Reformasi Sekolah, Kepemimpinan Feodalistis, dan KTSP

Kategori Pendidikan Oleh

Ketika rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto tumbang pada bulan Mei 1998, serta-merta angin reformasi berhembus kencang di berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat. Kran demokrasi yang selama ini mampet(-pet) terbuka lebar-lebar hingga nyemprot ke mana-mana. Unjuk rasa marak di jalan-jalan protokol. Rakyat seperti terbebas dari ruang karantina dan sel penjara yang busuk. Atmosfer sosial dan politik menjadi demikian bebas dan terbuka. Semua kalangan terbius dalam aroma kebebasan yang berlewah; terjebak dalam suasana euforia. Kebebasan yang begitu terbuka tak jarang membuat banyak orang “mabuk” reformasi. Semua orang ingin berlomba melakukan reformasi dengan cara mereka sendiri. Sedemikian jauh reformasi berjalan di atas panggung sosial-politik negeri sampai-sampai menimbulkan dampak terjadinya konflik horisontal dan terbuka antarkampung, antaretnis, atau antarkelompok.

reformasi.jpgLantas, bagaimana dengan reformasi dalam dunia pendidikan (baca: persekolahan) kita? Harus diakui, reformasi di dunia persekolahan kita berjalan lamban, kalau tidak boleh dibilang “jalan di tempat”. Menurut hemat saya, paling tidak ada tiga penghambat laju reformasi sekolah. Pertama, faktor kepemimpinan sekolah yang cenderung masih bergaya feodalistis. Ini merupakan faktor kultural yang amat sulit untuk diubah. Masih amat jarang kepala sekolah di negeri ini yang dengan amat sadar mau melakukan perubahan. Status quo dan kenyamanan merupakan jalan yang paling gampang bagi seorang kepala sekolah untuk tetap menduduki kursinya. Ironisnya, ketika ada guru yang dengan kreatif mencoba melakukan inovasi pembelajaran di kelas dianggap “nyleneh” dan tidak becus mengajar, apalagi kalau suasana kelas ramai. Kepemimpinan semacam itu tak lepas dari proses rekruitmen yang salah urus. Untuk menjadi seorang kepala sekolah, mereka tak jarang harus menebusnya dengan duwit puluhan juta rupiah. Bagaimana mungkin bisa mengharapkan kinerja kepala sekolah yang bermutu kalau proses awalnya saja sudah amburadul dan beraroma suap? Nalar awam pun bisa menebak kalau selama menjadi kepala sekolah, mereka hanya akan berupaya bagaimana caranya agar uang yang digunakan untuk membeli jabatan bisa secepatnya impas.

Kedua, munculnya sikap apatis dan masa bodoh dari segenap stakeholder sekolah terhadap perubahan. Komite sekolah sebagai pengganti BP3 yang diharapkan mampu menjadi kekuatan kontrol terhadap kepemimpinan dan manajemen sekolah pun hanya sebatas papan nama. Mereka cenderung menjadi stempel yang mengamini hampir semua kebijakan dan keputusan sang kepala sekolah. Yang lebih celaka, yang menjadi pengurus komite sekolah pada umumnya wali murid yang dinilai tidak banyak tingkah dan bisa diajak kerja sama alias berkongkalingkong untuk mengambil kebijakan yang bisa menguntungkan sang kepala sekolah.

Ketiga, kinerja pengawas sekolah yang buruk. Tugas mereka tak lebih hanyalah melakukan supervisi administrasi di ruang kepala sekolah. Kalau melakukan supervisi kepada guru pun, mereka cenderung bersikap instruktif, komando, bahkan menakut-nakuti. Supervisi klinis yang diharapkan mampu membantu guru dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam kegiatan pembelajaran pun tak bisa jalan. Yang lebih celaka, tak jarang pengawas yang hanya duduk-duduk di ruang kepala sekolah, ngobrol ngalor-ngidul, lantas pulang setelah menerima amplop.

Sungguh ironis. Ketika arus reformasi begitu deras mengalir ke berbagai sudut, dunia persekolahan yang diharapkan mampu menjadi agen perubahan dan agen peradaban tak lebih hanya seperti “sapi ompong” yang mandul. Sistem memang telah berubah. Pola sentralistis telah berubah alurnya menjadi gaya desentralistis melalui gerakan otonomi sekolah. Namun, perubahan sistem semacam itu tidak bisa jalan kalau tidak diimbangi dengan perubahan kultural di tingkat bawah. Manajemen berbasis sekolah (MBS) pun hanya retorika dan slogan yang hanya gencar digembar-gemborkan di ruang-ruang seminar.

