Guru Tidak Siap Melaksanakan Kurikulum 2006 sebagai Alasan Perubahan?

Seorang rekan sejawat yang kebetulan menjadi salah satu tim penyusun draft Kurikulum 2013 menyatakan bahwa ketidaksiapan guru dalam melaksanakan Standar Isi (Kurikulum 2006) menjadi salah satu alasan perubahan kurikulum. Menurutnya, belum semua guru mampu menafsirkan Standar Kompetensi-Kompetensi Dasar (SK-KD) yang terdapat dalam Standar Isi (SI) ke dalam pembelajaran secara benar, mulai penyusunan rencana (Silabus dan RPP), implementasi, hingga penilaiannya. Alih-alih mengimplementasikan SI ke dalam proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, menyusun silabus dan RPP saja sebagian besar guru masih melakukan kopi-paste milik sekolah lain tanpa melalui proses adaptasi.

Kurikulum
pesatnews.com
Pernyataan rekan sejawat itu mengemuka jauh sebelum draf uji publik Kurikulum 2013 dipublikasikan. Ketika draft dipublikasikan, agaknya alasan ketidaksiapan guru dalam melaksanakan SI tidak dicantumkan sebagai permasalahan urgen dalam implementasi Kurikulum 2006. Meskipun tidak dikemukakan secara eksplisit dalam draft uji publik Kurikulum 2013, ada beberapa butir permasalahan Kurikulum 2006 yang berkelindan dengan tugas pokok dan fungsi guru.

Berikut saya kutipkan permasalahan Kurikulum 2006 dalam draft uji publik yang menjadi alasan perlunya dilakukan pengembangan kurikulum.
 

No.

Permasalahan

1 Konten kurikulum masih terlalu padat yang ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyak materi yang keluasan dan kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak.
2 Kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
3 Kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
4 Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum.
5 Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global.
6 Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru.
7 Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (sikap, keterampilan, dan pengetahuan) dan belum tegas menuntut adanya remediasi secara berkala.
8 Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir.

 
Dari delapan butir permasalahan yang ada, ketidaksiapan guru dalam melaksanakan Kurikulum 2006 memang tidak disebutkan secara tersurat. Namun, jika dicermati, butir (6) dan (7) bisa ditafsirkan sebagai bentuk ketidaksiapan guru dalam mendesain dan melaksanakan pembelajaran beserta penilaiannya. Kalau penafsiran ini benar, mengapa hal itu bisa terjadi? Bukankah guru menjadi “aktor utama” keberhasilan implementasi kurikulum? Mengapa guru tidak benar-benar dipersiapkan sebelum Kurikulum 2006 diluncurkan?

Pertanyaan semacam itu menyiratkan bahwa Kurikulum 2006 tidak dipersiapkan secara matang, bahkan asal jadi. Meski diawali dengan uji coba Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sejak 2004 di sekolah-sekolah piloting, diseminasinya berlangsung lamban. Guru di wilayah tertentu masih asing dan jauh dari kesan memadai untuk mampu melaksanakan Kurikulum 2006 dengan baik. Tidak berlebihan ketika Kurikulum 2006 sudah memasuki usia ke-6, tidak sedikit guru yang masih payah dalam menyusun silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Belum lagi ketika mereka “dipaksa” untuk mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam pembelajaran yang diampunya.

Ibarat pemain sinteron, guru “dipaksa” sang sutradara untuk berakting di depan kamera, tetapi sang pemain tidak tahu siapa sesungguhnya tokoh yang diperankan dan mengapa dia harus berakting seperti itu; miskin penghayatan dan ekspresi. Bagaimana mungkin seorang guru mampu menjalankan fungsinya sebagai sebagai agen pembelajaran dengan baik kalau semua aktingnya di depan kelas serba berpura-pura, bahkan gagap ketika dicecar pertanyaan dari murid-muridnya? Bagaimana mungkin pendidik di negeri ini mampu melahirkan sosok generasi masa depan yang cerdas intelektual, emosional, sosial, spiritual, dan kinestetikanya kalau mereka masih gagap, bingung, dan sarat ketaksaan dalam mengimplementasikan kurikulumnya sendiri?

