh melewati batas.

“Rasanya seperti ditampar sewaktu membaca hasil survei itu,” kata Upi, di Jakarta, akhir pekan lalu. Upi mencontohkan anak-anak muda itu bukan hanya telah terbiasa melakukan seks bebas, mereka bahkan telah lihai dan mempunyai cara tersendiri menyelesaikan masalah-masalah yang ditimbulkan akibat seks bebas.

Guru, Blog, dan Profesionalisme

guru.jpg

Konon, di dunia ini hanya ada dua profesi, yaitu guru dan bukan guru (maaf, yang bukan guru jangan tersinggung lho!). Ironisnya, di negeri ini guru baru diakui sebagai profesi setelah UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen diluncurkan. Padahal, tidak kurang dari 7 juta orang di negeri ini menekuni profesi sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. (Kira-kira sebelum diakui sebagai sebuah profesi, guru itu diakui sebagai pekerjaan apa ya? Pekerja atau buruh? Entahlah! Yang pasti, seorang guru yang memiliki “dunia panggilan” agaknya tak akan risau dengan embel-embel istilah macam apa pun. Saya kira kerisauan seorang guru hanya satu, yakni kalau siswa didiknya gagal jadi orang baik-baik, he-he-he).

Dirgahayu Indonesia atau Dirgahayu Kemerdekaan?

bendera1.jpg

Masa-masa “heroik” menuju puncak peringatan HUT ke-62 RI sudah membahana di seluruh penjuru tanah air. Kampung-kampung bertaburan bendera Merah Putih dan umbul-umbul warna-warni. Spanduk dengan berbagai slogan dan semboyan bertengger meriah di gapura masuk kampung. Nasionalisme kita yang selama ini terbang, terapung-apung, dan tenggelam akibat berbagai kesibukan tiba-tiba tersentil oleh “atmosfer” dan aroma perayaan yang begitu ramai dan meriah. Dengan tiba-tiba kita ingat Soekarno-Hatta, Jenderal Soedirman, Diponegoro, Antasari, atau sederet nama-nama pahlawan yang lain.

***

Terlepas dari munculnya sikap nasionalisme yang datang secara “tiba-tiba” itu, ada kelatahan sikap dalam penulisan spanduk yang bisa menimbulkan salah tafsir akibat penalaran yang salah. Lihatlah contoh berikut ini!

Dirgahayu Kemerdekaan RI Ke-62