Kini, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai implementasi Permendiknas No. 22, 23, dan 24 tahun 2006 sudah memasuki tahun kedua, khususnya bagi sekolah yang sudah mengujicobakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KTSP ini akan bisa berjalan mulus apabila reformasi sekolah diimplementasikan secara baik diimbangi dengan kepemimpinan kepala sekolah yang demokratis, egaliter, transparan, dan partisipatif. KTSP mengisyaratkan adanya pemberdayaan segenap komponen sekolah secara terus-menerus dan berkelanjutan sehingga mereka bisa menyusun draft kurikulum (dokumen I) yang sesuai dengan kondisi sekolah, latar belakang sosial budaya masyarakat setempat, dan potensi siswa didik. Selain itu, para pendidik juga mampu menyusun silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) –dokumen II– dengan cara yang benar sehingga benar-benar mampu untuk mengembangkan kompetensi peserta didik. Namun, secara riil harus jujur diakui, sekolah masih selalu “minta petunjuk dari atas” dan masih jarang yang memiliki inisiatif untuk menyusun KTSP yang benar-benar mencerminkan karakter dan kultur sekolah. Tak berlebihan kalau ada yang memplesetkan KTSP menjadi Kurikulum Tetap Sama Produknya –lantaran hanya hasil copy-paste dari sekolah lain.

Seiring dengan diimplementasikannya KTSP, kini sudah saatnya reformasi sekolah jangan hanya sekadar jadi wacana, tetapi sudah menyatu ke dalam sendi-sendi kehidupan sekolah diiringi dengan perubahan pola kepemimpinan kepala sekolah dari gaya feodalistis menjadi gaya demokratis, egaliter, transparan, dan partisipatif. Kalau tak ada perubahan, jangan harapkan KTSP akan bermakna untuk kepentingan pengembangan kompetensi peserta didik. Bahkan, bukan tidak mungkin perubahan kurikulum yang berkali-kali terjadi hanya berupa perubahan konsep, bukan perubahan substansi dan implementasi. Kalau hal ini benar, celakalah dunia persekolahan kita. Hanya gagah di konsep, tetapi “mlempem” di tingkat aplikasi dan implementasi. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

23 Comments

  1. This is a wonderful blog. I have already been back repeatedly over the past few days and wish to join your feed using Google but find it difficult to ascertain the way to do it accurately. Do you know of any sort of instructions?

  2. Apa sih yang diharapkan dari SERTIFIKASI?
    Lalu bagaimana kalau guru yang sudah lulus sertifikasi itu tidak mengalami peningkatan dalam pelaksanaan tugasnya?
    Lantas bagaimana dengan gaji yang sudah dilipatgandakan?
    – Dibiarkan saja, tentu merugikan negara
    – Diminta mengembalikan, tapi sudah dinyatakan lulus sertifikasi
    Saran:
    Perlu ditambahkan syarat kelengkapan berkas yaitu Rekaman Audio Visual guru mengajar dalam kelas, sehingga dapat dinilai kemampuannya.(rekaman asli, bukan hasil editing)
    Bagi yang sudah lulus supaya segera menyerahkan rekaman PBM yang berlangsung di dalam kelas. Selama belum diserahkan dan dinyatakan layak, maka gaji tidak dibayarkan.
    Sedangkan yang masih dalam proses supaya menyertakan rekaman bersama berkas portofolio.
    Maaf…. ini hanya saran.
    .-= Baca juga tulisan terbaru L. A. Sanrang S. berjudul पास्का SERTIFIKASI =-.

  3. [-( Sebelum saya ngelantur, lebih awal saya mohon maaf sebab saya bukan pakar yang mampu berbicara atau menuliskan rangkaian kata-kata ilmiah atau mengeluarkan pendapat yang membuat jempol orang mengacung.
    Namun saya sangat berterima kasih pada bapak, sebab saya tahu bapak-lah orang satu-satunya yang telah menjadi sasaran igauanku karena aku yakin bapak telah membaca tulisanku.
    Bapak yang terhormat….
    😕 Saya melihat polisi, tentara, dokter, dan guru, akhirnya saya berpikir…….:-w polisi, tentara dan dokter dalam melaksanakan tugasnya diberikan persenjataan dan perlengkapan, Guru juga diberi perlengkapan absen, buku paket, kapur tulis, spidol, tetapi apakah peralatan itu cukup untuk melaksanakan/mensukseskan kurikulum yang berlaku?….. Menurut hemat saya guru perlu diberikan perlengkapan elektronik, bahkan sebaiknya diberikan setelah dinyatakan lulus prajabatan. Kalau anggota dewan mendapatkan laptop kenapa guru tidak? mungkin kedengarannya berlebihan tetapi kalau kita mau jujur kelengkapan peralatan elektronik itu sangat dibutuhkan. Kurikulum sangat menuntut peningkatan kualitas guru, maka sudah sepantasnya dibarengi juga dengan peningkatan peralatan. Kalau guru harus meningkatkan kemampuannya jangan hanya dengan pemberitahuan….. berikan peralatan dan ajari cara menggunakannya. Kalau guru memiliki peralatan dan tahu cara menggunakannya tentulah guru akan senang dan mampu berkreasi serta lebih bersemangat untuk melakukan inovasi-inovasi yang inovatif:d sehingga guru benar-benar profesional.
    😮 Maaf…. cukup sekian dulu
    L. A. Sanrang S., S.Pd

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Pendidikan

Go to Top