Becermin dari pengalaman pahit semacam itu, sungguh naif apabila Kurikulum 2013 hanya memutar “lagu lama” dan sekadar tampil beda. Konsepnya bagus dan ideal, tetapi jika tidak diimbangi dengan proses sosialisasi, diseminasi, dan desain implementasi secara matang, Kurikulum 2013 setali tiga uang.  Negeri ini akan dibayang-bayangi kegagalan yang sama dalam mengimplementasikan kurikulum yang sangat penting peranannya dalam menghadapi tantangan dan dinamika peradaban yang makin rumit dan kompleks. Seperti yang saya tulis di sini beragamnya kompetensi guru di berbagai daerah dan wilayah, membuat implementasi Kurikulum 2006 menjadi sangat rentan terhadap multitafsir, sehingga mutu kompetensi peserta didik sulit terstandarisasi. Dengan diserahkannya penyusunan dan pengembangan kurikulum kepada satuan pendidikan, kopi-paste kurikulum, baik Dokumen I maupun Dokumen II (Silabus dan RPP), menjadi “budaya” baru yang menggejala di kalangan guru dan kepala sekolah. Akibatnya, potensi genius lokal yang seharusnya muncul seiring dengan diterapkannya Kurikulum 2006 justru “mati suri” karena menggunakan kurikulum sekolah atau daerah lain tanpa melalui proses adaptasi.

Kini, ketika proses uji publik masih berlangsung, Kemdikbud harus benar-benar memperhatikan berbagai suara yang menggema dari berbagai pihak sebelum kurikulum benar-benar diterapkan, termasuk suara-suara kritis yang lantang menentang perubahan kurikulum. Makin aspiratif, representatif, dan akomodatif, Kurikulum 2013 makin bagus. Tidak hanya dari ranah konsep, tetapi juga kesiapan para pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan, infrastruktur, dan fasilitas pendukungnya.

Kurikulum akan sangat menentukan wajah peradaban bangsa. Kualitas jutaan generasi masa depan yang lahir dari “rahim” dunia pendidikan akan sangat ditentukan bagaimana desain dan implementasi kurikulum pendidikan yang sesungguhnya. Lebih baik terlambat tetapi benar-benar siap dan matang ketimbang buru-buru diterapkan dan asal “tampil beda” kalau pada akhirnya hanya melahirkan korban-korban “kelinci percobaan” yang membuat wajah generasi masa depan negeri ini makin “galau” dan hanya bisa “koprol” lalu bilang “wow”! ***

20 Comments

  1. Ya benar sekali Pak, semua terkesan di dramatisir oleh sang aktor yang ada dibelakang layar. Sedangkan semua harus bergerak cepat dengan penyesuaian yang seadanya. belum tentu fasilitas yang kurang memadai akan sanggup bergerak cepat dengan apa yang telah menjadi suatu ketentuan. Seperti buah simala kama jadinya.

    Sukses selalu
    Salam Wisata

    • Semoga pengalaman pahit seperti ndak terulang lagi, mas. Kalau hanya bagus di konsep, tapi implementasinya tak ada perbedaan, perubahan itu hanya sebatas jadi sebuah slogan.

  2. semoga kurikulum baru 2013 benar-benar mampu mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya sekedar trend ganti mentri ganti kurikulum

  3. Semua hal yang baru, apa selalu identik dengan format yang baru juga ya Pak ?

    Sukses selalu
    Salam
    Ejawantah’s Blog

  4. Selama tolok ukur puncaknya adalah Ujian Nasional, maka paling aman memang menggunakan “Perangkat Standar” alias Silabus dan RPP conto Pak.
    Jujur, saya malah hanya “nglirik” garis besarnya saja dari SI, karena “merasa” sudah ndalan…
    Dan kalau mau jujur, mayoritas yg lain juga seperti saya.
    “Kultur” demikian mencengkeram, sehingga mau diuplek-uplek kurikulumnya model apapun, saya masih ragu serragu-ragunya.
    Kita lihat saja…

    • Tentu saja saya bukanlah orang yg tak punya harapan, tapi tidak tentang perubahan kurikulum, apapun namanya…

      • Saya termasuk yang sangat berharap agar Kurikulum 2013 segera diluncurkan, Pak, biar saya dan teman2 punya pekerjaan di MGMP, hehe ….

    • Tampaknya kita “canggung” meletakkan kaki.
      Di satu sisi maunya mengglobal, tapi di sisi lain banyak dinunuti muatan lokal.
      Mungkin masih ada cara lain untuk memperkuat muatan lokal tanpa harus “dinunutkan” dalam kurikulum…

      • Gambaran ttg mulok dalam draft Kurikulum 2013 memang belum jelas, Pak Mars, karena diintegrasikan dalam seni budaya. Bagaimana nanti pelaksanaannya? Pasti akan terjadi perombakan guru mapel yang bersangkutan di setiap sekolah.

    • Hehe … Utk Matematika sepertinya materinya sudah baku, ya, pak mars. diuplek-uplek nganti mumet, gonta-ganti kurikulum yang keluar dalam UN kan memang ya materi yang sudah hafal di luar kepala itu.

  5. Dengan adanya perubahan kurikulum, seperti biasa sebagai ujung tombak guru harus siap mendapat komplain dari berbagai pihak …

    • wah, bener juga nih, pak. Guru seringkali harus ketiban “awu anget” ketika terjadi kesalahan sedikit saja, tetapi kalau bener ndak ada yang memberikan respon positif.

      • sebenarnya yg perlu dirubah ini kurikulumnya atau budaya masyarakatnya (tenaga pengajar, siswa, lingkungan). okelah kebijakan apapun itu tidak ada yang sempurna, tetapi jika kita ingin benar-benar belajar dan mempelajari pasti membuahkan hasil yang baik. banyak guru di lapangan yang lebih suka ngrumpi di warung kopi ketimbang mempelajari materi, ato bahkan lebih banyak lagi siswa yang gemar pacaran ketimbang belajar. kalau fenomenanya sudah demikian, mau diganti kurikulum sampai 1000X pun hasilnya akan sama. ok saya setuju dg kur. 2013, tetapi saya lebih setuju kalau kita seumua berusaha untuk merubah “budaya lama” ke budaya baru yg lebih baik dan itu dapat dimulai dari kesadaran dari diri sendiri.
        catatan. trims bgt. Pak Sawali, pemikiran-pemikiran Anda sungguh kritis dan profesional. tak lupa thanks full atas referensi yang ada di blok ini. selamat berkarya!

  6. Marwata

    Konseptor kurikulum 2006 saya yakin juga bekerja sekuat tenaga agar pendidikan di Indonesia bisa maju lebih cepat, tetapi dalam pelaksanaan belum sesuai dengan yang diharapkan tiba tiba sudah muncul konseptor lain yang saya tidak tahu seberapa keras kerjanya berusaha membidani lahirnya kurikulum 2013.
    Saya sendiri sebagai guru merasakan adanya kelemahan pada kurikulum 2006 , tetapi sebenarnya kelemahan itu bisa disikapi. Untuk memajukan pendidikan lebih cepat saya cenderung dilakukan perubahan/penyempurnaan pada bagian bagian yang (berdasarkan peneitian dan evaluasi) dianggap kurang. Kalau perubahannya dengan perombakan atau penggantian kurikulum, maka saya yakin tidak sampai berumur 6 tahun (usia kurikulum 2006) telah menuai permasalahan melebihi jumlah permasalahan yang dikumpulkan oleh konseptor/bidan kurikulum 2013.
    Ingat : ” pendaki gunung tidak pernah sampai ke puncak mana kala hanya ganti-ganti jalan atau ganti-ganti gunung”
    Apa tidak kasihan bangsa kita ini, selalu dilelahkan dengan ganti ganti kebijakan/kurikulum.
    Kalau baju kita kotor dan lusuh tidak harus kita ganti baju baru, kita masih bisa mencuci dan menyeterika. Jangan mentang mentang punya uang baju lama dianggap sampah, baju baru yang belum tahu rasanya kita anggap yang terbaik dan terhebat.
    Sekian, mudah mudahan menjadi renungan.

    Dari guru tua yang belum mengenyam enaknya tunjangan profesi

    • terima kasih masukannya, pak marwata. semoga respon bapak didengar juga oleh para pengambil kebijakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *